Dipukuli, Diracun: Saat Anjing Jadi Korban Sentimen Etnik dan Agama

Dengking anjing memecah keheningan di satu subuh buta. Hampir seluruh kampung masih terlelap, namun Laurensus masih terjaga di kamar indekosnya yang terletak di Indralaya, Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Penasaran dengan dengkingan itu, ia pun keluar kamar, berlari kecil tanpa mempedulikan sandal yang terpacak di depan pintu kamarnya, lantas melongok dari balik pagar. Di luar masih gelap, tapi ia dapat melihat sosok pria paruh baya tengah memukul-mukul sesuatu di tanah menggunakan sekop. Lauren memicingkan mata. Ia baru sadar, ‘sesuatu’ yang tengah dipukul-pukul itu adalah anjing peliharaannya.

Setelah melihat empat kali entakan sekop, ia membuka pagar dan bergegas keluar menyelamatkan anjing yang belum genap seminggu ia rawat. Lauren panik, ia tidak terpikir untuk merekam momen tersebut. Baginya yang paling penting adalah menyelamatkan si anjing selagi masih ada waktu.

Sesampainya di tempat kejadian, matanya langsung tertuju pada anjing kecilnya yang terkapar. Anjing itu masih hidup, namun tubuhnya lebam dengan sedikit luka gores. Si anjing merintih lemah. Napasnya tersengal-sengal. Sekop yang tadi digenggam oleh pria itu tampak tergeletak di tanah, sedikit penyok dengan bercak darah yang masih segar.

Lauren mengenali pria itu, kendati tak pernah bertegur sapa. Pria yang ditaksir berusia 50-an itu tinggal di sebuah rumah yang terletak tepat di samping pondokannya. Lauren tak peduli sekalipun ia adalah tetangganya. Darahnya keburu naik dan segera mencecar si pelaku pemukulan.

“Ini anjing kenapa pak?”

Si pria paruh baya itu mengelak. Ia mengaku tidak mengetahui apa yang terjadi. Lalu terjadi adu mulut antara keduanya.

“Ini anjing kemarin masuk masjid,” tandasnya sengit.

Lauren tak terima dengan alasan itu dan terus bertanya.

“Kamu ini enggak tau saya siapa?” sembur si pria tua, sembari berkacak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke muka Lauren.

Lauren tak melanjutkan keributan. Ia menggendong anjingnya pulang, lalu mengobatinya. Anak anjing berusia tiga bulan itu hanya mampu bertahan dua pekan.

Peristiwa itu terjadi pada Mei 2018, pekan pertama Ramadan. Mahasiswa jurusan Agribisnis di Universitas Sriwijaya (Unsri) itu tak benar-benar ingat tanggalnya. Meski begitu, emosi masih melekat setiap kali ia menceritakan kejadian itu.

Nyatanya tragedi itu amat membekas, ia sering menceritakan masalah tersebut ke teman-teman kampusnya. Sayangnya, kejadian itu bukan satu-satunya pengalaman pahit yang dialami Lauren terkait dengan kekerasan yang menyasar anjing. Di tahun yang sama, sekitar bulan Oktober, ia melihat kejadian yang berbeda, dengan pola kekerasan yang sama.

Suatu malam, di tengah jalan raya Lintas Tengah, ia menyaksikan seorang pria menganiaya seekor anjing. Jalan tersebut adalah salah satu jalur utama menuju Unsri. Meski dalam lenggang malam, masih banyak kendaraan yang lalu lalang.

Pria yang menganiaya anjing tidak menghiraukan Lauren dan pengemudi lain yang menyaksikan tindakannya. Ia terus memukul sampai si anjing tak berdaya.

Saat itu Lauren tidak berani menghentikan aksi pria asing itu. Ia pun tak tahu apa motifnya. Yang jelas, anjing itu dipukul bertubi-tubi hingga mati, lalu bangkainya ditinggal begitu saja. Lokasi itu hanya berjarak sekitar 800 meter dari tempat anak anjing Lauren dipukuli, lima bulan sebelumnya.

Terdapat dua jalan bernama Lampung jika melintasi Jalan Lintas Tengah. Pertama bernama Gang Lampung, kedua adalah Jalan Lampung 2. Kedua jalur ini saling terhubung, terdapat beberapa gang kecil yang menjalin akses kedua jalan itu. Di sepanjang jalan itu masih banyak tanah kosong yang hanya ditumbuhi belukar. Beberapa bagian jalan juga tidak diaspal, masih beralaskan tanah merah dengan sedikit timbunan pasir. Meski demikian, Gang ini tetaplah strategis, mengingat jaraknya yang amat dekat dengan kampus Unsri.

Lauren tinggal di Gang Lampung. Populasi anjing di gang itu tidak bisa dibilang sedikit. Di situlah, sering terjadi pembunuhan anjing tiap tahunnya. Terbaru, pada 5 Juli 2021, Lauren lagi-lagi mendapati anjing hitamnya diracuni. Nyaris setiap tahun selalu ada anjing keracunan. Eskalasinya sedikit mereda selama pandemi merebak, namun bukan berarti tidak ada sama sekali.

Di sebagian titik Gang Lampung terdapat beberapa bangunan pondokan yang diisi penuh oleh hanya mahasiswa etnis Batak. Beberapa anjing dipelihara dan diberi makan secara kolektif di bangunan itu. Ada juga mahasiswa atau warga yang memelihara anjing secara pribadi.

Tiap semester, saat kampus sedang libur, rutin terjadi peracunan anjing. Dari jalanan raya, hingga pekarangan pondokan, berduyun-duyun muncul potongan daging ayam, bakso, pempek, dan kepala ayam yang telah diberi racun. Beberapa racun dilempar ke pekarangan rumah. Sisanya diletakkan di jalanan.

Anjing yang memakan umpan, dalam beberapa jam akan meronta-ronta dengan perut yang panas. Sebagian besar dari majikan akan segera membeli susu sebagai upaya pertolongan. Tidak semuanya berakhir selamat, namun untuk beberapa anjing terbukti ampuh. Salah satunya adalah anjing milik Benhard Robinson atau yang biasa disapa Beben.

Beben sudah menetap di Indralaya sejak 2004. Ibu dan Ayahnya memiliki Lapo di Gang Lampung. Menurut Beben peracunan anjing terjadi hampir tiap tahun dan periode 2019 menjadi masa-masa peracunan dengan intensitas yang paling brutal. Salah satu anjing Beben diracun dan berhasil diselamatkan dengan susu.

Selain milik Beben, anjing milik mahasiswa bernama Fernando juga pernah keracunan, untungnya selamat.

Begitulah tidak ada yang mengetahui siapa yang meracuni anjing-anjing tersebut. Biasanya para mahasiswa tersebut hanya menemukan potongan daging yang tergeletak di jalan. Tak jarang kejadian anjing diracun tidak selalu terjadi di waktu-waktu libur. “Ya kesal pasti, cuma kan kita tidak bisa berbuat sesuatu, kita tidak bisa menuduh siapapun, karena kan diracun,” kisah Fernando.

Tak cuma menggunakan racun, di beberapa kasus juga ditemukan benda tajam yang diselipkan ke makanan. Pak Sumadi, seorang penduduk setempat yang berasal dari Jawa, pernah menemukan bakso yang disisipi oleh jarum. Entah apakah jebakan itu membawa korban atau tidak.

Dahulu Pak Sumadi pernah memelihara banyak anjing. Bahkan anak anjing milik Lauren yang mati dihajar merupakan pemberian Pak Sumadi. Kini ia tidak lagi memelihara anjing.

“Dah habis”, ucap Sumadi pendek, kala dihubungi via telepon. Entah apakah yang dimaksud dengan ‘habis’ itu karena dibunuh atau mati secara alami. Yang jelas Pak Sumadi kini memilih hidup tanpa dikelilingi anjing di rumahnya.

‘Siapa yang jadi Musuh’

Gilang tinggal di sebuah kamar pondokan kecil, tepat bersebelahan dengan Masjid Al Furqan. Gilang nyaris tidak pernah pindah dari Gang Lampung sejak 2018. Huniannya itu disewakan oleh seorang penjaga Sekolah Dasar, bernama Pak Robin. Selain menjaga sekolah dasar, Robin juga pernah menjadi Ketua Masjid Al Furqan.

Siang itu Robin sedang menampal baskom dengan membakar sepotong plastik. Ia pria yang amat ramah, tak sulit mengajaknya ngobrol. Saya pun memulai percakapan, “Pak di sini kok banyak anjing ya?” Sontak ia pun langsung tersulut, “iya di sini banyak orang Batak,” ucapnya dengan wajah kesal. Setidaknya ada lima orang yang membeokan jawaban yang sama, setiap kali saya mengajukan pertanyaan yang serupa. Robin adalah salah satunya.

Saat itu saya ditemani Gilang menemui Pak Robin. Ia berkisah dengan berapi-api bercampur rasa kesal. Terlihat Gilang mendengarkan secara seksama. Robin mengakui memang banyak terjadi peracunan anjing di kawasan tersebut. Ia menyebutkan beberapa nama pelaku yang meracuni anjing sekitar. Bertautan dengan itu, secara terbuka Robin mengaku—selama ini ialah yang menguburkan mayat-mayat anjing di jalanan, secara diam-diam. “Aku yang nguburin mayatnya di sana, tapi ga ada yang tahu,” sambil mengarahkan mata dan jarinya ke sebuah lapangan kosong di komplek sekolah.

Pada masa silam ia punya pengalaman pahit dikejar anjing, sehingga Robin melaporkan persoalan tersebut sampai ke Camat. Sempat ada masa-masa damai, namun isu soal kehadiran anjing yang dirasa mengganggu dengan cepat kembali merebak. Dalam obrolan bersamanya, ia beberapa kali menekankan bahwa anjing adalah hewan yang haram dalam agamanya. Ia amat heran dengan warga sekitar yang mengizinkan non-muslim menyewa di kamar pondokannya. “Di situ ada yang Haji, tapi kok mau ngekosi orang Kristen,” ucapnya dengan nada heran.

Saya pun sontak mengajukan pertanyaan kembali, “emang mengapa dengan Kristen?”

Sempat terdiam satu detik, ia pun melanjutkan, “Sebenernya tidak ada masalah dengan orang Kristennya, kadang wong kito malah kalah baik dari mereka. Mungkin kalo mereka tidak melihara anjing, bisa jadi dulur kito,” timpal Robin.

Ia sendiri tidak tahu siapa pemilik anjing-anjing yang berkeliaran. Sedangkan di sisi lain, menurut Robin, kelompok Batak sering berdalih, beberapa anjing yang berkeliaran bukan milik mereka. Mafhum, sebagian besar anjing liar amat sulit untuk dibedakan dengan anjing yang bertuan.

Beberapa mahasiswa mengatakan bahwa anjing mereka hanya menjaga kawasan pondokan dan pekarangannya. Sejauh penelusuran saya, cukup banyak anjing yang dirantai dan dikandang. Namun, tetap saja sulit untuk memastikan agar anjing-anjing tersebut tidak berkeliaran. Robin mengaku, pernah melihat satu anjing berkalung, berkeliaran secara bebas.

Terlepas dari itu, tampaknya racun tidak mengenal anjing bertuan atau tidak bertuan. Sebagian besar anjing yang berhasil ditemukan, tewas di kawasan pekarangan sang majikan. Tak jarang terdapat sekerat daging beracun tergeletak bersamaan dengan kondisi anjing yang terkulai.

Menurut Robin, anjing-anjing yang berkeliaran sering kali memburu anak ayam, terlebih ketika lapar. Fernando pernah mendapat komplain terkait anjing yang memakan ayam. Saat itu 2019, ia didatangi oleh si empunya ayam. Beruntung masalah tersebut cepat selesai dengan ganti rugi. Akan tetapi, dalam kasus lain, tidak semuanya dapat selesai dengan damai.

Di kawasan yang berbeda dari Gang Lampung, tepatnya di Timbangan, terjadi kasus penembakan terhadap seekor anjing. Semua berawal kala seekor anjing berkeliaran dan menerkam ayam. Usai kejadian itu, pemilik ayam tersebut menghampiri Henri Pakpahan dan teman-temannya. Sang pemilik marah besar. Henri pun berinisiatif untuk memberi ganti rugi. Namun, si pemilik itu menolak. “Ngga usah,” tiru Henri. Pria itu terus lanjut memarahi Henri, sampai akhirnya ia memukul salah seekor anjing dan meninggalkan mahasiswa angkatan 2015 itu.

Demikianlah, malam retak melahirkan subuh. Henri dan teman-temannya sedang asyik begadang dengan ditemani gitar, bernyanyi lagu Esterlina. “Dihaburjuon mi hasian… Nauli lagu ku….” Sesaat sedang asyik menyanyi, sekelebat selanjutnya terdengar bunyi muntahan bedil angin. “Duar!” Henri terkejut, suaranya amat memekakkan telinga. Padahal jarak mereka dengan sumber tembakan sejauh seratus meter. Henri dan teman-temannya bertanya-tanya. Namun, akhirnya mereka pun kembali melakukan aktivitas seperti biasa.

Barulah tak lama dari itu, mereka mengetahui leher anjingnya sudah bocor. Setidaknya ada dua anjing yang dibedil. Satu anjing mati di tempat, satu lagi selamat. Namun, karena lukanya yang kian membusuk, tak lama dari itu, anjingnya yang selamat juga ikut tewas. Di kawasan Timbangan, memang terjadi beberapa kali aksi kekerasan terhadap anjing. Aksi peracunan sebenarnya amat minim, terhitung hanya satu kesaksian yang saya dapat. Namun, beberapa kesaksian lainnya menunjukkan aksi kekerasan terhadap hewan yang tak kalah brutal.

Senin, 28 Juni 2021, saya menemui seorang mahasiswa bernama Yoshua Sitorus yang tinggal di Timbangan. Saat ditemui di kamarnya, tampak terpajang bendera LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi), bersanding dengan baju sekolahnya yang sudah dicoret-coret. Saat itu berduyun-duyun datang tamu yang meramaikan pertemuan sore kami.

Yoshua mengaku hampir tiap tahun—sebelum pandemi merebak—kerap menemukan anjingnya yang mengalami luka serius. Beberapa anjingnya pulang dengan kaki pincang, mata buta, dan berdarah-darah. Sebagian anjingnya sudah dirantai, separuhnya dibiarkan mengitari halaman berpagar. Namun, ia mengakui agak sulit untuk terus memastikan agar anjingnya tidak keluar pagar. Salah satu kejadian yang paling Yoshua kenang, menimpa anjingnya bernama Jude. Kala itu sekitar Mei 2018, Jude pulang dengan dengkingan dan luka. Ceceran darah keluar dari matanya. Beruntung nyawa Jude selamat, namun dengan mata sebelah yang tidak bisa melihat lagi.

Sama seperti Gang Lampung, di Timbangan tak banyak yang mengetahui siapa pelaku penganiayaan hewan. Biasanya, saat mendapat teguran ihwal anjing, Yoshua dengan segera merantai atau menjadikan anjingnya kudapan. Meskipun demikian, tetap saja masalah kehadiran anjing seolah-olah hanya dibebankan pada kelompok Batak. Walau yang merebak adalah anjing liar sekali pun.

Yoshua pernah mendapat umpatan dari seorang pria tidak dikenal, sesaat sedang bersiap menutup warung kopi di tempat kerjanya. Pria tersebut tiba-tiba melewati pintu kedai, masuk dan memaki-maki. Ia mengatakan ibunya dikejar-kejar anjing milik kedai kopi tersebut. Meskipun sebetulnya gerai tersebut tidak memelihara anjing satu pun. Namun, lalu lalang anjing liar cukup banyak di sekitar Indralaya. Celakanya, seekor anjing sedang nongkrong di gerai kopi itu.

Setelah keluar, pria asing itu didatangi oleh pria lain yang bertanya ihwal yang terjadi. Namun, pria tersebut kembali memaki. Yoshua masih ingat kalimat yang dilontarkannya. “Itu nah Batak, anjing, babi kurang ajar! Kristen nggak ada otak!” caci pria asing tersebut. Saat itu Yoshua hanya diam saja, sang pemilik kedai yang menyaksikan mencoba menenangkannya.

Sampai sekarang Yoshua masih heran dengan apa yang terjadi saat itu. Ia menduga pria tersebut mabuk. Demikianlah waktu lepas begitu saja—terurai seperti kepulan asap dari rokok di jari-jari Yoshua. Sampai senja turun, obrolan kami pun makin jauh dan melebar. Saya pun bertanya lebih dalam, tentang kelompok yang membenci Batak, berikut dengan pelaku kekerasan terhadap anjing di kawasan tersebut. Namun, ia pun menjawab: “Jujur saja kita juga bingung siapa yang jadi musuh,” tuturnya seraya membayangkan apa yang telah terjadi.

Ada Corong Komunikasi yang Tersumbat

Kain sajadah terbaring rapi di antara meja dan televisi. Sekitar tiga langkah dari situ sepotong salib korpus terpajang di antara tembok-tembok yang dipenuhi oleh lukisan. Dinding rumah itu hampir dipadati oleh ragam pigura penuh warna di berbagai sisi. Salah satu kanvas yang cukup menarik perhatian saya yakni gambar Mao Zhedong yang tampak berdiri gagah di antara lukisan lain. Rumah itu ditinggali oleh Bagindo Togar, pengamat sosial-politik Sumatra Selatan. Namanya acap muncul di berbagai pemberitaan media lokal bahkan nasional. Ia disebut-sebut sebagai pengamat paling didengarkan seantero Sumatra Selatan.

Dari nama “Togar” di belakang, tak sulit untuk menebak bahwa pria ini berketurunan Batak. Meskipun banyak yang salah paham, mengira ia berasal dari Minang, mengingat nama depannya terpampang kata “Bagindo”. Nama aslinya adalah Baginda Togar. Namanya berubah karena dahulu tetangganya yang berasal dari Minang, sering memanggilnya dengan sebutan “Bagindo”. Ia menyukai sapaan itu, sehingga dipakainya hingga sekarang.

Jika memperhatikan cara bicaranya, tampak aksen bataknya kian kabur oleh dialek khas Palembang. Tentu hal ini wajar, mengingat hampir setengah umurnya dihabiskan di kota ini. Namun, Bagindo tetaplah seorang Batak, baginya adalah sebuah dosa pada leluhur bila ia tidak mengakui asal darahnya. “Batak itu adalah persoalan nilai!” tegasnya.

Sekitar 2013, Bagindo pernah ditemui oleh sekelompok mahasiswa Batak yang sedang mengenyam studi di Unsri. Mahasiswa-mahasiswa tersebut menceritakan masalah pelemparan batu dan peracunan anjing yang tengah mereka hadapi di Indralaya. Bukan hanya saat itu, bahkan sekitar beberapa tahun selanjutnya, ia juga ditemui oleh mahasiswa Batak yang berkisah masalah serupa. Kini, tahun 2021 saya kembali menanyakan masalah yang sama kepadanya. Demikianlah jawabannya tidak berubah.

“Aku kan pernah ngomong dengan mahasiswa Batak di sana, ‘berbaurlah!’. Mereka itu cenderung mengelompokkan diri mereka sendiri. Itulah interaksi homogenitas yang sebenarnya dan mereka yang memulai. Tidak ada upaya otokritik!”

Togar emosional. Ia melagukan kata demi kata dengan cepat. Baginya chauvinisme lokal adalah persoalan yang ada di mana-mana, bukan hanya Indralaya. Kelompok mahasiswa Batak yang ia maksud justru memperkeruh chauvinisme identitas yang sudah ada. Terlebih dengan gaya hidup yang acap berkelompok. Sehingga Togar tak heran apabila muncul sikap sinis di antara warga setempat. Tipikal mahasiswa Batak yang mengelompok dalam satu kawasan, menurutnya adalah bukti mereka belum menikah dengan tata nilai lokal. “Sampai ada satu gang (di Indralaya) mayoritas Batak,” keluhnya dengan wajah mengerut.

Suku Batak memang dikenal memiliki persaudaraan dan solidaritas yang tinggi. Sehingga sering kali etnis yang berasal dari Sumatra Utara ini, hidup berkelompok dalam satu kawasan. Dalam kasus Indralaya pengelompokan etnis Batak terbilang berbeda dari daerah lain. Mereka tidak hanya dibagi berdasarkan punguan (marga atau asal usul). Namun, terdapat satu sistem organisasi yang terbilang khas. Yakni pengelompokan Batak berdasarkan sektor.

Sektor merupakan organisasi perhimpunan mahasiswa Batak yang dibagi berdasarkan nama jalan yang mereka diami. Setidaknya ada lima sektor yang ada di Indralaya, yakni Gang Lampung, Persada, Gang Buntu, Timbangan, dan Muhajirin. Sistem pembagian berdasarkan sektor ini sudah ada sejak 2004, namun belum hadir dengan struktur yang rapi. Barulah tahun 2013, sektor-sektor ini sudah memiliki administrasi lengkap seperti organisasi pada umumnya. Maba Unsri—Batak—yang pertama kali sampai di Indralaya, langsung digandeng untuk tinggal dan bergabung dengan sektor masing-masing. Bahkan dari sini, sering kali terjadi persaingan jumlah kader yang sengit.

Persaingan di tengah organisasi ini juga merambat dalam ajang perlombaan olahraga atau seni, yang mereka adakan antar sektor-sektor Batak. Bahkan dahulu ada sekat yang acap melihat sektor lain dengan sinis. Meskipun kini kondisinya lebih cair. Bicara soal loyalitas? Jangan diragukan. Bahkan kegiatan sektor tak jarang menjadi prioritas dibandingkan perkuliahan, punguan, atau kegiatan lain. Jika ada anggota yang sakit, personel sektor akan merawat hingga sembuh. Apabila ada yang tidak mampu membayar biaya kuliah. Sering kali anggota sektor turun tangan, membantu dalam bentuk dana solidaritas.

Kakak tingkat yang lebih tua memiliki kewajiban untuk mendidik adiknya. Konotasi mendidik ini juga ditafsirkan dalam bentuk tamparan atau tindakan sejenis. Maba yang baru bergabung biasanya dibebankan beberapa hal oleh para senior. Misalnya mereka wajib memenuhi janji IPK yang harus mencapai taraf tertentu. Ada pula larangan bermain judi dan merokok selama dua tahun. Yang tak kalah menarik, mahasiswa baru juga diwajibkan melakukan olahraga tiap pagi.

Dari kacamata pihak luar, keorganisasian sektor acap gandrung akan tindak perpeloncoan. Mahasiwa yang baru bergabung dengan sektor, disebut-sebut sebagai angkatan babu. Karena kerap disuruh-suruh oleh mereka yang lebih tua. Namun, bagi anggota sektor tindakan mereka adalah pola didikan, seperti yang dilakukan oleh seorang keluarga kepada adiknya. Bahkan Sektor Timbangan memiliki teknik baku untuk menampar anggotanya. Mereka tidak diperkenankan untuk sembarangan menampar, apa lagi membawa masalah pribadi dalam tindakan “mendidiknya”.

Yoshua, mengaku sudah tidak terhitung ditampar selama berorganisasi di sektor. Menariknya, ia justru menikmati semua perlakuan tersebut. “Jadi tau cara bersikap,” terangnya. Saat saya bertanya apakah main tangan mesti dihapuskan dalam pola didikan sektor, semua serentak menjawab, “Tidak!” Bagi mereka aksi fisik adalah salah satu unsur yang penting dalam mendidik keluarga.

Dahulu agenda sektor jauh lebih keras dan kaku dalam mendidik kader. Bahkan praktik persaingan antar sektor terbilang lebih pelik lagi. Tak seperti dulu, kini banyak upaya untuk berubah agar sektor jauh lebih cair. Di masa lampau, antar sektor yang berbeda jarang berinteraksi, apa lagi nongkrong di satu tempat yang sama. Kini saya bahkan melihat orang-orang dari lintas sektor berbeda, nongkrong menjadi satu bersama warga lokal. Dengan segala kekurangannya, Yoshua masih mencoba untuk berbaur dan berinteraksi dengan warga setempat.

Terlepas dari perbedaan pandangan antara Togar dan mahasiswa Batak di Unsri, setidaknya ada satu premis yang disepakati antara Togar dan sebagian besar mahasiswa Batak yang saya wawancarai. Yakni persoalan komunikasi. “Jelas, ada corong komunikasi yang tersumbat,” sentak Togar, tanpa keraguan.

Apa yang disampaikan Togar, amat persis dengan tanggapan sosiolog Saudi Berlian. Selain persoalan komunikasi, bagi Saudi, konflik ini adalah persoalan pribadi yang mengambil pembenaran menggunakan sentimen etnik. Ia menarasikan dahulu, Indralaya memiliki tradisi komunikasi yang mempertemukan orang lewat bangunan sejenis balai. Nama bangunan itu dalam tradisi Indralaya disebut pance. Sama seperti gazebo, pance menjadi ruang-ruang terbuka, penghubung antar orang dengan bermacam latar belakang untuk bertemu. Namun, kini pance yang dimaksud Saudi Berlian kian langka. Hal ini akibat dari arus urbanisasi yang makin sukses mencabut akar tradisi ke-Indralaya-an.

Pembicaraan tentang pance kembali menarik ingatan saya kepada salah satu warung kopi di Palembang. Namanya Panche Hub. Gerai kopi ini milik pemuda bernama Arada Emir Jordan. Sebelum pindah di Palembang, dahulu ia tumbuh dan besar di Indralaya. Warung kopinya terinspirasi dari pance di Indralaya. Sebagai wahana yang menghubungkan orang dengan latar belakang berbeda di satu bangunan. Kiranya begitu semangat yang ia usung dalam membangun warung kopinya.

Sebagaimana filosofis warung kopinya, Emir juga dikenal sebagai pribadi yang amat mudah bergaul. Tak sukar bagi saya untuk berteman dengannya. Namun, di balik itu semua, mungkin tidak ada ada yang menyangka. Dahulu masa kecilnya, pernah diisi dengan aksi peracunan anjing di kawasan Gang Lampung.

Pempek Berbalur Racun

Jarum jam menunjukkan pukul 19:00. Sekelompok remaja tengah asik nongkrong di Toko Jagat. Sekedar untuk bersoloroh, setelah asyik bermain polisi-bandit. Emir adalah salah satunya. Demikianlah momen tersebut berlangsung di bulan Ramadan. Terdengar lantunan ayat dari toa masjid, bercampur dengan obrolan mereka. Pekatnya gulita malam kian tak menghentikan percakapan. Satu-satunya yang memotong kicauan para remaja ini ialah kehadiran seorang pria. Bukan pria asing, mereka sudah kenal dengan orangnya.

“Ini pempek pada mau enggak?” tawar pria itu pada mereka. Obrolan pun terhenti. Sekelabat selanjutnya remaja-remaja tersebut pecah berhamburan. Beberapa berkerumun mendekati pria itu, tangan-tangan lapar mencoba meraih isi kantong yang dibawa si pria. Emir dan teman-temannya mengira itu pempek yang siap dilahap. Namun, si pria menahan mereka dengan cepat. Selanjutnya ia lantas menjelaskan bahwa benda tersebut adalah racun. Desir kehadirannya menandakan ajakan. Sebuah undangan untuk sekelompok remaja itu, ikut dalam aksinya. Bahkan muncul jemputan verbatim dan terbuka. “Nak ikut ngeracuni anjeng dak?”

Demikianlah tak lama setelah itu, kresek penuh racun—berpindah tangan. Pria itu justru tidak ikut, dan meninggalkan para remaja tersebut beraksi sendiri. Lantas apa alasannya? Menurut Emir alasannya adalah: “Main bersih”. Selanjutnya Emir bersama lima rekannya, mengitari Gang Lampung. Berburu setiap anjing yang berhasil mereka temukan. “Setiap liat kosan yang ada anjingnya, (racunnya) dilempar. Sudah dimakan sama anjingnya, setelah itu geser lagi, ke kosan yang lain.”

Setidaknya lebih dari lima racun mereka lempar ke beberapa pekarangan kosan yang berbeda. Bentuk benda itu persis seperti pempek. Jelasnya seperti lenjer besar yang dipotong-potong. Warnanya abu-abu dan mengeluarkan bau yang sedikit amis. Jumlahnya hanya sekitar enam buah, namun itu sudah cukup untuk operasi pembantaian anjing di kawasan Gang Lampung. Emir masih berumur 16 tahun saat itu. Tak heran aksi Emir bersama teman-temannya diselingi gelak tawa. Emir menjelaskan ada suatu sensasi asyik yang khas dalam aksinya tahun 2014 tersebut. “Tegang, tapi seru”.

Dari Emirlah saya mendapatkan beberapa nama pelaku peracunan anjing. Setidaknya dua nama yang ia berikan, terkonfirmasi benar-benar aktor yang mengorganisir peracunan di kawasan Gang Lampung. Dahulu Emir amat membenci kelompok Batak, terlebih anjing-anjingnya. Hal ini berangkat dari rasa takut yang ia pendam terhadap anjing di kawasan itu. Alasan teman-temannya juga tak jauh berbeda. Awalnya ia hanya membenci anjingnya. Namun, berikut hari Emir turut membenci identitas Batak dan selanjutnya agamanya. “Batak Kristen Ngeseli,” kiranya begitu yang ia pikirkan dahulu.

Selepas melempar racun terakhir, Emir kecil bermaksud pulang ke rumah. Begitulah waktu telah menunjukkan 22:00, sekitar dua jam mereka habiskan untuk berburu anjing. Dalam perjalanan pulang, mereka kembali berpapasan dengan kawasan yang sempat dilewati. Dari jauh, seraya pura-pura tidak tahu, Emir dan teman-temannya melihat anjing yang telah terkulai. Nyatanya efek racun cukup cepat. Hanya 30 menit, si anjing sudah sekarat. Emir melihat seorang pemilik yang panik menyelamatkan anjingnya. Ekspresi cemas tergambar jelas, seraya terus menjejal susu ke mulut peliharaannya. Namun, si anjing terus meronta-ronta. Emir tahu nasib anjing-anjing itu hanya tinggal menunggu waktu. Ia sampai di rumah tanpa beban.

Emir kini menyesal. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu mulai bertanya-tanya atas apa yang dia lakukan saat kecil. “Kalo dipikir-pikir, kok aku mau-maunya ya?”

Persoalan Empati

Kala itu bulan Mei 2019, sekitar pukul 18:00 Indralaya sudah mulai gelap. Fajar Sihombing mahasiswa asal Batak, pulang membawa makanan anjing yang ia beli dari warung. Setidaknya Fajar memiliki 10 anjing yang ia pelihara di kosan. Kuman merupakan nama anjing yang paling ia sayangi. Menurut Fajar Kuman anjing yang amat penurut. Kuman tidak pernah menggigit orang. Bahkan teman-teman kelas Fajar senang dengan Kuman. Hampir setiap hari ia ditemani Kuman berjalan ke kampus. Saat pulang, ia juga disambut Kuman di depan Unsri. Bagi Fajar Kuman adalah keluarganya.

Sayangnya hari itu amat pelik bagi Fajar. Sesaat sampai pondokan, ia bersiap membagikan makanan anjing yang baru dibeli. Namun, suasana sekitar amat sunyi. Tidak ada bunyi gonggongan anjing yang terdengar. Ia heran, biasanya dia langsung disambut oleh anjing-anjingnya. Fajar pun memanggil anjing kesayangannya, “Kuman!! Kuman!!” panggilnya. Masih tidak ada suara.

Ia pun mencari anjing-anjingnya. Tak disangka, tepat di samping bangunan, sembilan anjingnya sudah tewas diracun. Hanya Kuman yang masih hidup, namun, dalam keadaan meronta-ronta. Sekarat. Fajar langsung mengangkat Kuman yang masih meronta-ronta, perutnya kencang. Pun saat itu tubuh Kuman lebih panas dari biasanya. Teman-teman Fajar menyuruhnya memberikan susu.

Dalam kondisi menggeliat, Kuman pun diberi beberapa botol susu. Namun, itu tak menghentikan siksaannya. Akhirnya sekitar jam 22:00, Kuman berhenti meronta seirama dengan embusan napas terakhirnya. Dada Fajar sesak, terkenang kembali kala Kuman menunggunya di depan kampus.

Sekitar jam 12:00 ia bersama dua temannya mengubur Kuman dan sembilan anjing lainnya. Malam itu lebih dingin dan sepi dari biasanya, udara malam mengelus tubuh Fajar. Esoknya Fajar balik ke kampung halaman, di Medan. Sampai kini ia tidak pernah lagi memelihara anjing. Alasannya cukup sederhana, “trauma,” ucapnya dengan mata nanar.

Bicara soal tindak pidana. Beberapa pihak yang terlibat dengan aksi peracunan anjing bahkan tidak mengetahui pelanggaran hukum yang ia lakukan. Padahal menurut organisasi yang bergerak di bidang Advokasi Satwa Indonesia, setidaknya terdapat tiga ayat dalam KUHP yang dapat dikenakan pada pelaku peracunan anjing. Pasal 406 Ayat (2) dan Pasal 302 Ayat (1) serta (2). Lebih-lebih apa yang pelaku lakukan juga melanggar empat dari lima prinsip kesejahteraan hewan. Salah satunya adalah prinsip bahwa hewan bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit.

Tak cukup sampai situ, menurut aktivis kesejahteraan hewan, Rio Aditya Ang, terdapat satu pasal lagi yang dilanggar dalam kasus di Indralaya. Yakni pasal 66 Ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 2014. ”Setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Ancaman hukumannya paling singkat satu bulan dan paling lama enam bulan,” tulisnya, kala dihubungi via Instagram. Bahkan menurut Rio, apabila racun dilempar ke pekarangan majikan, maka kasus ini sudah masuk dalam pelanggaran hukum yang menyangkut “Trespassing Law”.

Saat saya hubungi, Rio telah menyelesaikan studi Applied Animal Behaviour and Animal Welfare di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Dalam laman Instagramnya, terlihat beberapa hewan menemaninya dalam foto yang diunggah. Lebih jauh, ia juga mengingatkan pentingnya para pemilik anjing untuk memperhatikan kerukunan sosial di sekitarnya. Sehingga, majikan harus mencegah jangan sampai kehadiran anjingnya mengganggu muka umum, apa lagi merusak properti publik atau individu.

Rio juga mendesak peran pemerintah dalam membangun regulasi yang bisa menjadi pegangan untuk menghindari konflik. Misalnya, ia mencontohkan di Jakarta terdapat peraturan yang mewajibkan pemilik anjing memberi vaksin rabies secara berkala. Dalam peraturan yang sama (Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 199 Tahun 2016), majikan juga tidak diperkenankan memelihara lebih dari lima anjing di kawasan Jakarta. Hal ini mengingat resiko kebisingan disebabkan oleh gonggongan anjing.

Menurut Rio lagi, anjing memang sering kali menjadi korban kekerasan. Hal ini mengingat terdapat anggapan bahwa anjing adalah hewan yang najis. Akan tetapi, bila digali lebih jauh, ia mengenal banyak muslim di Indonesia yang amat respek kepada anjing, bahkan memeliharanya penuh kasih. Rio optimis dengan edukasi yang tepat, Indonesia bisa menjadi negara yang ramah terhadap hewan.

Sebelum menutup wawancara, Rio berpesan akan pentingnya membangun sikap-sikap altruis dan menghindari pola pikir antroposentris. “Menurut saya pada dasarnya ini adalah persoalan empati terhadap sesama makhluk hidup, baik sesama manusia maupun hewan di sekitar. Dengan dasar empati inilah, kita bisa mencoba untuk mencari jalan tengah yang tidak berujung pada kekerasan,” pesannya, mengakhiri wawancara.

Liputan ini merupakan hasil fellowship menulis tema kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diselenggarakan Yayasan Pantau bersama dan dimentori oleh Wan Ulfa Nur Zuhra.

(tirto.id – Indepth)

Reporter: Rachmad Ganta Semendawai
Penulis: Rachmad Ganta Semendawai
Editor: Adi Renaldi

Artikel ini pertama kali tayang di Tirto.id pada 23 Juli 2021 dengan judul Dipukuli, Diracun: Saat Anjing Jadi Korban Sentimen Etnik dan Agama. Yayasan Pantau melakukan re-publikasi tulisan para peserta fellowship kursus Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama yang diselenggarakan dengan dukungan Kedutaan Jerman. Ilustrasi: Pempek, The Last Resort of Layered Tricks oleh skuidskuad.

by:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *