Dagelan Wartawan Banyumas

Slamet Susanto

Mon, 3 June 2002

ADA kabar gembira dari Banyumas. Orang dusun di sini ternyata sanggup, dengan cara baik-baik, meluapkan kejengkelan mereka dan mengugat sebuah suratkabar.

ADA kabar gembira dari Banyumas. Orang dusun di sini ternyata sanggup, dengan cara baik-baik, meluapkan kejengkelan mereka dan mengugat sebuah suratkabar. Mereka mempermalukan hampir semua wartawan Banyumas serta mencoreng reputasi Suara Merdeka, harian terbitan Semarang, dengan tiras hampir 100 ribu.

Cerita ini berawal ketika Sadir, seorang kepala desa, bercerita pada beberapa mahasiswa yang sedang praktek kerja di desanya, Piasa Kulon, 40 kilometer tenggara Purwokerto, ibukota Banyumas. Sadir mengatakan gagal panen Piasa Kulon terjadi karena minimnya air akibat pembobolan irigasi oleh sekelompok warga desa tetangga.

Dalam grenengan itu terdapat Indra Wisnu Wardana, mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yang juga bekerja sebagai reporter harian Republika. Indra tertarik. Saat pulang ke Purwokerto, Indra menceritakan gosip ini di Balai Wartawan, tempat mangkal wartawan Banyumas, awal Maret lalu.



“Iki sopo pengin berita hasil investigasi (Ini siapa yang mau berita hasil investigasi)," ujar Agus Wahyudi, seorang wartawan di sana, menirukan Indra.

Maka wartawan di sana pun berbondong-bondong mendengarkan Indra. Di antaranya Sigit Oedianto, wartawan Solopos, yang kebetulan juga menjabat ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Banyumas, Driyanto dari Kedaulatan Rakyat, Lilik Dharmawan dari harian Sinar Harapan, Joko Sadewo dari Radar Banyumas, Joko Santoso dari harianWawasan, Subiantoro dari Pro II FM Purwokerto serta Ali Syamhadi, wartawan Suara Merdeka. "Saat itu saya hanya berpikir beritanya menarik," kata Ali.

Obrolan santai itu pun berubah jadi berita. Entah karena masalah distribusi, hanya Suara Merdeka yang rutin dibaca orang-orang Pakikiran. Pada 10 Maret Suara Merdeka menurunkan laporan Ali berjudul "Rebutan Air, Warga Pekikiran Jebol Irigasi Kalisuki 1 km."

Dalam berita itu terdapat kalimat langsung, seolah-olah Suara Merdeka melakukan wawancara dengan Sadir, "Akibat penjebolan tanggul tersebut hasil panenan padi IR 64 warga Piasa Kulon mengalami penurunan”. Di sana juga terdapat informasi bahwa orang Pakikiran merusak 20 titik tanggul sepanjang satu kilometer. “Sedang perangkat desa Pekikiran tidak berani menghentikan aksi penjebolan saluran irigasi, sebab takut didemo masa.”

Marwoto, seorang petani Pakikiran, adalah orang pertama yang membaca berita tersebut. Merasa janggal, Marwoto memberitahu Pak Haji. Lantas Pak Haji memberitahu Rasiman, seorang kepala dusun. Rasiman memberitahu kepala desa Edi Sukirno. Edi memerintahkan Rasiman, biasa dipanggil Pak Bahu, mengecek apa ada penjebolan irigasi atau tidak.

Pengecekan Pak Bahu, sampai batas desa menunjukkan kondisi irigasi utuh: air masih sulit dan tanggul banyak ditumbuhi rumput. Tapi tanggul masih utuh. Artinya, tak ada penjebolan. Berita Suara Merdeka fitnah. "Kalau ada penjebolan sih saya tidak apa-apa, tapi ini tidak ada. Ini menyingung perasaan warga," ujar Pak Bahu.

Edi Sukirno merasa heran karena belum sekali pun ada wartawan yang datang minta kejelasan. "Aneh kok Mas! Sepengetahuan saya panen itu terjadi sekitar tanggal 15 ke atas. Lha ini berita tanggal 10, waktu belum panen, kok sudah bisa menjelaskan panen menurun."

Secara ejaan juga salah. Nama desa Pakikiran dicetak “Pekikiran.” Tak cukup nama desanya saja yang salah, nama saluran irigasi tersier Kali Sapi, oleh Suara Merdeka dicetak “Kalisuki”. Warga Pakikiran dibuat geram Suara Merdeka.

Malam itu juga Suara Merdeka dirapatkan di balai desa Pakikiran. Di sana ada lebih dari 50 pejabat dan tokoh desa Pakikiran. Rembug deso (rapat desa) memutuskan perlu verifikasi. Mereka tampaknya lebih mengerti jurnalisme ketimbang kebanyakan wartawan Banyumas.

Keesokan paginya, Edi Sukirno beserta beberapa tokoh Pakikiran mendatangi Sadir di Piasa Kulon. Sadir  menyangkal sebagai sumber Suara Merdeka. Tapi Sadir ketakutan didatangi orang banyak. Tapi ia ingat pernah omong-omong dengan mahasiswa. Jangan-jangan di sana letak masalahnya? Maka Indra Wisnu Wardhana pun didatangkan siang itu juga.Indra janji melakukan koreksi.

Ternyata koreksi tak dilakukan. Hampir sebulan berikutnya, warga Pakikiran, melalui seorang pengacara, mendaftarkan gugatan mereka di pengadilan Banyumas. Tergugatnya ada tiga pihak: Sadir, Indra Wisnu Wardana, dan pemimpin redaksi Suara Merdeka Sutrisna. Mereka dituntut sekitar Rp 2 milyar.

Tapi gugatan itu tak membuat wartawan Banyumas, termasuk Ali dan Indra, untuk cepat-cepat minta maaf dan mengakui kesalahan mereka. Akibatnya, orang Pakikiran makin bulat meneruskan proses gugatan. Mereka sudah kapok urusan dengan wartawan. Apalagi sampai menjelang sidang pertama, 3 Mei 2002, tak sekali pun wartawan yang bersangkutan datang untuk minta maaf.

Rasa jengkel, merasa dibohongi, memuncak pada sidang perdana. Sidang ditunda karena pengacara Indra belum mendapat pelimpahan wewenang sebagai kuasa hukum. Indra dianggap takut. “Aneh kan. Ini sih kayaknya ada permainan belakang,” kata Edi Sukirna.

Sutrisna sendiri, pemimpin redaksi Suara Merdeka yang juga dianggap wartawan senior Semarang, hendak mengupayakan penyelesaian di luar pengadilan. Siapa sih yang suka membayar Rp 2 miliar? Sutrisna juga berjanji mengadakan koreksi, termasuk memperbaiki liputan wartawan yang lalai, bahan yang tak lengkap dari wartawan bersangkutan.

Sutrisna menjanjikan kompensasi. Senin, 6 Mei diadakan pertemuan di balai desa Pakikiran. Sayang, Senin pagi itu hanya Ali Syamhadi yang datang. Indra Wardhana, wartawan yang diundang datang oleh Sutrisna, tak memenuhi undangan.

Upaya advokasi juga dilakukan Amir Mahmud dari Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Tengah. Upaya minimal dengan memberi dukungan moral. Jika proses hukum berjalan, Amir mengatakan, pendampingan rutin akan diupayakan.

Di kalangan wartawan Banyumas, mulai timbul kekhawatiran, jangan-jangan kalau orang Pakikiran menang, banyak warga Banyumas akan ikut-ikutan. Bahkan mungkin orang lain di berbagai pelosok Indonesia bisa belajar dari Banyumas. Salah sedikit wartawan digugat. Apa-apa digugat. Tapi kesalahan Indra dan kawan-kawan bisakah dibilang kecil? *

kembali keatas

by:Slamet Susanto