Ramadhan Kartahadimadja

Sjamsoeir Arfie

Mon, 1 July 2002

LELAKI itu berusia 75 tahun, lahir di Bandung 15 Maret 1927. Pada usia senja dia masih aktif menulis buku biografi beberapa tokoh. Ramadhan Kartahadimadja, lelaki itu.

LELAKI itu berusia 75 tahun, lahir di Bandung 15 Maret 1927. Pada usia senja dia masih aktif menulis buku biografi beberapa tokoh. Ramadhan Kartahadimadja, lelaki itu. Selama 13 tahun dia menjadi wartawan Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa Intitut Teknologi Bandung dan Akademi Dinas Luar Negeri di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat.

Sabtu pagi di Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin, di Taman Ismail Marzuki, Cikini. Gedung itu kurang terawat. Untuk memasuki gedung itu mesti jalan lewat samping, mirip jalan setapak.

Kartahadimadja muncul di lantai dua gedung itu, berjalan agak tertatih. Dia ditemani istrinya, Salfrida Nasution. Lelaki tua yang biasa dipanggil sebagai Kang Atun ini seorang yang kreatif. Dia duduk di kursi, di sebelahnya duduk Salfrida.

Istri Kartahadimadja sebelumnya Pruistin Atmadjasaputra atau biasa dipanggil Tines, meninggal di Bonn, Jerman, 10 April 1990. Kedua wanita yang mendampingi hidupnya itu berstatus diplomat. Sejak 1974, Kartahadimadja mengikuti Tines yang bertugas berpindah-pindah dari Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn. Setelah Tines meninggal, dia pulang ke Indonesia.

Kartahadimadja lalu menceritakan keterlibatannya dalam penulisan biografi Soeharto berjudul Ucapan, Pikiran, dan Tindakan Saya. "Ceritanya cukup panjang," ujar Kartahadimadja.

Pada 1982, ketika tinggal di Jenewa, Kartahadimadja ditelepon kepala Mass Media Sekretariat Negara di Jakarta Gufran Dwipayana, biasa dipanggil Pak Dipo. Dia mengajak Kartahadimadja untuk menulis biografi Soeharto.

Kartahadimadja mula-mula menolak, sebagai orang Jawa Barat merasa tak menguasai budaya Jawa, daerah asal Soeharto. Ia menilai masih banyak penulis asal Jawa yang mampu menulis biografi Soeharto, seperti Umar Kayam atau Arifin C. Noor. Namun Soeharto sudah menjatuhkan pilihan pada Kartahadimadja. Akhirnya Kartahadimadja bertemu Soeharto di Jalan Cendana Jakarta dan di peternakan Tapos, Jawa Barat.

Nama Ramadhan dipilih lantaran bukunya Kuantar ke Gerbang, biografi kisah cinta Inggit Garnasih dengan Presiden Soekarno. Buku itu sangat berkesan bagi orang dekat Soeharto yang punya otoritas menentukan calon penulis biografi Soeharto. Soeharto sendiri, dalam pengakuannya hanya sempat membaca buku Kuantar ke Gerbang hanya sekitar dua halaman.

Selama penulisan biografi Soeharto hanya dua kali Kartahadimadja bertemu dengan orang terkuat di masa Orde Baru. Pertanyaan di luar pertemuan itu diajukan Kartahadimadja dengan cara merekamnya. Lalu rekaman itu dia titipkan lewat Pak Dipo, yang setiap Jumat bertemu Soeharto. Berdasarkan rekaman jawaban itulah Kartahadimadja lebih banyak bekerja.

Jadi buku itu bersifat seperti apa yang dipaparkan kepada saya atau sebagai as told to. Isinya seluruhnya tanggung jawab Soeharto. "Saya hanya menuliskannya dengan gaya yang saya kuasai dan saya inginkan. Kalau ada orang melemparkan buku itu karena tak enak dibaca, itu baru tanggung jawab saya," kata Kartahadimadja.

Waktu mewawancarai Soeharto, Kartahadimadja menempatkan diri sebagai wartawan, ada pertanyaan-pertanyaannya yang amat kritis. Ia sempat dihardik Pak Dipo ketika mengajukan pertanyaan bagaimana kalau Pak Harto meninggal. Menurut Pak Dipo pertanyaan itu dipandang dari sudut budaya Jawa tak patut.

Penulisan biografi Soeharto membuat Ramadhan merasa tertekan, tak sama dengan ketika dia menulis buku biografi tokoh lain. Dia merasa berat melakukannya. Usai membaca naskah dia istirahat, ada perasaan risau, takut salah tulis. "Bisa-bisa saya ditangkap," tutur Kartahadimadja.

Uniknya ketika Kartahadimadja mempersiapkan biografi Soeharto, dia juga sedang menulis dua buah biografi lain, yaitu biografi Alex Kawilarang, bekas atasan Soeharto, ketika bertugas di Sulawesi dan buku biografi dokter Soeharto, mantan dokter Istana Negara pada masa pemerintahan Soekarno.

"Saya pernah mendengar dari orang, kebenarannya tak dapat dibuktikan, apalagi ditanyakan pada Pak Harto, yaitu bahwa Pak Harto ketika bertugas di Sulawesi pernah ditampar Alex Kawilarang sebagai atasannya," ucap Kartahadimadja.

Kartahadimadja biasanya mengajak seorang atau lebih penulis lain untuk menulis biografi. Selain meringankan tugas, sekiranya dia berhalangan, sakit, atau meninggal dunia, penulisan buku itu tidak terhenti.

Abrar Yusra, novelis yang juga penulis beberapa buku biografi kerap diajak Kartahadimadja. "Pak Ramadhan itu cerdas dan dia sangat pintar. Untuk menghindar dari sangkaan keberpihakan dia akan menulis seperti apa yang dikatakan kepada dia," kata Abrar kepada saya.

Tidak selamanya perjalanan Kartahadimadja dalam menulis berjalan mulus. Rencana menulis biografi Ibnu Soetowo, mantan direktur utama Pertamina, dan Wiwieko, tokoh penerbangan nasional, gagal lantaran perselisihan antara narasumber dengan rekan Kartahadimadja yang membantunya menulis. Penulisan biografi Yulia Sukamdani juga batal karena permintaan suaminya.

"Sekarang saya sedang berencana menulis beberapa buku, di antaranya tentang diplomat wanita," ujar Kartahadimadja.

Di Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Yassin, daftar kisah penulisan Ramadhan cukup panjang. Dari tangan Kartahadimadja sudah lahir kumpulan sajak Priangan si Jelita (1957), novel Royan Revolusi (1970), Kemelut Hidup (1976), Keluarga Permana (1978), dan Ladang Perminus (1990). Berbagai perhargaan dia raih, termasuk dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (Unesco). Dari tangannya keluar karya terjemahan berjudul Yerma (1956), Rumah Bernarda Alba (1957). Bakat menulis Kartahadimadja banyak dipengaruhi kakaknya, sastrawan Aoh Kartahadimadja.

Di kediamannya di Bintaro, Jakarta Selatan, Kartahadimadja setiap pagi membiasakan diri menulis selama dua jam, dia berkarya dengan rileks, tak perlu waktu khusus, jika ada tamu dia akan menerima dengan ramah.*

kembali keatas

by:Sjamsoeir Arfie