Sembari kedua tangan saling menggenggam dalam sikap doa, Deni Tumangger merunduk. Keningnya bersandar di kepalan tangan, terdiam lama, mendalami bait-bait liturgi yang dituturkan sintua di hadapannya. Kemudian digapainya buku pujian, atau “buku ende”, membuka lembaran ke sekian, lalu serentak dengan jemaat lainnya menyanyikan lirik, tentang kasih setia kepada Tuhan.

…Mpak ko kubreken mo tendingku idingo sini pido-Mi (jiwaku kini kuserahkan, kupersembahkan padaMu diriku),” ucapnya, merapal satu halaman dalam kitab kecil yang berisi lagu-lagu pujian berbahasa Batak Pakpak itu.

Mereka lalu menutup, “Dak ku lupaken mo diringku mengeradum ngkelleng ate Mu (diriku tiada kuandalkan, hanya kasihMu kuagungkan).”

Hingga jam empat sore, puluhan jemaat yang merupakan buruh di kebun sawit, masih khusyuk di deretan bangku gereja yang beralas tanah, berdinding terpal rombeng, yang berdiri di tengah-tengah kebun sawit di Kabupaten Aceh Singkil, Aceh. Sudah enam tahun terakhir mereka bertahan di gereja yang secara fisik tak memadai ini sejak gereja tembok beton mereka diruntuhkan para penentangnya. Puing-puing betonnya masih ada di dekat situ.

Meski keadaan fisik pas-pasan, semangat ibadah tetap tinggi. Seluruhnya, tua-muda larut dalam doa.

Mengenakan jas dan stola berkelir biru, Sintua Tarulitua Manik naik ke mimbar. Ia lalu menukas ayat-ayat dalam Pasal 1 Kitab 2 Samuel. Kisahnya tentang Raja Daud yang berduka dan meneguhkan janji dengan sang sahabat, Yonatan, yang saat itu baru saja gugur di medan perang. Jemaat menyimak cerita itu, sebagian masih menunduk dengan mata terpejam.

Prosesi ibadah minggu yang berlangsung di Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) di Sanggaberu baru saja usai. Jemaat bangkit satu per satu dan meninggalkan gereja. Deni ikut bangun, lalu menyapa pimpinan jemaat, Sintua Labas Sumardin Pohan yang tengah duduk rehat sambil melipat toga dan stola yang dikenakan tadi. Ia lalu mohon pamit dari gereja.

“Sudah enam tahun seperti ini,” kata Labas sambil memandang kondisi bangunan gerejanya yang tak punya dinding, masih ditopang kayu, dan beralaskan tanah.

GKPPD Sanggaberu terletak di Dusun III Desa Sanggaberu Silulusan, Kecamatan Gunung Meriah. Rimo, ibu kota kecamatan ini, terbilang sebagai pusat keramaian dan perdagangan paling hidup di kawasan Aceh Singkil. Orang-orang sering menyebut kawasan ini nyaris seperti ibu kota kabupaten itu sendiri.

Sanggaberu berjarak sembilan kilometer dari arah timur kota Rimo, lalu mengarah ke timur sejauh sembilan kilometer. Jelang kawasan Sanggaberu, sejauh mata memandang, terhampar puluhan hektar lahan sawit PT Socfindo yang tengah memasuki masa peremajaan. Rumah-rumah penduduk tegak di sela-sela perkebunan.

Desa Sanggaberu dikelilingi oleh lahan perusahaan Socfindo. Hampir seluruh penduduknya, baik muslim maupun pemeluk Kristen bekerja sebagai buruh sawit. Hanya beberapa yang mencari peruntungan dengan membuat batu bata dan lainnya. Tak banyak pilihan mata pencaharian di sini.

Kondisi ekonomi Sanggaberu seakan bisa mewakili gambaran Singkil secara keseluruhan. Pada 2015, pemerintah menetapkan kabupaten ini sebagai satu-satunya daerah tertinggal di Aceh. Wilayahnya disebut kurang berkembang ketimbang daerah lain. Penyebabnya bisa karena timpangnya pendapatan, sumber daya maupun sarana dan prasarana yang minim.

Hingga 2016, Singkil masih menempati posisi tertinggi dalam data sebaran perkebunan. Kawasan ini masuk peringkat empat dari 15 kabupaten/kota di Aceh, dengan area perkebunan besar mencapai 45 ribu hektare yang didominasi perusahaan sawit. Sementara perkebunan yang dikelola rakyat luasnya mencapai 38,5 ribu hektare.

Terhitung, 36 persen lebih kawasan Singkil sudah dijadikan perkebunan sawit. Namun luasan itu ternyata bertolak belakang dengan taraf ekonomi masyarakat setempat. Akhir 2020 lalu, kabupaten ini didera kemiskinan yang parah. Aceh Singkil menempati posisi termiskin di Provinsi Aceh, dengan angka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 20,7 persen meski Aceh Singkil sudah menjadi kabupaten otonom sejak 22 tahun silam. Jarak antara Singkil ke ibu kota provinsi, Banda Aceh, sekitar 14 jam dengan mobil, atau 700 km. Kota agak besar lainnya, Tapanuli Tengah, di provinsi tetangga Sumatera Utara, berjarak 200 km atau 4 jam berkendara.

Konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan kerap terjadi. Perkebunan sawit menggerus potensi alam di sekitarnya, termasuk merusak rawa gambut-aset ekologi penting di kawasan tapal batas Aceh tersebut-sehingga berakibat banjir. Di Desa Sanggaberu sendiri, tak ada lagi warga memiliki tanah. Mereka semua sudah jadi buruh sawit.

Di bentang alam itu, GKPPD Sanggaberu berdiri. Dari tepi jalan desa, letak gereja ini menjurus ke dalam sekitar 50 meter, tak jauh dari puing-puing dinding beton gereja yang dirobohkan enam tahun silam. Ini menyibak potret lain di Aceh Singkil. Selain masyarakat secara umum hidup dalam himpitan ekonomi, namun khusus warga penganut agama Kristen, juga dibekap masalah kebebasan beribadah.

Labas berujar, jemaat gereja urun dana semampunya untuk membeli kayu, papan, dan kain terpal. Mereka mendirikan tenda darurat dengan meminjam-pakai lahan warga. Pada akhirnya, sambung Labas, warga Kristen di Sanggaberu tak bisa terus menerus dirundung sedih. Gereja harus berdiri, dalam bentuk apapun selama itu bisa digunakan untuk proses ibadah dan kegiatan keagamaan sehari-hari.

Ia diam sejenak, lalu tersenyum kecil. Sadar, bangunan gereja ini memang dalam kondisi darurat, hanya pondok berlantai tanah. Seluruhnya berbahan kayu, bubungnya terpal. Tiang-tiang kayu menopang sisi tengah dan tepi bangunan. Di atasnya, beberapa helai terpal mulai rombeng, terkelupas dan lapuk dihantam angin.

Para jemaat kerap kali bertanya, bilamana mereka menempati tempat yang lebih layak untuk beribadah. Namun Labas tidak bisa menjawab pasti. Ia hanya meminta mereka tetap bersabar. Jawaban tak langsung datang darinya, “tapi tergantung sikap pemerintah,” singkat dia.

Gereja Terpal
Sudah enam tahun jemaat GKPPD Sanggaberu beribadah secara darurat di pondok berlantai tanah, beratap terpal, dan tanpa dinding di tengah kebun sawit. (Project M/Oviyandi Emnur)

Labas saksi tegaknya tenda darurat ini. Bangunan ini satu dari sejumlah gereja terdampak pembongkaran, pasca kasus pembakaran Gereja Huria Kristen Indonesia (HKI) di Suka Makmur yang berlanjut kerusuhan, 13 Oktober 2015.

Kala itu, 500-an orang mengatasnamakan Gerakan Pemuda Peduli Islam Aceh Singkil melancarkan aksi protes terhadap gereja-gereja tak berizin di Singkil. Aksi ini lanjutan dari demo sebelumnya yang digelar pada 6 Oktober. Mereka mendesak pemerintah “menertibkan” bangunan-bangunan tempat ibadah tersebut.

Dari titik kumpul di Lipat Kajang, massa bergerak menuju Tugu Simpang Kanan. Di sana mereka disambut penjagaan aparat. Tak lama kemudian, mereka bertolak ke Gereja HKI di Suka Makmur. Suasana berubah jadi amarah, massa tiba-tiba menyulut api, lalu membakar gereja. Puluhan aparat yang telah berjaga di sana tak mampu membendung aksi tersebut.

Dari Suka Makmur, massa kemudian bergerak ke desa lain, Dangguran, masih di Kecamatan Simpang Kanan. Di sanalah terjadi bentrokan dengan barikade warga yang sedari tadi mengawal gereja, melukai beberapa termasuk aparat keamanan. Satu orang dari massa penyerang, Samsul, 21, bahkan tewas ditembak, diduga oleh senapan berburu. Belakangan pengadilan memvonis Hotma Uli Natanael Tumangger enam tahun penjara karena menembak satu massa penyerang. Aktivis HAM di Aceh Singkil memprotes vonis, karena menurut mereka proses pengadilan tidak menghadirkan bukti bahwa Hotma menembak Samsul.

Peristiwa ini menyebar dengan cepat di tengah masyarakat Aceh Singkil. Suasana jadi mencekam, ribuan warga Kristen memilih mengungsi. Mereka menyebar ke Manduamas, Tapanuli Tengah, dan kawasan Pakpak Bharat di Sumatera Utara. Mereka khawatir bakal ada bentrokan susulan. Polisi mengerahkan pasukan untuk menjaga tapal batas Singkil – Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sejak itu, pasar-pasar mulai sepi, warga Kristen dan Islam sempat didera rasa saling curiga dan mulai membatasi interaksi mereka.

“Sempat tidak berani saling berjumpa, waktu itu. Padahal sebelum kejadian ya biasa-biasa saja,” ujar Sagala, salah seorang warga di Sanggaberu.

Pemberitaan di media massa pun mulai ramai menyita perhatian publik. Pemerintah Singkil menyebut peristiwa itu buntut dari protes sekelompok masyarakat atas pendirian sejumlah gereja yang dianggap menyalahi aturan. Pihaknya merujuk ikrar kerukunan yang ditandatangani oleh perwakilan umat Kristen dan umat Islam, disaksikan Pemerintah Aceh Selatan -yang kala itu masih menaungi daerah Singkil sebelum dimekarkan menjadi kabupaten sendiri, dan Tapanuli Tengah pada tanggal 13 Oktober 1979 di Lipat Kajang.

Dengan dalih ketertiban dan keamanan antara kedua belah pihak, pendirian atau rehab gereja tidak boleh dilakukan sebelum diizinkan Pemerintah Aceh Selatan. Perjanjian itu juga melarang pemuka agama berkunjung dan memberikan kuliah, pembaptisan atau sakramen kepada umatnya di wilayah Kecamatan Simpang Kanan.

Sementara pada 11 Oktober 2001, saat Singkil telah otonom sebagai kabupaten, bupati pertama, Makmur Syahputra Bancin berdialog dengan perwakilan umat Kristen. Keduanya kembali menyepakati sejumlah poin perjanjian. Umat Kristen hanya boleh membangun satu gereja, yakni GKPPD Kuta Kerangan yang telah memiliki izin dari pemerintah berukuran 12 x 24 meter dan tidak bertingkat, serta empat undung-undung -sebutan untuk rumah doa yang ukurannya lebih kecil dari bangunan standar gereja, yang terletak di Desa Keras, Napagaluh, Suka Makmur, dan Lae Gecih. Mereka juga tidak diperbolehkan melakukan kegiatan keagamaan di rumah-rumah penduduk.

Di tahun-tahun setelahnya, pembatasan gereja di Singkil kerap terjadi. Beberapa kali tindakan perusakan dan penutupan gereja mencuat. Sementara, bertambahnya populasi masyarakat Kristen Pakpak di Singkil membuat keberadaan tempat ibadah mutlak dibutuhkan. Sensus tahun 2020 memaparkan jumlah penganut Kristen di Singkil mencapai 15.118 orang atau 12 persen dari total penduduk, terdiri dari penganut Protestan 13.963 orang dan Katolik 1.155 orang. Adapun jumlah jemaat GKPPD seluruh Singkil yang mencapai 6.478 jiwa, membuat kesepakatan 2001 jadi kian tidak relevan.

Namun pemerintah bergeming sejak lama. Tahun 2001, pemerintah menetapkan bahwa 17 gereja yang tersebar di seluruh Singkil harus ditutup, termasuk di Sanggaberu. Jemaat tak punya pilihan. Sejak puluhan tahun terakhir, panitia pembangunan gereja di Singkil telah berupaya mengurus izin mendirikan gereja sesuai aturan. Tapi realitanya, izin itu sulit didapatkan. Pada 2003, jemaat Sanggaberu memutuskan untuk membuka kembali gereja, namun pada 2004 sekelompok orang tak dikenal membakar gereja pukul satu malam. Beruntung tindakan itu cepat diketahui jemaat sekitar. Api berhasil dipadamkan.

Hingga kekerasan memuncak di tahun 2015, warga Kristen di Sanggaberu masih tetap menjalankan ibadah di gereja tersebut. Sepekan setelah peristiwa pembakaran, pemerintah kembali menegaskan bakal membongkar gereja-gereja yang tak memiliki izin di Singkil. Mereka sempat meminta jemaat sendiri yang membongkar gereja tersebut.

“Namun itu tidak mungkin, tidak ada jemaat yang bersedia merobohkan tempat ibadah mereka sendiri,” ucap Katerina Boru Pasaribu, sintua perempuan di GKPPD Sanggaberu.

Warga setempat punya sejarah yang cukup panjang dengan gereja ini. Jauh di tahun 1953, sebanyak 15 kepala keluarga dari Desa Siatas, Simpang Kanan mulanya membuka pemukiman di Sanggaberu. Setiap minggunya, mereka masih beribadah di gereja yang saat itu masih terletak di Siatas. Tapi lambat laun, warga mulai kelelahan dengan jarak tempuh kedua desa yang cukup jauh.

Lalu muncul inisiatif membangun tempat ibadah di Sanggaberu. Warga berembuk, lalu mendirikan tempat ibadah seluas 6×8 meter. Bahannya kayu dan beratap rumbia, lantainya masih tanah. St Rasidin Manik lalu dipercayakan sebagai guru jemaat di gereja ini pada tahun 1959.

Dua dasawarsa kemudian, kerusuhan pecah di Singkil. Gereja Sanggaberu dibakar sekelompok massa. Warga Kristen terpaksa mengungsi ke Tapanuli Tengah selama enam bulan lamanya. Tahun 1980, gejolak mulai redam seiring proses dialog antara muslim dan kristiani di Singkil, dan warga pun berduyun-duyun kembali pulang ke Sanggaberu.

Selama dua tahun, mereka masih melangsungkan ibadah di rumah-rumah warga secara bergilir. Tahun 1982, jemaat memutuskan untuk mendirikan tempat ibadah sementara dengan kondisi seadanya: berbahan kayu, atapnya daun rumbia, dan masih tanpa dinding.

Bangunan itu bertahan cukup lama. Tahun 2001, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Singkil kembali meminta gereja ini ditutup. Warga Kristen di Sanggaberu tak bisa berbuat banyak, namun mereka harus tetap beribadah. Sejak itu mereka setiap pekan harus menempuh jarak 15 km, sebagian harus berjalan kaki, untuk mengikuti kebaktian di gereja kawasan Gunung Meriah. Setahun menjalaninya, mereka mulai tak sanggup.

“Jarak sejauh itu sangat tidak mungkin ditempuh, apalagi untuk anak-anak berjalan kaki,” urai Katerina.

Pada 2003, jemaat di Sanggaberu mulai bermusyawarah. Mereka sepakat membuka kembali gereja yang pernah disegel pemerintah itu, dan melangsungkan ibadah lagi. Namun bertubi-tubi hambatan datang. Berturut-turut pada 2004 dan 2007 gereja itu dibakar sekelompok orang tak dikenal.

Mei 2012, pemerintah juga memutuskan kembali menutup gereja tersebut, demikian pula 18 gereja lainnya. Penyegelan ini buntut demo yang dilancarkan oleh 600 orang yang diduga dipimpin organisasi masyarakat Front Pembela Islam di kantor bupati setempat, 30 April 2012. Ketua FPI Singkil, Hambali Sinaga menuntut pemerintah segera membongkar seluruh gereja di dalam batas waktu 3×24 jam. Apabila tidak dilakukan, maka anggota FPI akan bertindak sendiri. Bagi mereka, pendirian gereja harus merujuk perjanjian 1979 dan 2001, hanya boleh satu gereja dan empat undung-undung berdiri di Singkil.

Tapi umat Kristen di Sanggaberu tetap bertahan menggunakannya sebagai tempat beribadah mereka. Pasalnya, aktivitas di tempat ibadah tidak hanya berlangsung hari Minggu, namun juga ada kegiatan perkumpulan rutin di hari lain. Setiap Kamis, misalnya, akan ada kegiatan koor yang diikuti jemaat perempuan.

“Kami hanya ingin beribadah, anak-anak kami juga perlu ke gereja,” ujarnya memelas. Nyaris senada dengan yang pernah dikatakan sebelumnya oleh Sagala, warga setempat.

“Kami tak pernah minta uang pemerintah untuk membangunnya, kami kumpulkan dana dari hasil jerih payah sehari-hari, bangun tempat ibadah cuma untuk berdoa. Itu bukan perbuatan jahat. Kenapa dihambat?”

Bagi Katerina, menjadi sintua merupakan panggilan hati. Sebagai pembimbing jemaat di GKPPD Sanggaberu, ia mengakui perannya didera banyak tantangan.

Jauh sebelum ditasbihkan secara resmi sebagai pengurus gereja pada 2008 silam, Katerina sudah terlibat dalam aktivitas kekristenan selama delapan tahun. Perempuan satu anak ini dulunya penganut Katolik. Ia piatu sejak berusia sekolah dasar. Bersama ayahnya, Katerina hidup berpindah-pindah tempat di Medan, Sumatera Utara.

Usai menamatkan bangku sekolah menengah, Katerina sempat menjadi suster di sebuah biara. Proses yang cukup panjang, dari simpatisan gereja, hingga rasa semringah saat pertama kali mengenakan postulan. Dari waktu ke waktu, Katerina terus mendalami kehidupan membiara. Upaya menjembatani sisi manusiawi dan kerohanian dalam dirinya mulai dijajaki perlahan. Semakin lama, Katerina terus menggali diri lebih dalam, menyusuri kepastian akan jalan spiritualitas yang diyakininya.

Hingga mengikrarkan diri di kongregasi, Katerina menempuh semua proses itu dalam waktu empat tahun. Selain membantu pastor mengajar agama, suster juga turun melayani orang-orang dengan bermacam keterbatasan. Bersama rekan-rekannya, Katerina turun ke komunitas tunanetra, tunarungu, panti jompo hingga anak yatim-piatu. Namun itu tak lama. Lantaran kondisi orang tuanya yang sakit, ia memilih berhenti dan ingin fokus di rumah merawat sang ayah.

Tahun 2001, Katerina memeluk Protestan. Ia memutuskan untuk menikah dan menetap bersama dengan sang suami di Aceh Singkil. Pasangan ini diberkati di GKPPD Sanggaberu, 23 Oktober 2003.

Di tengah masyarakat Kristen di Desa Sanggaberu, Katerina menjadi calon sintua setelah memenuhi serangkaian syarat, meski itu tidak mudah. Satu dari lima calon mengundurkan diri karena tidak menyanggupi syarat itu.

“Salah satunya sanggup berperilaku tidak tercela selama menjadi sintua,” imbuhnya.

Ia juga menyadari konsekuensi. Butuh mental yang kuat untuk menjadi sintua dari gereja yang didera persoalan sejak lama. Bagi Katerina, kondisi itu justru menguatkan imannya.

12 Mei 2008, ia ditahbiskan sebagai sintua di GKPPD Sanggaberu bersama tiga rekannya. Sejak itu Katerina mulai membaktikan diri secara penuh di gereja. Namun tujuh tahun kemudian, ia kehilangan sang suami yang meninggal dunia karena sakit.

Katerina merasakan beban berat kala itu. Belum sempat memulihkan duka sepeninggal sang suami, gereja tempatnya bernaung juga didera masalah. Pemerintah meminta GKPPD Sanggaberu dibongkar karena termasuk dalam daftar tempat ibadah yang belum memiliki izin. Keputusan itu diambil beberapa hari usai peristiwa pembakaran GHKI Suka Makmur dan bentrokan di Dangguran.

Gereja Terpal
Sintua GKPPD Sanggaberu, Katerina Boru Pasaribu sedang bertugas pada prosesi ibadah Minggu. (Project M/Oviyandi Emnur)

Katerina tercenung sejenak, ingatannya kembali pada insiden pada 13 Oktober 2015 itu. Ia bangkit dari tempat duduk, mengambil buku catatan. Kronologi pembongkaran tempat ibadahnya ditulis dalam tiga halaman.

Senin malam, 12 Oktober 2015, Katerina melirik beranda telepon genggamnya, membaca terusan pesan singkat yang telah tersebar ke banyak orang, entah dari siapa. Isinya, warga muslim diimbau untuk berkumpul di Tugu Kajang, melancarkan aksi mendesak penutupan tempat ibadah ilegal di Singkil. Mereka bakal mengadakan konvoi. Saat Katerina membaca pesan itu, seketika air matanya tumpah.

Para sintua GKPPD Sanggaberu menyerukan jemaat untuk berkumpul ke gereja, melangsungkan ibadah singkat. Dari sore hingga malam, sesi jemaat terus berganti. Tua muda berdoa di gereja sambil menangis. Di luar tempat ibadah, sejumlah aparat dari satuan Brigade Mobil telah berjaga di lokasi. Mereka berpesan, jemaat sebaiknya tidak melakukan perlawanan.

“Saya sulit tidur malam itu, membayangkan yang bakal terjadi besoknya,” pungkas Katerina.

Di Rimo, Irman Tumangger sudah mendengar informasi yang berseliweran dari mulut ke mulut. Pemuda ini padahal belum lama pulang dari Sumatera Utara, menuntaskan kuliah teologi di sana. Ia mudik sembari menunggu masa wisuda. Namun keriuhan yang muncul sepekan terakhir mengusik pikirannya. Protes terhadap pendirian gereja di Singkil makin ramai.

Pagi itu, Irman melihat beberapa kendaraan roda empat melintas beriringan, mengangkut ratusan orang berseragam putih. Mereka menenteng senjata tajam, juga botol berisi minyak tanah yang disumpal dengan sumbu kompor. Masyarakat mulai panik melihat rombongan itu. Seorang teman memberitahunya, massa bakal menuju Suka Makmur. Irman makin penasaran, dicermatinya percakapan sekeliling sembari menunggu kabar selanjutnya lewat telepon genggam.

Pukul sembilan, Marius Tumangger tengah memantau situasi di sekitar Gereja HKI Suka Makmur, Gunung Meriah, enam kilometer dari utara Rimo. Informasi sampai di telinganya, massa yang berkumpul di Simpang Kanan mulanya hendak bergerak menuju kantor bupati. Namun di tengah jalan, koordinator aksi mengubah tujuan. Mereka pun berbelok ke Suka Makmur. Konon, seluruh warga Kristen di Singkil, kata Marius, memang sudah ketakutan dan waspada.

Pendeta HKI, Silitonga, lalu mengumumkan agar jemaat datang ke gereja, beribadah di dalam bangunan gedung itu terakhir kalinya. Mereka pun berbondong-bondong datang. Jumlahnya puluhan, lebih ramai dari sebelumnya, dan tetap didominasi kaum ibu. Ibadah berlangsung singkat, namun dalam kondisi tak biasa.

“Semua jemaat menangis dalam ibadah itu. Anak-anak yang ikut ke gereja hanya terpaku melihat raut wajah orang tua mereka,” kenang Marius.

Silitonga berusaha tegar menghadapi mental jemaatnya. Mereka bersama melantunkan dua lagu puji-pujian dengan suara parau, lemah dan pasrah. Marius ingat, lirik lagu saat itu berisi ajakan kepada jemaat untuk tabah dan tidak terpancing amarah.

“Kita tak perlu halangi niat siapa pun terhadap tempat ibadah kita. Bangunan ini akan berakhir, jika nanti ada tindakan dari massa, cukup disaksikan saja. Jangan memberi perlawanan. Tidak apa-apa jika tidak sanggup menyaksikannya, silakan pulang ke rumah masing-masing,” ujar Pendeta Silitonga dalam arahannya.

Usai ibadah, jemaat bubar dan duduk di sekitar gereja. Sekitar 25 menit kemudian, tampak massa di kejauhan. Dari persimpangan mereka ramai-ramai berjalan kaki ke arah gereja. Jumlahnya ratusan, tumpah ruah di sepanjang jalan. Tiga orang aparat dari unsur kamtibmas sudah siaga di sekitar lokasi. Namun, tindakan yang terjadi kemudian tak dapat dicegah.

Di teras, beberapa jemaat laki-laki berdiri dan menyapa, “Salam damai.” lalu menepi ke sisi kanan gereja. Mereka bergabung dengan jemaat lainnya, termasuk kaum ibu dan anak-anak ikut menyaksikan kedatangan massa.

“Salam damai” adalah kalimat terakhir yang diucapkan para jemaat sebelum menyaksikan massa membakar gereja mereka, kata Katerina.

Tiba-tiba, dari kerumunan itu muncul beberapa pria. Mereka memaksa masuk ke area tempat ibadah itu. Massa sontak bergemuruh dan ikut memekik, meski tak satu pun yang menyasar jemaat. Dari jarak 10 meter, seorang di antaranya melempar bom molotov ke atas bangunan. Api menyulut dengan cepat.

Seorang jemaat perempuan jatuh pingsan. Yang lain ikut menolongnya, tapi tetap kelu. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun saat gereja dilalap api. Khotbah yang dituturkan Silitonga tadi masih terus terngiang, jangan ada kemarahan.

Dalam detik-detik gereja terbakar, jemaat hanya diam menyaksikan. Air mata terus berjatuhan. Mereka tak mampu berbuat apa-apa. Hampir satu jam gereja dilalap api, lalu kemudian tinggal rangka yang menghitam. Tiang-tiang mulai rapuh. Lalu bubung jatuh, suaranya berdentum keras. Marius masih terpaku.

Pemadam kebakaran yang tiba di lokasi tetap tak bisa masuk, terhalang massa. Ia pun tetap menatap ke gereja, bertahan di situ beberapa jam. Hingga seluruhnya tinggal puing, massa meninggalkannya. Lalu bergerak ke arah lain.

“Di situ kami semua lihat, bangunannya sudah habis,” kata dia.

Gereja Terpal
Jemaat GHKI Suka Makmur, Marius Tumangger duduk di atas bekas bangunan gereja yang dibakar pada Oktober 2015 silam. (Project M/Oviyandi Emnur)

Ihwal pembakaran gereja yang berlanjut pada kerusuhan di Dangguran, hanya selisih dua jam sampai ke telinga Irman. Warga Kristen di Rimo mulai bergegas. Apalagi informasi yang beredar semakin buram, di mana-mana terdengar ungkapan ‘nyawa dibalas nyawa’. Irman sekeluarga tak bisa tinggal diam. Mereka pun ikut rombongan warga lainnya, pergi mengungsi. Menyusuri jalan pintas di sela-sela perkebunan sawit, kendaraan yang mereka tumpangi berhasil tembus perbatasan menuju Seragih, Tapanuli, Sumatera Utara.

Sementara di Sanggaberu, jemaat GKPPD sudah memadati gereja. Mereka juga melangsungkan ibadah singkat. Tak lama sampai kabar, GHKI di Suka Makmur ludes dibakar massa. Secepat itu pula, sekretaris desa bergegas menuju gereja. Ia meminta jemaat mengeluarkan bangku-bangku. Mereka pun mengiyakan, panik menyeruak.

Hanya dalam hitungan menit, kembali sampai informasi bahwa massa telah bertolak ke kawasan Dangguran. Di sana mereka terlibat bentrok dengan warga yang mempertahankan gereja setempat. Satu orang tewas.

“Jemaat makin ketakutan. Semua menangis,” kata dia. Sambil menahan resahnya sendiri, Katerina menenangkan mereka. Di luar, aparat mulai datang berjaga-jaga.

Hingga malam, suasana di Suka Makmur mencekam. Sebagian besar jemaat HKI pergi mengungsi, takut disusul bentrokan. Marius saat itu menyarankan, “jika sampai pukul tujuh malam tidak ada satu pun aparat yang datang, jemaat sebaiknya mengungsi”. Beberapa mengiyakan, namun sebagian juga enggan pergi dan memilih tetap di rumah. Ada yang beralasan orang tuanya sudah sepuh, sehingga sulit beranjak dari rumah. Sisanya mencari perlindungan ke area perkebunan.

Marius tetap tinggal. Ia ungsikan keluarganya ke rumah kerabat lain, masih di Suka Makmur. Malam harinya, beberapa truk tentara yang disebut truk reo tiba dan meninjau keadaan di kampung. Aparat datang, situasi mulai terkendali, pikirnya. Marius bisa tidur, ia sangat kelelahan dan tinggal sendirian di rumah.

Biasanya jika ada insiden di kampung, ia kerap berinteraksi dengan warga muslim sekitar untuk memastikan keadaan. Tapi, atas kejadian yang menimpa kalangannya sendiri di hari itu, Marius urung melakukannya. Ia memilih diam di rumah. Peristiwa pembakaran dan kerusuhan yang memakan jiwa ini tak pelak membuat kalangan muslim dan Kristen di Singkil jadi berjarak. Namun batinnya menguatkan, semua akan baik-baik saja.

“Yang saya tahu, tak ada satu pun muslim di sekitar sini yang terlibat dalam peristiwa, massa seluruhnya datang dari luar. Memang situasi sedang tidak kondusif, makanya kami canggung untuk berkomunikasi satu sama lain,” katanya singkat.

14 Oktober 2015, pemerintah menggelar rapat, mempertemukan para pendeta gereja-gereja di Singkil dan perwakilan kelompok muslim. Keputusannya, akan ada izin untuk tujuh gereja. Katerina mulanya merasa lega, GKPPD Sanggaberu termasuk satu di antaranya.

Tapi yang terjadi kemudian justru sebaliknya. 19 Oktober 2015, pemerintah Aceh Singkil kembali menyatakan bakal membongkar seluruh gereja yang tak berizin di Singkil. Tetap hanya boleh berdiri satu gereja dan empat undung-undung, mengacu kesepakatan dua dasawarsa silam.

Katerina nyaris putus asa. Pembongkaran gereja tinggal menunggu waktu. Harapannya pada pemerintah pupus seketika.

Kamis, 22 Oktober 2015, terakhir kalinya Katerina bersama jemaat beribadah di bangunan permanen GKPPD Sanggaberu. Mereka sempat menggelar ibadah terakhir, memanjatkan doa diiringi tangisan. Sintua J. Barasa memandu ibadah para jemaat. Pukul lima sore, sejumlah pasukan polisi dan satuan polisi pamong praja menyambangi gereja. Dalam waktu singkat, tembok-tembok gereja dirobohkan.

Saat itu hanya tersisa Katerina dan Barasa, sintua laki-laki yang sudah berusia 60-an tahun. Sementara lainnya mengungsi. Sempat beredar kabar para sintua akan dimintai tanda tangan persetujuan untuk merobohkan gereja. Saat proses pembongkaran, Barasa tak lagi di lokasi. Ia memilih pulang. Ia bakalan tertekan jika terus menyaksikan pembongkaran itu. Tinggal lah jemaat, termasuk anak-anak yang tercenung melihat rumah ibadahnya hancur lebur. Langit mulai mendung.

Jalanan ramai, truk polisi dan kendaraan berjejer sekitar satu kilometer. Di lokasi, jemaat hanya terdiam melihat satu per satu dinding gereja jatuh. Setiap kali ada mendengar dentuman, mereka makin meratap. Katerina hanya bisa merintih dalam hati. Ia harus terus menenangkan jemaat perempuan. Hingga tersisa sebagian bangunan rumah ibadah itu yang masih utuh, tiba-tiba hujan turun. Gemuruh dan petir bersahutan.

Aksi pembongkaran terhenti sejenak, lalu berlanjut ketika hujan reda. Kali ini menyertakan alat berat, menyapu seluruh bangunan yang tadinya tegak menampung jemaat. Pukul 11 malam, bangunan gereja lenyap, rata dengan tanah.

Katerina menutup catatannya, ‘Selamat jalan. Aku yakin kami semua adalah rumah tempatMu bersemayam, mohon kuatkan iman umatMu di Aceh Singkil, jangan biarkan goyah sedikit pun‘.

Air matanya tumpah sesaat membaca kembali kalimat itu. “Maaf, saya masih berat sekali mengingat ini semua.”

Jemaat di Sanggaberu kembali berkumpul sehari usai pembongkaran, Jumat, 23 Oktober 2015. Mereka bergotong royong membangun tenda darurat. Ibadah di hari minggu nanti harus tetap dilangsungkan, dalam keadaan apa pun.

Sekian bulan setelahnya, relasi umat Islam dan Kristen di Sanggaberu cenderung dingin. Katerina pun tak berani memulai interaksi. Ia tak bisa berbuat banyak. Kondisi semacam ini memang membuat segalanya jadi canggung. Ia hanya berharap hubungan mereka kembali cair seperti biasanya.

Kurang lebih 50 meter dari bekas lokasi GKPPD Sanggaberu, pemerintah meresmikan sebuah pesantren, Darul Mukasyafah, akhir 2015. Tempat pengajian itu cabang dari Darul Mahabbah, pondok pesantren yang berdiri 13 tahun silam di Takal Pasir, Aceh Singkil.

Saat disambangi, kondisi Pesantren Darul Mukasyafah sama sekali lengang. Bangunan menasah dan rumah pengajar tegak di atas tanah rumput lapang dikelilingi perkebunan sawit yang lebat dan gelap. Di tempat pengajian, beberapa kitab suci tersusun rapi di atas sandaran kayu. Semua berjejer di bagian saf paling belakang. Tak ada aktivitas apa pun.

“Belum ada kegiatan kalau pagi, nanti jelang ashar baru datang murid,” ujar Eri Syahputra, satu-satunya pengajar yang tersisa di pesantren ini.

Sejak tamat sekolah dasar, Eri lanjut mengaji di dayah induk Darul Mahabbah pimpinan Abdul Manaf, yang bergelar Abu Mahabbah. Kini yayasan tersebut punya sembilan cabang pesantren yang tersebar ke seluruh Singkil, termasuk Pulau Banyak dan Suka Makmur.

Di Sanggaberu, jumlah anak-anak hingga remaja muslim yang mengaji di pesantren ini awalnya pernah mencapai ratusan orang. Namun belakangan surut peminat dan tersisa kurang lebih 30-an santri. Namun aktivitas ibadah tetap dijalankan, azan harus tetap dikumandangkan.

“Biasa lah, minat anak-anak kan. Kadang semangat, tapi belakangan terus berkurang, bisa jadi karena pandemi. Tapi seperti yang pernah dipesankan Abu, pesantren harus banyak-banyak membeli tanah. Tidak ada pun aktivitas pengajian, tapi azan lima waktu harus tetap digaungkan,” tutur pemuda berusia 24 tahun ini.

Putra sudah menetap beberapa lama di Sanggaberu. Setahun sekali, tenaga pengajar di tiap cabang Darul Mahabbah akan digantikan dengan yang lain. Ia sendiri sudah mengajar ke beberapa tempat, mengajar dari Situban, Pulau Banyak hingga Subulussalam.

“Tapi paling lama ya Sanggaberu, betah juga, karena sudah mulai banyak mengenal masyarakat sekitar.”

Menjadi pengajar di pesantren yang berdampingan dengan komunitas Kristen, bukan pertama kali bagi Putra. Tapi tetap saja ada rasa segan dan canggung bergaul dengan mereka.

“Ya canggung saja. Mereka dan kita kan beda ya. Khawatir  ada salah tanggap jika berbicara, atau apa lah ya. Tapi kalau sapa-sapa sekilas saja tentu pernah.”

Putra ingin interaksinya dengan warga Kristen bisa berlangsung hangat. Apalagi, masyarakat di Singkil menurutnya memang terbiasa hidup berdampingan dengan orang-orang dengan ragam latar belakang. Terlepas dari persoalan tempat ibadah, hubungan keduanya memang sulit dipisahkan. Karena seperti yang dikatakan Putra, berbeda agama dalam satu ikatan keluarga merupakan hal yang lumrah di sini.

Di satu sisi, meski meski telah hampir dua tahun mengenal Sanggaberu, Putra masih canggung bergaul dengan umat Kristen. Ketika ditanya jika suatu kali datang undangan pesta dari salah warga penganut Kristen, ia mengaku, “kemungkinan saya belum berani datang. Masih ada rasa sungkan.”

Jauh dari masyarakat di akar rumput, tokoh elite di Singkil masih terus berdebat soal boleh tidaknya mendirikan gereja. Pemerintah sempat mendudukkan kembali perwakilan muslim dan umat Kristen di satu meja, 19 Desember 2019. Dari pihak muslim hadir Yakarim Munir dan Hambali, sementara Boas Tumangger, Robert Tumangger, Marius Tumangger, Sabam Sinaga, dan Tigor Padang datang mewakili kelompok Kristen. Rapat itu menelurkan kesepakatan, di antaranya, kedua pihak sepakat berdamai atas konflik yang terjadi empat tahun silam. Mereka diminta untuk saling menghormati dan menjaga ketertiban di Aceh Singkil.

Satu hal yang juga dituntut kepada umat Kristen dalam perjanjian itu, mereka dilarang merehab, menambah, bahkan membangun baru gereja dan undung-undung yang sudah ditertibkan sebelumnya. Jemaat hanya boleh menggunakan tempat ibadah sementara, yakni hanya bernaung di bawah teratak.

Untuk bisa membenahi tempat ibadah mereka, pemerintah mewajibkan penganut Kristen mengacu pada aturan daerah yang terbit tiga tahun sebelumnya, yakni Qanun 4 Tahun 2016 yang menjelaskan pedoman pendirian tempat ibadah.

Tahun 2020, pengurus GKPPD Sanggaberu membentuk kepanitiaan pembangunan gereja. Mereka mulai urun dana dan melengkapi izin secara bertahap. Paling penting, persetujuan pengguna dan pendukung pendirian tempat ibadah. Sampai di situ, upaya mengurus izin gereja langsung terhambat. Tak berselang lama, ujar Katerina, umat muslim menarik kembali tanda tangan mereka. Tak tahu apa sebabnya. Namun sayup-sayup terdengar ihwal, sekelompok orang meminta kaum muslim di Sanggaberu mencabut dukungan pembangunan gereja.

Keluhan serupa juga disampaikan pengurus pembangunan gereja di beberapa tempat lainnya. Sejak itu jemaat pesimis, mereka tak lagi yakin dapat memenuhi semua persyaratan itu.

Cerita serupa juga dihadapi jemaat di GKPPD Napagaluh, satu gereja yang berdiri Desa Biskang, Kecamatan Danau Paris. Jaraknya dari Sanggaberu sekitar 50 kilometer, satu jam perjalanan ke arah tenggara, nyaris menggapai tapal batas Aceh-Sumatera Utara.

Irman Tumangger kini pendeta di GKPPD Napagaluh. Ia bilang sekitar 200 kepala keluarga Nasrani masuk dalam daftar jemaat di gereja ini. Selain kebaktian minggu, ada rangkaian kegiatan lainnya, seperti sesi kebaktian pemuda dan kaum ibu, pemberkatan pasangan yang menikah, upacara kematian, rapat soal kegiatan ibadah dan sebagainya.

“Keliru ada anggapan gereja dipakai hanya hari Minggu, padahal banyak sekali rutinitas lain yang mesti diadakan di gereja,” kata Pdt Irman. Menurutnya, masih banyak mispersepsi soal tugas pendeta. Kehadirannya tak selamanya untuk penginjilan, namun juga pendidikan agama, pemberkatan dan berbagai jenis seremoni lainnya.

Saat tragedi kerusuhan dan pembakaran gereja di Singkil tahun 2015, Irman baru saja selesai kuliah. Peristiwa itu mengujinya, tentang risiko yang akan dipikul ketika menjadi pemuka agama di wilayah rentan konflik. Sejak tahun 70-an, persoalan rumah ibadah seakan momok traumatis yang terus diwariskan bagi penganut nasrani di generasi selanjutnya. Irman mengakui itu.

“Tak bisa dibayangkan kondisi psikologis anak-anak yang tumbuh dengan cerita-cerita tersebut, apalagi mereka yang langsung menyaksikan gereja dirobohkan,” kata dia.

Gereja Terpal
Irman Tumangger, seorang pendeta di GKPPD Napagaluh yang berdiri Desa Biskang, Kecamatan Danau Paris, sekitar 50 kilometer dari Sanggaberu. (Project M/Oviyandi Emnur)

Gereja Pakpak di Napagaluh diurus oleh 11 sintua. Baru-baru ini, mereka mempercayakan Jeris Tumangger sebagai guru jemaat. Jeris termasuk salah seorang pengurus gereja yang giat mengupayakan pendirian rumah dinas pendeta, sejak GKPPD Napagaluh naik status menjadi resort. Peresmiannya pada Agustus 2018 menuai pertentangan. Camat Danau Paris saat itu meminta panitia segera mengurus Izin Mendirikan Bangunan, jika ingin meneruskan pembangunan.

Hingga tahun 2020, pengurus gereja dua kali dikirimi surat peringatan dari Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid. Ia meminta majelis jemaat, pengurus dan panitia pembangunan GKPPD Napagaluh menghentikan pekerjaan tersebut, sebelum diambil tindakan tegas. Namun pekerjaan tetap berlanjut, setidaknya memasang atap rumah untuk melindungi kusen dan bagian lainnya dari terpaan hujan.

Pihak gereja sempat mengurus IMB. Semua berkas persyaratan sudah rampung untuk diurus ke notaris. Dua hari kemudian, berkas tersebut dikembalikan. “Pihak notaris bilang tidak bisa mengurusnya. Jadi kami sudah turuti aturan, persyaratan lengkap, tapi ada saja hambatan,” tegas Irman. Sejak itu mereka berhenti mengurus legalitas rumah pendeta itu. Bangunannya pun terbengkalai.

Hambatan untuk bangunan resmi semacam GKPPD Napagaluh telah dialami puluhan gereja lainnya, bertahun-tahun. Sedikitnya 26 gereja di Aceh Singkil, meliputi: 15 bangunan GKPPD, dua Gereja HKI, dua Gereja Jemaat Kristen Indonesia (JKI), tiga Gereja Majelis Injil Indonesia (GMII) dan empat Gereja Katolik, yang keseluruhannya menuai tantangan masing-masing. Sebagiannya tetap mengurus izin meski memakan waktu bertahun-tahun, sisanya disegel, pernah dibakar hingga dibongkar paksa.

Salah satu masalah krusial dalam pendirian rumah ibadah di Singkil, yakni penerapan peraturan daerah (perda) Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah (Qanun PKUB-PTI). Aturan ini mengganti beberapa regulasi pendirian tempat ibadah yang berlaku sebelumnya, yakni Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 dan sempat berlanjut pada Peraturan Gubernur Aceh Nomor 25 Tahun 2007.

Dalam Pasal 14 Qanun 4/2016 disyaratkan, pendirian tempat ibadah harus disetujui minimal 140 pengguna tempat tersebut, yang merupakan warga setempat. Pengusul tempat ibadah juga wajib mengantongi dukungan masyarakat setempat non-pengguna minimal 110 orang. Setelah itu mereka harus memperoleh rekomendasi dari kepala desa, imum mukim, camat, kantor kementerian agama kabupaten setempat hingga rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Jika dibandingkan dengan aturan sebelumnya, sepintas qanun ini mengurangi jumlah pemberian dukungan pembangunan tempat ibadah, yang sebelumnya 120 orang pendukung kini jadi 110 orang. Namun itu tidak berarti memudahkan pendirian rumah ibadah.

Salah seorang peneliti keberagaman, TM Jafar Sulaiman menyebutkan, qanun ini telah menghilangkan beberapa hal yang esensi dari Pergub dan PBM, yaitu peran pemerintah memfasilitasi umat beragama, ketika mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat khusus itu.

“Terlebih aturan ini juga terang-terangan diskriminatif, lantaran hanya mensyaratkan jumlah pengguna dan dukungan tersebut untuk pendirian tempat ibadah selain masjid,” ujarnya.

Jumlah tempat ibadah sendiri, diakui Irman Tumangger, tidak cukup jika mengacu pada kesepakatan di masa lalu. Banyak sekali jemaat yang harus menempuh perjalanan jauh sekadar untuk beribadah. Banyak aktivitas di gereja, tak cuma kebaktian minggu. Belum lagi jika ada sintua yang meninggal dunia. Sebelum dimakamkan, jenazahnya dibawa ke gereja untuk penghormatan terakhir.

“Tidak mungkin kan dibawa dengan jarak yang jauh, karena gereja tidak ada di situ,” ujar Irman. Kebutuhan semacam ini sangat mendasar, dan prosesi untuk masing-masing denominasi tentu berbeda.

Namun itu dikiranya juga tak berlebihan. Sudah ada kesepakatan di kalangan internal gereja, hanya ada lima denominasi di Singkil: Gereja Huria Kristen Indonesia, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi, Gereja Jemaat Kristen Indonesia, Gereja Misi Injili Indonesia, dan Gereja Katolik. Pembatasan jumlah denominasi tersebut, menurutnya juga demi menjaga kondusifitas di Singkil.

“Umat tersebar di berbagai wilayah di Singkil, dan jumlah hanya satu gereja dan empat undung-undung memang tak lagi memungkinkan,” jelasnya kecewa. Peran pemerintah yang seharusnya memfasilitasi pendirian tempat ibadah, juga nihil.

Bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, persoalan ini tetap perlu diselesaikan lewat jalur dialog. Sejak 20-24 Desember 2020, pihaknya telah menggelar mediasi di Kantor Gubernur Aceh. Disepakati kembali pertemuan pihak muslim dan Kristen di Singkil untuk bernegosiasi. Juni 2021, Komnas HAM turun ke sana. Mereka meminta pemerintah setempat segera mendorong semua pihak mengupayakan penyelesaian dengan jalan musyawarah demi kondusifitas di masyarakat.

“Pemerintah Aceh Singkil juga bakal terus  berkoordinasi lebih lanjut dengan melibatkan pihak Pemerintah Aceh dalam rangka tindak lanjut menyelesaikan masalah ini,” jelas Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama saat ditemui pertengahan Juli lalu.

Berbagai pihak, baik kelompok Islam, Protestan, dan Katolik menurutnya juga telah sepakat dengan upaya itu, lagi-lagi. Tetap yakin dengan skema ini, Komnas HAM menegaskan musyawarah mufakat merupakan salah satu kewenangannya di bidang mediasi, mengacu Pasal 89 ayat (4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pendekatan dialog ini diambil, mengingat pemberlakuan Qanun 4/2016 tentang Pedoman Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Tempat Ibadah di Aceh, walau dengan berbagai upaya, akan sulit dipenuhi oleh umat Kristen. Perlu mekanisme lain di luar ketentuan qanun itu.

“Dari musyawarah, kita berharap ada solusi yang baik. Umat Islam, Protestan, dan Katolik diharapkan menemukan kata sepakat dan menghormati kesepakatan itu nantinya,” kata Sepriady.

Sejarah gereja di Aceh Singkil tak dapat dilepaskan dari berdirinya perkebunan karet dan sawit PT Socfindo Lae Butar pada 1930 silam. Beroperasinya perusahaan tersebut mengiringi gelombang pekerja ke Singkil. Tenaga kerja dari Aceh, Sumatera Utara dan Jawa berbondong datang. Praktis berbagai infrastruktur didirikan, salah satunya tempat ibadah gereja bagi pekerja beragama Kristen.

Pertumbuhan penduduk dari Suku Pakpak turut menambah jumlah jemaat sehingga gereja kian mutlak dibutuhkan. Dalam sejarahnya, suku besar di Sumatera Utara -yang menurut sejumlah antropolog termasuk salah satu sub etnis Batak- ini telah mendiami beberapa di kecamatan di Singkil, seperti Simpang Kanan, Gunung Meriah, Pulau Banyak hingga Suro. Secara lebih luas, suku ini tersebar di Sumatera Utara dan Aceh, mulai dari Kabupaten Dairi, Pakpak Bharat, Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, hingga Aceh Singkil dan Subulussalam.

Di wilayah Aceh berdiam sub suku dari Pakpak, yakni Pakpak Boang. Mulanya masyarakat dari suku ini -demikian juga Batak secara umum- menganut ajaran Malim, suatu kepercayaan luhur yang kini penganutnya masih tersisa beberapa di kawasan perbatasan paling barat Aceh – Sumatera Utara. Meski jumlah penganutnya kian berkurang, bangunan tempat ibadah yang digunakan Parmalim (sebutan untuk pemeluk Malim) masih berdiri kokoh di daerah itu. Seiring kian terasingnya kepercayaan lokal dalam sistem administrasi di Indonesia, banyak dari keturunan mereka yang memilih masuk agama resmi negara, Islam atau Kristen. Pilihan itu demi memudahkan akses terhadap layanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan.

Karakteristik masyarakat Aceh Singkil terpilah menurut dua topografi; karakter Minang yang banyak mendiami kawasan pesisir dan Batak yang dominan di kawasan pesisir. Diperkirakan, Singkil akan terus diwarnai dengan bermacam etnis baik Aceh, Melayu, Batak, Minang maupun Jawa. Daerah ini jadi kian heterogen karena sejarah telah mencatat perkembangan penduduknya yang beragam itu.

Dalam laporan penelitian bertajuk Resolusi Konflik Keagamaan di Aceh Singkil dalam Perspektif Budaya Dominan (2016), Haidlor Ali Ahmad mengungkapkan hubungan muslim dan Kristen di Singkil sejak awal berjalan harmonis. Gereja di Kuta Kerangan misalnya, diketahui merupakan hasil karya ahli pertukangan yang merupakan seorang haji.

Tak hanya itu, di kawasan sekitar gereja-gereja di Desa Siompin, Kecamatan Suro, hubungan warga Kristen dan muslim hidup berdampingan dengan akrab. “Pada waktu perayaan natal dan tahun baru, umat Islam diundang, demikian juga saat umat muslim melakukan shalat Ied, pemuda Kristen yang menjaga keamanan,” paparnya.

Sejak 1996, Sagala sudah menetap di Sanggaberu, merintis kebun saat jalan-jalan di desa belum beraspal. Kini banyak hal yang berubah. Penduduk setempat terus bertambah, kebutuhan untuk beribadah ke gereja sudah sangat mendesak.

“Warga ingin sekali gereja bisa dibangun, hanya itu tempat untuk membimbing kami dan anak-anak kami dari perilaku negatif, kami ingin menghadap tuhan, alasannya sederhana. Kenapa untuk hal-hal baik saja tidak bisa? Bukankah pemerintah harusnya mendukung itu?” ujarnya.

Ia juga menyinggung isu pendirian tempat ibadah yang juga santer ketika masuk musim politik. Saat Pilkada, banyak calon legislatif yang bicara isu agama. Ada yang berjanji bakal memfasilitasi izin tempat ibadah, maupun sebaliknya, berbisik ke masyarakat soal ancaman laten jika gereja banyak berdiri di Singkil.

“Itu tipikal politisi, banyak sekali janji-janji. Jika sudah bawa-bawa isu agama, banyak lah efeknya. Memang, kalau agama jadi bahan politik, ngeri itu. Bawa-bawa isu mayoritas-minoritas, siapa asli siapa pendatang.”

Identitas etnis dan agama memang sudah jadi bagian terpenting dalam kontestasi politik sejak awal berdirinya kabupaten ini berdiri. Tiap kali mendekati tahun pemilihan legislatif, selalu mencuat masalah pendirian tempat ibadah dan narasi-narasi intoleran lainnya.

Secara sosial, muslim dan Kristen di Aceh Singkil memang baik-baik saja di permukaan. Di Danau Paris, penolakan terhadap gereja sama sekali tak mempengaruhi interaksi mereka sehari-hari. Pendeta Irman Tumangger mengakui hal ini.

“Saya saja, kalau air di sini sedang mati, maka saya permisi mandi di rumah orang muslim, makan juga pernah, dan itu memang biasa saja, hanya soal tempat ibadah saja kami berjarak,” terang Irman.

Secara pribadi, ia meyakini semua agama mengajarkan kebaikan. Karena itu menurutnya tak tepat jika mendukung fasilitas agama lain disalahartikan sebagai dukungan terhadap keyakinan itu sendiri. Ia khawatir dengan beredarnya informasi banyak muslim yang diintimidasi jika mendukung pembangunan tempat ibadah agama lain. Dari tuduhan mereka menyimpang dari agama, hingga dikucilkan secara sosial dan ekonomi.

Di Singkil, akan biasa kelihatannya dalam satu pertalian kerabat punya latar belakang agama yang berbeda. Namun, ketidaknyaman muncul sejak masalah perizinan tempat ibadah mencuat dan terus diwariskan hingga puluhan tahun. Upaya damai melalui pendekatan marga tampaknya peluang untuk meredakan ketegangan itu.

Optimisme salah satunya datang dari Tigor Padang, Sekretaris Desa Lae Gecih, Kecamatan Simpang Kanan. Beberapa pekan lalu ia menyempatkan diri hadir di pesta pernikahan warganya. Kampung ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Rimo. Pukul satu siang, ia tiba dan menyaksikan prosesi adat Pakpak sedang berlangsung di pemukiman yang sebagian besarnya didiami warga Kristen itu.

Dalam perayaan itu, pemuka adat yang memandu acara mengajak tamu ikut bergabung dalam tarian. Ia mengarahkan acara dengan meriah. Saat menari, beberapa perempuan berhijab juga ikut bergabung. Semua larut dalam suka cita. Seketika, adat menciptakan ruang paling akrab di antara kedua belah pihak, menyudahi sekat-sekat yang tadinya membelah mereka dalam hal dukungan tempat ibadah.

Musik menggema dari pengeras suara. Tamu undangan menari-nari sembari bersalaman. Seorang anak yang menabuh gendang di samping pemusik elektronik, turut menyita perhatian. Di meja makan, tampak tiga perempuan muslim tengah membersihkan piring, mengisinya dengan nasi, lauk dan daging lalu menyuguhkannya untuk para tamu.

“Di sini kita bisa lihat keberagaman, adat Pakpak menyatukan seluruh kerabat dan masyarakat, baik Kristen maupun muslim,” kata Tigor. Perhelatan adat secara otomatis menaungi keduanya, khususnya kaum muslim.

Gereja Terpal
Para tamu berbaur pada sebuah pesta pernikahan dengan Adat Pakpak di Desa Lae Gecih, Kecamatan Simpang Kanan. (Project M/Oviyandi Emnur)

Dalam kearifan lokal di Singkil, dikenal istilah bagahan, yakni adat menyajikan dua prasmanan dalam satu pesta. Masing-masing untuk tamu muslim dan tamu Kristen. Meja makan untuk mereka disajikan terpisah, begitu juga juru masaknya dari kalangan muslim. Namun mereka berbaur dengan tamu lainnya di bawah satu tenda, bersama menikmati kemeriahan acara.

Bagi Tigor, perayaan ini mencerminkan relasi sosial budaya masyarakat Singkil yang sesungguhnya. Warga tanpa canggung ikut memeriahkan pesta. Budaya ini, menurutnya, hampir tidak mungkin bisa diusik oleh paham-paham yang dapat mengantarai mereka. “Yang memecah belah itu selalu datang dari luar, bukan dari sini pastinya, apa yang anda lihat di sini lah yang benar-benar dari kami,” imbuh Tigor.

“Kita bersaudara. Keyakinan masing-masing berbeda, saya tahu saudara saya yang satu tidak bisa makan sama seperti yang kami makan, maka harus dihormati. Kita sediakan tempat yang nyaman untuk dia bisa makan sesuai keyakinannya.”

Tigor yakin, dengan modal sosial itu, persatuan di Singkil bakal tetap tetap terjaga. Keterikatan adat lebih menghidupi mereka sehari-hari, terlepas apakah dia muslim atau nasrani.

“Pembauran ini tak mungkin membelah kami. Mau jadi apa pun Singkil ini, kami tetap bersama dengan saudara kami yang muslim. Jadi memang tak ada celah untuk ribut. Pemerintah harusnya bisa melihat ini sebagai peluang untuk menyelesaikan masalah,” tutupnya.

Belajar dari keadaan, kalangan pemuda pun percaya bahwa modal kebersamaan yang sudah terjalin di tengah masyarakat setempat sebagai satu-satunya cara mempertahankan Singkil dari ancaman konflik di masa mendatang. Kevin Padang, salah satu pemuda Kristen di Singkil berharap generasinya tidak mewarisi trauma serupa. Karena itu perlu pendekatan baru untuk mengakhiri sekat itu. Kalangan muda di Singkil perlu memiliki kesadaran bersama mencegah pihak-pihak tertentu membawa isu agama untuk kepentingan politik sesaat.

“Saya punya beberapa teman muslim, yang kami sama-sama tahu, masalah agama ini seperti mudah sekali dipolitisasi dan jadi konflik. Itu yang harus perlu dipertegas oleh kalangan pemuda, bahwa kalau dekat-dekat pemilihan legislatif atau bupati, dorong para pihak supaya tidak mainkan isu ini,” kata dia.

Kevin baru menetap di Singkil tahun 1999. Ia ikut pindah bersama orang tua dari Sumatera Utara yang saat itu kondisinya memanas akibat krisis ekonomi. Kakeknya penduduk asli Singkil dan pernah menjabat anggota legislatif di periode pertama pemekaran kabupaten ini. Sejak tinggal di Singkil, ia mulai sering terpapar cerita bahkan mengalami sendiri masalah-masalah yang timbul karena latar agama yang dianutnya.

Ia pun bercerita soal pengalamannya yang gencar mengkritik diskriminasi sedari bangku sekolah. Di masanya, kata Kevin, siswa-siswi Kristen pernah terpaksa mengikuti beberapa mata pelajaran agama Islam, karena termasuk dalam nilai kumulatif di akhir semester. Sangat minim bahkan sulit mendapatkan pendidikan kekristenan di sekolah formal.

“Ketika beberapa pihak gusar dan mengintimidasi saya karena menyuarakan itu, saya sadar, ini masih panjang sekali jalan untuk bisa memperjuangkan kesetaraan,” ujarnya.

Di bangku kuliah, Kevin mulai berani berargumen secara terbuka di beberapa forum keberagaman. Bertemu dengan pemuda muslim dalam ruang semacam itu juga membuka pikirannya, bahwa hambatan pendirian tempat ibadah di Singkil sebenarnya telah menjadi keprihatinan secara luas tak hanya di kalangan Kristen, tapi juga muslim di berbagai tempat bahkan di luar Singkil.

“Harus ada pendekatan lain, di mana pemuda dari berbagai latar agama berani berbaur dan membicarakan ini, memperbaiki cara pandang bersama-sama, bahwa masalah di Aceh singkil disebabkan kepentingan politik sesaat. Termasuk menyadari bahwa agama apa pun sejatinya mengajarkan kebaikan dan damai, sama sekali bukan permusuhan,” kata dia.

Selain persatuan di kalangan pemuda, narasi agama sebagai pembawa damai juga penting disuarakan oleh para pendakwah. Menurut Ketua Gerakan Pemuda Ansor (GP-Ansor) Aceh Singkil, Sahid, kerusuhan pada 2015 silam tak bisa dilepaskan dari gencarnya materi ceramah provokatif yang terus berkembang hingga menyulut reaksi massa.

Untuk mengantisipasinya di masa depan, penting memperkuat gerakan yang mendukung keberagaman untuk Singkil. Mengingat konflik yang rawan terjadi karena persoalan yang kadung struktural di kawasan tersebut, kerja membumikan toleransi tidak bisa terwujud hanya dalam waktu satu-dua tahun.

“Lama, penguatan dari kalangan pemuda juga bertahap. Apa yang tengah diupayakan GP-Ansor di Singkil juga mengarah ke situ. Sedari awal perlu dipahami prinsip-prinsip: ukhuwah nahdliyah untuk internal organisasi, lalu persaudaraan sesama muslim (ukhuwah islamiyah), kecintaan terhadap tanah air (wathoniyah) dan persaudaraan sesama manusia (bashoriyah),” urainya. Berpegang pada prinsip itu, Sahid menegaskan GP-Ansor siap mengawal toleransi di Singkil dengan segala risiko dan tantangannya.

Selain penguatan pemuda, “rekonsiliasi marga” jadi istilah yang sering muncul ketika membicarakan kondisi Aceh Singkil. Frida Siska Sihombing, salah seorang tokoh perempuan di Singkil, merasakan spirit marga dalam berbagai prosesi pesta adat di daerah ini. Saat bersuka cita, warga muslim dan Kristen berbaur di bawah satu teratak dan saling menyalami satu sama lain.

Pendekatan marga ini pernah diajukannya sebagai model rekonsiliasi kepada pemerintah daerah, beberapa bulan pasca peristiwa pembakaran gereja di 2015. Saat itu Frida menjabat sebagai anggota legislatif di DPRK Aceh Singkil. Tapi pemerintah belakangan membentuk tim untuk menyelesaikan masalah ini. Yang disayangkan, ada aktor peristiwa yang justru dilibatkan di dalam tim tersebut.

“Padahal butuh orang-orang yang netral dan independen untuk menyelesaikannya,” kata Frida.  Sejak itu, persoalan tempat ibadah tak kunjung usai, pertemuan demi pertemuan terus berkutat pada perdebatan soal jumlah gereja yang boleh dibangun di Singkil.

Muhajir Al Fayrusi dalam Model Konsensus dan Rekonsiliasi Konflik Antar-Umat Beragama di Aceh Singkil (2015) memaparkan, perbedaan keyakinan di Singkil tidak akan membatasi gerak sosial di masyarakatnya. Rasa ketergantungan satu sama lain, terutama di sektor dagang, mendorong mereka untuk tetap saling menjaga situasi agar tetap nyaman bagi semuanya.

Sejumlah marga telah eksis dalam waktu yang lama di Singkil, antara lain marga Anakampun, Bancin, Banurea, Beringin, Berutu, Brasa, Gajah, Manik, Tendang, Tinambunan dan Tumangger.

“Saya berdamai karena mereka klan dan marga saya,” kata salah seorang warga. Pernyataan ini, menurut Muhajir penting dijadikan model rekonsiliasi antar umat beragama di sana. Kearifan lokal perlu dikedepankan, sekaligus meyakinkan persepsi publik di luar atas pemberitaan media massa tentang konflik Singkil yang justru terkesan makin memperuncing situasi.

“Masyarakat Singkil, yang belum melek secara masif terhadap pemberitaan media, justru tak sempat menafsirkan dan menganalisis lebih jauh apa yang sedang terjadi antara mereka, dengan publik luar yang memandang mereka,” tulis Muhajir.

Banyak modal yang dapat menopang perdamaian di daerah tersebut. Selain faktor tradisi yang memang guyub dalam kesehariannya, mesti ada upaya yang lebih struktural. Dari dukungan organisasi keagamaan yang lebih moderat, gaung narasi agama yang lebih humanis di tempat-tempat ibadah, serta ketegasan pemerintah sebagai bukti keberadaan mereka dalam mengantisipasi konflik.

Enam tahun berlalu, jemaat Kristen di Aceh Singkil masih dibayangi masa depan yang bisa jadi makin pelik. Harapan memperoleh tempat ibadah yang layak, menyerana dalam tiap doa dan kidung yang mengalun di bawah tenda-tenda darurat, menunggu rapuh. Terakhir kali menapaki Sanggaberu, saya hanya sempat berpamitan dengan lirih pada Katerina, sesaat usai menyaksikan kegiatan koor jemaat perempuan di gerejanya.

Di bawah naungan atap terpal, ia terus memandu jemaat perempuan menyenandungkan bait-bait dalam Buku Ende. Katerina terus berdoa menguatkan hatinya, dengan iman yang sama seperti saat gerejanya dirobohkan. Perkataannya di masa-masa genting silam akan terus terngiang, “aku yakin kami semua adalah tempatMu bersemayam.”

Sehari sebelumnya, Pendeta Irman Tumangger menerima secarik surat. Ia bakal pindah tugas ke Palas, Pekanbaru, Riau. Surat keterangan dari otoritas GKPPD di Sumatera Utara baru saja sampai padanya. Ini penempatan perdana Irman di luar Aceh. Ia harus bersiap menyambut suasana baru selepas menjalani banyak hal di tanah kelahirannya, Singkil, dengan segala suka-duka yang segera jadi kenangan.

Saat menemani kami dalam perjalanan menelusuri perbatasan Singkil – Tapanuli Tengah, ia tersenyum pasrah. Saya bertanya, bagaimana rasanya hidup sebagai pemeluk agama Kristen yang tumbuh besar di daerah dengan hamparan perkebunan sawit? “Wah, sulit memang, gerah sekali tinggal di sini,” jawab Irman berseloroh. Meski akan berpindah tugas, benaknya belum lepas dari beban yang masih terus menghantui, tentang masa depan umatnya di Singkil kelak.

Pekan lalu, saya dan Kevin masih sering berbalas pesan via WhatsApp, sekadar bertegur sapa. Ia mengirimkan secuplik rekaman video pesta pernikahan adat Pakpak yang baru saja dihadirinya. Terekam juga sejumlah kerabat muslim yang ikut hadir dalam pemberkatan pasangan beragama Kristen itu.

“Saya ingin selalu mengingat, adat Pakpak ini menyatukan kami dari latar belakang apapun, termasuk perbedaan agama, jadi di sini kita bisa merasakan persaudaraan,” pungkasnya. Ruang berbaurnya umat lintas agama ini akan selalu jadi penyemangat bagi Kevin, bahwa pemenuhan hak setiap warga di Aceh Singkil sangat mungkin terjadi, sehingga selalu layak menjadi harapan.


P

Reporter: Fuadi Mardhatillah

Editor: Evi Mariani, Mawa Kresna

Artikel ini pertama kali tayang di Project Multatuli (https://projectmultatuli.org) pada 28 September 2021 dengan judul Serana Umat Gereja Terpal di Kebun Sawit Aceh Singkil. Yayasan Pantau melakukan re-publikasi tulisan para peserta fellowship kursus Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama yang diselenggarakan dengan dukungan Kedutaan Jerman. Ilustrasi: Toni Malaikan.

by:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *