KETIKA Stephen Schwartz akan datang ke Jakarta, dan saya diminta jadi asistennya, muncul perasaan senang yang agak sensasional. Schwartz memang tak banyak dikenal di kalangan radio Indonesia. Schwartz datang dari Denmark, sebuah negeri yang relatif tak memiliki sambungan kultural apa pun dengan Indonesia.

Schwarz juga tak terlalu dikenal karena feature radio bukan bentuk yang dikenal luas di Indonesia. Produksi feature lebih mahal ketimbang berita apalagi talk show. Kebanyakan radio Indonesia tak memiliki alokasi dana dan waktu untuk produksi feature radio sehingga dunia feature radio pun relatif tak berkembang. Padahal nama Schwartz erat kaitannya dengan feature radio karena karirnya dihabiskan memproduksi feature untuk Danmark Radio yang seluruhnya ia buat dalam bahasa Denmark.

Stephen Schwartz lahir 1940 di Detroit, Michigan, Amerika Serikat. Usianya 21 tahun ketika ia memutuskan menetap di Denmark. Alasannya agak politis. Ia seorang sosialis yang percaya pada campur tangan negara dalam ekonomi negara. Ia merasa tak cocok hidup di Amerika Serikat yang kapitalistis.

Di Amerika Serikat, Schwartz dibesarkan dalam era radio. Siaran radio jadi media hiburan yang dominan. Setiap pulang sekolah, ia mengikuti drama-drama radio populer seperti The Green Hornet, Sgt. Preston of North Mountain Police, dan Lone Ranger. Drama radio itu dipentaskan langsung di studio. Para pelakonnya membaca naskah, sedangkan sound effect man membuat efek-efek suara. Misal langkah kaki kuda atau suara orang berjalan di atas salju untuk mendukung drama itu.

Kecintaannya terhadap radio membuat Schwartz membeli sebuah alat rekam ketika ia menetap di Denmark. Tujuannya untuk kesenangan pribadi, tapi juga untuk cari pekerjaan di Danmark Radio. Pada libur musim panas 1962 ia pulang ke Amerika Serikat. Di sana ia menyaksikan gelombang demonstrasi gerakan anti-Perang Vietnam dan gerakan persamaan hak-hak sipil. Schwartz merekam dan mewawancarai orang, dari Boston sampai New York. Hasilnya, 10 tape bahan mentah. Ini dibawanya ke Denmark dan ditawarkan kepada Danmark Radio. Schwartz pun dipertemukan dengan Willy Reunert untuk menggarap bahan mentah tersebut.

Pada 1962 Reunert sudah terkenal di Denmark karena produksi feature radionya yang revolusioner. Willy Reunert seorang Yahudi Austria yang lari dari kejaran polisi rahasia Jerman pada Perang Dunia II. Reunert dikejar Gestapo karena ia orang Yahudi yang dianggap binatang ekonomi dan merugikan negara-negara fasis pimpinan Adolf Hitler dari Nazi Jerman. Reunert melarikan diri, mengungsi dan jadi warganegara Denmark.

Saat Perang Dunia II, belum ada alat rekam yang mudah dipotong dan disambung kembali. Wartawan radio menggunakan alat perekam lilin (wax record) yang menggunakan plat piringan yang berputar. Secara teknis tak mungkin mengambil potongan dari satu plat untuk disambungkan dengan plat berikutnya. Reunert membuat terobosan. Ia minta kepada teknisinya untuk melompat dari satu plat ke plat berikutnya, yang berarti melompat dari satu mesin ke mesin lain, untuk menyambung potongan-potongan suara. Dengan teknik ini, Reunert menghadirkan sesuatu yang sebelumnya tak terpikirkan dalam sebuah jurnalisme radio: montase.

Teknik ini meluas ke seantero Eropa dan menjadikan Willy Reunert seorang guru dalam pembuatan feature radio. Teknik montase juga membuka dimensi baru dalam produksi feature ketika tape ditemukan pertamakali di Jerman pada 1952. Reunert bagai mendapat tambahan amunisi.

Stephen Schwartz muda merasa nervous ketika Willy Reunert mengundangnya ke rumah dengan 10 gulung pita hasil rekaman dari Amerika Serikat. Satu demi satu gulungan pita itu didengarkan. Reunert tak bereaksi sedikit pun.

“Wajah Reunert memang dingin seperti batu. Gulungan pita pertama, gulungan pita kedua, tak ada reaksi apa pun,” kenang Schwartz. Setelah 2,5 jam, tiba-tiba Reunert menghentikan putaran pita, berpaling kepada anak muda yang menantinya dengan tegang itu.

“Kau benar-benar ingin bekerja di radio?” kata Reunert.

Sejak itulah Schwartz jadi murid Reunert. Reunert juga membantu karir Schwartz dengan jadi karyawan Danmark Radio. Schwartz mengembangkan berbagai kemungkinan dalam produksi feature radio. Schwartz menghabiskan karirnya di departemen tersebut dan menolak masuk dalam manajemen. Menurutnya, posisi struktural hanya diperuntukkan bagi orang yang tak berbakat. Ia lebih senang turun dan melakukan rekaman sendiri di lapangan. Bahkan hingga usianya yang ke-61, Stephen Schwartz masih menggulung-gulung kabel mikrofon dan menggotong-gotong alat perekam yang lumayan besar ukurannya!

REPUTASI Stephen Schwartz di dunia feature radio dikenal terutama di Eropa. Ia dua kali memenangkan penghargaan Prix Italia –penghargaan yang dimulai 1948 oleh media penyiaran Italia RAI untuk televisi, radio dan (belakangan) situs web. Prix Italia diikuti praktisi penyiaran dari 42 negara anggota termasuk Republik Rakyat Cina, Afrika Selatan hingga Vatikan.

Schwartz memenangi Prix Italia 1982 bersama Torben Brandt dengan karya The Mind’s Eye. Ini bercerita mengenai seorang pemusik yang lumpuh setengah badan dan kehilangan sebagian kemampuan wicaranya. Sang pemusik membangun komunikasi dengan dunia sekitarnya dengan sangat sulit karena kata-kata yang dimilikinya tak cukup untuk menyampaikan gagasan di benaknya.

Pada 1993, karya Stephen Schwartz berjudul Sniper memenangi kembali Prix Italia bersama teknisi Frank Lindeskov. Sniper menggambarkan konflik Perang Balkan 1990-an. Karakter utamanya penembak jitu. Idenya bermula ketika Schwartz menyaksikan siaran BBC tentang Perang Bosnia-Herzegovina. BBC melaporkan banyak penembak jitu Serbia yang membunuhi orang-orang di jalanan.

Juga banyak penembak jitu dari pihak Bosnia yang tugasnya membunuh para penembak jitu Serbia. Para penembak jitu, menurut Schwartz, bisa dianggap melakukan eksekusi mati terhadap korban-korbannya. Para penembak jitu itu dengan mudah bisa melihat mata orang-orang yang akan mereka bunuh lewat teropong senapan. Meski mata calon korban terlihat jelas, umumnya tak ada keraguan bagi para penembak jitu melakukan eksekusinya.

“Adakah penurunan derajat kemanusiaan yang lebih rendah ketimbang itu?” kata Schwartz.

Sniper menghadirkan para penembak jitu baik dari kubu Bosnia maupun Serbia. Sniper juga menyajikan dorongan yang membuat mereka jadi penembak jitu dan menembaki orang-orang dalam perang yang kacau tersebut. Betapa persahabatan berubah menjadi perseteruan yang mematikan. Sniper juga menghadirkan seorang musikus Bosnia yang cukup populer yang mengungsi di Denmark. Cerita musikus ini digunakan Schwartz mengungkapkan pergulatan batin sang musikus antara berjuang membela Bosnia atau pergi meninggalkan negaranya.

Selain karya besar yang memenangi Prix Italia, Stephen Schwartz juga membuat sebuah feature radio berjudul Nightwatch. Ini menceritakan pengalaman sehari-hari seorang penjaga malam di sebuah kamar mayat rumah sakit Denmark. Karya ini mengesankan sehingga sutradara Denmark Ole Bornedal membuat film berdasarkan feature tersebut. Film Nightwatch sukses di Eropa dan Bornedal diminta membuat ulang film tersebut oleh studio Miramax, Hollywood, yang dibintangi Ewan McGregor dan Patricia Arquette.

STEPHEN Schwartz diundang oleh United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (Unesco) Jakarta dengan sponsor Danish International Development Agency untuk memberikan pelatihan feature radio. Ia sempat melatih 20 reporter radio dari seluruh Indonesia yang diseleksi Unesco. Saya menemaninya dan menterjemahkan ucapan-ucapannya.

Ternyata bertemu Schwartz jauh sekali dari bayangan bertemu seorang master. Ia seorang yang hangat. Ia sedang duduk di lobi hotel ketika saya menemuinya. Langsung ia menjabat tangan, “Akhirnya bisa juga saya berjumpa dengan Anda.”

Kata-kata itu kelanjutan dari korespondensi email yang selama ini kami lakukan. Saya beritahu bahwa peserta pelatihan banyak yang datang dari luar Jakarta dengan jarak yang jauh. Ia kelihatannya senang.

Schwartz memang sudah 40 tahun berkarya di bidang feature radio. Tapi jika ditanya apa definisi feature radio, ia akan menghindar dari jawaban yang pasti. Ia sendiri tak terlalu peduli karyanya digolongkan sebagai apa. Secara umum, karyanya disebut feature, tapi dalam kompetisi Prix Italia, karyanya masuk kategori culutural documentary untuk radio.

Ini bukan masalah Schwartz sendiri karena definisi feature dalam karya jurnalistik radio memang masih belum final. Schwartz lebih suka menyebut dirinya sebagai pendongeng (story teller) yang kerjanya menceritakan dongeng-dongeng. Jika ada sebuah definisi yang mendekati batasan feature, menurutnya, “Pembuat feature itu seperti orang berjalan dengan kaki di dua jalur. Jalur pertama adalah jalur jurnalistik, sedangkan jalur kedua adalah jalur penulis.”

Dalam membuat feature radio, Stephen Schwartz menilai ada enam unsur yang harus selalu ada: motivasi, nilai penting (importance), aktor, dimensi akustik, lokasi, dan jalan cerita.

Motivasi adalah dasar utama pembuatan feature radio. Tanpa adanya motivasi, sebuah feature radio tak akan mampu mengungkapkan sesuatu yang dalam dan hanya akan menyentuh permukaan persoalan. Jika seseorang membuat feature radio sebagai sesuatu yang rutin, yang dihasilkan hanya sesuatu yang juga rutin dan tak akan mampu mengungkapkan nilai-nilai yang dalam.

Dalam produksi feature radio, dibutuhkan keuletan yang tinggi dan sikap tak mudah menyerah sampai titik darah penghabisan. Schwartz mengatakan karya-karyanya banyak dipengaruhi motivasinya untuk mempertanyakan dehumanisasi. Dehumanisasi terjadi ketika manusia sudah mencapai ambang terbawah kualitas kemanusiaannya. Ini harus diceritakan agar generasi mendatang tak perlu mengulangi kesalahan sejenis.

Mungkin ini tak lepas dari latar belakang Schwartz sendiri sebagai Yahudi. Schwartz memang tak mengalami langsung pembunuhan massal terhadap orang Yahudi pada Perang Dunia II, tapi ia belajar dari kehancuran nilai kemanusiaan selama Perang Dunia II. Dehumanisasi ini jangan sampai terulang lagi dalam sejarah umat manusia.

Nilai penting (importance) dilihat Stephen Schwartz sebagai sebuah usaha sang pembuat feature untuk menyumbangkan sesuatu dalam masyarakat. Sebuah feature radio yang dibuat harus memiliki nilai penting yang akan terus tinggal dan menyumbang sesuatu bagi kehidupan masyarakat. Nilai penting itu bisa nilai secara filosofis, secara sosial, secara kultural dan sebagainya. Schwartz membandingkan feature radio yang baik dengan dengan karya sastra atau film yang baik. Sebuah film atau karya sastra yang baik akan bertahan lama karena dianggap memiliki nilai penting bagi kehidupan manusia. Seorang produser feature radio harus mampu menemukan nilai penting feature yang diproduksinya sehingga feature tersebut bisa didengarkan berulang-ulang dan tak basi untuk jangka waktu lama.

Stephen Schwartz memperkenalkan “pendekatan sinema” dalam membuat feature radio. Pendekatan sinema ini dikembangkan Schwartz ketika ia harus memberikan pelatihan dan menyampaikan metode produksi yang biasa digunakannya. Perbendaharaan kata dalam dunia radio tak cukup untuk menjelaskan metodenya.

Ketika feature radio berusaha menggambarkan ruang, pergerakan orang-orang dan berbagai gambar lainnya di benak pendengar, tak terdapat istilah dalam dunia radio yang bisa menjelaskan hal tersebut. Schwartz mengadopsi perbendaharaan kata dalam produksi film.

Ada pilihan lain yang sempat terpikirkan yaitu pendekatan dalam produksi musik. Tapi produksi musik tak terlalu dikenalnya. Akhirnya ia memilih pendekatan sinema dan seluruh metode produksinya disebutnya sebagai menggunakan pendekatan skenario, sebagaimana dalam produksi film.

Aktor. Schwartz memakai pendekatan sinema dengan menyebut “aktor” untuk karakter-karakter yang berada pada feature radionya. Akses kepada para sumber ini vital sekali. Schwartz biasanya meyakinkan para calon “aktornya” bahwa mereka akan kehilangan yang besar jika feature tersebut tak dibuat. Umumnya Schwartz berhasil meyakinkan orang-orang yang ia dekati untuk menerima kehadiran Schwartz dalam kehidupan mereka dan ikut serta dalam proyek featurenya.

Maka orang-orang tersebut bukan lagi narasumber yang tak peduli akan hasil wawancara. Mereka jadi orang-orang yang merasa perlu bicara, merasa perlu menyampaikan sesuatu, agar situasi berubah, agar situasi jadi lebih baik. Schwartz membuat orang-orang yang diwawancarainya bekerjasama dan bersedia mengungkapkan momen-momen penting dalam hidup mereka.

Bagi Schwartz, pencarian dan penemuan aktor jadi kunci pembuatan feature. Terkadang menemukan satu aktor yang tepat, yang memainkan peranan dalam hidupnya sendiri, sudah berarti produksi feature tersebut setengah jalan selesai.

Dimensi akustik. Schwartz sadar bahwa suara dan bunyi memiliki dua macam kualitas. Kualitas pertama adalah kualitas makna, yang berkaitan dengan isi dari suara manusia atau bunyi yang tersedia dalam sebuah feature radio. Kualitas makna penting dalam membentuk struktur sebuah feature radio. Makna yang terdapat dalam kalimat atau kata yang diucapkan aktor harus ditempatkan dengan tepat dalam rangkaian yang membentuk struktur feature tersebut.

Kualitas kedua adalah kualitas ikutan berupa dimensi akustik suara atau bunyi-bunyian. Dimensi akustik ini mampu membangkitkan imajinasi pendengar. Kualitas ikutan ini membawa informasi tambahan. Misalnya mengenai si empunya suara, jenis kelaminnya, usianya, mungkin berat tubuh dan lain-lain. Lewat latar belakang yang terbawa dalam suara tersebut tersampaikan juga informasi mengenai lokasi kata-kata tersebut diucapkan: ruang terbuka atau ruang tertutup. Jika tertutup, ruang itu luas atau sempit? Jika terbuka apakah ramai dengan lalu lintas atau banyak suara alam? Kualitas-kualitas suara itulah yang harus diperhitungkan benar dalam pembuatan sebuah feature radio. Ini disebutnya sebagai dimensi akustik sebuah feature radio. Dimensi akustik harus diperhatikan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk membantu menyampaikan gambaran-gambaran ke dalam benak dan imajinasi pendengar.

Lokasi erat kaitannya dengan dimensi akustik. Informasi ruang, menurut Schwatrz, harus turut terbawa dan diperhitungkan oleh para pembuat feature radio dalam mencapai efek memunculkan “gambar” dalam benak pendengar. Unsur lokasi ini juga berkaitan erat dengan perkembangan teknologi radio, terutama siaran radio stereo. Aifat stereo tak hanya berhubungan dengan pembagian suara kanan dan kiri. Teknologi stereo harus dimanfaatkan untuk menggambarkan kedalaman (depth) sebuah ruang. Dengan menempatkan mikrofon berbeda-beda dari sumber suara, pada saat melakukan perekaman suara, akan muncul efek yang berbeda juga ketika didengarkan ulang. Inilah yang harus muncul.

Schwartz mengkategorikan tiga jarak dalam proses rekaman suara. Kategori pertama adalah jarak dekat atau close-up. Ini ibarat gambar close-up dalam film. Kategori kedua adalah jarak intim. Jarak intim kurang lebih berada sepelukan dengan sumber suara. Ini terutama berlaku untuk suara manusia. Jarak intim ini adalah jarak umum yang digunakan dalam rekaman. Kategori ketiga adalah jarak jauh. Jarak jauh berada di luar jarak intim dan menimbulkan kesan adanya ruang ketika perekaman dilakukan dalam ruang tertutup. Semakin jauh jarak sumber suara dengan mikrofon, akan makin nyata hadirnya ruang.

Hal ini juga berlaku untuk perekaman di luar ruang. Jarak antar mikrofon dengan sumber suara ini menghasilkan kedalaman (depth) pada kualitas suara yang direkam dengan menggunakan mesin stereo.

Jalan cerita adalah kreasi yang tak terbatas. Tapi Schwartz menggunakan dua model. Model pertama model liniar atau model Hollywood. Di sini ada kaitan langsung antara alur cerita dengan ranah waktu. Cerita berkembang menurut waktu. Kronologis. Jalan cerita ini disebut juga cerita tiga babak. Bagian pertama perkenalan tokoh dan munculnya persoalan. Bagian kedua konflik berkembang dan meningkat. Bagian ketiga konflik mulai menemui jalan pemecahan hingga berhasil dipecahkan.

Schwartz mengungkapkan ada hubungan antara intensitas cerita dengan waktu. Cerita dimulai dengan intensitas rendah pada bagian pembukaan. Kemudian intensitas meningkat secara perlahan seiring berjalannya waktu. Aktor mulai diperkenalkan karakternya yang disusul dengan konflik. Di tengah, konflik naik yang berarti menaikkan intensitas cerita. Akhirnya konflik mencapai klimaks. Sesudahnya intensitas cerita kembali menurun.

Model kedua adalah model sirkular. Dalam model ini, tak harus ada kronologi. Di sini cerita mengajak pendengar ikut merasakan, ikut mengalami, jalannya cerita dengan si pencerita. Pendengar digerakkan dari satu adegan ke adegan lain, yang menyuguhkan topik dengan tujuan merangsang pikiran atau refleksi pendengar, memberikan perspektif baru dari sudut pandang yang lain. Ini bisa diibaratkan berjalan mengitari sebuah patung dan memperhatikannya dari berbagai sudut yang berbeda; atau melihat sebuah lukisan dari jarak dekat dan jauh, sehingga mendapatkan impresi yang berbeda.

Ketegangan dicapai dengan “mengejutkan” pendengar melalui unsur baru atau dengan perubahan arah cerita seiring dengan berkembangnya cerita. Pada bagian ini juga ada “awal” (pembukaan cerita), bagian tengah” (biasanya perubahan arah cerita) dan “akhir” yang membuat pendengar berpikir setelah mendengarkan seluruh cerita.

Kedua model ini tak ada yang unggul satu dari lainnya. Schwartz mengatakan model sirkular lebih sulit, baik dalam pembuatannya maupun konsumsinya oleh pendengar. Dalam model sirkular, karena yang ada hanya asosiasi-asosiasi seputar topik, terkadang asosiasi tersebut longgar, maka pendengar dituntut untuk lebih berkonsentrasi dalam mendengarkannya.

Model sirkular ini belakangan lebih banyak digunakan Schwartz karena lebih bisa mengungkapkan persoalan-persoalan yang lebih rumit dan dalam. Terkadang Schwartz menggunakan dua model ini secara bersama-sama dalam sebuah feature misalnya Sniper.

Narasi atau paparan. Dalam pendekatan sinema digunakan juga story board atau papan cerita. Schwartz mengatakan setelah ide dikembangkan jadi cerita, dibuatkan story board yang masing-masingnya berisi adegan (scene) yang merupakan bagian demi bagian cerita. Ada tiga hal yang harus masuk dalam story board: narasi, adegan, dan suara aktor.

Ada empat tipe pemaparan atau eksposisi yang bisa digunakan oleh narator dalam membuat sebuah feature radio. Tipe pertama adalah jenis eksposisi epik. Jika diibaratkan sebuah panggung pertunjukan, dalam pemaparan epik, narator “terlihat” oleh penonton. Si empunya cerita sedang bercerita dan bicara kepada penonton. Kehadiran narator jadi penting dan ikut serta membangun berbagai pemaparan cerita.

Tipe kedua adalah tipe eksposisi dramatik. Disini penonton dianggap sedang menonton sebuah pertunjukan drama yang terjadi di panggung. Pada tipe dramatik, narator menghilang dan berbagai peristiwa dibiarkan bercerita sendiri kepada penonton (pendengar).

Tipe ketiga adalah tipe didaktik. Di sini eksposisi berjalan bagaikan sebuah kelas di mana seorang pengajar menyampaikan berbagai hal secara argumentatif untuk meyakinkan pendengarnya. Tipe keempat adalah tipe pemaparan lirik, sebagaimana seorang penyair sedang membacakan puisi, melukis dengan kata-kata, metafor, irama dan rima.

Keempat jenis narasi ini, menurut Schwartz, tak berada dalam ruang terpisah satu sama lain. Keempatnya bisa saling dipertukarkan dan dipakai secara bergantian dalam sebuah feature radio.

Adegan merupakan segala sesuatu yang terjadi di lapangan pada saat wawancara atau rekaman dilakukan. Adegan semacam ini pada feature radio sedapat mungkin diambil secara spontan (candid) oleh mikrofon sang pembuat feature radio dan direkam sebagaimana adanya.

Schwartz mengizinkan adanya “akting” dari para aktornya. Para tokoh dalam feature tersebut diizinkannya memerankan diri mereka sendiri untuk direkam. Misalkan jika feature tesebut tentang pedagang kaki lima, maka bisa dilakukan perekaman saat pedagang kaki lima itu sedang mengeluarkan teriakan-teriakannya yang khas. Sang pembuat feature bisa minta secara khusus kepada si pedagang untuk mengeluarkan teriakan dan tak menunggu sang pedagang benar-benar sedang berteriak untuk direkam.

Suara aktor adalah representasi kehadiran aktor dalam feature radio. Suara aktor mengandung kualitas makna yang berguna dalam membentuk struktur cerita. Suara aktor harus tetap memperhitungkan dimensi akustik. Bagaimana pun tak mungkin seseorang menyampaikan pernyataannya dalam ruang kosong. Jika sebuah potongan wawancara dimasukkan tanpa ada latar belakang suara sekecil apa pun, itu bisa diibaratkan seperti sebuah film menampilkan aktor sedang berbicara dengan latar belakang yang kosong melompong.

KERAPKALI hasil dari lapangan tak sesuai, malahan bertolakbelakang, dengan rencana dalam papan cerita. Menurut Stephen Schwartz, maka papan cerita pun harus diubah. Dari materi yang terkumpul di lapangan harus dicari benang merahnya dan diseleksi berdasarkan benang merah tersebut untuk membentuk cerita utuh. Ini dibentuk lewat tahap selanjutnya yaitu penyuntingan (editing).

Pada tahap penyuntingan, Schwartz juga mengambil alih peristilahan dalam dunia sinema. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menciptakan efek dramatis perpindahan antar adegan dalam papan cerita. Schwartz mengadopsi teknik-teknik penyuntingan film yang dipakai sutradara legendaris Rusia Sergei Eisenstein.

Eisenstein punya tiga model penyuntingan. Pertama dengan mengecilkan sedikit demi sedikit suara pada bagian pertama, kemudian disambungkan dengan membesarkan sedikit demi sedikit volume suara bagian kedua. Model ini disebut cross-fading.

Model kedua menabrakkan bagian pertama dengan bagian kedua tanpa mengecilkan volume, tapi antar bagian tersebut diselingi dengan bunyi ataupun suara yang menghentak. Model semacam ini dikenal dengan sebutan hard-cut.

Model ketiga adalah dengan mengecilkan dengan mendadak volume suara bagian pertama, kemudian dibiarkan jeda sejenak sebelum kemudian bagian kedua masuk dengan cara agak mendadak. Model ini paralel dengan penyuntingan film ketika layar dibiarkan hitam sejenak sebelum muncul gambar berikutnya.

Masing-masing model ini menciptakan efek dramatis yang berbeda.

STEPHEN Schwartz dalam berkarya melihat dirinya sebagai abdi masyarakat. Danmark Radio adalah radio publik Denmark sehingga ia merasa wajib menyediakan sesuatu yang baik kepada warganegara Denmark. Caranya dengan “menghibur” mereka lewat feature. Pengertian menghibur tak selalu diartikan sebagai sesuatu yang berkonotasi menyenangkan (fun).

Bagi Schwartz makna menghibur lebih dekat dengan “mendorong” nilai rasa yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Caranya dengan menghadirkan sebanyak mungkin nuansa dan menghindar dari stereotype. Nuansa ini hanya bisa hadir lewat intensitas yang harus dibangun lewat cerita dan tidak bisa lewat berita yang menurutnya lebih banyak mendorong kesalahpahaman dan menyulut konflik.

Ia mengambil contoh Perang Teluk 1991. Waktu itu CNN gencar melaporkan perang yang terjadi di Kuwait. Gambar yang muncul adalah gambar para jendral, gambar mesin perang Amerika Serikat, seliweran cahaya peluru kendali, dan sebagainya. Tapi apa sebenarnya masalah yang terjadi di Irak? Schwartz membandingkan liputan CNN dengan karyanya sendiri, Clouds in Fight, yang bercerita tentang seorang penyair Irak. Dengan menghadirkan si penyair, pandangan politik penyair tersebut, dan bagaimana sang penyair bergulat dengan represi politik Partai Baath, Schwartz menghadirkan wajah perang yang berbeda.

Schwartz menyatakan pembuatan feature harus mencerminkan potret kehidupan manusia, bahkan lebih jauh lagi, pembuatan feature adalah kehidupan itu sendiri. Ia mencontohkan perkembangan aksara Cina. Mulanya orang menulis aksara ini dengan menggores bambu dan menggambarkan obyek yang dilihatnya dalam bentuk yang menyerupai bentuk fisik obyek tersebut. Lewat penemuan kuas dan kertas, bentuk eskpresi awal itu berubah jadi lebih canggih dan memuat kualitas-kualitas artistik yang tak mungkin dikerjakan dengan goresan bambu.

Dalam dunia radio siaran, teknologi berhasil merekonstruksi ulang berbagai bentuk ekspresi dan membuka kemungkinan-kemungkinan yang tak terpikirkan sebelumnya. Teknologi digital saat ini memungkinkan bentuk-bentuk baru yang belum dieksplorasi sepenuhnya oleh Schwartz. Schwartz tidak percaya bahwa teknologi akan mengambil alih substansi teknologi. Bagi Schwartz, karya-karyanya didedikasikan untuk menyampaikan rasa kasih sayang (compassion) kepada manusia. Rasa kasih sayang hanya bisa disampaikan oleh manusia. Teknologi hanya alat bantu yang menyempurnakan bentuk-bentuk ekspresi tersebut.

Melalui feature radio Stephen Schwartz terus berkarya. Karya-karyanya tak terbatas dan nyaris seperti sebuah ekspresi berkesenian ketimbang laporan-laporan jurnalistik. Schwartz menyadari hal ini tapi ia mengatakan bahwa ia tak ingin dibatasi definisi-definisi baku.

Karya terakhirnya berjudul What happen after my think-pad’s turned off? Ini merupakan karya yang sangat personal dan bersifat avant garde. Stephen Schwartz mengibaratkan pikiran manusia seperti sebuah think-pad pada sebuah komputer. Jika komputer dimatikan, maka think-pad akan mati juga. Bagaimana dengan manusia? Schwartz berusaha mencari jawabannya. Ia mewawancarai berbagai kalangan, mulai dari pemikir hingga agamawan. Ini semacam renungan mendalam tentang satu misteri besar dalam kehidupan manusia: kematian.

Stephen Schwartz mengajarkan tak terbatasnya kemungkinan berkarya lewat sebuah media yang kurang diperhitungkan: radio. Selama ini radio di Indonesia cuma dikenali sebagai media hiburan ringan, berisi musik, sekadar mengisi waktu berkendara atau teman bekerja. Tidak mungkinkah kemungkinan-kemungkinan yang lebih jauh dieksplorasi?*

by:Eric Sasono