Fitri Wahyuningsih, Bontang

Nyaris dua dekade umat Buddha Bontang mendirikan vihara. Namun setiap upaya tersebut berakhir buntu.

PENDETA Tepanus Igau mengingat betul kejadian 2018 lalu. Pembangunan gereja Bethel Indonesia (GBI) Kelir di Kelurahan Api-Api, Bontang Utara sempat disoal warga. Tiba-tiba saja menolak gereja dibangun. Padahal sebelumnya mereka tak keberatan. 

Pihak gereja melakukan negosiasi ulang. Kembali meyakinkan warga. Walau sempat terjadi tarik ulur, pelan-pelan sikap warga melunak. Proses pembangunan gereja kemudian dapat dilanjutkan. 

Hal serupa juga pernah terjadi pada gereja GPPS Kelurahan Loktuan. Mulanya, proses peribadatan dilakukan di bangunan biasa, serupa rumah. Namun di depannya papan nama gereja sudah berdiri. 

Pengurus lantas berencana mendirikan bangunan gereja yang lebih representatif. Tapi rencana ini ditentang warga. Alasannya klasik. Tak terima gereja dibangun di permukiman mayoritas. Yang jadi soal, proses peribadatan sudah berlangsung jauh sebelum warga memadati lokasi tersebut. 

“Masyarakat datang belakangan sebelum berdirinya gereja. Namun jumlah masyarakat lebih banyak, mengusik yang lebih dulu ada,” ungkapnya. 

Kendati tak sepenuhnya sama, kedua cerita di atas serupa yang dialami umat Buddha. Hanya bedanya, baik GBI Kelir dan GPPS Loktuan akhirnya dapat berdiri. Sementara vihara, sudah diperjuangkan nyaris dua dekade ini, namun tak kunjung menuai hasil. 

Menanggapi itu, Pendeta Tepanus bilang, ia cukup menyangkan ketika Pemkot Bontang tak memfasilitasi warganya yang ingin beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Tentu dalam hal ini kebutuhan menjalankan ritual kegamaan di rumah ibadah. Yang mestinya dilakukan pemkot, sebutnya, bertanggung jawab mengakomodasi setiap kerinduan dan kebutuhan tersebut. Karena ini menyangkut kebutuhan medasar setiap individu yang mengakui keesaan Tuhan. 

Selama lebih 9 tahun bermukim di Bontang, Pendeta Tepanus mengaku tak pernah mengalami atau melihat diskriminasi berbasis agama langsung. Semisal ucapan menghina dan merendahkan. Yang kerap terjadi, SKB dua menteri justru dijadihkan dalih guna menghambat atau mempersulit upaya kelompok minoritas mendirikan rumah ibadah. 

“SKB  2 menteri memang sering jadi penghambat dan alasan bagi kaum kecil (minoritas) membangun rumah Ibadah. Tetapi sesunguhnya peran pemerintah daerah dan masyarakat setempatlah yang menentukan boleh atau tidaknya mendirikan rumah ibadah. Karena UUD 1945, sebagai hukum tertinggi sudah menaungi dan mengamanatkan hal itu,” urainya. 

Sebenarnya, Pendeta Tepanus masih berkeyakinan aturan itu diterbitkan pemerintah guna menjaga keharmonisan antarumat beragama. Pemerintah bertujuan baik. Namun realitasnya di masyarakat tak demikian. Bahkan kerap jauh api dari panggang. SKB itu tak ubahnya alat legitimasi kelompok mayoritas mengontrol kelompok minoritas. Kelompok yang seharusnya mereka ayomi, alih-alih dikontrol.

“Di situ menjadi keliru. Sehingga SKB 2 Menteri itu perlu di pertimbangkan kembali. Agar pemerintah bisa mengambil kebijakan langsung, bagi masyarakat yang membutuhkan,” harapnya.

I Kentut Wirta, wakil hindu di FKUB mengungkapkan hal serupa. Bahwa sesuai amanat UUD 1945 Pasal 29 Ayat 2, negara menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya tersebut. 

“Bila mengacu konstitusi, sudah selaiknya pemerintah menjaga dan menjamin kebebasan, serta menyediakan fasilitas atau tempat yang layak bagi warganya untuk beribadah,” katanya. 

Namun untuk izin pendirian rumah ibadah di Bontang, kata Ketut, FKUB berpegangan pada SKB 2 Menteri. Apabila ada permintaan diajukan, dan seluruh persyaratan terpenuhi,  pemerintah pemkot mestinya tak  mempersulit. 

Tapi akibat penerapan aturan ini, umat Buddha Bontang kesulitan mendirikan vihara. Izinnya tak kunjung terbitnya. Pasalnya, sejumlah persyaratan di SKB tak terpenuhi. Seingat Ketut, umat Buddha tak memenuhi syarat minimal jumlah penganut.

Walhasil, ketika mau ibadah, umat Buddha Bontang mesti melakukan perjalanan hingga 3 jam ke Samarinda, atau 1,5 jam ke Sangatta, Kutai Timur. Perlu dicatat bahwa  jalan trans Kalimantan Timur konsisinya memprihatinkan. Banyak kerusakan. Bahkan beberapa ruas malah jadi jalur hauling perusahaan tambang batu bara ilegal.

“Izinnya belum terealisasi  karena salah satu persyaratan yang belum bisa dipenuhi. Semoga kedepannya bisa terlaksana,” kata pria yang sejak 2017 tergabung dalam FKUB ini. 

Secara terbuka Ketut mengakui, SKB 2 Mentri sebetulnya kontradiktif dengan semangat konstitusi. Tapi menurutnya, semua ini dilakukan demi menjaga kerukunan dan keamanan bersama. Terlebih selama ini, banyak penyalahgunaan rumah ibadah. Misalnya pengajuan dana hibah ke pemerintah. 

“Kalau sekarang jarak masih bisa ditempuh. Tapi keamanan dan kerukunan itu yang mahal,” kata Ketut.

Sementara Ketua MUI Bontang, Imam Hambali tegas mengatakan, izin boleh diterbitkan selama umatnya ada. Juga tidak ada penolakan oleh warga setempat. Ini dilakukan agar tak terjadi gesekan antarwarga. Sebab ia menilai, isu soal agama dan keyakinan masih dianggap sensitif di Bontang, bahkan Indonesia secara umum.

“Bisa saja dikasih izin kalau umatnya ada. Ini bentuk toleransi kepada mereka,” tegasnya.

Semua ini dengan asumsi pemerintah sudah menerbitkan izin. Dan menurut Imam, pemerintah tidak mungkin tak memberikan. Karena tak ada alasan juga buat menolak. Kecuali ada penolakan warga itu. Sebabnya penekanan dia ada di warga. Meminta pendapat warga dan sosialisasi sebelum rumah ibadah didirikan adalah mutlak adanya. Ini untuk mengetahui sejauh mana pendapat mereka terkait rencana ini. Menolak atau tidak. Dan kalaupun diterima, apakah ada catatan tertentu diajukan.

“Supaya menghindari hal-hal yang tidak diinginginkan. Artinya kan, izin dari pemerintah ada, dari masyarakat juga. Makanya harus sosialisasi dulu,” ungkapnya. 

Austin Kovida Kuncoro (15) saat berada di cetiya yang terletak di lantai dua
kediamannya, Jalan Kapten Pierre Tandean.
(Fitri Wahyuningsih/bontangpost.id)

Ketua FKUB Bontang Umar menjelaskan, pihaknya tak bisa menerbitkan rekomendasi bila aturan dalam SKB 2 menteri tidak terpenuhi. Namun begitu, pihaknya mengaku tidak pernah mempersulit. Selama syarat terpenuhi, rekomendasi FKUB pasti terbit. 

Sebenarnya ini bukan satu-satunya jalan. Masih ada jalan lain. Yakni melalui hak prerogatif pemerintah setempat. Bila pemda berkeinginan menerbitkan rekomendasi, proses perizinan rumah ibadah bisa dilanjutkan. Sebabnya, umat bersangkutan harus mengajukan permohonan dulu. Dipertimbangkan pemda setempat. Bisa beri izin, atau tidak. 

“Kalau FKUB harus sesuai dengan SKB 2 menteri. Kalau umatnya tidak memenuhi, kami tidak bisa berikan rekomendasi. Tapi bukan berarti tidak bisa sama sekali. Bisa minta ke pemda untuk dibijaki,” urainya.

Adapun upaya meminta izin mendirikan rumah ibadah bisa ditembuh 3 cara. Yakni mengajukan permohonan ke FKUB atau Kemenag setempat. Rekomendasi bisa diterbitkan bila syarat dalam SKB terpenuhi. Sementara melalui jalur hak prerogatif kepala daerah, dibutuhkan negosiasi langsung. 

Umar bilang, akhir masa kepemimpinan Adi Darma, FKUB sempat memberikan rekomendasi ke pemerintah agar umat Buddha diberi izin mendirikan vihara. Tapi lahan yang diajukan, di Bukit Kusnodo, rupanya bermasalah. Umar tak ingat persis persoalannya. Namun terkait status hukum lahan. Sebab posisinya memang berada di perbatasan Bontang-Kutim. 

Lokasi pembangunan lantas dialihkan ke lokasi lain, Jalan Pattimura. Berhubung warga setempat menolak rencana pembangunan itu, maka upaya umat Buddha kembali gagal. FKUB tak bisa memaksakan lagi bila kondisinya sudah seperti itu. 

“Kami bisa menjembatani mediasi dengan warga, tentu dibantu pemerintah. Tapi kalau warga masih tidak mau, kami tidak bisa memaksa,” sebutnya. 

PENDAPAT WARGA

Muhammad Arif (27), seorang fotografer, mengatakan, dirinya tak pernah menyoal bila ada rumah ibadah kelompok agama minoritas didirikan dekat permukimannya. Terlebih ini agama Buddha. Yang sejak dulu sudah diakui oleh negara. Ia yakin, ketika sudah ada pengakuan dari negara, mestinya tidak perlu ada ketakuan berlebih dari warga ketika ada rumah ibadah mau didirikan. 

“Saya tidak punya alasan buat melarang mereka dirikan rumah ibadah. Itu sudah hak mereka,” kata Arif, ketika berbincang dengan bontangpost.id.

Pria yang bermukim di Kelurahan Gunung Telihan ini menegaskan, pernyataannya itu bersandar pada konstitusi. Karena dijamin oleh undang-undang, negara mestinya mendukung, dengan cara memberikan izin. 

Pemberian izin pendirian rumah ibadah juga membuat kelompok minoritas seperti Buddha justru bisa tersentralisasi kegiatan keagamaannya. Tidak terpecah di kediaman satu dua umat bersangkutan. Justru Arif khawatir, bila ritus keagamaan dilakukan di rumah malah hadir kecurigaan warga. Seperti disangka aliran sesat. 

Lebih jauh ia mengatakan, yang menjadi sorotan sebenarnya bukan soal ini rumah ibadah kelompok minoritas atau mayoritas. Tapi, sejauh mana pengurus rumah ibadah melakukan pendekatan bersama warga setempat. Menakar apa saja yang berpotensi jadi polemik ketika rumah ibadah sudah berdiri. Agar kelak ketika peribadatan digelar, semua saling nyaman. Tidak saling menggangu. 

Misalnya, Arif mencontohkan, dalam Islam, masjid butuh pengeras suara buat mendengungkan azan. Maka, pengurus masjid mesti memastikan apakah warga setempat tidak keberatan bila di waktu-waktu tertentu azan dikumandangkan. 

“Apakah dalam ritual kegamaan Buddha ada juga hal seperti itu. Makanya perlu dikomunikasikan,” ucap pria kelahiran Bontang ini. 

Ayah satu anak ini memberikan contoh lain, misalnya lapangan parkir. Ketika vihara dibangun dekat permukiman warga, pastikan rumah ibadah punya lapangan parkir yang representatif buat umat bersangkutan. Supaya tak timbul kejengkelan warga lantaran jalan mereka diambil buat parkir. Nah, potensi gesekan seperti inilah yang harus benar-benar ditimbang pengurus vihara atau rumah ibadah. “Biar semua bisa saling nyaman,” ungkapnya. 

Warga Bontang lain, Ariston Rajab (38) mengatakan, pendirian vihara atau rumah ibadah lain mestinya difasilitasi dengan baik oleh pemkot. Dengan catatan, pemerintah harus melihat proporsi kebutuhannya di tengah masyarakat. Perhitungannya sederhananya, kata Aris, dengan melihat jumlah penganut, dan sebarannya di Bontang. Misal dalam kasus ini umat Buddha. Dengan penganut sekitar 130-an orang, berapa vihara yang dibutuhkan

“Mestinya difasilitasi tapi pemerintah juga mesti melihat, seberapa jauh kebutuhannya,” sebut pria yang bermukim di Kelurahan Loktuan ini. 

Secara pribadi ia tak menolak pendirian vihara atau rumah ibadah kelompok minoritas lainnya. Dia mengaku tak mau terlalu ambil pusing soal agama atau hal-hal yang melingkupinya. Menurutnya itu adalah ranah personal, dan ia tak mau mencampuri. Namun bila berkaca pada sejumlah kasus di Indonesia, di mana kelompok minoritas kerap sukar mendapat 

Bila ada kelompok masyarakat yang menolak pendirian rumah ibadah minoritas di Bontang, menurutnya orang-orang tersebut menciderai identitas kota ini. Yang selama ini dicitrakan sebagai kota yang berwarna, karena disusun oleh para perantau dengan berbagai latar belakang. Termasuk perbedaan keyakinan. Menurutnya, perbedaan itu justru membuat Bontang makin semarak. Dan perbedaan, sebutnya, harusnya dirayakan.

“Saya tidak ada masalah kalau memang mau didirikan. Mau dekat rumah saya atau lokasi lain di kota ini,” sebutnya. 

Pria yang berprofesi sebagai pekerja swasta ini menegaskan, pemerintah mestinya memberikan jalan bagi umat Buddha untuk mendirikan vihara. Bukannya membiarkan mereka seperti anak ayam yang kehilangan induk, alias dibiarkan jalan sendiri tanpa bantuan. “Posisi pemerintah mestinya jelas. Ada buat kelompok minoritas,” tegasnya. 

Sementara, Koordinator Gusdurian Samarinda Muhammad Salim menjelaskan, dia bersama kawan-kawannya dalam Jaringan Gusdurian cukup klir dalam melihat persoalan agama. Agama itu beragam, dan keberagaman itu laik dihargai. Bila perlu dirayakan. Sehingga, agama apapun di Indonesia, mestinya diakui, penganutnya dibiarkan menjalankan ritual kegamaan sesuai keyakinan dianut. Jangan sampai dihalang-halangi. 

Terkait SKB 2 Menteri yang sering jadi batu sandungan bagi kelompok minoritas buat mendirikan rumah ibadah, kata Salim, ini sudah sering mendapat kritikan dari Jaringan Gusdurian. Bahwa pada praktiknya, aturan ini amat kontraproduktif dengan amanah konstitusi. Ia kerap dijadikan senjata oleh kelompok-kelompok tertentu buat melihat Indonesia dalam perspektif mayor dan minor. 

“Apalagi di Indonesia, umat Buddha kan dimasukkan dalam kelompok minoritas,” sebutnya. 

Kendati pemerintah daerah punya semacam hak prerogatif buat menerbitkan  rekomendasi, namun praktiknya mereka kerap enggan memberikan. Ini terjadi juga di Bontang. Padahal ini soal keberpihakan saja. Namun semua jadi problematis dalam persoalan karena semua ditimbang berdasarkan kalkulasi politik. 

Ketika penguasa daerah menempatkan keberpihakannya pada kelompok minoritas,  keuntungan politis apa yang bisa mereka terima. Bila melihat dalam jumlah, akumulasi suara dari kelompok minoritas Buddha di Bontang sangat kurang. Boleh jadi ini jadi kekhawatiran penguasa. Akumulasi suara buat menjaga posisi tak bertambah signigikan. Namun ini berpotensi dijadikan senjata oleh lawan politik.

“Mungkin ini jadi kekhawatiran wali kota mau ambil keberpihakan bagi minoritas. Ini soal hitung-hitungan politik 5 tahunan,” ia berspekulasi. 

Sebabnya dia bilang, cukup menarik melihat komposisi kelompok dan partai pendukung penguasa di Bontang. Apakah ada yang berpihak pada kelompok minoritas. Atau sebaiknya, ada yang membawa semangat primordialisme agama, yang memang tak mau melihat Bontang lebih berwarna. 

Bila memang ada kelompok seperti ini, tentu membuat upaya umat Buddha atau kelompok minoritas lain mendirikan rumah ibadah makin sukar. Walau pada praktiknya, persoalan agama di Kaltim cukup klir. Artinya masyarakat  jarang ribut-ribut soal agama. Potensi konflik di Kaltim lebih pada etnis alih-alih agama. 

“Makanya penting melihat siapa saja kelompok dan partai pendukung Basri Rase (wali kota Bontang). Karena ini akan bermuara pada kebijakan politik wali kota. Termasuk pada minoritas,” kata pria yang tergabung dalam Jaringan Gusdurian sejak 2015 ini.

Terkait pernyataan Basri dalam Perayaan Hari Raya Tri Suci Waisak 2565 BE yang memberikan lampu hijau pendirian vihara, Salim cukup mengapresiasi itu. Namun, yang dibutuhkan umat Buddha di Bontang saat ini bukan pernyataan meneduhkan hati di media. Tapi komitmen konkret pemerintah setempat, dengan menerbitkan rekomendasi. 

“Pernyataan memang bisa direkam, atau dipublikasikan ke media. Tapi kalau tidak ada rekomendasi tertulis, agak repot juga,” tegasnya.

Artikel ini pertama kali tayang di koran Kaltim Post pada 12 September 2021. Yayasan Pantau melakukan re-publikasi tulisan para peserta fellowship kursus Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama yang diselenggarakan dengan dukungan Kedutaan Jerman. Ilustrasi: Ivana Kurniawati.

by:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *