Gaji Khusus Wartawan Padang

John Nedy S.

Mon, 3 June 2002

SUATU siang awal Februari lalu, di satu ruangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatra Barat di Padang, seorang pegawai mengamati sejumlah nama wartawan dalam daftar Forum Wartawan Parlemen.

SUATU siang awal Februari lalu, di satu ruangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatra Barat di Padang, seorang pegawai mengamati sejumlah nama wartawan dalam daftar Forum Wartawan Parlemen. Pegawai keuangan itu belum selesai membaca ketika Israr, reporter harian Mimbar Minang, datang menghampirinya, "Uni (kakak) tolong nama saya dicoret saja. Saya sudah sampaikan kepada pengurus, bahwa saya tidak mau lagi menerima uang itu.”

Israr bukan sedang menolak rezeki. Israr sedang mencoba jujur terhadap dirinya sendiri. Daftar itu berisi nama-nama wartawan penerima uang yang dialokasikan dari anggaran parlemen Sumatra Barat. Forum Wartawan Parlemen adalah nama sekelompok wartawan yang mangkal di gedung itu. Total ada 25 wartawan dalam daftar.

Jumlahnya tak banyak. Tiap wartawan dapat Rp 200 ribu (belum pajak Rp 30 ribu). Uang bulanan ini dianggarkan total Rp 62,4 juta setahun. Tercatat nama ada Irsyad dari Bisnis Indonesia, Kasparman dari The Jakarta Post, Sri Rahayu Ningsih dari Sinar Harapan, Hendra Agusta dari Antara, Bonar Harahap dari Media Indonesia, dan Rahadio Suroso dari radio 68H 87,5 MHz. Semuanya nama media Jakarta. Dari media Padang antara lain John Edward Rony dan Devi Diany (Haluan), Hendri (Singgalang), Mairi Nandarson (Mimbar Minang) dan Alfitra (Padang Ekspres).

Menurut Israr, Forum memilih 25 nama itu setelah menilai wartawan bersangkutan. Apa sering menulis berita parlemen? Kalau sering ya masuk daftar. Kalau tidak ya tidak. Masuk pun tak berarti otomatis bisa dapat bulanan terus. Kalau frekuensinya menurun, uang itu bisa pindah ke tangan wartawan lain, yang lebih rajin.

"Saya ingin jadi wartawan yang baik. Memang, dari kantor saya hanya menerima gaji Rp 350 ribu, namun bukan berarti saya harus menerima gaji pula dari DPRD," kata Israr.

Tapi Israr sempat mengambil jatah bulan Oktober, November dan Desember. "Saya takut dituding sok moralis oleh teman-teman. Makanya, lebih baik saya keluar dari Forum, sehingga tidak lagi menerima uang itu. Lagi pula, selama ini, pemberitaan yang saya buat terus mengkritik Dewan, jadi tidak etislah kalau uang diterima, berita terus mengkritik."

Irsyad dari Bisnis Indonesia lebih tegas lagi. Irsyad tak pernah mengambil jatah itu. "Saya pribadi tidak menerima. Saya kira hanya saya sendiri yang tidak mengambil uang itu. Soal orang lain, itu urusan mereka," katanya.

Bagaimana dengan yang mengambil? Apa alasannya?

Bonar Harahap, yang bekerja untuk harian Semangat Demokrasi dan Media Indonesia, mengatakan, "Ini kan hanya uang transpor. Lagi pula dengan menerima uang itu, bukan berarti berita yang dibuat adalah berita angkek talua (yang baik-baik).”

Idham Firmantara dari Pos Metro Padang mengatakan, "Tahu sendirilah bagaimana susahnya kehidupan wartawan di sini. Sudahlah gaji kecil kita diperintahkan bekerja siang malam. Bagaimana menulis berita-berita berbobot kalau perut kosong? Jadi, sepanjang tidak mengintervensi pemberitaan, saya kira sah-sah saja menerima uang itu."

Rahadio Suroso, wartawan Padang FM 100,3 MHz dan radio 68H Jakarta, yang sekaligus jadi sekretaris Forum Wartawan Parlemen, mengatakan mereka justru bermaksud membatasi ruang gerak "wartawan bodrex" dan wartawan tanpa media yang sering minta uang kepada anggota parlemen. Forum juga untuk menjalin silaturrahmi dan solidaritas sesama wartawan.

“Anggaran khusus itu bukanlah suap agar berita-berita DPRD di media yang baik-baik saja. Pemikiran ini semula hanya untuk mengimbangi wartawan di kantor gubernur. Mereka yang ditugaskan di sana selalu mendapatkan uang lelah setiap ada kegiatan. Lagi pula, kita tidak minta. Anggota dewan yang menawari kita untuk menerima uang ini sebagai pengganti ongkos naik bus kota," kata Rahadio.

Tapi tunggu dulu. Praktek ini bukan monopoli Rahadio dan kawan-kawan. Setali tiga uang, kondisi sama juga terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Padang. Di sini wartawan memakai nama Forum Wartawan DPRD Padang. Jatahnya Rp 150 ribu per bulan. Alasannya kurang lebih sama. Gaji kecil. Uang lelah. Tak ada intervensi.

Kazzaini KS, pemimpin redaksi harian Padang Ekspres, mengatakan dana-dana itu bisa merusak integritas wartawan. Kazzani prihatin karena manajemen media sering tak bisa menggaji wartawannya dengan layak. "Hal kedua, memang karena mental wartawan itu sendiri yang merasa tidak puas meski gaji yang diperolehnya sudah lebih dari cukup.”

Apa kata orang parlemen sendiri? Syahrial dari DPRD Sumatra Barat mengatakan mereka memberikan bantuan karena rendahnya gaji wartawan. "Banyak yang mengeluh. Hanya sekedar bantuan, dan tidak mengintervensi pemberitaan yang mereka buat."

Apakah benar tak berpengaruh pada berita? Menurut Israr dari Mimbar Minang, dulunya berita skandal PT Minang Malindo, sebuah perusahaan penambangan batubara milik Afrizal, seorang anggota parlemen, sangatlah kritis. Minang Malindo dipersoalkan karena terlibat permainan tak sehat dengan PT Semen Padang.

Afrizal adalah tokoh yang mempertahankan PT Semen Padang dari upaya penjualannya oleh pemerintah pusat Jakarta. Minang Malindo adalah perusahaan yang menjadi mensuplai batubara untuk Semen Padang.

Batubara yang diambil Minang Malindo itu sendiri dipersoalkan PT Bukit Asam, perusahaan milik negara, yang mengatakan batubara yang ditambang dan dijual Minang Malindo berasal dari wilayah PT Bukit Asam.

Kini, berita soal Afrizal dan Minang Malindo berbalik 360 derajat. Sikap kritis ganti pembelaan. Kenapa terjadi? Boleh jadi tak ada hubungan antara tunjangan wartawan dengan PT Minang Malindo walau Afrizal merupakan salah satu inisiator bantuan tersebut. *

kembali keatas

by:John Nedy S.