dan SUNUDYANTORO

IKLAN tentang liputan Perang Teluk berpendar-pendar dari neon sign Gedung Surabaya Post. Ia tak pernah berhenti sepanjang sore sampai malam sehingga menarik perhatian orang yang lewat Jalan Taman Ade Suryani, Surabaya.

Tahun l991 memang puncak kejayaan harian sore Surabaya Post. Ketika pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat menggempur Irak, peperangan itu juga menaikkan sirkulasi Surabaya Post hingga 210 ribu eksemplar. "Kami pernah cetak malam hari, lalu pagi harinya cetak lagi, karena ada permintaan dari Jember," kata Tatang Istiawan, mantan pemimpin perusahaan Surabaya Post.

Kini semua tinggal kenangan. Sejak 1 Mei lalu, suratkabar ini berhenti terbit. Sore sebelumnya ada pengumuman, "Mulai tanggal 1 Mei 2002, harian kita, Surabaya Post untuk sementara waktu akan berhenti terbit karena ketiadaan bahan baku." Mereka berjanji terbit kembali.

Tapi entah kapan janji itu dilaksanakan mengingat rumitnya masalah di sana. Semula karyawan berharap pertikaian bisa diselesaikan 29 April lalu saat dilaksanakan pertemuan antara tiga pemilik saham: Glady (Didy) Indriyani Azis, Indra Jaya Azis, dan Iwan Jaya Azis, disertai tiga wakil karyawan Surabaya Post.

Didy, Indra, dan Iwan adalah putri-putra pasangan mendiang Abdul dan Toety Azis, pendiri Surabaya Post pada 1953. Mereka mewarisi saham Surabaya Post masing-masing 33,3 persen.

Didy seorang ibu rumah tangga. Ia sarjana psikologi dari Universitas Gadjah Mada dan menyelesaikan program master dari Universitas Indonesia. Didy sempat bekerja di Departemen Tenaga Kerja sebelum memutuskan memberikan waktu penuh pada keluarganya. Didy pernah sebentar jadi pemimpin umum Surabaya Post sebelum menyerahkannya pada Indra.

Indra adalah adik Didy. Indra pemimpin umum, pemimpin redaksi, dan sekaligus penanggungjawab harian Surabaya Post. Baik Didy dan Indra tinggal di Jakarta. Didy tinggal di Jalan Sutan Syahrir, Menteng, dan Indra tinggal di Patra Kuningan, berdekatan dengan rumah mantan presiden B.J. Habibie. Menilik dari lokasi rumah mereka, jelas bahwa keluarga ini punya kemampuan ekonomi yang baik.

Iwan anak bungsu dan ekonom. Iwan kini tinggal di Ithaca, sebuah kota kecil yang cantik di negara bagian New York, Amerika Serikat, di mana Iwan jadi profesor di Universitas Cornell, salah satu universitas terbaik di sana.

Tapi pertemuan 29 April tersebut gagal karena hanya dihadiri Didy dan Rusman Mansur (wakil Iwan Jaya Azis). Indra tak hadir. Pertemuan itu dijadwalkan untuk melakukan rapat umum pemegang saham Surabaya Post.

Akhirnya, pertemuan di Hotel Elmi itu hanya dipakai untuk mengobrol antara Didy dengan wakil karyawan.

"Sebenarnya undangan rapat umum pemegang saham sudah dikirimkan Bu Didy sejak Sabtu sebelumnya," kata Saiful Irwan, ketua Serikat Pekerja Pers Surabaya Post, yang ikut hadir di Hotel Elmi.

Rapat pemegang saham dianggap satu-satunya cara penyelesaian kemelut Surabaya Post. Harian yang mempekerjakan 243 karyawan ini mulai goncang sejak Januari lalu ketika menghadapi krisis keuangan, sehingga hanya mampu mencicil gaji karyawannya, dan kesulitan bahan baku.

Krisis bahan baku pertama kali disampaikan oleh Zaenal Arifin, wakil pemimpin redaksi Surabaya Post, awal Februari lalu dengan mengundang Angky F. Siswanto (pemimpin perusahaan), Syahrul Bachtiar (wakil pemimpin umum), redaktur pelaksana (Gatot Susanto dan Son Andreas), dan beberapa manajer.

Zaenal Arifin mengatakan umur Surabaya Post hanya sampai hitungan minggu. Tak ada dana untuk membeli kertas, plat, dan tinta. Rapat membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun anggaran cadangan agar Surabaya Post bisa aman sampai empat bulan ke depan. Tim ini menyusun anggaran Rp 4 miliar dan dimintakan kepada direktur utama Indra.

"Nggak usah khawatir, nggak ada masalah," jawab Indra kepada Imam Pujiono, pemimpin PT Surabaya Post Printing, seperti ditirukan Zaenal.

Jawaban ini tak memuaskan. Zaenal berkesimpulan Indra menolak mengucurkan dana. Benar adanya. Dua pekan berikutnya, kertas benar-benar habis. Para wartawan gelisah. Bagi mereka, hidup tanpa suratkabar adalah aib.

Melihat kondisi kritis, mereka membentuk Tim Inisiator yang anggotanya 17 orang mewakili lintas bagian termasuk Saiful Irwan dan Sugeng Purwanto (Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos), Imung Mulyanto (Koperasi Karyawan Surabaya Post), wartawan Dwi Eko Lokononto dan Nanang Krisdinanto, serta Angky F. Siswanto (pemimpin perusahaan).

"Kita sudah tahu gaya kepemimpinan Pak Indra yang hanya mengobral janji," kata Dwi Eko Lokononto.

Sejak itu peran wakil pemimpin redaksi Zaenal Arifin dan wakil pemimpin umum Syahrul Bachtiar, masing-masing orang kedua tertinggi dalam jajaran redaksi dan bisnis Surabaya Post, diambil alih Tim Inisiator.

Tim ini memutuskan efisensi dengan mengurangi halaman Surabaya Post dari 20 jadi 16 halaman. Tim juga menghentikan penerbitan tabloid Kredit, suplemen Bewara untuk edisi Jawa Barat, dan suplemen Layar untuk edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Tim Inisiator menganggap Kredit, Bewara, dan Layar benalu perusahaan.

Kredit didirikan Indra Jaya Azis bersama Tatang Istiawan pada l999, tak lama setelah Toety Azis meninggal dunia. Kredit didirikan dengan bendera PT Indas Media Tama, modal awal sekitar Rp 2 miliar, dan komposisi sahamnya 80 persen Indra dan 20 persen Tatang.

Kredit berdiri 1 April 2000, berkantor di Jalan Pahlawan, Surabaya, bekas kantor pemasaran Surabaya Post. Tatang merekrut 22 karyawan, termasuk Noor Ipansyah, seorang mantan redaktur pelaksana Surabaya Post.

Sejak terbit, Tatang ingin tabloid itu meniru tabloid Kontan milik Kelompok Kompas Gramedia. Kredit rencananya dikelola terintegrasi dengan Surabaya Post. Percetakan, promosi, jaringan berita, dan distribusi akan didukung Surabaya Post. Dengan cara itu, biaya bisa ditekan. Tapi, langkah Tatang ini dihadang karyawan Surabaya Post. Mereka sering menunda pemasangan iklan. Percetakan juga sering diulur-ulur.

Tatang mengeluh pada Indra, tapi tak ada tanggapan. Merasa komitmennya dilanggar, Tatang hanya bertahan empat bulan mengelola Kredit. Ia hengkang ke Pulau Batam dan Riau untuk jadi konsultan media di sana.

Indra tetap meneruskan Kredit. Tim Inisiator menganggap manajemen Kredit tak transparan. Indra tak pernah terbuka menjelaskan, apakah Kredit anak perusahaan Surabaya Post atau hanya ingin memberikan kompensasi kepada Tatang. Bagi karyawan, penerbitan Kredit akan jadi masalah kalau terus menggerogoti uang Surabaya Post.

Penerbitan Bewara dan Layar sama anehnya dengan Kredit, tanpa disertai studi kelayakan dan pertimbangan matang. Sumber pendanaan Bewara dan Layar sendiri tak jelas dari mana. "Yang saya dengar, gaji wartawan Bewara dan Layar dari Indra sendiri," kata Zaenal Arifin.

Biaya cetak Kredit, Bewara, dan Layar ditanggung PT Surabaya Post Printing, yang sahamnya juga dimiliki tiga bersaudara Didy, Indra, dan Iwan. Beban inilah yang membuat Surabaya Post makin berat.

Saat Surabaya Post dilanda krisis, karyawan seperti menemukan momentum untuk menghentikan pencetakan Kredit, Bewara juga Layar.

Menurut Saiful Irwan dari Tim Inisiator, ketika mereka menghentikan Kredit, Bewara, dan Layar, mereka bisa menekan angka kerugian dari Rp 1,2 miliar pada Desember 2001 jadi Rp 725 juta pada Februari dan Rp 516 juta pada Maret 2002.

Pengeluaran terbesar Surabaya Post untuk bahan baku sekitar Rp 846 juta pada Januari lalu dan hampir separohnya untuk biaya cetak Kredit, Bewara, dan Layar. Dengan mencetak 7.500 eksemplar Bewara dan Layar setiap hari, Surabaya Post menanggung kerugian Rp 200 juta per bulan.

Penghentian ini membawa dampak bagi pegawai Kredit, Bewara, dan Layar. Ada 22 karyawan Kredit kehilangan pekerjaan. Tapi menurut Dwi Eko Lokononto dari Tim Inisiator, penghentian Kredit, Bewara, dan Layar untuk menyelamatkan kapal besar Surabaya Post.

Kapal ini sudah lama karam karena terlalu berat muatan. Nah untuk bisa berlayar, sebagian penumpangnya harus diturunkan.

Tapi sampai Maret, dana tetap tersendat. Ada kabar, Indra sudah tak mau mengucurkan dana karena Didy dan Iwan juga tak mau menurunkan dana. Dalam berbagai kesempatan, Indra mengungkapkan kekesalannya dengan mengatakan kesulitan dana itu merupakan "pendidikan politik" bagi karyawan dan pemilik saham.

"Kalimat itu dikatakan berulang-ulang dan saya juga tak tahu apa maksudnya," kata Zaenal Arifin.

Situasi kian tak menentu sehingga Serikat Pekerja Pers Surabaya Post melayangkan somasi sampai tiga kali kepada Indra. "Kita ingatkan agar Indra tidak melalaikan tanggung jawabnya," kata Saiful Irwan.

Kondisi Surabaya Post saat itu berdarah-darah. Untuk menggaji karyawannya saja, manajemen Surabaya Post menggadaikan dua buah mobil operasional. Untuk bertahan hidup, sebagian karyawan menjual VCD dan telepon seluler. Tapi Indra tak segera bertindak.

Dalam pertemuan 25 April di restoran Nur Pasifik, Surabaya, Indra mengatakan tak ada masalah keuangan di Surabaya Post. Dia seakan-akan hendak mengatakan krisis ini bukan sesuatu yang membahayakan. Tapi bagaimana karyawan percaya?

Selain melakukan somasi, Tim Inisiator menemui Didy dan Indra di Jakarta. Dalam pertemuan ini, Didy menyatakan sanggup datang ke Surabaya pada 29 April untuk rapat umum pemegang saham. Tapi Indra keberatan dan minta rapatnya pada 27 April. Mereka juga menghubungi Rusman Mansur, wakil Iwan di Surabaya Post, karena Iwan tinggal di Amerika Serikat.

Keberatan Indra terbukti. Rapat umum pemegang saham di Hotel Elmi itu batal karena Indra tak datang.

Karena kecewa, pada 30 April, karyawan Surabaya Post bergerak ke gedung parlemen Jawa Timur. Dengan mengusung dua foto Abdul Azis dan Toety Azis, mereka minta Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur untuk memanggil Indra ke Surabaya. Mereka juga mendesak Indra bertanggung jawab atas nasib karyawan.

Harbiyah Salahudin, ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, mengatakan, “Akan saya panggil semua pemilik sahamnya."

Sepekan kemudian, Didy, Indra dan Rusman Mansur datang ke tempat Harbiyah. Indra datang berpakaian necis, pakai dasi, dan berjas warna coklat. Didy berpenampilan trendi, memakai hem putih dipadu celana dan jas warna hitam. Tak lupa kacamata minus tipis. Kerapian busana mereka tak menutupi kesan ada ketegangan antara kakak-beradik ini.

Mereka berangkat sendiri-sendiri dari Jakarta. Mereka tak duduk berdampingan dalam satu meja. Didy dan Indra juga tak satu kata dalam menyelesaikan persoalan Surabaya Post.

Selama enam jam mereka berdebat soal kapan bisa mengadakan rapat umum pemegang saham. Yang satu kata adalah Didy, Iwan dan wakil karyawan Surabaya Post. Bahkan, Didy seperti membangun koalisi dengan karyawan, untuk menekan Indra.

Mereka sepakat rapat umum pemegang saham dilakukan hari itu juga di Surabaya. Mumpung mereka semua ada di sana. Kesediaan Iwan itu disampaikan langsung dari luar negeri kepada Didy, Indra dan Harbiyah lewat telepon seluler milik Didy.

"Semakin cepat rapat umum pemegang saham dilaksanakan, bleeding Surabaya Post bisa segera dihentikan," kata Didy.

Indra, yang waktu itu didampingi tiga pengacara, menolak pelaksanaan rapat hari itu. Indra mengatakan rapat itu adalah hak dan tanggung jawab direktur utama. "Rapat umum pemegang saham ada prosedurnya dan tidak bisa dipaksakan," kata Indra.

Perdebatan akhirnya bisa ditengahi setelah Didy dan Indra berkompromi. Indra

siap melaksanakan rapat selambat-lambatnya 20 Mei. Itu pun setelah didesak anggota Komisi E dan karyawan berulang kali.

"Pak Indra, marilah dilepaskan baju direktur utamanya dan lihatlah nasib karyawan," kata Saefudin H.S., wartawan Surabaya Post yang juga anggota Tim Inisiator.

Ada kesimpulan lain. Dalam pertemuan itu, Didy dan Indra membuat kesepakatan tertulis yang intinya mengatakan Didy akan menghibahkan semua sahamnya kepada Koperasi Karyawan. Iwan sepakat adanya investor sebagai syarat penyerahan saham milik Iwan kepada Indra.

Indra tampaknya berniat menguasai saham mayoritas Surabaya Post. Indra beberapa kali mengatakan Iwan akan memberikan sahamnya kepada Indra agar bagian Indra jadi 66,6 persen.

Usai pertemuan di dewan, Indra langsung pergi bersama pengacaranya dan tak

mampir ke kantor Surabaya Post. Agak sedikit tak enak, sebagai direktur utama, ia tak memerlukan menengok perusahaan yang ada dalam kendalinya. Sikap ini berbeda dengan Didy. Ia langsung menuruti keinginan karyawan ketika ia diajak bertandang ke Gedung Surabaya Post.

"Sudah dua tahun saya tidak ke sana," kata Didy. Di kantor Surabaya Post yang lengang, Didy langsung diajak menuju ke lantai tiga, ruang redaksi yang saat itu dalam keadaan gelap dan agak panas—karena sebagian pendingin dan listrik dipadamkan. Didy mengobrol lama dengan para karyawan. Disuguhi secangkir kopi, Didy hanya bisa menyaksikan wajah-wajah karyawan yang sembab. Mereka menangis.

SURABAYA POST diterbitkan pasangan Abdul dan Toety Azis pada 1 April 1953. Azis muda berusia 31 tahun dan memulai usahanya di tengah persaingan dengan sejumlah suratkabar berpengaruh seperti Soeara Rakjat, Harian Oemoem, Java Post, Chinese Daily News, Perdamaian, Pewarta Soerabaja, De Vrije Pers, dan Nieuw Soerabaiasch Handelsblad.

Dalam masthead tercantum Abdul Azis sebagai penerbit dan pemimpin redaksi, Toety sebagai pemimpin perusahaan. Surabaya Post didirikan Azis dengan hasil menjual harta benda dan simpanannya. Dalam buku Tajuk Tajuk Dalam Terik Matahari diceritakan, hasil penjualan itu dibelikan bahan kertas sampai berpeti-peti, hingga memenuhi isi rumah Azis. "Kita sudah terbiasa hidup dalam revolusi. Kalau kita jatuh, ya sudah jatuh. Tapi, kalau ada sukses, ya sukses," kata Toety kepada suaminya.

Saat terbit pertama, ia memakai format tabloid delapan halaman. Suratkabar ini mulanya menggunakan moto Merdeka-Non Party. Lalu berubah jadi Harian berdasar ketuhanan untuk keadilan semua golongan. Semangat nonpartisan dipegang teguh Azis dan Toety. Azis memang dikenal sebagai orang moderat. Perubahan moto terakhir kali dilakukan 1965: Suratkabar Umum Berdasarkan Ketuhanan Untuk Keadilan Semua Golongan.

Mulai l960, usaha Surabaya Post menggeliat. Tirasnya naik. Iklan-iklannya mengalir deras. "Para lopernya kalau jalan, sepedanya bergerak zig zag. Ke kiri melempar koran, ke kanan juga melempar koran," kata Peck Diono, mantan wartawan Bintang Baru.

Pada 1970-an Surabaya Post makin kencang. Keunggulan Surabaya Post waktu itu karena ia satu-satunya suratkabar Surabaya yang memakai teknologi cetak modern dengan membeli mesin offset merek Goss Community l974 dan mesin Rockwell l985.

Kesuksesan suratkabar itu memberikan kemakmuran. Azis membangun rumahnya yang megah di Jalan Panglima Sudirman. Pada l980 Azis membangun Gedung Surabaya Post berlantai lima di Jalan Taman Ade Suryani. Pada l984, Azis membangun Balai Surabaya Post, sebuah gedung berlantai tiga, yang diperuntukkan kegiatan sosial, seperti perpustakaan dan ruang pertemuan.

Rezeki juga diberikan bagi karyawannya. Tjuk Suwarsono, yang masuk Surabaya Post 1974 dan jadi redaktur pelaksana (1984-1990) cerita bagaimana ia mendapatkan rumah tipe 54 dan mobil Suzuki Jimny. Rumah diberikan bagi wartawan yang telah bekerja selama lima tahun. Pemberian merata bagi semua, termasuk karyawan rendahan. Gimo Hadiwibowo, yang memulai kariernya dari pesuruh kantor, mendapat asuransi kesehatan sebesar US$100 per bulan. Boleh dibilang, di kalangan wartawan Surabaya, gaji dan fasilitas wartawan Surabaya Post paling wah.

Cita rasa juga jadi hal penting. "Pak Azis tidak suka kalau wartawannya berpakaian nglomprot," kata Tjuk Suwarsono. Azis memberikan jatah seragam safari yang dijahit oleh Wong Hang, penjahit kenamaan Surabaya.

Kesuksesan Surabaya Post dipengaruhi beberapa hal. Selain tak ada pesaing, juga karena intuisi bisnis dan jurnalisme yang tajam dari Azis. Ia mengendalikan secara langsung Surabaya Post. Tiap hari ia berkeliling dari meja redaksi, sirkulasi, iklan, sampai percetakan. Azis juga sering mengoreksi berita yang ditulis para wartawannya dengan cara menggunting berita yang dianggap perlu dikoreksi.

Tjuk Suwarsono mengatakan hampir tiap hari ia dipanggil Azis untuk mendengar wejangan. Azis menempatkan diri sebagai guru dan Tjuk sebagai muridnya.

Azis tak menyukai berita yang bersifat menyerang. Tjuk kemudian menemukan "rumus" pemberitaan Surabaya Post, yaitu menghindari pemberitaan yang bersifat head-on (berhadap-hadapan). "Kekuatan jurnalisme Surabaya Post waktu itu adalah kualitas beritanya," kata Tjuk.

Koresponden politik Ali Salim pernah disemprot Azis karena dianggap menulis terlalu keras. Ali menurunkan berita yang mengkritik pembelian rumah baru untuk Wahono, gubernur Jawa Timur saat itu. "Saya menganggapnya pemborosan, karena sudah ada Gedung Grahadi. Kenapa kok nggak itu yang ditempati," kata Ali.

Menurut Tjuk Suwarsono, Azis tak menabukan kritik, bahkan ia menganjurkan wartawan bersikap kritis, asal disampaikan secara santun. Jurnalisme Surabaya Post menjaga keseimbangan berita dan tak melakukan vonis kepada seseorang yang dianggap bermasalah.

Tjuk akhirnya memahami bahwa suratkabar tempatnya bekerja, cirinya menghindari berita yang meledak-ledak dan memakai bahasa yang baku. Sarkasme bahasa: diseret, berkilah, cewek-cowok, juga dihindari. Surabaya Post juga membuat buku panduan gaya bahasa (style book).

Surabaya Post juga mengembangkan apa yang disebutnya liputan tuntas. Ia meliputi empat proses penulisan berita: menulis, mengembangkan berita, mengawasi dan memberikan solusi. Solusi yang ditawarkan bukan hanya saran, tapi juga sumbangan uang. Surabaya Post misalnya, pernah membangun sejumlah lampu penerangan di jalan-jalan protokol Surabaya karena pemerintah kekurangan dana. Tentu, lampu penerangan ini disertai iklan Surabaya Post.

Tjuk Suwarsono ingat Surabaya Post pernah menurunkan liputan tentang kondisi delapan pasar Inpres di Surabaya. Berita yang berjudul "Nasib Pasar Inpres Surabaya" dipasang sebagai headline halaman pertama dan ditulis lima hari berturut-turut. Gara-gara berita ini gubernur Jawa Timur Sunandar Priyosudarmo langsung melakukan rapat mendadak pada pukul 05.00 pagi hari.

"Akhirnya gubernur menerbitkan surat keputusan penertiban pasar Inpres," kata Tjuk mengenang. Keberhasilan jurnalisme yang bermutu.

Jurnalisme bermutu selalu mengundang orang-orang bermutu. Pada 1980-an Surabaya Post sejumlah wartawan muda bergabung dengan Surabaya Post. Liputan kota Surabaya dimotori satu pasukan wartawan terdiri Taufik Ibrahim, Darmantoko, Deny Nuryadi, Hery Mustafa, dan Saiful Irwan. Untuk daerah diperkuat R.M. Yunani Prawiranegara (Lumajang), M. Anis (Kediri), dan Budiono Darsono (Bojonegoro).

Pada 1984 Abdul Azis meninggal dunia dalam usia 62 tahun. Jabatan pemimpin umum diambil alih istrinya Toety Azis.

PERIODE Toety diwarnai kompetisi suratkabar. Pada 1982 harian pagi Jawa Pos dibeli dari pemilik lamanya oleh PT Grafiti Pers, sebuah perusahaan Jakarta, yang menerbitkan majalah Tempo. Pada 1986 harian Surya, yang dibidani Kelompok Kompas Gramedia, diterbitkan dari Surabaya.

Surabaya Post harus bersaing dengan keduanya, terutama Jawa Pos, yang mencari iklan dan pelanggan dengan agresif. Pada 1982 Jawa Pos hanya bertiras enam ribu eksemplar, tapi pada l999 sudah meraih 362 ribu.

Prestasi Jawa Pos yang paling mematikan adalah menerbitkan suplemen bernama Radar di tujuh wilayah Jawa Timur. Suplemen ini mengunci pasar suratkabar di Jawa Timur, termasuk Surabaya Post. Pukulan paling telak adalah hadirnya Radar Surabaya pada 2001 dengan konsentrasi pasar Surabaya.

Surabaya Post juga harian sore yang waktu edarnya terbatas. Kekalahan Surabaya Post mulai terasa pada l988. Tirasnya melorot dari 90 ribu pada 1984 jadi 50 ribu eksemplar. Pada l994 jadi 45 ribu, pada 1996 turun lagi jadi 30 ribu, lalu l998 jadi 24.700 eksemplar. Mei lalu saat Surabaya Post berhenti terbit, tirasnya cuma 10 ribu eksemplar.

Surabaya Post juga menghadapi masalah internal. Toety melakukan beberapa perubahan personalia yang kurang bisa diterima karyawan. Pada awalnya, Toety memberikan kepercayaan kepada Tjuk Suwarsono, jadi redaktur pelaksana. Saat Azis meninggal, Tjuk dianggap wartawan yang disiapkan Azis memimpin ruang redaksi.

Tapi perhatian Toety makin lama, kian mengendur. Dengan bertambahnya usia, Toety lebih banyak berdiam di ruangannya dan jarang turun ke ruang redaksi atau usaha. Protokoler jadi kewajiban bagi tamunya. Kalau Toety datang ke kantor, semua orang berhenti dan menunduk takzim kepadanya. Dinding ruang kerja Toety jadi angker dan sulit ditembus karyawan.

Pada 1990 Toety menggeser Tjuk Suwarsono dan mengangkat Syahrul Bachtiar. Menurut Tatang Istiawan, Toety ingin jabatan redaktur pelaksana dipegang kaum muda yang berumur antara 30–40 tahun.

Tapi Syahrul dianggap “lompat pagar” untuk jadi redaktur pelaksana. Syahrul baru bekerja setahun. "Saya merasa disingkirkan" kata Tjuk.

Syahrul sendiri pada 1995 diganti Bambang Hariawan, wartawan baru yang juga “lompat pagar." Bambang baru kerja setahun dan langsung diangkat redaktur pelaksana. Bambang hanya bertahan satu tahun karena bentrok dengan Tatang selaku pemimpin perusahaan. Bambang keluar dari Surabaya Post pada Mei l996

Tatang orang dekat Toety yang paling kontroversial. Tatang Istiawan masuk ke Surabaya Post pada l976. Mula-mula sebagai wartawan tapi sesudah magang di sebuah bank dan belajar manajemen di Jakarta, ia pindah ke bagian bisnis.

Pada 1993 Tatang diangkat Toety jadi pemimpin perusahaan. Ini jabatan tertinggi di sisi usaha. Sejak itu Tatang melakukan berbagai gebrakan untuk mendongkrak sirkulasi. Pada 1995, Tatang mengubah konsentrasi pasar cuma di kota Surabaya lantaran ada kecenderangan sirkulasi dan iklan suratkabar nasional terus menurun. "Surabaya Post harus jadi koran lokal," kata Tatang.

Tatang juga membentuk kerja sama dengan jaringan pengelola warung telekomunikasi. Orang bisa memasang iklan lewat warung-warung ini. Sirkulasi naik dari 48 ribu pada 1994 jadi 51 ribu pada 1995. Pada 1997 sirkulasi turun jadi 36 ribu dan 1999 malah 24 ribu, “Perlu Anda tahu, saat krisis moneter semua sirkulasi suratkabar turun,” kata Tatang.

Posisi Tatang makin lama makin kuat. Sayangnya, ia merambah wilayah redaksi. Ia mengambil sebagian peranan Bambang Hariawan. Tatang menciptakan suplemen Teras Bisnis yang berisi iklan dan dikemas dalam bentuk berita.

"Waktu itu berita bisnis di Surabaya Post sangat kering," kata Tatang. Nah, Tatang berharap wartawan senior seperti Zaenal Arifin dan Syahrul Bachtiar bisa mengemas berita bisnis secara menarik. Maksudnya, agar pemasang iklan tertarik dan sirkulasi ikut naik.

Teras Bisnis tak luput dari kritik karena dianggap melanggar pagar api. Ia mengelabui pembaca. Teras Bisnis tak diumumkan secara terbuka sebagai iklan, yang dikemas dalam bentuk berita (advertisement editorial). Tatang pula yang meletakkan Syahrul di Teras Bisnis. Sejumlah orang tersingkir atau merasa disingkirkan Tatang.

Ferry Suharyanto, karikaturis Surabaya Post, mengatakan orang yang paling dipercaya Toety, selain Tatang, juga Hotman M. Siahaan, dosen Universitas Airlangga Surabaya, yang juga terlibat dengan Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Pernerbitan Yogyakarta (LP3Y). "Tatang untuk bidang usaha dan Hotman untuk policy keredaksian," kata Ferry.

Siahaan masuk lingkaran Surabaya Post sejak 1989. Bersama Tjahjo Purnomo, Haryono dan Samekto, Siahaan jadi angota tim ahli Surabaya Post. Tjahjo bekas mahasiswa Siahaan. Haryono dan Samekto kolega Siahaan di kampus Airlangga.

"Bu Toety menginginkan Surabaya Post sebagai koran intelektual," kata Siahaan. Toety menginginkan Surabaya Post bisa menjadi "Kompas-nya" Jawa Timur dan tim ahli yang dibentuk Siahaan diandaikan seperti tim ahli ekonomi di Kompas. Maka Siahaan dan kawan-kawan, tiap sekali dalam sepekan, memberikan suntikan wawasan kepada wartawan dan redaktur Surabaya Post.

Ternyata Siahaan dengan Tatang sering tak bisa seiring. "Bahkan mereka punya agenda sendiri-sendiri," kata Ferry Suharyanto.

"Tim ahli hanya bekerja dua tahun karena dilarang Tatang," kata Hotman Siahaan. Tatang menulis surat kepada Toety agar tim ahli tak diteruskan.

Toety memang menuruti Tatang. Tapi Siahaan dan kawan-kawan diminta Toety untuk menulis editorial Surabaya Post, lima kali sepekan. Maka Siahaan mengajak Basis Susilo dan Priyatmoko, kolega Siahaan di Universitas Airlangga, untuk membantu menulis editorial isu luar negeri dan politik. Siahaan juga dipercaya Toety jadi pelaksana harian Yayasan Bhakti Keluarga Surabaya Post bentukan Toety.

Sepulang mengajar, biasanya Siahaan meluncur ke Balai Surabaya Post. Di salah satu ruangan, Siahaan memilih proposal pencari sumbangan yang dilamatkan kepada Toety atau Yayasan Bhakti Keluarga Surabaya Post.

Toety seorang kaya yang dermawan. Toety kolektor barang antik dan seni. Toety pernah membantu pembangunan masjid Institut Agama Islam Negeri Surabaya dan masjid Al Akbar ratusan juta rupiah. Saat semua suratkabar dicekik krisis, Toety juga membantu suratkabar Waspada milik Ani Idrus (Medan) dan Banjarmasin Post milik Jok Mentaya. Ia juga membantu Rp 1 milyar pembangunan Gedung Pemuda.

Kedekatan Siahaan dengan Toety, oleh sebagian karyawan, dianggap mempercepat kejatuhan Surabaya Post. "Peran mereka sama saja dengan Tatang, merampok Surabaya Post," kata Jaka M. Mujiana, seorang wartawan dan aktivis Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos. Jaka dan tujuh karyawan Surabaya Post lain pernah mendemonstrasi Siahaan. Mereka mengatakan Surabaya Post terpuruk karena dananya tersedot untuk proyek-proyek mercusuar lewat Siahaan dan LP3Y Yogyakarta. "Saya juga mendengar Toety pernah memberikan bantuan Rp 1 miliar kepada LP3Y," kata Jaka.

Siahaan mengatakan salah kalau dia disebut ikut menggerogoti Surabaya Post. "Saya bekerja untuk Bu Toety bukan untuk Surabaya Post," kata Siahaan. Kalau pun dia bekerja di Surabaya Post, Siahaan hanya menulis esai tiap Sabtu yang honornya dibayar redaksi Surabaya Post. Anggota tim editorial digaji Rp 500 ribu per bulan. Siahaan selama bekerja di Yayasan Bhakti Keluarga Surabaya Post digaji Rp 300 ribu per bulan dari uang pribadi Toety. "Jadi apanya yang saya rugikan?"

Ashadi Siregar, direktur LP3Y Yogyakarta dan kolega Siahaan, mengatakan ia memang pernah bekerja sama dengan Surabaya Post untuk membuat buku panduan keredaksian Surabaya Post pada 1990. Program ini didanai Surabaya Post. "Kegiatan ini Ibu Toety sendiri yang minta."

LP3Y juga pernah memberikan pelatihan wartawan yang pesertanya tak hanya dari Surabaya Post tapi melibatkan wartawan media lain. Dananya tak hanya dari Surabaya Post. Saat Siregar diminta Toety sebagai koordinator konsolidasi manajemen Surabaya Post, ia juga tak dibayar. "Fungsi konsultan dan pemimpin redaksi itu saya jalani dengan kerja bakti," kata Siregar.

Ada bantuan Toety untuk LP3Y sebesar Rp 500 juta untuk pembuatan ruang kelas dan pelatihan LP3Y. Menurut Siregar, tuduhan pada LP3Y dan Hotman Siahaan itu, karena prasangka buruk yang berkembang di Surabaya Post.

Rasa curiga, pergantian personalia, kekuasaan yang terpusat pada Toety, dan beratnya kompetisi, campur aduk dan sasarannya pada Tatang. Ketakpuasan ini meledak pada 1999. Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos menuntut sistem penggajian yang adil dan Kesepakatan Kerja Bersama. Karyawan juga menuntut Tatang Istiawan dan Syahrul Hidayat, yang menggantikan Tjuk Suwarsono pada 1990, untuk mundur. Syahrul dianggap gagal membangun kinerja redaksi.

Menurut Jaka Mujiana, selain tak bisa menaikkan sirkulasi, Tatang ikut mempercepat kehancuran Surabaya Post dengan praktek perkoncoannya. Tatang membentuk sistem distrik pada 1995. Sistem ini mengangkat sejumlah koordinator distrik di Surabaya yang melayani sirkulasi dan iklan. Orang bisa membayar langsung ke distrik dan tak perlu datang ke kantor Surabaya Post.

Tapi celakanya, distrik itu banyak dikelola kawan-kawan dan keluarga Tatang. Akibatnya, sistem distrik merugikan agen. Distrik juga mendapatkan upah Rp 60 per eksemplar dari Surabaya Post. "Cara ini jelas merugikan agen dan SurabayaPost," kata Tjuk Suwarsono.

Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos mendesak Toety memecat Tatang. Tuntutan itu tak segera dijawab Toety sehingga anggota Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos melakukan mogok kerja selama empat hari.

Akibat pemogokan ini, Toety kemudian meliburkan karyawan—secara otomatis suratkabar tak terbit—selama dua pekan untuk konsolidasi. Situasi jadi memanas karena Toety juga melaporkan Ikhwan Hadi, Jaka Mujiana, Ferry Suharyanto, Martin Ervan, dan Singgih Wibisono ke polisi Surabaya dengan tuduhan menghasut karyawan dan merusak server jaringan data di kantor Surabaya Post, Jalan Sikatan.

Lima orang itu pengurus Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos dan semuanya berkantor di Jalan Sikatan. Surabaya Post berlokasi di dua tempat. Bagian manajemen (iklan, sirkulasi, umum, dan keuangan) berada di kantor pusat di Gedung Surabaya Post, Jalan Taman Ade Suryani, dan bagian redaksi dan pracetak di Jalan Sikatan.

Saat itu ada dua blok kekuatan. Kelompok pertama karyawan Jalan Sikatan yang dimotori aktivis Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos. Kelompok kedua, kelompok Tatang yang didukung sebagian karyawan kantor pusat. Untuk menandingi kekuatan kelompok pertama, muncul serikat tandingan dengan nama Serikat Pekerja Pers Harian Surabaya Post. "Serikat tandingan itu juga disokong Tatang," kata Jaka Mujiana.

Terjadi ketegangan karena kelompok pertama dianggap menghalang-halangi kelompok kedua ketika mereka akan mengambil database berita. Semua berita dari daerah dan kantor berita memang dipusatkan di kantor Sikatan. Maka, ketika kantor Sikatan dikuasai kelompok pertama, secara otomatis sistem pemberitaan Surabaya Post lumpuh.

Karena menganggap aksi karyawan membahayakan, Toety melaporkan Ikhwan Hadi dan kawan-kawan kepada polisi. Bagi Toety, tindakan karyawan itu sudah sama dengan melakukan pembredelan. "Itu tindakan yang tidak bisa dimaafkan dan tidak sesuai dengan jiwa wartawan," kata Toety.

Pendapat Toety ini sama dengan Ashadi Siregar. Dalam emailnya 16 Maret l999 kepada Triemoelja D. Soerdjadi, pengacara kondang yang ditunjuk Toety sebagai kuasa Surabaya Post, Siregar menyebut tindakan karyawan itu tak bisa dimaafkan. "Oknum tersebut sangat tidak layak untuk menjadi jurnalis."

Siregar mengatakan, sekeras apa pun konflik di tubuh pers, harus dihindari berhentinya penerbitan. Menurut Siregar, ada alasan historis mengapa Toety menentang pemogokan. Ia merasa sepanjang sejarahnya, Surabaya Post tak pernah berhenti terbit.

Tapi, di situlah letak perbedaannya. Toety dan Siregar menganggap, suratkabar adalah institusi publik yang harus tetap terbit, meski ada konflik di dalamnya. Bagi Jaka dan kawan-kawan, Surabaya Post juga lembaga bisnis yang harus memenuhi hak-hak karyawan. "Kami mogok, karena hak-hak kami diabaikan. Kalau itu disebut pembredelan, itu ‘kan penafsiran," kata Jaka.

Toety melakukan konsolidasi dengan cara membekukan organisasi keredaksian. Ia menunjuk Imam Pujiono, Syahrul Bakhtiar, Tjahjo W. Purnomo, dan Noor Ipansyah sebagai pelaksana redaksi.

Namun langkah Toety melaporkan karyawan ke polisi dilawan karyawan dengan mengadukan manajemen Surabaya Post ke Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur. "Target perlawanan karyawan bukan kepada Ibu Toety, tetapi kepada Tatang," kata Jaka. Toety melarang Tatang ikut mengurus masalah ini. Semua persoalan diambil alih oleh Toety.

"Tidak ada orang lain yang lebih tahu soal Surabaya Post selain Ibu," kata Toety.

Sejak itu, Toety menghadapi hari-hari yang melelahkan. Setelah dua kali tak hadir, pada 26 Maret 1999, Toety memenuhi undangan Komisi E DPRD. Toety tetap pada pendiriannya, menolak tuntutan karyawan untuk membentuk Kesepakatan Kerja Bersama, tapi ia memenuhi tuntutan penonaktifan Tatang Istiawan. Karena belum ada kompromi, Toety dan karyawan menjanjikan akan bertemu lagi.

Pertemuan kedua itu tak pernah terjadi. Pada 6 April l999 Toety meninggal secara mendadak di kamar mandi.

"Kematian Toety adalah sebuah tragedi," kata Hotman Siahaan.

GLADY Indriyani Azis jadi pemimpin umum Surabaya Post pada Juni l999, sebulan setelah meninggalnya Toety Azis.

Dua pekan setelah Toety meninggal, menurut Hotman Siahaan, ada pertemuan tiga anak Toety di rumah orangtua mereka, Jalan Panglima Sudirman 36, Surabaya. Pertemuan juga dihadiri oleh Siahaan, Ashadi Siregar, Daniel Dhakidae (kepala penelitian dan pengembangan Kompas), dan Lukman Hakim Kamaludin (bekas eksekutif Bank Duta). Empat orang ini memang dekat dengan keluarga Azis.

Dalam pertemuan keluarga itu disepakati Didy, sebagai pemimpin umum dan Indra wakilnya. Indra minta Hotman Siahaan jadi pemimpin redaksi Surabaya Post. Siahaan menolak. "Saya minta tolong Bang Hadi (Ashadi Siregar) agar mau menjadi pemimpin redaksi Surabaya Post," kata Siahaan.

Siregar bersedia sesudah diminta langsung Iwan Jaya Azis. "Jabatan ini saya terima tanpa kontrak dan perjanjian kerja," kata Siregar.

Ashadi Siregar diminta membantu Surabaya Post sampai enam bulan, tapi ditawar Siregar tiga bulan.

Ada harapan baru yang terpancar dari karyawan saat pertama kali Didy memimpin Surabaya Post. Orangnya lincah, gampang bergaul, dan tak menjaga jarak dengan karyawan. “Dia mudah diajak bicara dan mau turun ke lapangan," kata Jaka M. Mujiana.

Mengawali pekerjaan barunya, Didy sempat melihat percetakan Surabaya Post di Jalan Sikatan. Dia juga diajak karyawan untuk melihat distribusi suratkabarnya di terminal bus Bungurasih. Didy mengelola Surabaya Post dengan konsep day-to-day. Ia meninggalkan keluarganya di Jakarta. Didy tinggal di Surabaya selama lima hari dalam sepekan.

Didy bisa menekan kerugian Surabaya Post sampai dengan angka Rp 50 juta per bulan. Selain itu, Didy juga menggeser dan memberhentikan orang-orang yang dianggap bermasalah. Waktu itu, menurut Jaka, ada delapan orang yang bermasalah, termasuk Tatang Istiawan dan Syahrul Bachtiar.

Syahrul Bakhtiar yang semula menjabat redaktur pelaksana digeser menjadi wartawan senior. Didy juga memecat Siti Sumarsini (manajer personalia/manajer keuangan), Sujiman Budiharjo (manajer iklan), dan Gatot Bibit (manajer sirkulasi).

Mengelola suratkabar adalah pengalaman pertama bagi Didy. Saat menginjakkan kakinya di Surabaya Post, Didy terlihat percaya diri. Ia minta Lukman Hakim untuk membuat neraca keuangan yang selama ini tak pernah dibuat secara transparan. Setelah Lukman pergi, Didy juga memasukkan Mamak Sutamat, seorang wartawan Kompas. Hadirnya orang luar dimaksudkan agar Surabaya Post dikelola secara profesional.

"Dulu kalau Surabaya Post rugi, ya disubsidi terus sama Ibu," kata Didy. Kondisi itu membuat suratkabar ini seperti anak kecil yang tergantung sama ibunya. Padahal, kata Didy, bisnis media harus transparan sehingga bisa diketahui kelemahan dan kekuatannya.

Didy ingin memperbaiki Surabaya Post. Karyawan yang sebelumnya terpecah-belah menjadi dua kelompok besar, nyaris sudah bersatu.

"Dari jajaran redaksi solid," kata Budi Harminto, mantan redaktur pelaksana Surabaya Post. Hanya saja, Tatang bersama karyawan yang dipecat, membentuk kelompok sendiri dan sering berkumpul di Balai Surabaya Post. Tapi gangguan Didy justru muncul dari adiknya sendiri.

Dalam beberapa pertemuan dengan karyawan, Didy sempat mengeluhkan sikap

Indra. Tak adanya kerja sama antar keduanya menyulitkan manajemen Surabaya Post.

"Saya sendiri tidak bisa bekerja optimal," kata Mamak Sutamat.

Sepeninggal Lukman, Mamak memang sempat empat bulan menjadi pemimpin perusahaan Surabaya Post atas permintaan Jakob Oetama, orang nomor satu Kelompok Kompas Gramedia, yang bersedia membantu Surabaya Post. Didy memang minta tolong kepada Oetama. Caranya, Kompas mencetak korannya, edisi Jawa Timur, di percetakan Surabaya Post.

"Daripada percetakan menganggur, ‘kan lebih baik dimanfaatkan," kata Haryono, suami Didy, yang mengatakan ikut Didy mendekati Kompas.

Saat itu disepakati, Kompas mencetak selama setahun, tapi kemudian diperpanjang menjadi dua tahun. Duitnya lumayan.

Mamak sendiri tak bisa berbuat banyak di Surabaya Post. Dengan waktu yang amat pendek, Mamak tak bisa mendongkrak tiras Surabaya Post. Ia sempat membenahi laporan keuangan dan program pelayanan pelanggan. Tapi proyeksi yang dibuatnya tak berjalan karena kewenangannya di Surabaya Post tak jelas. Kalau ia membutuhkan uang, harus minta kepada Didy dan Indra.

"Sebab cek harus ditandatangani dua orang Didy dan Indra," kata Mamak.

Mamak merasa tak perlu bertahan lama di Surabaya Post. Ia meninggalkan Surabaya Post, tak lama setelah Didy tak mau lagi menjadi pemimpin umum.

Didy menanggalkan jabatan pemimpin umum pada November l999, setelah

September sebelumnya, dilakukan rapat pemegang saham. Penjelasan resmi mengapa Didy keluar? "Keluarga saya di Jakarta lebih membutuhkan perhatian saya," kata Didy kepada kami.

Alasan ini dibenarkan Haryono. Anak perempuan mereka mulai beranjak remaja, perlu mendapatkan perhatian. "Dan komitmen saya, memang hanya beberapa bulan mengelola Surabaya Post," kata Didy.

Tapi sebagian karyawan punya pendapat lain. Menurut Jaka Mujiana, Didy tak tahan dengan manuver Indra yang sering mengganjal keputusannya. Pemberhentian Tatang dan pemecatan karyawan bermasalah yang dilakukan Didy, ditolak Indra. Peristiwa yang memukul Didy adalah pelaporan Indra ke polisi terhadap sejumlah karyawan karena pergantian logo Surabaya Post. Padahal pergantian logo ini hasil musyawarah kerja redaksi dan sudah disetujui Didy. Akibat laporan ini, Zaenal Arifin dan sejumlah anggota redaksi Surabaya Post diperiksa polisi.

Tapi di luar itu, karyawan sendiri tak sepenuhnya mendukung Didy. Dalam sebuah pertemuan informal, Didy pernah memanggil sejumlah anggota redaksi untuk menjajaki dukungan karyawan terhadapnya. "Ternyata ada yang mendukung Indra," kata Budi Harminto, yang ikut dalam pertemuan tersebut. Sikap karyawan itu membuat Didy kecewa. Menurut wartawan Nanang Krisdinanto, mundurnya Didy akibat lemahnya solidaritas wartawan dan redaktur. "Waktu karyawan dilaporkan polisi karena pergantian logo ‘kan juga tidak ada perlawanan," kata Nanang.

Lepas seberapa besar dukungan karyawan terhadapnya, sebenarnya Didy tak mau berkonfrontasi dengan adiknya sendiri. Selain alasan keluarga, Didy menyerahkan jabatannya ke Indra karena ada keinginan Indra.

"Dia yang berambisi, ya saya serahkan saja," kata Didy.

Penyerahan jabatan juga hasil kompromi Didy dan Iwan.

Azis memimpin Surabaya Post selama 31 tahun, Toety 15 tahun, Didy cuma empat bulan.

"Sungguh saya tidak dapat memahami reasoning-nya," kata Ashadi Siregar, yang sempat membantu Didy sebagai pemimpin redaksi. Siregar menilai Indra tak punya kemampuan memimpin Surabaya Post, sebuah perusahaan yang rumit dan ruwet.

Saat Indra menggantikan Didy, tak banyak perubahan yang dilakukannya. Justru Indra mengangkat orang-orang yang dulu digeser dan dipecat Didy. Syahrul yang sebelumnya digeser jadi wartawan senior diberi jabatan wakil pemimpin umum. Indra menunjuk Caturhadi sebagai redaktur pelaksana.

Di bidang usaha, Indra mengangkat Hardini Oktariantini sebagai manajer iklan dan menempatkan Hermiena Bahar sebagai manajer sirkulasi. Selain itu, Indra juga menempatkan Sujiman Budiharjo dan Siti Sumarsini, yang dulu digeser Didy, di pos Satuan Pengendalian Internal (semacam pengawas). Padahal nama-nama tersebut tak populer di mata karyawan. Penunjukan Caturhadi, oleh sebagian wartawan, dianggap sebagai "kutu loncat" karena ia belum pernah jadi redaktur. Jabatannya diperoleh karena kedekatan dengan Indra.

Caturhadi hanya bertahan delapan bulan sebagai redaktur pelaksana karena setelah itu ia dikudeta lewat pemilihan secara terbuka.

Sistem pemilihan ini dikampanyekan oleh wartawan senior Surabaya Post untuk jabatan wakil pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana. Ternyata mayoritas memilih Ikhwan Hadi sebagai redaktur pelaksana dan Zaenal Arifin sebagai wakil pemimpin redaksi. Ini jabatan yang kedua kalinya bagi Zaenal.

Bagi Ashadi Siregar dan Nanang Krisdinanto, sistem ini merugikan Surabaya Post, karena bisa menempatkan orang yang salah seperti Ikhwan. Ikhwan terpilih karena ia ketua Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos.

Ruang redaksi bukan ruang pemungutan suara. Seseorang tak bisa menempati jabatan redaktur karena dapat dukungan massa dan bukan karena kemampuannya. "Pemilu itu kan cara politik, mestinya hal ini dihindari di tubuh perusahaan pers," kata Nanang.

Terbukti jabatan Ikhwan didongkel kawan-kawannya sendiri karena ia dianggap tak mampu. "Dulu Ikhwan terpilih karena situasi darurat," kata Zaenudin, fotografer Surabaya Post. Ikhwan diganti oleh Gatot Susanto dan Son Andreas.

Sistem pemilihan itu disetujui Indra. Mungkin, untuk menghindari konfrontasi dengan para wartawan. Kompromi Indra itu dibalas sikap akomodatif karyawan. Setidaknya sikap itu ditunjukkan karyawan dengan tak lagi mempersoalkan jabatan Syahrul.

Karyawan baru menggeliat setelah Indra tak mampu mengatasi masalah Surabaya Post. Orang menyimpulkan jabatan wakil pemimpin umum dan wakil pemimpin redaksi juga tak punya kekuatan. Semua keputusan bermuara pada Indra.

Nanang berpendapat adanya sistem pemilihan dan munculnya Tim Inisiator akibat tak berfungsinya struktur dan kelembagaan Surabaya Post. "Sebab ketika terjadi krisis kertas dan kelambatan gaji, mereka (Syahrul dan Zaenal) juga tidak bisa mengatasinya."

Zaenal Arifin mengatakan pada kami jabatan wakil pemimpin redaksi memang tak punya kekuatan, bahkan hanya pepesan kosong. "Itu karena saya tak diberi wewenang."

Zaenal Arifin sering gagal mengontak telepon seluler Indra. Ia mengirimkan surat sampai 46 kali. Zaenal orang pertama yang tak setuju diangkatnya Caturhadi sebagai redaktur pelaksana. "Tapi semua usulan saya tak ada yang digubris Indra."

Di sinilah keruwetan Surabaya Post. Sulit dipahami bagaimana seorang wakil pemimpin redaksi tak bisa mengakses langsung pemimpin redaksinya? Pemimpin itu bukan saja sulit dihubungi bawahannya tapi ia tak bisa mengambil keputusan penting saat perusahaannya dilanda krisis. Selama menjadi wakil pemimpin umum, kemudian pemimpin umum, Indra jarang berkantor di Surabaya Post. Kadang, selama sepekan, hanya sehari di Surabaya atau bahkan sampai beberapa bulan tak muncul di sana.

Jarangnya Indra di Surabaya inilah yang menimbulkan berbagai spekulasi siapa yang sebenarnya yang mengendalikan Surabaya Post.

Didy juga mengkritik kepemimpinan Indra, "Nggak bisa bisnis ini dikelola secara by remote control."

Didy mengatakan persoalan Surabaya Post bukan hanya karena pendanaan, tapi salah urus dan tak adanya komunikasi. Salah urus karena Indra melakukan ekspansi ke Jawa Barat dan Jawa Tengah (Layar dan Bewara) tanpa studi kelayakan. Indra juga tak mengelola bisnis secara terbuka.

"Saya juga nggak tahu ke mana larinya dana dari Kompas itu?" kata Didy kepada kami.

Hubungan Indra dengan Didy sejak lama memang ada masalah. Sejak rapat pemegang saham pertama pada September l999, Indra tak pernah lagi mengadakan rapat semacam itu. "Koridor untuk bertemu saja nggak ada," kata Didy. Permintaan Didy untuk bikin rapat sudah dilontarkan beberapa kali, tapi tak ditanggapi Indra.

Tuduhan itu dibantah Indra. Menurutnya, rapat pemegang saham sudah dirancang olehnya sejak September 2001. Bahkan Iwan juga telah datang ke Jakarta, lalu Surabaya sampai ke Bali.

"Tapi mengapa pertemuan itu gagal?" kata Indra.

Indra tak mau memberi jawabannya. Ia juga tak setuju permintaan wawancara untuk kami. Ia hanya menjelaskan sejak September itu ia telah memberikan “peringatan” kepada karyawan dan pemilik saham. Tapi peringatan apa, juga tak jelas.

Indra memang pernah diharapkan orangtuanya jadi pengelola Surabaya Post. Toety pernah memberikan kesempatan Indra sebagai wakil pemimpin redaksi Surabaya Post antara l987-l989. Nama dan jabatannya itu sempat tertera dalam edisi Surabaya Post, 2 Juli l989. Indra juga dibuatkan ruang khusus di sebelah ruang Toety di lantai kelima Gedung Surabaya Post.

Tapi karyawan sendiri tak tahu banyak aktivitas Indra, khususnya kemampuan Indra di bidang jurnalisme. Pemahaman yang terbatas terhadap kemampuan Indra ini disebabkan Toety jarang melibatkan anak-anaknya dalam acara Surabaya Post.

"Saya hanya bertemu Indra satu dua kali, itu pun saat acara ulang tahun Surabaya Post," kata Soeharto, bekas karyawan Surabaya Post.

Diajaknya Indra ke Surabaya, lalu ditafsirkan karyawan bahwa Toety tengah melatih Indra, ada proses suksesi. Toety bilang, "Didy punya kesibukan sendiri, Iwan juga begitu. Sibuk dengan dunia keilmuwannya."

Menurut Siahaan, hubungan Toety dengan Indra, melebihi hubungan kepada Didy dan Iwan. Indra anak kesayangan Toety. Indra pula yang mendampingi Toety ketika Toety dipanggil parlemen karena demonstrasi karyawan. Mungkin, karena hubungan ini, Indra merasa sebagai pewaris untuk mengelola Surabaya Post.

"Bapaklah yang diberi wasiat Ibu Toety untuk memimpin Surabaya Post," kata

Indra beberapa kali kepada karyawannya. Sebutan "Bapak" untuk dirinya sendiri itu juga penegasan bahwa ia ingin meneruskan tradisi priyayi, yang pernah dilakukan Toety di lingkungan Surabaya Post. Semasa hidupnya, Toety membahasakan dirinya sebagai "Ibu" ketika menyebut dirinya sendiri.

Didy tak percaya Toety memberikan wasiat kepada anak-anaknya. "Itu hanya romanstisme."

Saat meninggal, Toety tak membuat wasiat secara lisan atau tertulis bahwa Surabaya Post akan diwariskan kepada anak-anaknya.

Toety pernah punya cita-cita agar Indra meneruskan bisnis Surabaya Post. Tapi kepercayaan Toety terhadap Indra itu dicabut setelah nama Indra menghilang dari susunan redaksi. Keputusan pemberhentian Indra dari Surabaya Post ini disampaikan Toety dalam sebuah rapat redaksi di kantor Jalan Sikatan.

"Kita waktu itu menganggap, Indra dipecat oleh Ibunya," kata Saiful Irwan.

MARET lalu ketika karyawan Surabaya Post berjuang untuk tetap bisa terbit, tiba-tiba muncul suratkabar Berita Sore yang dibidani Haryono, suami Didy. Ini bak hujan di siang bolong. Tak salah kalau khalayak Surabaya, dalam obrolan mereka, menyimpulkan keluarga ini tak serius menangani masalah Surabaya Post dan adanya perpecahan serius antara Didy dan Indra.

Berita Sore dikerjakan 17 wartawan, termasuk tiga orang mantan wartawan Surabaya Post, seperti Zaenal Arifin, Onny Yoelyana, dan Son Andries. Saat bergabung di Berita Sore, Zaenal baru lima hari meninggalkan Surabaya Post.

Haryono membuat suratkabar berukuran lebih kecil dari tabloid. "Saya hanya mengambil peluang bisnis saja," katanya.

Penerbitan ini tak ada hubungannya dengan Surabaya Post. "Istri saya saja tak saya beritahu," kata Haryono.

Haryono minta bantuan Tjuk Suwarsono. Tapi Tjuk hanya bertahan sebulan.

"Ada hal yang tak cocok," kata Tjuk. Haryono dianggapnya tak serius mengelola usaha tersebut. "Sepertinya hanya untuk main-main."

Pendirian Berita Sore mengecewakan sejumlah karyawan Surabaya Post. Jaka Mujiana dari Tim Inisiator mengatakan jauh hari sebelum Berita Sore terbit, ia bersama dua rekannya, pernah mendatangi Didy di Jakarta. Mereka mengusulkan tiga alternatif kalau Surabaya Post tak bisa terbit.

Salah satu alternatifnya mendirikan suratkabar sore yang baru dan satu tabloid olah raga. "Tetapi koran itu diterbitkan setelah Surabaya Post tidak terbit," kata Jaka.

Tapi lama tak ada kabar, tahu-tahu Haryono datang ke Surabaya mendirikan suratkabar sore. Jaka M. Mujiana menilai, selain tidak etis, pendirian Berita Sore melukai perasaan karyawan Surabaya Post.

Sementara itu, rapat umum pemegang saham yang dijanjikan Indra, terlaksana 20 Mei lalu di Jakarta, dihadiri Didy, Indra, dan Rusman Mansur sebagai wakilnya Iwan. Tiga wakil karyawan, yang diwakili Dwi Eko Lokononto, Sugeng Purwanto, dan Angky Siswanto, menunggu di luar, begitu juga pengacaranya.

Lokononto alias Luki mengatakan hasil pertemuannya adalah kesepakatan baru soal pencarian dana. Semula disepakati cari investor tapi berubah cari kredit bank. "Apa alasannya, saya tidak tahu. Tapi itu permintaan Pak Iwan."

Rapat masih harus bertemu lagi untuk cari sejumlah kesepakatan, khususnya soal aset apa saja yang akan diagunkan ke bank. Sebelumnya harus ada proses perubahan akta pendirian Surabaya Post. Akta pendirian Surabaya Post hanya bermodalkan Rp 1 miliar. Surabaya Post sendiri tak punya aset. Gedung Surabaya Post, percetakan dan gedung redaksi Jalan Sikatan, gedung perwakilan Jakarta dan Malang, masih nama Toety. Juga Balai Surabaya Post beserta barang-barang seni di dalamnya milik Toety. Nah, tentu bank tak memberikan utang, kalau tak ada asetnya.

Menurut Luki, karyawan berharap, pewaris Toety mau menghibahkan aset Toety seperti Gedung Surabaya Post, gedung redaksi, kantor di Jakarta dan Malang, juga Balai Surabaya Post dikonversikan sebagai aset Surabaya Post. Dengan begitu, Surabaya Post punya modal yang memadai.

Menurut redaktur Budi Harminto, setelah Toety meninggal, tiga anaknya telah membagi harta waris. Iwan dapat tiga rumah Surabaya di Jalan Panglima Sudirman, Jalan Porong, dan villa di Tretes, Pasuruan. Didy dapat dua rumah di Jalan Sutan Syahrir, Jakarta, sedang Indra dapat dua rumah di Patra Jasa dan Cibubur, Jakarta.

Menurut Luki, rumah besar Toety di Jalan Panglima Sudirman dan Balai Surabaya Post, di jalan yang sama, jadi milik bersama tiga saudara itu. Rumah Toety akan dimanfaatkan sebagai museum Abdul Azis. Di sana banyak peninggalan benda seni. Balai Surabaya Post akan difungsikan secara komersial untuk mendukung Surabaya Post. Yayasan Bhakti Keluarga Surabaya Post akan dibubarkan karena membebani keuangan keluarga. Dua lantai dari tiga lantai Balai Surabaya Post akan disewakan kepada sebuah perusahaan asuransi. Satu lantai tetap difungsikan sebagai perpustakaan untuk umum.

Sebelumnya, Indra khawatir balai akan dijual Didy. "Itu salah, balai akan difungsikan secara komersial sehingga bisa menekan biaya," kata Didy.

Luki tak tahu kapan rapat umum pemegang saham dilakukan. Karyawan sendiri sepakat dengan Didy dan Indra, bahwa mereka mau menerima saham 33.3 persen milik Didy, kalau tak dibenani utang perusahaan. Ada kemungkinan karyawan mau melepaskan sebagian sahamnya kepada investor untuk menutupi utang Surabaya Post. Bisa juga, saham karyawan dimiliki penuh (tanpa jual ke investor) dengan cara mencari pinjaman ke bank.

Utang Surabaya Post sendiri, menurut Saiful Irwan, sekitar Rp 1 miliar.

Soal kriteria investor, kalau memang ada yang membeli, Luki sudah menyerahkannya ke pemilik saham. “Mereka yang menentukan," kata Luki. Kriteria yang diajukan karyawan haruslah orang dengan reputasi baik, mampu memberikan solusi yang menguntungkan (kompensasi berupa uang pensiun atau pesangon), dan bersedia tak intervensi pada independensi kebijakan redaksi. Dana rasionalisasi memang diperlukan, karena jumlah karyawan Surabaya Post terlalu besar.

Soal kemungkinan Dahlan Iskan dari Jawa Pos masuk ke sana, menurut Luki, memang sudah disampaikan kepada Indra dan Didy. Mereka berdua belum tertarik untuk menerima tawaran Dahlan. Indra mengatakan keluarga Azis masih bisa mengatasi Surabaya Post. Mereka juga memperhitungkan bagaimana pendapat masyarakat apabila Surabaya Post dimasuki Jawa Pos? Khususnya soal keseragaman berita akibat monopoli pemberitaan?

Keluarga ini, di balik segala keruwetannya, ternyata memegang amanat Abdul dan Toety Azis, bahwa Surabaya Post adalah institusi publik. Mereka adalah penjaganya.*

by:Zed Abidin