Kisah Handayani selama menghidupi Gereja Persekutuan Hati Damai dan Kudus adalah sekaligus potret geliat komunitas LGBTQ di Indonesia, yang dalam berbagai kesulitan masih memiliki harapan.

“Begini,” kata seorang pendeta Gereja Bethany Manyar, Surabaya, “Jujur saja, kami bingung. Sebab, belum ada waria yang pernah kami baptis. Katakanlah kau sudah [operasi] menjadi perempuan. Tapi takdirmu, adalah menjadi laki-laki.”

Kalimat itu hanya diucapkan kurang dari satu menit oleh pendeta Christ Da Costa. Tiga puluh tahun yang lalu. Di samping altar Gereja Bethany Manyar, Surabaya, kepada Handayani, seorang transpuan, saat itu berusia tiga puluh tahun.

“Kau bawa bukti kalau sudah jadi perempuan? Satu lagi, kau sekarang bawa surat-surat resmi dari pengadilan?” kata Da Costa.

Sepersekian detik setelah pertanyaan itu tergelincir, Handayani sama sekali tak sanggup bergeming. Ia hanya menunduk dan mematung, seraya berupaya meneguhkan hatinya untuk menjawab pertanyaan itu. Handayani berusaha agar airmatanya tak pecah.

Hari itu, mulanya ia siapkan sebagai momentum yang kelak akan ia kenang dengan bahagia. Sebuah hari yang ia harap menjadi titik balik bagi kehidupannya. Tak ada syakwasangka yang mengira bahwa ia mesti membayar ritus pembaptisan itu dengan ingatan traumatik menancap di kepalanya. Hingga waktu yang lama, hingga hari ini, pasca tiga puluh tahun kenangan pahit itu berlalu.

“Setiap kali ingat, hati saya rasanya remuk,” kata Handayani.

Handayani melakoni operasi ganti kelamin pada tahun 1987 di Rumah Sakit Dr. Soetomo, Surabaya. Saat itu, usianya hampir menginjak 30 tahun. Ia ditangani oleh dokter Marzuki Johansyah. Nama itu akan selalu ia kenang, sebab tak hanya berjasa melakukan perawatan media, tapi juga membantu Handayani mengurus legalitas hukum identitasnya.

Pada 1990’an, individu LGBTQ dikategorikan sebagai penyakit mental walau ada psikiater yang berpendapat penelitian mereka membuktikan homoseksualitas adalah natural. Baru, pada tahun 2012, World Health Organization, memutuskan untuk menghapus LGBTQ dari kategori penyakit mental. Serta, mereka meminta kepada pemerintah di seluruh dunia, untuk turut mendepak lampiran diagnosa kondisi kesehatan mental seseorang untuk mengakses hak hukum, pendidikan, dan juga agama. Beleid itu, tujuannya adalah untuk melenyapkan ancaman diskriminasi hingga ke akarnya.

Dr. Jack Drescher, salah satu anggota International Classification of Disease (ICD), menganti kategori LGBT dari gangguan mental menjadi disforia gender [ketidakseusaian antar gender dan kelamin biologis]. Ketaksesuaian itu hal yang lumrah belaka, dan tak patut disebut sebagai ‘penyimpangan’.

Andreas Maslin, seorang konselor pembaptisan yang ditugaskan untuk berkotbah di depan jemaat Gereja Bethany Manyar menjelang upacara baptis, mengatakan, bahwa peristiwa yang dialami Handayani adalah pelajaran penting bagi gereja. Setelah peristiwa itu, pihak gereja menerima transpuan untuk dibaptis. Dan Handayani, menurut Andreas Maslin, berkali-kali menjadi memandu kawan-kawan transpuan yang lainnya.

“Boleh dibaptis, tapi syaratnya satu. Tidak boleh kembali ke jalan lama, dan harus memulai hidup baru. Sepenuhnya melayani Tuhan,” tukas Andreas Maslin.

Dede Oetomo, seorang anggota Gaya Nusantara, sekaligus aktivis yang telah puluhan tahun mengadvokasi isu LGBT, mengatakan bahwa transpuan semestinya dapat merayakan hak beragama. Tanpa syarat. Di dalam hukum Indonesia, tak satupun ayat yang mengatakan bahwa hak beribadah hanya miliki laki-laki atau perempuan saja.

“Kebijakan seperti itu, justru membuat teman trans semakin tersiksa. Bahkan, mereka terpaksa mempertaruhkan kenyamananya di ruang ibadah, dan mendengar khotbah yang transpobik. Kalau di Islam, mereka terpaksa berdandan sesuai kelamin mereka. Dan itu saja masih berisiko diusir kalau ketahuan. Jadi, seharusnya pembaptisan adalah hak semua orang Kristen. Tanpa perlu mempertimbangkan gender, sekali lagi,” terang Dede Oetomo.

Pada 17 Juni 2016, Persatuan Gereja Indonesia, merilis sebuah surat terbuka kepada gereja-gereja agar memberikan perlakuan yang sama terhadap komunitas LGBT. Tujuan dari surat itu adalah untuk mempersempit ruang diskriminasi. Lewat surat tersebut, PGI menganjurkan gereja untuk memberikan perlindungan, hak baptis, dan beribadah yang setara dan mengupayakan tak ada bibit-bibit fobia terhadap komunitas LGBT tak lagi tumbuh di lingkungan gereja.

Merekam Jatuh Bangun Perjalanan Gereja Transpuan Tertua di Pulau Jawa
Handayani di salah satu ruangan ibadah Gereja Persekutuan Hati Damai dan Kudus Surabaya. Gereja ini khusus menampung jemaat transpuan.
Foto: Ivan Darski

Handayani menuju lantai dua kediamannya yang berfungsi pula sebagai gereja bagi transpuan di Surabaya.

Memori kelam itu terus terbayang di kepala Handayani, namun sebab punya hati yang luas, Handayani rela menyimpan trauma itu. Sebab, meskipun ia sempat mengalami diskriminasi, setidaknya, berkat keberaniannya saat itu, jalan teman-teman transpuan lain yang ingin dibaptis menjadi terbuka lebar.

“Ibarat waktu itu kita berada di sebuah ruangan yang terkunci, kalau tidak ada yang berani dobrak, pintu tidak akan terbuka. Dan sayalah, yang mendobrak pintu itu. Dan puji Tuhan, hasilnya bisa dinikmati oleh orang-orang lainnya,” kata Handayani.

VICE bertemu Handayani di kediamannya, di bilangan Bratang, Surabaya. Sore itu hujan lebat baru saja reda. Mendung yang masih bergelayut di langit membuat suasana terasa remang. Pendar cahaya lampu semata wayang yang terpacak di tengah tak cukup menerangi seisi ruangan.

Hari itu Bunda Handayani tak sendiri. Ia ditemani oleh dua sahabatnya, Yoni, dan Mami Sonya, karib Handayani puluhan tahun. Sehari-hari, Handayani hidup dengan adiknya yang paling bungsu dari delapan bersaudara. Serta, ia juga tinggal dengan seorang anak asuh yang telah ia rawat sejak berusia balita.

“Kami kenal sudah lama. Kira-kira sejak [tahun] 80-an akhir. Saat itu sama-sama di jalan. Tapi, Handayani dulu pamornya udah ngetop. Tapi enggak sombong. Dia mau merangkul saya. Ya, waktu itu terhitung anak-anak baru, lah. Padahal waktu itu yang lain pada cuek. Sejak itulah persahabatan kami bermula,” kenang Mami Sonya.

Handayani mulanya adalah seorang penari di sebuah kelompok ludruk bernama Duta Budaya dan Gema Kribata. Ia juga sempat menjadi penari ular di Apple Door, salah satu diskotik yang sempat berjaya di era 80-an. Mulanya, Handayani bercita-cita menjadi selebritas macam karibnya,  Dorce Gamalama. Namun nasib memberinya jalan lain untuk menghabiskan usianya menjadi aktivis gereja transpuan. Sebuah hal mulanya tak pernah sedikitpun terbesit di benaknya.

“Dulu, Bunda ini primadonanya Surabaya, lho. Sejak kenal Tuhan, udah enggak mau ‘turun ke jalan’. Aktivitas seksual saya berhenti sejak tahun 90-an. Semenjak dibaptis. Sejak itu juga saya mulai bercita-cita untuk membangun sebuah gereja untuk mereka yang senasib dengan saya. Puji Tuhan, responnya teman-teman positif dan pada mau. [itulah bukti] Tuhan kasih percaya sama Bunda,” tukas Handayani.

Mami Sonya pun mengamini bahwa Handayani dulu pamornya melejit. Sebab, kehadiran Handayani kerap membuat kemacetan. “Orang-orang pada berhenti dan nonton Bunda. Sampai pada mlongo,” kenang Mami Sonya, diiringi ledakan tawa.

Handayani dan Mami Sonya melewati suka dan duka bersama. Termasuk mengecap pahitnya diskriminasi sebagai transpuan di lingkup gereja. Salah satunya, saat Mami Sonya menunaikan ritus peribadatan. “Jadi waktu itu aku ke gereja, kan. Terus, satu persatu jemaat yang ada di samping kanan kiri itu pindah bangku. Terus aku dengar, kalau mereka gosipin aku. ‘Eh iku lho bencong. Onok bencong!’ Mau marah juga bagaimana. Saat itu aku malah merasa sangat berdosa. Sebab, kehadiranku justru menjadi penyebab dosa orang lain. Soalnya karena aku ada disitu, mereka jadi rasan-rasan [bergosip],” kenang Mami Sonya.

Mami Sonya saat itu memilih untuk tak meluapkan amarahnya. Ia tahu, sebagai kaum yang tersisihkan, kemarahannya tak akan mengubah apa-apa. Ia mahfum, amukannya hanya akan memperumit suasana dan membuka ruang diskriminasi yang senantiasa mengintainya.

“Aku tahan aja. Aku tahan, sampai badanku gemetaran. Sebetulnya, sedih banget. Tapi aku ingat, tujuanku di sana adalah beribadah pada Tuhan. Meskipun tidak nyaman, ya, kondisinya.”

“Itu adalah bukti politikus kita tidak memperhatikan hak warga negara, dan begitu terbelakang. Kita tengok deh di negara seperti Taiwan. Disana, mereka punya UU Kesetaraan Pernikahan yang ditandatangani langsung oleh presiden. Pena yang digunakan untuk tanda tangan momentum bersejarah itu, diberikan kepada seorang aktivis LGBTQ yang getol mengadvokasi isu. Sementara disini, pemikiran negara kita tidak se-progresif itu. Dan itu menunjukan betapa terbelakangnya kita,” terang Dede Oetomo.

Nasib Mami Sonya memang tak seberuntung Bunda Handayani. Sebab kondisi ekonominya yang rentan, ia tak dapat mengakses operasi kelamin. Namun, menurut Dede Oetomo, sebetulnya, ada banyak jalan untuk seseorang mengubah jenis kelamin di identitasnya. Bahkan tanpa mesti operasi kelamin.

Salah satu contohnya adalah di Spanyol. Seseorang yang ingin mengubah identitasnya, tak perlu repot-repot operasi kelamin. Mereka, hanya perlu mengajukan di kantor Dinas Kependudukan dan Sipil, dan menunggu proses selama tiga bulan.

“Di Indonesia sebetulnya juga bisa. Cukup menyerahkan diagnosis dari dokter yang punya kredibilitas, setelah melewati penelitan hormon. Tapi itu juga tidak bisa diakses oleh semua transpuan, sih. Karena ongkosnya besar. Sementara di Indonesia, transpuan kesulitan untuk mengakses pekerjaan formal yang memberi upah layak. Itu adalah salah tanda, bahwa [negara] kita cukup terbelakang dalam urusan hak asasi manusia,” tukas Dede.

Di Nganjuk, ada seorang transpuan yang mengoperasi kelaminnya dan mengajukan ganti identitas. Nahas, hakim persidangan mendapat ancaman dari anggota Front Pembela Islam, dan terpaksa membatalkan. Untung saja, urusan itu beres di Pengadilan Negeri, Surabaya. Artinya, suara minoritas kerap berpotensi untuk terampas meskipun melakoni prosesi sesuai ketentuan hukum yang terbatas di Indonesia.

Perundungan dan perisakan di lingkungan gereja membulatkan tekad Handayani untuk mendirikan sebuah gereja. Ia kemudian mengusulkan kepada anggota Persatuan Waris Kota Surabaya (Perwakos), dan disambut dengan antusias yang tumpah ruah.

“Dulu akhirnya saya usul, ‘bagaimana kalau kita bikin gereja sendiri? Kecil-kecilan saja. Pokoknya fun. Lah kok pada semangat. Dulu agendanya rutin beribadah bersama, memuju Kristus, dan bersukacita. Jadi waktu itu rasanya seneng banget, soalnya bisa beribadah sama teman-teman sendiri jadi enggak perlu was-was,” kenang Handayani.

Mami Sonya mengenang foto-foto ketika trasnpuan di Surabaya akhirnya boleh dibaptis di salah satu gereja. Foto: Ivan Darski.

Mulanya gereja khusus LGBTQ yang didirikan tahun 1990 di bawah payung Perwakos itu, bernama Gereja WGL. Mereka memakai akronim Waria, Gay, dan Lesbi agar anggota LGBTQ lain mudah untuk mengetahui, dan pintu selalu terbuka jika ada yang berminat untuk bergabung.

Di masa awal-awal berdirinya gereja, mereka iuran untuk mengontrak dari satu rumah ke rumah lainnya. Hingga pada 2014 lalu, Handayani memutuskan untuk memberikan sebagian ruang di rumahnya untuk menjadi gereja. Momentum itu dibarengi dengan perubahan nama menjadi Persekutuan Hati Damai dan Kudus (PHDK), sebuah nama yang diusulkan oleh Yoni, pendeta sejak pertama kali gereja tersebut berdiri.

Yoni adalah satu-satunya penginjil yang mau melayani gereja PHDK. Berkali-kali tawaran Handayani ditolak oleh pendeta dengan alasan-alasan yang memunggungi kemanusiaan. Sebagian pendeta mengklaim, bahwa upaya Handayani dan komunitasnya beribadah adalah sia-sia belaka. Sebab di Alkitab tercantum bahwa pemburit tak diperkenankan menghuni surga.

“Orang-orang seperti itu memangnya dia itu tangan kanan Tuhan? Kok berani-beraninya asal klaim,” celetuk Yoni.

“Jujur saja, saya juga mulanya bingung. Tapi, saya melihat mereka ini kan sama dengan saya. Sama-sama manusianya. Atas nama kemanusiaan saya kemudian mau melayani mereka, hingga hari ini.”

Yoni, sebelum jadi pendeta, menjadi bandar narkoba.

Sekilas bangunan bercat biru kusam yang dipenuhi kursi-kursi kayu panjang itu tak tampak seperti gereja. Lokasinya pun berada di balik toko-toko. Keberadaan mereka menjadi samar, dan mempertipis celah pantauan dari individu homofobia, yang militan, yang senantiasa membayangi mereka.

Gereja itu terletak di lantai satu kediaman Handayani. Tepatnya di samping sebuah ruang tamu berdinding lapuk warna putih fasad yang dipenuhi kaca-kaca salon buram disapu waktu. Sementara lantai dua disulap menjadi bilik-bilik berdinding kayu. Tempat itu digunakan sebagai panti jompo untuk menampung kawan-kawan transpuan lanjut usia yang belum diterima keluarga mereka.

Untuk menutup seluruh ongkos kebutuhan harian, Handayani menyisihkan sebagian pendapatan salonnya. Namun, sejak pagebluk Covid-19 menyapu hajat hidup seluruh manusia di dunia, salon yang menghidupi Handayani sejak tahun 90-an ini terpaksa gulung tikar.

“Sejak pandemi, salon udah bangkrut. Cuman sesekali aja pelanggan lama mampir, tapi juga enggak sering. Apalagi di depan sudah dikontrak orang, jadi makin tidak kelihatan. Tapi kadang ada aja yang ngebantu. Kalau enggak ada, ya seadanya aja. Pokoknya makan,” imbuh Handayani.

IVAN0045.jpg

Handayani ketika merias diri ditemani karibnya Mami Sonya.

Selain di lingkup agama, ancaman lain yang mengintai transpuan lainnya di Indonesia adalah beberapa beleid diskriminatif yang rentan menyasar komunitas LGBTQ.  Salah satu yang kerap jadi langganan aparatur negara sebagai alat kriminalisasi komunitas LGBTQ adalah UU Pornografi tahun 2018, sebab sebetulnya, Indonesia tak punya hukum yang bisa mempidanakan homoseksual.

Tapi, bertameng pada KUHP Pasal 296 dan/atau UU 44/2008 tentang Pornografi Pasal 33 juncto Pasal 7, aparatur negara rajin melakukan penangkapan LGBTQ. Padahal pasal itu menegaskan, seseorang dapat dianggap bersalah jika memfasilitasi atau mendanai perbuatan cabul yang dipertunjukan di depan umum. Namun, nyatanya, kendati dilakukan di ruang privat dan ekslusif, pesta gay kerap menjadi sasaran intimidasi aparatur negara. Sekaligus beleid tersebut kerap dikutip sebagai landasan hukum mencokok transpuan pekerja seks di jalan, ataupun saat bekerja di ruang privat.

“Sebetulnya, itu adalah akal-akalan aparatur negara aja untuk mengkriminalisasi teman-teman LGBT. Soalnya, kita [negara] itu tidak punya produk hukum yang bisa mempidanakan aktivitas senggama sesama jenis, lho,” kata Dede.

Ironinya, diskriminasi itu kemudian sering dinormalisasi. Kasus lainnya adalah, peristiwa pemecatan yang sekaligus diserta ancaman pidana kepada 16 anggota TNI yang memiliki orientasi seks homoseksual.

Sebelum pandemi, panti jompo gereja PHDK menampung sekitar 18 orang lansia. Namun, karena keterbatasan dana, kini hanya mampu menghidupi 5 orang. Sementara lansia lain, sebagian dipindahkan ke Lingkungan Pondok Sosial dan sebagian lain kembali ke desa masing-masing.

“Sebetulnya saya enggak tega. Tapi gimana lagi, keadaan emang serba sulit. Untuk makan sehari-hari aja kadang susah. Salon juga enggak ada. Untunglah ada Pak Yoni ini, yang sering kasih kami sembako untuk tambal-sulam kehidupan sehari-hari,” kata Handayani.

Meskipun panti jompo PHDK dibangun di bawah sebuah panji kekristenan, penghuninya tak mesti beragama Kristen. Para penghuni panti jompo pun sebagian adalah pemeluk non-Kristen. Tak ada syarat apapun. Asal calon penghuninya adalah transpuan dan tak ada pihak keluarga yang sudi mengurus masa tua mereka, pintu PHDK selalu terbuka.

“Sudah berkali-kali kami mengurus para waria yang sudah tua sampai meninggal di sini. Itu sama Pak Yoni, biasanya turut mendoakan. Biasanya juga ada yang menjadi Kristen, tanpa kami minta apalagi paksa,” ujar Handayani.

Di ruangan bersahaja ini biasanya jemaat PHDK Surabaya menggelar ibadah. Foto: Ivan Darski.
Untitled design - 2021-07-09T171019.132.png

Di ruangan bersahaja ini biasanya jemaat PHDK Surabaya menggelar ibadah.

Salah satunya yang paling mereka kenang adalah Mak Gondes. Dulu, Mak Gondes sehari-hari  bekerja sebagai penjaga persewaan kamar di sekitaran prostitusi. Selain itu ia jadi penjaga keamanan bagi para transpuan yang menjajakan diri di gerbong-gerbong kereta mangkrak di bilangan Jagir Surabaya.

Namun di akhir hidupnya, Mak Gondes aktif dalam perlbagai aktivitas gereja. Ia jadi tukang absen sekaligus tukang amuk. Para jemaat yang bandel -hanya datang ketika ada pembagian sembako- harus bersiap menerima racauannya.

Mak Gondes setia berpartisipasi di kegiatan PHDK hingga meninggal dunia. Kematiannya menyisahkan banyak kenangan di hati para jemaat, yang telah menyaksikan perubahan seorang jago pukul menjadi abdi gereja.

Kematian bagi transpuan bukanlah hal yang mudah. Mayoritas tak memiliki kartu identitas. Kuburan Mr. X -kuburan khusus orang-orang tanpa identitas- kerap menjadi akhir persemayaman mereka. Handayani tak rela kawan-kawannya dikuburkan tanpa identitas. Sebab, makam Mr. X hanya sedalam lutut orang dewasa, dan kain kafan akan menyembul tatkala hujan besar tiba.

“Saya setiap hari tidur di sini,” kata Handayani seraya menunjuk sebuah ranjang lapuk di ujung ruang tamunya. “Agar dekat dengan telepon. Dan kalau ada kabar apa-apa bisa langsung berangkat. Entah itu anak-anak kena Satpol PP atau kabar kematian.”

“Agar tidak sampai dikubur di Mr. X, saya bekerja sama dengan Ario -perusahaan peti mati- untuk menyediakan peti gratis untuk teman-teman transpuan. Setidaknya mereka bisa dimakamkan dengan layak. Masa hidup kena diskriminasi, mati pun digeletakin kayak hewan aja,” sambungnya.

Handayani, adalah anak ke-6 dari delapan bersaudara. Perempuan kelahiran Banyuwangi itu, sejak kecil tinggal di Surabaya bersama sang nenek. Namun, saat sang nenek wafat, ia terpaksa harus kembali ke Jember dan hidup dengan keluarganya. Ia tak tahan sebab sang papa berwatak keras. Perangai papanya membuatnya tak tahan, sebab kerap diintimidasi, dan memutuskan untuk angkat kaki dari rumah, hijrah dari Jember menuju Surabaya, pada 1978.

“Saya baru balik ke rumah itu setelah hampir sepuluh tahun enggak pulang. Tepatnya waktu Papa meninggal. Itupun masih ada saudara-saudara saya yang sinis. Tapi saya ngomong. ‘Saya jamin, enggak akan ada anak cucu kalian yang [menjadi transpuan] seperti saya. Nasib gini, biar berhenti di saya. Saya yang tanggung’.”

Keluarga, menurut Dede Oetomo, justru kerap menjadi ruang yang rentan bagi anggota LGBT. Tak jarang, anggota keluarga juga melayangkan ancaman pembunuhan. “Posisinya serba rentan, deh, transpuan. Kalau di jalan, juga bahaya diintimidasi, dicokok Satpol PP, padahal tidak sedang menjajakan diri, ya. Ancaman itu datang dari segala arah,” terang Dede.

Hubungan antara Handayani dan keluarga perlahan berlangsur membaik pasca ia memutuskan untuk pulang. Airmata Mamanya berhasil meluluhkan hatinya yang keras. Satu persatu saudaranya mulai kembali menjalin komunikasi dengannya. Apalagi, saat keluarga tahu ia bersungguh-sungguh dalam urusan beragama, perlahan membasuh kebencian di hati saudara-saudaranya.

“Sebetulnya, ruangan yang sekarang kita pakai gereja itu, adalah punya adik saya. Dulu rumahnya tidak seluas ini. Wong waktu awal-awal ada gereja itu kita duduk di lantai ruang tamu ini. Belum ada kursi. Itu diberi adik saya. Dia dukung saya untuk menjadi pelayan Tuhan,” terang Handayani.

Gereja PHDK mendorong komunitas-komunitas transpuan di kota lain untuk melakukan inisiatif serupa. Handayani mendapat telepon dari seorang kerabat, yang bilang ingin membuat gereja khusus transpuan seperti PHDK di kota masing-masing.

“Jadi mulanya ada teman yang telepon kemudian ngomong, ‘Han, kamu itu mau masuk surga sendirian?’. Lalu aku tanya, maksudnya gimana? ‘Kami juga ingin punya gereja seperti anak-anak Surabaya.’ Sejak itu aku rutin seperti orang tur gitu. Ke Malang, Semarang, Bandung, Jogja, dan kota-kota lain,” kenang Handayani.

Di kota-kota yang dikunjunginya, Handayani melakukan konsolidasi sekaligus berbagi pengalaman membuat gereja mandiri dengan pendanaan kolektif. Dengan tekun Handayani lakoni, bahkan meski harus ke luar Jawa.

“Itu biaya sendiri lho, ya. Puji Tuhan dulu salon kan sempat ramai.”

Tercatat sebagai gereja transpuan tertua di Jawa, PHDK kerap menjadi rujukan para transpuan saat merayakan sebuah agenda. Salah satunya adalah saat Natal. Surabaya kerap dipakai sebagai destinasi sekaligus ajang reuni para transpuan. PHDK kerap membuka kelas lokakarya gratis bagi para transpuan. Handayani mengajar segala yang ia bisa -memangkas rambut, menjahit, dan memasak-. Ia bercita-cita, kelak teman-teman transpuan dapat mewujudkan kemandirian ekonomi, dan tak menjadikan prostitusi sebagai jalan pedang mereka untuk menyambung hidup.

Tanpa pendidikan, tanpa kartu identitas, banyak transgender, yang ditolak oleh keluarga dan lingkungan, jari dari rumah. Mereka tak ada ketrampailan, tak ada pendidikan, hanya mengandalkan jaringan sesama transgedner. Prostitusi adalah salah satu pekerjaan yang bisa mereka jalani tanpa banyak pendidikan. Bunda Handayani, misalnya. Ia terpaksa keluar dari rumah sebab ditolak oleh anggota keluarga. Konsekuensinya, ia tak dapat melanjutkan sekolah dan tak memiliki ijazah.

“Salah satu faktor yang bikin transpuan kesulitan dapat akses di pekerjaan formal ada kaitannya dengan hukum, yang kemudian berdampak pada langgengnya diskriminasi. Misalnya, karena enggak punya identitas, mereka juga gak ada akses buat lanjut pendidikan, kan? Dan juga pekerjaan. Sebetulnya itu bisa disiasati dengan ikut Kartu Keluarga keluarga kosan mereka, atau temannya. Cuman ya itu perlu proses juga,” ujar Dede Oetomo.

Menurut Dede, masyarakat sebetulnya cukup luwes menerima LGBT. Tetapi, justru keluarga dan hukum yang kerap mengintimidasi komunitas transpuan. “Ancaman pembunuhan biasanya juga datang dari keluarga. Mereka malu, dan itu akan berdampak panjang. Termasuk untuk urusan identitas anaknya, yang kemudian bisa berdampak kehilanggan hak mengakses fasilitas publik dan hukum.”

Para transpuan yang hengkang dari rumah tanpa membawa identitas, dan ijazah, terpaksa putus sekolah. Tanpa mengantongi modal pendidikan, mengakses pekerjaan formal hampir menjadi sebuah keniscayaan. Jessica Audya Lesmana, pernah menulis pengalaman empirisnya sebagai transpuan di konde.com, tentang bagaimana ekspresi gender dirinya sebagai transpuan dianggap ‘menggangu’ di wilayah pekerjaan formal. Tak jarang, nasib transpuan juga kerap berakhir menjadi objek banyolan saja.

“Kan prostitusi itu urusannya sama usia. Kalau sudah tua, ya sulit laku. Dan tenaganya juga tentu tak seperti waktu muda, ya.  Saya enggak pengen teman-teman selamanya mangkal. Aku juga pengen mereka bisa mandiri ekonominya. Bisa hidup layak dan tak kekurangan,” tukas Handayani.

Salib yang terpajang di salah satu sudut kediaman Handayani. Foto: Ivan Darski.

Salib yang terpajang di salah satu sudut kediaman Handayani.

Selain itu, di Aceh, lewat hukum daerah, Qanun Jinayat, adalah salah satu produk hukum problematis. Sebab, seorang yang berekspresi sebagai kaum LGBTQ, dinanti oleh hukuman cambuk. “Itu adalah bukti bahwa negara tidak progresif dan tidak betul-betul memperjuangkan hak asasi warganya. “Orang dewasa yang berhubungan seks atas dasar suka sama suka lalu dihukum, apa coba namanya kalau bukan kriminalisasi?”

Handayani sepakat, bahwa ia merasa hukum kerap menganaktirikan transpuan. Sebab sebagian dari mereka tak memiliki identitas, Handayani kerap menjemput kawan-kawan yang dicokok oleh Satpol PP saat tengah bekerja. Ia memilih, alih-alih bercita-cita untuk meruntuhkan tembok tebal stigma terhadap transpuan, Handayani justru bermimpi kelak, lewat pengetahuan yang ia bagi secara cuma-cuma itu, transpuan lain dapat hidup mandiri lewat menciptakan pusparagam kerajinan.

“Saya cuman ingin, teman-teman bisa hidup sebagai manusia semestinya. Berkecukupan, dan dijauhkan dari segala bentuk diskriminasi.”

“Ibaratnya gini. Kan di dunia ada pagi ada malam. Ada matahari ada bulan. Sementara kami, para transpuan ini, berada di antara. Seperti sore, seperti subuh. Sore dan subuh punya keindahannya masing-masing, kan?”

“Itulah kami. Dunia tanpa waria adalah dunia yang abu-abu. Dan kami adalah pelangi yang mewarnai hidup manusia, agar beragam. Dan seharusnya, karena kita adalah warna bagi dunia, semestinya tidak disingkirkan.”*

Reporter: Reno Surya

Artikel ini pertama kali tayang di Vice dengan judul Merekam Jatuh Bangun Perjalanan Gereja Transpuan Tertua di Pulau Jawa. Yayasan Pantau melakukan re-publikasi tulisan para peserta fellowship kursus Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama yang diselenggarakan dengan dukungan Kedutaan Jerman. Ilustrasi: Ivana Kurniawati.

by:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *