SEBUAH bus memasuki terminal Lhokseumawe pada suatu pagi buta sekitar tiga tahun lalu. Terminal masih sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan penumpang, yang hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak mesin juga masih parkir depan terminal. Pengemudinya menunggu penumpang.

Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari hamparan empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api. Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.

Lhokseumawe memang pusat industri Aceh. Ia kota kedua terbesar di Aceh sesudah ibukota Banda Aceh. Dalam perut bumi daerah ini terdapat kandungan gas alam terbesar di Indonesia. Sejak Exxon Mobil, sebuah perusahaan Amerika, menemukan sumur-sumur gas di Aceh Utara pada 1970-an, daerah ini dengan cepat melihat pertumbuhan industri hasil alam. Di bagian barat Lhokseumawe, terdapat kilang penyulingan gas alam cair PT Arun LNG, pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda, pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer, dan pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh. Sedang di bagian timur kota itu, terdapat ladang sumur gas milik Exxon Mobil.

Ironisnya, Lhokseumawe bukan kota yang makmur. Orang Aceh banyak yang miskin, hidup di pinggiran pabrik-pabrik. Jakarta hanya memberi sedikit keuntungan penjualan gas alam, pupuk, dan kertas ke daerah itu.

Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, daerah Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.

Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara penumpang bus yang turun di Lhokseumawe, ada tiga pria yang membawa tas baju, kamera Betacam, dan peti berisi kabel, mikropon, dan perlengkapan penyuntingan video. Mereka wartawan RCTI, sebuah stasiun televisi Jakarta yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo.

"Oke, sekarang kita ke mana?" tanya Umar HN.

"Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman," jawab Imam Wahyudi.

Fipin Kurniawan, orang ketiga dalam rombongan ini, diam saja dan sibuk mengecek alat-alat yang dibawanya dari Jakarta. Dia menenteng kamera Betacam yang beratnya hampir 20 kilogram.

Umar H. Nurdin, populer sebagai Umar H.N., adalah koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995. Umar boleh dibilang wartawan senior. Jadi wartawan sejak 1970-an dan pernah jadi wartawan harian Waspada terbitan Medan selama 14 tahun. Umar juga mengambil gambar video maupun foto yang acapkali dijualnya kepada organisasi berita internasional Reuters dan Associated Press biro Jakarta. Umurnya sudah kepala empat. Tubuhnya tegap. Wajah sangat khas Aceh, rahang keras, berkumis tebal, rambut keriting, dan berkulit hitam. Perokok berat.

Imam Wahyudi adalah koordinator liputan daerah RCTI Jakarta. Tugasnya mengatur koresponden-koresponden daerah. Pria berumur 34 tahun ini sudah bekerja di RCTI sejak 1994. Kariernya termasuk cepat. Dia reporter andalan RCTI untuk daerah-daerah konflik Indonesia. Imam bertubuh kecil, tapi sangat gesit di lapangan. Imam orang ramah. Tapi dia cerewet terhadap para korespondennya kalau mereka salah dalam mengambil gambar atau reportase. Imam sudah bolak-balik ke Papua dan Timor Timur di mana juga ada perlawanan bersenjata terhadap Jakarta. Datang ke Aceh adalah keinginannya sejak lama, karena belum sekali pun dia menginjakkan kakinya ke daerah ini.

Ide meliput datang ketika Imam ikut pelatihan jurnalisme televisi di Medan, tiga hari sebelum kedatangannya ke Lhokseumawe. Di pelatihan itu ada Umar dan mereka diskusi banyak tentang Aceh.

Saat itu di Aceh ada perlawanan terhadap pemilihan umum yang akan berlangsung pada Juli 1999. Kampanye di Aceh tak berjalan. Seruan boikot pemilihan umum gencar dilakukan oleh berbagai organisasi massa di Aceh. Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh. Referendum untuk memilih merdeka atau tetap dalam negara Indonesia.

Aceh memang makin memanas sesudah runtuhnya rezim Soeharto di Jakarta pada Mei 1998. Presiden B.J. Habibie, pengganti Soeharto, memutuskan mencabut status Daerah Operasi Militer untuk Aceh pada Agustus 1998. Ironisnya, kekerasan masih berlangsung. GAM, kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan bangsa Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin meningkatkan perang gerilya, dari kota maupun di daerah pedesaan.

Kekerasan militer Indonesia menimbulkan dendam dan luka di hati orang Aceh. Orang Aceh banyak yang tak suka militer Indonesia. Mereka mengungkapkannya lewat beberapa demonstrasi atau huru-hara. Kerusuhan massal pertama meletus saat terjadi penarikan pasukan Kopassus pada Agustus 1998. Kopassus dianggap pasukan elit yang banyak melakukan kekejaman di Aceh. Orang-orang menyerang dan melempari truk-truk Kopassus dengan batu. Pada November 1998, ada konvoi bersenjata oleh seratusan orang di Geudong, sebuah kota kecil dekat Lhokseumawe. Pada Januari 1999, massa membakar tiga kantor polisi dan delapan kantor pemerintah di Lhokseumawe. Aksi ini muncul sesudah militer Indonesia menyerang basis pertahanan Ahmad Kandang. Buntutnya, sembilan orang Aceh mati, 23 luka-luka, dan 132 ditangkap. Ahmad Kandang seorang pentolan GAM yang berbasis di kecamatan Kandang, tiga kilometer arah timur Lhokseumawe. Tak lama berselang, polisi menangkap 40 orang simpatisan Ahmad Kandang. Penahanan ini jadi tragis setelah mereka dipindahkan ke gedung milik sebuah organisasi kepemudaan. Di tempat itu secara brutal, para tahanan dianiaya 50-an tentara Indonesia. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.

Umar banyak mengirim gambar kekerasan Aceh ke RCTI. Tapi Imam Wahyudi ingin sesuatu yang dianggapnya belum diberikan Umar. Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya. Imam ingin gambaran itu kepada penonton RCTI.

Dari Medan, Imam menelepon dan minta redaksi RCTI di Jakarta mengirim satu kame-rawan yang akan mendampinginya pergi ke Aceh. Fipin Kurniawan menyusulnya ke Medan. Fipin seorang pria yang agak pendiam. Tubuhnya jangkung, kurus, berhidung mancung, dan berkulit putih. Dia suka memakai kacamata hitam sehingga ada orang-orang yang menduganya kamerawan televisi luar negeri. Fipin sudah sembilan tahun jadi kamerawan RCTI. Dulu dia pernah ke Aceh ketika bekerja di salah satu rumah produksi.

Mereka bertiga naik dua becak mesin dari terminal Lhokseumawe. Suaranya yang berisik memecah keheningan malam. Jalan sepi sekali. Imam duduk satu becak dengan Umar. Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata "referendum" di badan jalan. Grafiti-grafiti ini bertebaran tak hanya di badan jalan, tapi juga di tembok pasar dan papan reklame.

Umar membawa Imam dan Fipin ke sebuah hotel. Umar meninggalkan kedua tamunya dan pulang ke rumahnya sendiri di Lhokseumawe. Dia sudah berada di Medan hampir seminggu dan rindu keluarganya. Imam dan Fipin tak banyak mengobrol karena sudah mengantuk. Tapi mereka sempat berkoordinasi untuk liputan esok, sebelum keduanya terlelap kelelahan.

TUJUHBELAS kilometer dari hotel, pada waktu yang hampir bersamaan, dini hari itu juga, di kota kecil Krueng Geukeuh, kecamatan Dewantara, ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga. Gardu itu mirip rumah panggung kecil tanpa dinding berukuran 2×1,5 meter. Orang Aceh biasa menyebutnya bale-bale.

Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter dari gerbang pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping pabrik ada jalan masuk ke perkampungan Bangka Jaya. Keduanya dipisahkan oleh tembok setinggi satu meter.

Bale-bale itu ada sejak masa Daerah Operasi Militer. Orang-orang Bangka Jaya biasa berjaga malam di situ. Tapi malam itu jumlahnya sangat banyak. Semua laki-laki. Suara mereka ramai. Semua bicara dengan bahasa Aceh.

"Sudah, ambil saja truk itu. Kalau tidak dikasih bakar saja," seorang laki-laki berteriak.

Orang-orang ribut lagi. Ada yang setuju ada yang tidak. Rencananya, mereka akan melakukan demonstrasi ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng Geukeuh dekat pasar Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk untuk mengangkut orang dari kampung-kampung sekitar.

Mereka memang sedang resah. Sejak lepas magrib ada beberapa laki-laki keliling kampung Bangka Jaya menyampaikan pengumuman. Laki-laki itu memerintahkan para perempuan keluar dari rumahnya untuk jaga malam. Perempuan yang kebanyakan ibu-ibu rumah tangga, disuruh bawa kayu atau parang, untuk jaga keselamatan. Mereka berkumpul dekat meunasah (masjid).

"Tentara mau menyerang kampung," kata seorang pria.

Di kampung lain, pengumuman diserukan dari pengeras suara meunasah. Siapa yang mengumumkannya tak jelas. Seorang pria yang tak dikenal warga masuk ke meunasah dan mengambil mik pengeras suara. Dia mengumandangkan azan. lalu membuat pengumuman. "Meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh."

Orang-orang kampung mendengar itu. Seperti angin, informasi yang tak jelas kebenarannya itu, dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut. Malam itu kebanyakan desa di kecamatan Dewantara mulai grasak-grusuk. Mereka merasa khawatir sehingga berjaga-jaga sepanjang malam.

Di jalan lintas Banda Aceh-Medan, sekitaran Cot Murong, belasan laki-laki melakukan sweeping sejak lepas salat Isya. Cot Murong adalah sebuah pemukiman, empat kilometer arah barat Krueng Geukeuh. Di pemukiman itu terdapat tiga desa: Lancang Barat, Glumpang Sulu Timur, dan Glumpang Sulu Barat. Mereka menghentikan setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nama resmi institusi militer Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata "ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim Orde Baru.

Sebagian orang mendengar informasi bahwa ada warga desa Lancang Barat dipukuli dan ditangkap tentara. Dua hari terakhir tentara dari satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001/Pulo Rungkom Aceh Utara, masuk ke wilayah Cot Murong. Tentara-tentara itu mencari seorang rekan mereka, anggota Arhanud Rudal yang hilang beberapa hari sebelumnya.

Detasemen Arhanud Rudal merupakan sebuah instalasi militer yang berfungsi melakukan pengamanan wilayah Indonesia, setidaknya Pulau Sumatera bagian utara, dari serangan udara negara lain. Markasnya sudah ada di sini sejak 1987. Selain dekat dengan perairan Selat Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga keamanannya. Markas Arhanud Rudal terletak di sebuah perbukitan kecil dan menyimpan senjata-senjata berat termasuk peluru kendali.

KEJADIAN dengan anggota Arhanud Rudal bermula beberapa hari sebelumnya. Pada Kamis malam, 30 April 1999, ada perayaan Maulid Nabi Muhammad di lapangan sepak bola Cot Murong. Acara itu diisi dengan pengajian dan dakwah. Banyak orang datang. Di Aceh, setiap ada kegiatan keagamaan, selalu dibanjiri orang. Orang Aceh kebanyakan beragama Islam dengan fanatik.

Di antara kerumunan orang yang berdiri di lapangan, menyelinap Sersan Dua Aditia. Dia anggota bintara Arhanud Rudal yang markasnya hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Cot Murong. Kabar dari mulut ke mulut menyebutkan Aditia sedang melakukan kegiatan mata-mata. Dia membawa radio komunikasi handy talky dan pistol.

Aditia sering terlihat di sekitaran Krueng Geukeuh. Aditia banyak bergaul dan memiliki banyak akses dengan masyarakat di situ. Malam itu dia ditugaskan komandannya untuk memantau keramaian di Cot Murong. Arhanud Rudal merasa perlu mengawasi wilayah dalam radius lima kilometer dari markas mereka.

Isi dakwah malam itu sangat panas. Militer Indonesia biasa menyebutnya sebagai "dakwah GAM." Dakwah itu berbau politik.

Beberapa bulan terakhir di kampung-kampung Aceh Utara memang kerap dilaksanakan dakwah GAM. Acara itu selalu dihadiri oleh banyak orang. Biasanya dilaksanakan pada sore atau malam hari. Tempatnya bisa di lapangan ataupun meunasah. Dibuka dengan pengajian, lantas ada tengku (ulama) yang ceramah. Yang menarik, terkadang acara itu menghadirkan para korban militer Indonesia, yang berkisah tentang kekerasan militer terhadap keluarganya.

Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan sejarah. Si penceramah bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika berperang dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang makna jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah. Lantas diungkapkan pula perlakuan-perlakuan kejam dan tak adil dari "pemerintah Indonesia Jawa" sehingga orang tahu kenapa ada Aceh Merdeka dan kenapa mereka berjuang melepaskan diri dari Jakarta.

Aditia sendirian. Tak banyak orang kampung yang memperhatikannya karena tak kenal. Tapi sejak malam itu Aditia hilang dan tak kembali ke markasnya. Padahal empat hari lagi dia akan dilantik sebagai sersan satu.

Keesokan harinya, Jumat 31 April 1999 pagi. Tiga truk militer dan lima minibus Toyota Kijang dan Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong. Mereka dari Arhanud Rudal. Mereka masuk ke kampung Cot Murong untuk mencari Sersan Aditia.

Orang-orang kampung resah melihat patroli tentara. Mereka trauma melihat orang berbaju loreng hijau membawa senjata. Itu pemandangan yang menakutkan. Kekerasan oleh militer selama 1989 dan 1998 menciptakan citra bahwa tentara jahat dan suka menyakiti rakyat. Mereka takut akan ada orang ditangkap, dipukuli, atau ditembak.

Tentara-tentara itu menanyai setiap orang yang dijumpai tentang keberadaan Aditia. Tapi tak seorang pun mengaku melihat Aditia malam itu di kampung mereka. Apalagi tahu-menahu tentang hilangnya Aditia.

Orang Cot Murong tak senang tentara masuk ke kampung mereka. Mereka kumpul di sepanjang jalan yang dilalui patroli tentara. Puluhan perempuan sempat mencoba berbaris menghalangi patroli tentara di jalan.

Orang yang marah melakukan protes ke Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin minta tentara agar tak masuk ke kampung mereka lagi. Mereka tak tahu tentang hilangnya Aditia. Jadi tak ada alasan tentara menanyai dan bikin takut penduduk.

Sorenya komandan Arhanud Rudal Mayor Santun Pakpahan menelepon Camat Marzuki untuk minta izin masuk kampung mencari sersan yang hilang. Tapi Marzuki minta tentara jangan dulu masuk kampung, karena orang mulai ribut.

Keesokan harinya, Sabtu, 1 Mei 1999, diadakan pertemuan antara perwakilan warga Cot Murong, ulama, tentara, polisi, dan camat di kantor polisi Dewantara. Mereka menandatangani kesepakatan bahwa tentara tak akan masuk kampung lagi. Pencarian Sersan Aditia diteruskan oleh tokoh-tokoh kampung. Teungku Hanafiah, seorang ulama setempat, diutus ke Cot Murong untuk mencari si sersan hilang. Tapi seharian itu, dia gagal mendapat kabar keberadaan Aditia.

Ketika tahu ketidakberhasilan Teungku Hanafiah, secara diam-diam tentara masuk ke kampung lagi pada Minggu 2 Mei 1999. Tak begitu banyak jumlahnya dan mereka hanya naik satu Toyota Kijang. Mereka tampaknya khawatir Aditia diculik gerilyawan GAM. Mereka kembali menanyai orang-orang kampung. Orang-orang kembali resah. Beberapa laki-laki yang sedang duduk minum kopi di warung, lari tunggang-langgang melihat tentara. Mereka dibentak. Tentara bahkan sempat menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit ikan), karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.

Kabar penempelengan itu segera beredar. Orang-orang marah. Sebab sudah disepakati tentara tak masuk ke kampung mereka lagi. Apalagi ada bumbu informasi, yang tak jelas kebenarannya, ada penduduk desa Lancang Barat ditangkap dan dibawa pergi patroli tentara. Suasana memanas. Isu-isu yang tak jelas siapa sumbernya menyebar hingga ke kecamatan tetangga. Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap.

SENIN pagi-pagi sekitar pukul 09:00. Azhari biasa mangkal di warung kopi langganannya dekat kantor polisi Lhokseumawe. Sebagai bujangan, tak ada yang menyiapkan sarapan pagi untuk dirinya. Dia sarapan sepiring nasi gurih dan secangkir kopi. Azhari adalah asisten koresponden kantor berita Antara di Aceh. Dia baru tujuh bulan bekerja sebagai wartawan. Umurnya 32 tahun. Azhari orang yang selalu berhati-hati dan cenderung penakut. Sebagai wartawan baru, dia ditugaskan di tempat berbahaya. Dia harus bekerja keras membuat laporan sebanyak mungkin, karena dia dibayar berdasarkan jumlah berita yang dibuatnya. Beberapa bulan terakhir dia bolak-balik Banda Aceh dan Lhokseumawe akibat situasi kota gas itu yang panas.

Di Aceh, warung kopi jadi tempat yang sangat ramai dikunjungi orang laki-laki. Dari yang sekadar minum kopi, membaca koran gratis, nonton televisi, maupun mengobrol. Selagi minum kopi, Azhari menangkap pembicaraan beberapa orang yang duduk dekat mejanya.

"Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)."

"Peu acara (Acara apa)?"

"Naa awak geutanyou jidrop lee si Pa’i. Ramee ureueng jak demo ke Koramil (Ada orang kita ditangkap si Pa’i. Ramai orang pergi demo ke Koramil)."

Azhari tertarik. Cepat dia kembali ke kantornya yang tak jauh dari warung kopi. Kantor Antara hanya sebuah rumah kontrakan. Kantor itu juga jadi tempat tinggal Azhari. Dia sendirian bekerja di situ.

Azhari menelepon beberapa wartawan di kota itu untuk mencari kebenarannya. Azhari pun memutuskan ke Krueng Geukeuh. Disambarnya kamera di atas meja. Sudah terisi film, tinggal dipakai saja.

Sabtu sebelumnya, Azhari sudah mendengar kabar ada intel tentara hilang di Cot Murong. Azhari memutuskan meliput. Biasanya kalau massa sudah berkumpul akan ada buntut peristiwa yang bisa diberitakan.

Beberapa kilometer dari tempat Azhari, Imam Wahyudi dan Fipin masih bermalas-malasan di atas kasur. Imam menelepon Umar minta dia menemani mereka melakukan liputan suasana kota Lhokseumawe.

Dengan mobil Isuzu Panther merah milik Umar, mereka keliling Lhokseumawe. Fipin mengambil gambar suasana kota. Spanduk tentang tuntutan referendum dan penolakan terhadap rencana pembentukan Komando Daerah Militer Aceh tergantung, melintang di atas jalan menuju pusat pasar. Pagi itu pasar ramai dengan orang dan kendaraan lalu lalang. Dari kota, Umar membawa Imam dan Fipin ke arah Kandang, di pinggiran Lhokseumawe. Mereka akan ambil gambar bendera GAM berlambang bulan bintang yang dipasang di tower RRI.

"Saya masih trauma kalau memasuki daerah ini," kata Umar. Ia pernah terjebak dalam kontak senjata antara tentara Indonesia dan kelompok Ahmad Kandang.

Dari Kandang mereka kembali ke Lhokseumawe. Mereka bertemu dengan Ali Raban yang menunggu dekat pasar. Ali Raban adalah kamerawan yang bekerja untuk Umar. Ali tak punya ikatan kerja langsung dengan RCTI. Ali membantu Umar sejak 1995 ketika RCTI mengudara pertama kali di Lhokseumawe.

Ali Raban kamerawan yang nekat kalau di lapangan, sering mengabaikan keselamatan jiwa dan kurang perhitungan. Ali seorang yang berpenampilan sederhana. Umurnya sekitar 25 tahun. Dia ayah seorang bayi yang baru dua bulan lahir.

Tiba-tiba penyeranta yang bergantung di pinggang Umar berbunyi. Pesan masuk dari seseorang. "Ada pemblokiran di Krueng Geukeuh," kata Umar.

"Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat.

Umar belum berniat secepatnya ke Krueng Geukeuh. Tapi Ali mendesak. Sejak setengah jam lalu, Ali juga mendapat pesan serupa di penyerantanya.

Umar dan Ali mempunyai orang-orang yang bisa jadi sumber informasi mereka hampir di tiap kota kecamatan. Terkadang Umar membayar orang-orang yang membantunya sebagai informan. "Channel" itulah yang jadi ujung tombak kecepatan mereka mengejar berita.

Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar karena dia lupa membawa kamera foto. Di jalan mereka bertemu dengan sopir labi-labi (angkutan kota) trayek Krueng Geukeuh. Dari si sopir mereka melakukan verifikasi kalau memang ada pencegatan massa di sana dan kejadiannya masih baru.

Mereka sepakat ke sana. Tapi tiba-tiba Umar bilang, "Kita cari makanan dulu."

Umar mempunyai kebiasaan membawa makanan lebih kalau mau meliput jauh. Pengalamannya, kalau sudah masuk ke tempat konflik, akan susah cari makan. Dia termasuk orang yang susah kalau lapar.

"Udah, kita jalan saja. Nanti terlambat dapat gambar," bantah Raban.

Umar dan Ali berdebat soal jadi tidaknya mereka beli makanan. Imam dan Fipin tak banyak komentar, walau sebenarnya mereka juga butuh makan. Imam dan Fipin belum sempat sarapan.

Imam setuju dengan Raban. Imam adalah wartawan televisi tulen. Jika tak segera mengambil momentum pertama, maka mereka tak akan pernah mendapat momentum kedua. Waktu sudah terbuang.

Di sepanjang jalan Ali merepet dengan bahasa Aceh pada Umar. Dia kesal karena Umar dianggapnya membuang waktu hanya karena membeli makanan. Itu peristiwa penting, dan mereka seharusnya mengejar waktu secepat mungkin menuju ke Krueng Geukeuh.

"Uh, dasar yang dipikirin makan melulu," gerutu Raban. Mereka membeli nasi Padang di pasar.

JAM sudah menunjukkan angka 10. Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter sejak dia diturunkan dari sepeda motor temannya dekat tugu depan perumahan PT Pupuk Iskandar Muda. Temannya disuruhnya kembali ke Lhokseumawe, karena jalan sudah diblokir. Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat bandar udara Malikul Saleh. Di Bungkah, kendaraan umum yang hendak menuju Lhokseumawe, melintasi Krueng Geukeuh, juga dilarang lewat.

Azhari berhenti di pinggir jalan depan sebuah pemakaman dan melihat sebuah bus kecil penuh penumpang berhenti. Beberapa pria, tak sampai 10 orang, menghadang bus yang datang dari arah Lhokseumawe. Bus itu hendak menuju ke Bireuen, sebuah kota 45 kilometer barat Lhokseumawe. Penumpangnya disuruh turun.

"Kalau mau lanjutkan perjalanan, lewat Simpang Kraft bisa sambung bus lain," kata para penghadang. Mereka yang merasa harus sampai ke tempat tujuannya secepat mungkin, memutuskan jalan kaki ke Simpang Kraft, yang berjarak dua kilometer dari situ, dengan harapan bisa menyambung kendaraan lainnya. Banyak kendaraan yang terpaksa kembali ke Lhokseumawe karena tak diizinkan lewat.

Tak lama, sebuah mobil Toyota Kijang berkaca gelap menepi tak jauh dari tempat Azhari berdiri. Dari dalamnya keluar delapan orang pasukan Gegana, pasukan elit polisi Indonesia khusus antipeledakan. Mereka berseragam kaos hitam berlambang burung walet dan memegang senjata jenis Styer. Wajah mereka tampak kebingungan melihat ramai orang di tengah jalan dan kendaraan banyak yang berhenti.

Orang-orang yang menghadang bus tak peduli ada Gegana dekat mereka. Jalanan telah dikuasai warga. Mereka membuat barikade dari tumpukan ban bekas, dahan kayu, dan drum kosong. Yang ingin ke Krueng Geukeuh harus minta izin dulu kepada penghadang. Krueng Geukeuh berada di lintasan jalan Banda Aceh-Medan. Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe sebab di sana berdiri pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer serta pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.

Azhari berjalan pelan menuju persimpangan Krueng Geukeuh. Tak ada satu pun kendaraan berseliweran di jalanan. Yang ramai hanya orang-orang, yang ketika itu sudah berkeluaran dari rumah mereka. Mereka tertarik menonton keramaian. Beberapa laki-laki terlihat membawa senjata tajam.

Tak ada orang yang menanyai identitas Azhari. Di dompet dalam saku celananya, hanya ada selembar kertas surat tugas dari Antara. Kamera yang dibawanya disimpan dalam tas pinggang. Azhari berpikir lebih baik tak ada yang tahu dia wartawan. Itu mungkin lebih aman baginya.

Azhari menemukan massa sudah menumpuk di simpang empat Krueng Geukeuh. Simpang itu terletak dekat komplek perumahan karyawan PT Asean Aceh Fertilizer. Pusat kota Krueng Geukeuh masuk dari persimpangan jalan tersebut sekitar 500 meter ke arah dalam. Di sana terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh, kantor polisi, klinik kesehatan, kantor camat dan lapangan sepak bola. Bersebelahan berdiri pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer.

Toko dan warung yang berderet sekitar persimpangan kebanyakan telah ditutup pemiliknya. Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak menumpuk di persimpangan.

Di antara ratusan orang itu, Azhari berjumpa dengan Sabri, temannya yang sekolah di sebuah akademi di Banda Aceh. Sabri tak sempat bercakap lama dengan Azhari. Sabri sedang sibuk. Sabri dan beberapa pria sedang melakukan sweeping. Mereka naik ke sebuah bus besar yang berhenti dekat simpang empat. Kartu identitas penumpang diperiksa satu per satu. Mereka mencari kalau ada tentara Indonesia di dalamnya.

Azhari berdiri diam di emperan toko dan memperhatikan keadaan. Sekitar pukul 11.00 Azhari melihat ada iringan mobil datang dari Lhokseumawe. Dengan kecepatan sedang sebuah Taft hijau tua dan Toyota Kijang penuh orang di dalamnya berusaha menerobos massa yang mengumpul di tengah jalan. Di belakang kedua mobil itu mengekor sebuah truk tanki minyak.

Azhari kenal orang yang duduk di bangku depan mobil Taft. Itu komandan Komando Distrik Militer Aceh Utara Letnan Kolonel Sugiono. Penumpang dalam Kijang sepertinya tentara berpakaian preman, pengawal Sugiono. Massa menghentikan mobil. "Tidak bisa lewat, Pak."

Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu. Massa tetap tak mengizinkan mobil lewat. Apalagi setelah tahu di dalamnya tentara. Terjadi perdebatan. Entah siapa yang duluan bergerak, mendadak puluhan massa mendekat ke mobil itu dengan marah. Melihat situasi tak menguntungkan, mobil itu tancap gas, lari dari massa yang mengejar dengan parang. "Kejar! Kejar!" teriak orang-orang.

Bunyi decitan ban terdengar cukup keras. Kedua mobil itu dengan cepat memutar balik, lari kencang kembali ke arah Lhokseumawe. Truk tangki minyak yang sedari tadi mengekor hampir terbalik karena sopirnya terkejut dan hampir tak bisa mengendalikan setir. Truk itu secepatnya juga kembali ke arah Lhokseumawe.

UMAR HN membawa mobilnya mengebut ke arah Krueng Geukeuh. Sudah pukul 11.00. Mereka sudah kehilangan banyak waktu, karena sibuk dengan hal-hal yang tak penting di Lhokseumawe. Ali sesekali masih merepet, mengeluarkan kedongkolannya terhadap Umar. Imam dan Fipin banyak tak mengerti dengan bahasa Aceh yang diucapkan Raban.

Lewat pabrik Pupuk Iskandar Muda, mobil mereka tak boleh lewat. Umar menyimpan mobilnya di halaman sebuah tempat usaha sablon. Mereka pun berjalan kaki melewati banyak orang yang berkumpul di sepanjang jalan. Kedatangan mereka menarik perhatian orang-orang. Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan. Imam membawa kaset dan mikrofon berlogo RCTI. Fipin dan Ali memanggul kamera berlambang RCTI. Umar dan Imam memakai rompi wartawan berwarna krem berlogo RCTI.

Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang, kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.

Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak. Sekumpulan anak kecil berlari, mendekat ke arah Fipin dan Ali yang sedang mengambil gambar massa. Di depan kamera, mereka bersorak sambil meloncat-loncat, dan berteriak-teriak hingga memekakkan telinga. Anak-anak itu senang direkam gambarnya.

"Merdeka! Merdeka!"

"Hidup referendum!"

"RCTI oke!"

Suasana yang tadinya biasa saja jadi ribut, karena orang-orang dewasa turut berteriak-teriak seperti kelakuan anak-anak kecil di situ. Yang tadinya berdiri di emperan toko, mulai turun ke jalan sambil bersorak-sorak. Yang membawa kayu dan parang mengacungkannya ke udara. Mereka overacting karena ada liputan televisi.

Umar mencium gelagat tak bagus. Jantungnya berdenyut keras. Ada yang mencegat dan menanyai identitas mereka berempat. Umar dan Ali yang bisa bahasa Aceh menjelaskan bahwa mereka wartawan.

Umar tahu kalau tak bicara baik-baik akan susah dapat izin lewat. Walau banyak yang senang aksi mereka diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada mereka. Orang menyamakan posisi mereka dengan tentara yang harus dimusuhi.

"Itu Pa’i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa’i sebutan kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau polisi Indonesia.

Sambutan tak ramah itu membuat Umar khawatir. Dengan berkata pelan, Umar mengingatkan Imam dan Fipin agar tak mengaku sebagai orang Jawa. Ada sikap anti orang Jawa di Aceh. Imam terkadang sulit menyembunyikan aksen Jawa dalam ucapannya.

Seorang pria mendekati Imam, "Kamu siapa?"

"Wartawan."

"Wartawan dari mana?"

"RCTI."

"Orang mana?"

"Melayu."

"Melayu mana?"

"Melayu Riau."

Orang-orang itu menarik kartu identitas Imam dan Fipin yang menggantung di leher, melihatnya untuk memastikan apa betul mereka wartawan.

Syukur, datang bantuan. Salah seorang tokoh yang jadi pengatur massa di situ, menghampiri Imam dan Umar. Dia kenal Umar sebagai wartawan. Mereka bersalaman. "Ini wartawan RCTI. Tidak apa-apa. Biarkan lewat," pria itu memberi instruksi pada orang-orang yang berkerumun dekatnya.

Orang-orang yang tadinya sempat tak senang mendadak berubah sikap jadi baik. Mereka bilang, massa yang jumlahnya lebih besar lagi sudah berkumpul di Simpang Kraft. Mereka menawarkan diri untuk mengantar wartawan ke sana, karena jarak Simpang Kraft sekitar satu setengah kilometer dari situ.

Raban sempat bertanya pada seorang pria muda yang dilihatnya membawa senjata tajam. "Kenapa bawa parang?"

"Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang kampung," katanya.

"Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang lain.

Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft dengan sepeda motor milik warga di situ. Tak ada kendaraan yang melintas di jalanan.

Sepeda motor yang ditumpangi para wartawan itu harus berjalan zigzag, dengan kecepatan sedang. Tiap jarak yang dekat ada barikade yang dibuat dengan tumpukan ban bekas, kursi, kayu, dan drum. Bahkan menjelang Simpang Kraft jalan sepenuhnya telah ditutup, sehingga mereka harus minta izin dulu kepada orang-orang yang berjaga agar bisa lewat.

SIMPANG Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang terletak di sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya sekitar 19 kilometer. Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer masuk ke dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal yang cuma berjarak dua setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.

Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya satu lampu kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu lampu peringatan, agar para pengendara kendaraan yang melaju di lintasan Banda Aceh-Medan berhati-hati. Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk tronton besar yang membawa gulungan-gulungan kertas raksasa.

Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong dan makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara toko dan warung ada bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga.

Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di antaranya berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan tukang jahit. Di depan deretan warung itu tumbuh beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung. Lewat dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu dua rumah sederhana. Lima ratus meter kemudian terdapat hamparan sawah di kiri kanan jalan.

Rumah-rumah orang lebih banyak berada di pinggiran jalan Banda Aceh-Medan. Orang di situ sudah terbiasa melihat truk-truk mengangkut sepasukan tentara melintas keluar masuk Simpang Kraft, karena di situ ada markas Arhanud Rudal.

Pagi-pagi sekali, beberapa laki-laki melakukan sweeping di sekitaran Simpang Kraft. Mereka memeriksa setiap kendaraan yang lewat, memeriksa apakah ada tentara yang melintas. Pukul 08.00 empat truk militer membawa sepasukan tentara berbaju loreng hijau, bertopi rimba dan bersenjata masuk ke kecamatan Dewantara. Tentara itu datang dari Batalyon 113 Korem Lilawangsa yang markasnya terletak di Bireuen, 45 kilometer barat Lhokseumawe. Pasukan Batalyon 113 itu biasanya bertugas sebagai pasukan pengaman proyek-proyek vital di sekitaran Lhokseumawe. Tapi pagi itu mereka didatangkan sebagai pasukan bala bantuan untuk pengamanan jalan masuk ke Arhanud Rudal. Jumlah tentara di Arhanud Rudal cuma ada satu kompi. Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya tentara-tentara itu, orang-orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan azan di meunasah.

Sejam kemudian gelombang massa pun berdatangan ke Krueng Geukeuh. Mulanya, 10 truk membawa ratusan laki-laki datang dari kampung-kampung. Mereka berkumpul di lapangan sepak bola, tak jauh dari kantor camat. Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum. Rapat itu bubar, karena massa berdatangan ke kantor. Mereka menjemput Marzuki untuk dibawa ke Simpang Kraft. Di sana, orang Cot Murong dan tentara sudah saling berhadap-hadapan. Marzuki diminta datang untuk mendinginkan suasana yang memanas.

Hingga pukul 11.00, ada dua konsentrasi massa di Krueng Geukeuh. Massa pertama ada di depan Koramil Dewantara, dekat pasar Krueng Geukeuh. Ratusan orang kebanyakan wanita, berkumpul melakukan demontrasi. Banyak yang membawa anaknya. Mereka datang dari kampung-kampung sekitar Krueng Geukeuh, dijemput dengan truk. Wanita-wanita itu bergerombol, ada yang berteriak-teriak. Tak ada tentara yang menghadapi demonstran. Mereka berdiam diri di dalam kantor Koramil Krueng Geukeuh yang tertutup rapat. Komandannya ada di Simpang Kraft.

Menjelang pukul 12.00 massa mulai melempari kaca jendela koramil. Sebuah sepeda motor milik tentara yang diparkir di sekitar situ dibakar hingga hangus. Tentara memberi tembakan peringatan beberapa kali ke udara. Massa sempat lari.

Peristiwa depan koramil tidak banyak diketahui oleh massa kedua di Simpang Kraft. Simpang Kraft bagai lautan manusia. Massa menumpuk dalam radius 300 meter. Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak pagi. Orang-orang itu tak hanya datang dari Dewantara, tapi juga dari kecamatan sekitar seperti Nisam, Muara Dua dan Sawang.

Mereka tergerak ke sana karena spontanitas, merasa harus bersolidaritas terhadap sesama orang Aceh. Tak sedikit yang panas hatinya mendengar kabar tentara akan menyerang kampung sehingga mereka merasa perlu membawa senjata tajam untuk bela diri. Ada semacam pengerahan massa ke Simpang Kraft, karena sebagian besar orang yang datang ke situ dikoordinasi oleh sekelompok orang. Sejak pagi sejumlah truk masuk ke kampung-kampung menjemput orang diajak berdemonstrasi.

Sebagian lagi, datang ke Simpang Kraft karena tertarik menonton keramaian yang tak biasa itu. Pemandangan itu jadi hal menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan pelajar yang bersekolah di sekitarnya.

Tak sedikit juga yang terjebak di Simpang Kraft. Yang terjebak adalah para penumpang yang tadinya berharap bisa menyambung perjalanan dengan naik bus di Simpang Kraft. Mereka berjalan kaki sejauh dua kilometer sejak dari simpang PT Pupuk Iskandar Muda di mana rombongan RCTI menyimpan mobil. Ternyata tak ada bus yang menunggu di Simpang Kraft seperti yang dibilang para penghadang di simpang Pupuk Iskandar Muda. Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di situ.

Keempat wartawan RCTI yang baru datang segera masuk di antara kerumunan massa. Mereka menyebar. Dua kamerawan, Ali dan Fipin, merekam gambar dari sudut yang berbeda.

Di sebelah jalur kanan jalan, ada empat truk militer diparkir berjejer. Tentara-tentaranya sudah turun. Mereka berjaga di sekitar kawasan itu. Tentara-tentara itu berkelompok-kelompok, berdiri dekat sebuah tanah kosong, di depan warung dan dekat truk mereka. Ada banyak wanita dan anak-anak berdiri sangat dekat dengan tentara-tentara dari Batalyon 113.

AGAK terpisah dari massa, di bawah sebuah pohon asam dekat sawah, 500 meter dari simpang, ada 20 tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter.

Keempat wartawan itu melihat tentara yang berdiri dekat truk militer sudah terkepung massa. Tapi tak terlihat ketegangan serius antara tentara dan massa. Tentara-tentara itu tak bereaksi terhadap orang-orang yang bersorak-sorak di dekatnya. Dan massa pun tak mempedulikan kehadiran tentara-tentara.

Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera televisi merekam aksi mereka. Mereka jadi ribut sekali. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan apa saja yang mereka bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul di antara ribuan kepala manusia. Anak-anak kecil melompat-lompat kegirangan setiap kamera menyorot mereka.

"Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu bersahut-sahutan dari ujung ke ujung.

Mereka juga berteriak-teriak, "Merdeka! Merdeka!"

"Hidup referendum!"

Imam dan Fipin naik ke atas salah satu truk tentara yang diparkir di pinggir jalan. Truk itu pun sudah penuh, dinaiki massa. Dari atas truk itu, Fipin kembali mengambil gambar lautan massa. Mereka makin ramai bersorak. Bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah. "Allah Akbar!"

Sudah pukul 12.00 siang. Langit biru cerah tanpa awan. Matahari tepat di atas kepala. Panasnya bagai membakar apa saja yang ada di permukaan bumi. Panas matahari juga dirasakan oleh massa. Tapi mereka seakan tak peduli. Panas matahari justru makin memanaskan suasana. Mereka makin ribut, bersorak dan loncat-loncat. Peluh mengucur deras dari tiap senti tubuh mereka. Mereka berteriak-teriak minta air.

Beberapa tentara dekat truk tersenyum memperhatikan tingkah massa yang dianggap lucu, melompat-lompat seperti anak kecil. Tentara-tentara itu tak bergeming, kendati sesekali terdengar makian dari massa, "Pa’i" tapi mereka berdiri santai, sesekali bertukar api rokok dengan beberapa demonstran. Moncong senjata mereka jatuh ke tanah. Salah seorang, mungkin komandannya, sibuk berbicara melalui handy talky.

Sebagian wanita berkerudung berteduh di pinggiran warung, bale-bale dan di bawah pohon. Lima orang wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di bale-bale, tertawa ceria sambil turut bersorak-sorak, ketika Fipin Kurniawan mengarahkan kameranya ke mereka.

Imam Wahyudi melihat seorang pemuda berkemeja putih, memakai ikat kepala dari kain putih yang disobek, dielu-elukan massa yang mengangkat-angkat tangannya. Mungkin dia salah satu pemimpin di situ. Dia agak malu karena kamera Fipin lama menyorot ke arahnya.

Azhari tiba di Simpang Kraft. Dia tadi jalan kaki mengikuti serombongan orang dari simpang empat Krueng Geukeuh. Azhari masuk dalam kerumunan massa. Tubuhnya yang pendek seakan tenggelam di sana. Dia agak sulit bernafas, karena massa demikian padat.

Azhari melihat Umar di antara kerumunan orang. Tubuh Umar tampak agak lebih tinggi dari orang-orang sekitarnya. Azhari tak berusaha menghampiri Umar. Dia menganggap Umar wartawan yang tidak ingin disaingi dalam perolehan gambar dan berita. Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara.

Ali Raban sendirian, terpisah dari teman-temannya. Ali naik ke atas sebuah drum yang diletakkan massa tepat di tengah jalan. Dia mengambil gambar tentara yang terkepung di antara massa yang menyemut.

Raban turun dari drum dan bergerak masuk lebih jauh ke dalam kerumunan. Ali melihat camat Marzuki. Dia mengambil gambar Marzuki yang terduduk lemas di sebuah kursi depan warung kopi yang tutup.

Marzuki ada dalam tekanan orang-orang sekitarnya. Lencana camatnya dicopot paksa oleh seseorang. Marzuki harus menanggalkan baju dinas camatnya, dan menjadi pusat perhatian orang karena cuma berkaos dalam dan bercelana pendek.

Camat Marzuki, beberapa kali naik ke atas truk dan berbicara kepada massa di situ. Seorang pemuda berkulit hitam memegang megafone ada dekatnya. Namanya Faisal. Tampaknya Faisal koordinator lapangan. Marzuki dan Faisal bernegosiasi. Massa menuntut Marzuki segera menghadirkan perwakilan tentara, ulama, dan pemerintah di Simpang Kraft.

Raban berlalu dari tempat Camat Marzuki. Dia menyeberang ke arah jalur kanan jalan. Mengambil gambar orang-orang yang berdiri di pinggir warung. Seorang anak kecil dengan wajah gembira minta ibunya mengangkat dirinya lebih ke atas, biar wajahnya terlihat jelas di kamera. Berkali-kali anak itu bersorak-sorak agar Ali melihat dirinya.

Raban sangat kehausan. Dia melihat anak kecil tadi. Anak itu bercelana pendek dan memakai sandal jepit. Ibunya sudah tak terlihat lagi. Dia memegang botol Aqua ukuran 600 mililiter. Isinya tak sampai seperempat botol.

Raban mencoba memintanya. "Dik, boleh minta airnya?"

Anak itu memberi Ali botol air yang dibawanya. Ali meneguknya. Botol yang masih menyisakan sedikit air, diserahkan lagi ke anak itu.

Umar berdiri di tengah massa. Beberapa orang yang melihatnya, datang dan minta Umar dan kawan-kawannya mewawancarai mereka. Umar tak menolaknya. Lebih baik menuruti orang-orang itu. Dia yakin di antara sekian banyak orang, banyak yang berpikiran kalut dan di luar kendali.

Umar memanggil Ali yang jaraknya hanya belasan meter darinya. Imam dan Fipin sudah turun dari truk. Mereka berempat berkumpul di sebelah jalur kiri jalan. Mereka akan mewawancarai Faisal.

Faisal masih muda, berhidung mancung dan berkulit hitam. Dia memakai jaket parasut hitam sepanjang lutut yang warnanya telah kusam. Faisal memakai topi hitam dililit pita putih. Dia memegang megafone.

Pemuda-pemuda yang berada di sekelilingnya berteriak, "Hoi, hoi," berebutan mau bicara dan ingin masuk televisi. Faisal menolak memakai bahasa Indonesia. "Hana meuphoum lon." Dia tak bisa berbahasa Indonesia.

Imam mewawancarai Faisal. Umar menterjemahkannya. Banyak orang yang tertarik melihat Faisal diwawancarai televisi. Keributan seketika berkurang, karena Faisal berteriak agar massa diam. Sejenak agak senyap.

Si Faisal menjelaskan, "Rakyat bangsa Aceh yang ada di Lancang Barat dan Krueng Geukeuh ke luar ke lapangan, ke jalanan. Karena kami melihat banyak tentara Jawa, si Pa’i sudah masuk ke desa Teupin, menganiaya rakyat dan ada saksi mata."

Faisal berkata lagi, semalam ada provokator yang menyusup ke kampung mereka, yang ditudingnya sebagai tentara yang menyamar.

"Pa’i, pa’i," orang-orang di sekitar Faisal berteriak.

"Dan si pa’i itu memancing kami masyarakat, sehingga kami menjadi berkelahi," sambungnya.

Menurut Faisal, pagi itu ada empat truk tentara masuk ke desa Lancang Barat, bertujuan memancing emosi orang sehingga jadi ribut. "Padahal sudah janji sebelumnya tidak boleh masuk tentara lagi."

Si pemuda mengatakan mereka saat ini sedang menunggu datangnya bupati, komandan korem, komandan kodim, komandan rudal, Palang Merah Internasional, ketua parlemen setempat, untuk menyelesaikan masalah.

Faisal mengeluh capek, "Kami minta mobil pemadam kebakaran. Tapi sampai sekarang belum sampai. Kami sudah gerah sekali."

Matahari memancarkan sinar yang cukup panas. Faisal dan massanya masih bertahan di tengah jalan, tak beranjak. Faisal membuka lembaran buku tulis yang sudah lecek oleh keringat dan memperlihatkannya kepada wartawan yang mewawancarainya. Di situ ada kesepakatan tertulis antara massa yang diwakilinya dengan Camat Marzuki, bahwa Marzuki telah menyatakan meletakkan jabatannya.

"Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu masalah itu," teriaknya dengan emosi dari megafone.

Massa menyambut teriakan Faisal dengan gemuruh. Ribut lagi. Wawancara itu segera diakhiri.

Keempat wartawan RCTI itu sepakat kembali ke Lhokseumawe untuk memburu pengiriman kaset ke Jakarta. Ali dan Fipin secara terpisah mengambil gambar terakhir kalinya. Umar masih tak beranjak dari posisi semula.

Imam dan Fipin bergerak beberapa meter. Dekat mereka ada sebuah sepeda motor merek Honda keluaran 1970-an. Pemiliknya mengizinkan Fipin naik ke atas sadel belakang. Imam memegang sepeda motor itu agar Fipin tak jatuh. Imam memegang kaset baru, bersiap hendak menukarnya dengan kaset dalam kamera Fipin.

Fipin berdiri di atas sepeda motor dengan agak gemetar. Dia masih bisa memanggul kamera yang berat walau tubuhnya sudah terasa lemas. Tadi pagi tak sempat sarapan. Dan kini dia sangat haus.

Azhari berdiri dekat sebuah tembok kecil di sudut kiri jalan. Sedari tadi dia tak melakukan apapun, hanya menonton keramaian. Azhari tak berusaha mewawancarai orang-orang di situ, bahkan tak pula ingat mengeluarkan kameranya untuk memotret. Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak jalan. Padahal dia bisa memperoleh foto berita di situ.

Tak ada yang tahu persis siapa yang memulai. Massa makin tak terkendali. Mulai saling dorong-dorongan. Tentara Batalyon 113 yang sedari tadi berdiri di tengah massa, mulai terjepit. Ada lemparan batu jatuh di depan deretan anak-anak dan ibu-ibu. Dua puluh meter dari barisan massa terdepan itu, berdiri pasukan Arhanud Rudal, jumlahnya berkisar 20-an.

Anak-anak yang melihat ada batu jatuh di depan mereka, spontan mengambil batu dan melemparnya ke arah tentara Arhanud Rudal.

Suasana memanas.

Sebuah truk militer datang dari kejauhan. Truk itu datang dari markas Arhanud Rudal. Banyak tentara di dalamnya. Ali dan Fipin dalam posisi berbeda merekam kedatangan truk itu.

Pandangan mata massa semuanya sudah terkonsentrasi ke arah truk yang datang itu. Mereka merasa ada sesuatu yang terjadi. Sebab beberapa orang ribut, "Ada truk datang, ada truk datang."

Tentara mulai membentuk dua lapis barisan. Mereka seperti sedang bersiap-siap, karena ada keributan di tengah massa.

Tiba-tiba … trat …. trat …. trat …. suara senjata meletus dengan keras. Trat, trat, trat …. dengan cepat suara senjata susulan terdengar bersahut-sahutan. Suara itu bagaikan geledek yang menyambar. Semua terkejut. Orang-orang yang tadi berdiri menyemut di jalan, secara reflek tiarap. Tapi dengan cepat pula, banyak yang berlari berhamburan. Mereka lari tunggang-langgang menjauhi tentara-tentara yang mulai melepaskan peluru-peluru tajam dari moncong senjata mereka.

Tembakan ini datang dari tentara Arhanud Rudal yang berdiri di kejauhan. Mereka yang pertama kali melepaskan tembakan itu. Mereka menembak ke atas dengan maksud membubarkan massa. Sejumlah tentara berteriak, "Bubar kalian! Bubar!"

Tapi beberapa tentara mendadak seperti kesetanan mengejar orang-orang yang berlarian. Menembaknya dengan serabutan. Sementara, tentara-tentara dari Batalyon 113, yang tadi berdiri di antara massa dengan cepat menyebar, menyusup ke parit-parit. Mereka juga turut melepaskan tembakan. Mereka menembaki pohon kelapa yang tumbuh di sekitar lokasi, hingga daun dan buahnya berjatuhan.

Kepanikan muncul di mana-mana. Laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, lari berhamburan menghindari peluru yang mereka tak bisa terka datangnya dari arah mana. Yang mereka tahu mereka harus menjauh dari tentara-tentara itu yang mendadak brutal menembaki mereka.

Mereka ada yang berteriak ketakutan minta tolong. Perempuan dan anak-anak menjerit. Tapi kebanyakan tak mampu lagi bersuara. Suara rentetan senjata yang memekakkan telinga membuat semuanya tak berkutik. Banyak yang tiarap di jalanan. Yang lainnya bersembunyi di balik dinding warung. Ada juga yang memperosokkan diri ke parit.

"Amin ya Allah, Allah Akbar,"seorang laki-laki berteriak dengan keras.

"Allah Akbar, Allah Akbar," orang-orang mulai berseru. Korban mulai berjatuhan. Satu, dua, tiga, delapan orang rubuh di jalur kanan jalan. Yang lain, satu per satu jatuh, terutama yang jaraknya dekat dengan tentara.

Massa menubruk apa saja. Fipin yang berdiri di atas sepeda motor jatuh terjengkang. Si empunya sepeda motor tanpa memberi aba-aba kepada Fipin, membawa lari sepeda motornya secepat kilat.

Fipin jatuh tertidur di badan jalan bersebelahan dengan Imam yang tiarap. Dekat mereka ada beberapa orang yang juga melakukan hal yang sama. Fipin makin lemas saat melihat darah mulai keluar dari tubuh-tubuh orang yang rebah tak jauh darinya.

Fipin mengangkat kameranya tinggi dan mengarahkannya ke tentara-tentara dekatnya yang sedang menembaki pohon-pohon kelapa, hingga buahnya berjatuhan dan daunnya rontok. Di kejauhan beberapa tentara lainnya sedang melepaskan tembakan secara brutal ke arah massa yang berlarian. Dia sudah tidak bisa berpikir apapun. Dia hanya merasa kameranya akan merekam semua adegan itu.

Imam sejak tembakan pertama secara reflek merebahkan tubuhnya ke atas aspal. Dia berada di belakang Fipin. Kaset di tangan Imam terjatuh, tersepak-sepak oleh massa yang berlarian panik, melompati badan Imam yang jatuh. Berkali-kali Imam berusaha mengambil kaset itu.

Hampir 10 menit berlalu, saat Imam berusaha memasukkan kabel mikrofon ke kamera yang dipegang Fipin. Imam ingin merekam dan membuat laporan langsung di tengah ributnya suara letusan senjata.

"Mas, kameranya mati," mendadak Imam berteriak kepada Fipin. Imam melihat lampu kecil berwarna merah di kamera Fipin tak menyala. Seharusnya lampu itu berkedip-kedip jika kamera merekam gambar.

Fipin tersadar. Dengan cepat dia menghidupkan tombol record kamera. Kamera itu tanpa diketahui mati ketika Fipin terjatuh dari sepeda motor. Selama 10 menit pertama ketika tembakan mulai Fipin tak merekam apa-apa.

Tentara-tentara itu masih melepaskan tembakan, ketika seorang anak kecil, merayap dekat Imam. Ada seorang perempuan dekatnya, juga merayap. Mungkin itu bibinya. Anak itu kebingungan mencari perlindungan.

"Sana kamu," Imam mendorong pantat anak itu.

"Ke mana Bang?" tanyanya, bingung ketakutan.

Imam menyuruhnya pergi ke arah deretan warung tak jauh dari situ. Paling tidak anak itu bisa berlindung di balik dinding. Dengan cepat anak laki-laki itu, bersama bibinya merangkak, dan menghilang ke samping warung.

Imam kembali melihat ke arah tentara-tentara itu. Jaraknya kini hanya lima meter dari tempat Imam dan Fipin rebah. Perasaannya campur aduk saat melihat tentara melepaskan tembakan bertubi-tubi, mengarahkan muntahan peluru ke arah orang-orang yang sebagian masih berusaha lari dari tempat itu. Imam terpaku dan belum berpikir apa pun tentang peristiwa itu. Semua serba cepat.

Ketika dia melihat ada tumpukan orang rebah di seberang jalan. "Ah, orang-orang itu cuma bersandiwara saja," kata Imam dalam hati. Dia sudah pernah mengalami situasi, di mana ada demontrasi dibubarkan aparat dengan tembakan. Tapi dia tak pernah melihat darah dalam peristiwa-peristiwa seperti itu.

Saat tembakan agak mereda, Imam tergerak mendekat ke tumpukan manusia itu. Sambil berjongkok dia dan Fipin jalan ke sana. Fipin merekam semua gambar dengan baik. Sebagian tentara masih terus melepaskan tembakan. Tapi ada juga satu dua tentara yang masih berbaik hati, berusaha mengamankan beberapa wanita yang menggendong anak mereka yang sedang bersembunyi di balik sebuah gerobak. Mereka disuruh pergi cepat-cepat dari situ.

Imam melihat seorang pemuda merangkak di depannya. Imam ingat, itu pemuda yang tadi dielu-elukan massa. Pemuda berikat kepala itu merangkak pelan bagai tak bertenaga. Dia berusaha menuju ke emperan warung. Dia terluka, celana putihnya penuh darah. Pemuda itu bersandar lemas di dinding warung yang dengan susah payah dicapainya.

Imam menegurnya, "Apanya yang kena?"

Pemuda itu tak menjawab. Wajahnya pucat. Ada seorang wanita berjilbab kuning di dekatnya, memperhatikannya dengan rasa khawatir.

Cairan warna merah mengalir pelan ke arah Imam. Cairan itu keluar dari sela kaki pemuda itu. Imam mengambilnya sedikit di tangan. Menciumnya. "Tidak amis," pikirnya.

Imam mengambil lagi. Tidak amis. Dia pikir darah pasti baunya amis. "Orang ini mau mendramatisasi," kata Imam dalam hati.

Imam bergerak lagi, ke arah tumpukan orang yang sedari tadi mengusiknya. Tadi ada sekitar 10 orang rebah di situ. Tapi dengan cepat sebagian bangun dan lari saat Imam dan Fipin mendekat.

Dari jauh, Imam seperti melihat sebuah boneka tergeletak di antara tumpukan orang itu. Imam mendekat, melihat lebih jelas. Imam terkejut bagai disambar petir. Itu seorang anak kecil yang bagian atas kuping kirinya sudah bolong setengah. Air otaknya terlihat jelas. Imam shock.

"Tidak benar ini. Masya Allah. Ini gila," Imam berteriak dalam hati. Perasaan marah, benci tak percaya, bercampur aduk dalam diri Imam. "Ini tidak boleh terjadi, tak masuk akal."

Itu bukan boneka. Itu anak kecil yang telah tak bernyawa. Peluru tentara telah menghancurkan kepala kirinya. Imam tak tahan dan menangis melihat itu.

Fipin sendiri tak tega ketika mengarahkan kameranya ke arah anak kecil yang kepalanya telah bolong itu. Saking tak tahan melihat kesadisan itu, Fipin menutup matanya ketika kameranya mengambil gambar anak itu dari dekat.

Fipin menjalankan tugasnya sebagai kamerawan dengan baik. Dia merekam semua yang dilihatnya. Dia terus berada bersama Imam. Dia merekam seorang pemuda yang sekarat, tersentak saat nyawanya hendak diambil malaikat pencabut nyawa.

Umar dengan panik berlari ke depan sebuah toko penjual makanan ternak, ketika bunyi letusan senjata terdengar. Di depan toko yang ditutup pemiliknya itu, ada tumpukan karung berisi dedak makanan bebek. Umar bersembunyi di balik tumpukan karung. Tak hanya dia seorang di situ, karena ada beberapa orang lain yang berebutan tempat bersamanya. Umar terjepit di antara orang-orang yang takut itu.

Umar juga sangat ketakutan. Bahkan dia seperti mau kencing dalam celana. Tapi dia berpikir cepat untuk segera memotret peristiwa itu. Umar menjepret apa pun yang dilihatnya, tentara yang menembak dan juga tumpukan orang yang rebah di jalan. Umar melihat Fipin dan Imam ada di sana juga. Tapi jepretan Umar banyak yang meleset tak tentu arah, ke langit dan ke atas pohon.

Trat …. trat …. trat …. berondongan senjata terus terdengar. Umar memotret tanpa berpikir banyak apakah dia mendapat angle yang bagus atau tidak. Umar sangat terkejut ketika kameranya secara tak sengaja membidik seorang anak kecil di seberang jalan yang terjatuh. Kamera Umar mengabadikannya, tepat saat peluru menghantam kepalanya dan isi otaknya berhamburan. Umar terkejut luar biasa, hingga kameranya terjatuh dari pegangannya. Umar merasa kasihan terhadap anak itu.

Ali Raban dalam posisi merekam gambar di sudut kanan Simpang Kraft, ketika tiba-tiba meletus suara senjata. Di depannya, massa secara reflek tiarap. Ali melihat tentara di depan warung, tak jauh darinya mulai berpencar. Massa kemudian dengan cepat bangun dan berlarian tak tentu arah.

Raban tidak lari. Dia berdiri dengan tegap dan merekam orang-orang yang berlarian itu. Mereka panik dan berusaha mencari tempat perlindungan terdekat.

Tiba-tiba ada yang mendorongnya dari belakang. Ali terjatuh. Tapi dia masih mampu mempertahankan kameranya tetap hidup. Ali jatuh tiarap dengan siku tertumpu di tanah. Di depannya wanita, pria dan anak-anak mulai berjatuhan. Mereka kena tembak. Jaraknya hanya sekian meter dari Raban.

Beberapa menit berlalu. Tentara-tentara masih menembak. Sambil jongkok Ali lari ke tengah pertigaan jalan. Dia ingin mengambil gambar tentara. Dia merasa pengambilan gambar terhalang oleh truk-truk militer yang berderet di pinggir jalan. Ban-ban truk itu telah kempes, kena peluru nyasar. Dinding warung penuh lubang.

Azhari kebingungan ketika mendengar suara letusan senjata. Dia berusaha melihat lebih jelas ke arah tentara-tentara yang jauh. Orang-orang sudah berlarian. Seruan "Allah Akbar," muncul dari antara orang-orang itu.

Azhari kaget. Dia melihat ke arah tentara yang ada sekian puluh meter darinya. Tentara itu menembaki orang-orang yang berlarian. Suasana sangat kacau. Tadinya Azhari belum berpikir untuk lari. Rasa takutnya timbul ketika melihat di antara orang-orang yang berlarian, seorang pria jatuh tersungkur. Azhari melihat darah membasahi belakang bajunya.

Dia pun dengan cepat lari, mengikuti orang-orang yang lari menyelamatkan diri ke arah Krueng Geukeuh. Melihat ada massa yang lari ke sebuah gang kecil, dia pun ikut ke sana, menganggap tempat itu pasti aman.

Azhari merasa tentara itu bagai mengejar dirinya karena rentetan tembakan masih terus terdengar. Orang-orang berteriak histeris. "Tulong, ureung kaa ditimbak, kaa plung mandum (Tolong, orang sudah ditembaki, sudah lari semua)."

Azhari berlari sepanjang satu kilometer, menyusup ke kebun, dan menerobos pagar berduri rumah penduduk tanpa sadar. Ada ratusan orang lain berlarian seperti dirinya. Azhari menemukan sebuah riol tak berair. Lalu bersembunyi di situ. Ada tiga orang lain melihat Azhari bersembunyi. Mereka ikut menyusup dekat Azhari. Suara tembakan masih terdengar. Orang-orang melompati riol yang disusupi Azhari. Mereka berlarian susul menyusul. Selesai istirahat untuk sekadar tarik nafas, Azhari keluar dari riol itu dan kembali lari.

Sudah lebih dari setengah jam ketika tembakan mulai mereda. Fipin mengeluh ke Imam. Dia mulai limbung karena dia tak tahan dengan rasa haus. Mereka mencari minum ke sebuah warung.

Keempat wartawan itu kembali berkumpul. Mereka tak banyak berbicara. Mereka masih tegang karena masih ada tentara di situ. Tapi Imam dan Umar tak bisa menyembunyikan kesedihan mereka. Mata mereka berair. Menangis.

Di tempat itu tidak ada lagi massa. Lengang sekali. Yang tersisa di situ hanya para korban yang terkapar dan keempat wartawan itu. Sepeda kecil, sandal, kayu, batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh pemiliknya yang tadi panik berlarian. Mungkin mereka sudah tewas dan mungkin ada yang selamat. Jerit kesakitan dari orang-orang yang kena tembak mulai terdengar sayup-sayup. Tapi suara-suara itu jauh, tak jelas dari mana saja.

Tentara-tentara datang mendekat. Mereka melakukan penyisiran, hingga ke persimpangan. Ada yang naik truk, ada yang jalan kaki. Keempat wartawan RCTI itu berkumpul di pojok kiri simpang. Mereka belum tahu mau berbuat apa, karena masih ada tentara yang kalap dekat mereka.

Mendadak dua tentara bertopi rimba datang mendekati wartawan dengan berlari. Wajah kedua tentara itu sangat marah. Entah disengaja atau tidak, moncong senjata keduanya terarah kepada keempat wartawan itu. Mereka memaki-maki keempat wartawan yang terdiam itu. Umar, Raban, dan Imam berdiri, sedang Fipin berjongkok, melindungi kameranya seperti dia melindungi bayinya.

Tentara itu berteriak dengan marah kepada wartawan-wartawan itu, "Ini kan yang kalian inginkan?" Ia mencecar mereka dengan marah.

Satunya lagi menimpali. "Apa shooting-shooting. Memangnya kita cover boy?"

Imam berbisik pada Fipin, "Record, Mas." Imam ingin tentara yang marah itu terekam dalam kamera. Tapi Fipin tak mengerjakannya. Dia berpikir akan ketahuan kalau dia merekam sebab lampu merah akan berkedip-kedip. Ali juga sudah mengingatkan agar dia menutup kameranya.

Dua tentara itu masih marah-marah, saat komandannya, seorang perwira berpangkat letnan datang mendekati. Dia berusaha mendinginkan kedua anak buahnya. "Sudah. Sudah sana," dia mendorong pergi kedua anak buahnya itu kembali ke pasukan mereka.

"Hati-hati, Dik. Ada tembakan dari luar," katanya memperingatkan keempat wartawan itu. Lalu dia pergi kembali ke pasukannya.

Imam merasa begitu sangat tolol karena sedari tadi tak segera menyimpan kaset video yang masih tersimpan di kamera. Imam merasa ajaib bahwa tentara-tentara itu tak merampas kaset rekaman mereka.

Sepeninggal tentara-tentara itu, Umar dan Imam berlari ke arah bale-bale. Di sana ada seorang ibu mengerang. Pinggang kirinya tertembak. Dekatnya seorang anak laki berseragam sekolah menengah pertama tergeletak. Anak itu mengaduh kesakitan.

"Tulong Pak," anak itu mengerang.

Satu dua orang mulai berdatangan, mencoba menolong korban. Imam berteriak, "Pak Umar, telepon ambulans."

Umar juga sedang panik menelepon istrinya di rumah lewat telepon seluler. Umar menyuruh istrinya menelepon ambulans dari Palang Merah Indonesia. Di Lhokseumawe, istri Umar, Rusni, juga berusaha menelepon Umar karena mendengar ada keributan di Krueng Geukeuh. Berita peristiwa itu cepat menyebar ke Lhokseumawe.

Evakuasi korban pertama terjadi pukul 13.05. Yang datang pertama kali adalah sebuah labi-labi yang datang dari arah Krueng Geukeuh. Labi-labi itu datang dengan kecepatan tinggi, menikung dan berhenti. Semula orang-orang mau mengangkat mayat, tapi Imam mencegahnya.

"Selamatkan dulu yang masih hidup," katanya. Imam memimpin evakuasi itu dengan cepat. Syukur orang-orang di situ menuruti perintahnya.

Selain beberapa labi-labi dari Krueng Geukeuh, beberapa mobil milik orang dekat lokasi juga dikerahkan untuk mengangkat korban. Orang sudah mulai ramai datang ke Simpang Kraft. Korban satu per satu dievakuasi. Para korban diangkat dari jalan, parit, sawah, kebun, halaman dan dalam rumah penduduk. Mereka kritis. Anak-anak dan wanita merintih kesakitan.

Orang-orang mengerubungi mayat anak kecil yang tertembak kepalanya. Tangannya sudah dilipat ke dada, seperti seharusnya orang meninggal. Orang-orang di situ hanya mampu berseru, "Laillahaillah."

Raban masih merekam gambar korban-korban yang tergeletak di jalan, dan di parit-parit. Saat itu dia melihat seorang anak kecil di tengah jalan, merangkak karena kakinya tertembak. Ali mengambil gambarnya. Tapi dia tak tahan membiarkan anak itu terus merangkak sementara dia merekam adegan itu. Ali mengambilnya dan membopong anak itu ke mobil bak terbuka yang dipakai untuk mengevakuasi korban.

Tak lama datang ambulans. Sirenenya mengaung-aung serasa menyayat hati orang-orang yang ada di lokasi penembakan. Di kejauhan puluhan tentara bergerak perlahan pulang ke markas Arhanud Rudal.

Imam dan Umar turut mengangkat korban. Imam mengangkat korban ke dalam ambulans. Umar memotretnya. Foto itu kemudian yang jadi headline di media massa Indonesia.

Di antara orang-orang yang datang menolong, Imam melihat seorang pria yang seperti sok jagoan. Belum lagi mengangkat korban, pria itu membuka bajunya dan melumuri dadanya dengan darah korban. Beberapa pemuda, sibuk mengumpulkan selongsong peluru yang berserak di jalan. Mereka datang ke Imam dan Fipin, untuk memperlihatkannya. Tapi Imam sudah tidak peduli lagi. Dia masih terbawa emosi. Bahkan dia harus menenangkan dirinya sendiri.

Di tengah suara sirene ambulans yang mengaung-ngaung, Imam berbicara di depan kamera. "Pemirsa, jatuhnya korban di simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan Umar HN melaporkan dari Lhokseumawe."

SIANG itu, bagai ada perang besar di Aceh Utara. Korban-korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi ke beberapa rumah sakit dan klinik sekitar Krueng Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe. Mobil-mobil yang membawa korban lari kencang melintasi jalan antara Krueng Geukeuh-Lhokseumawe. Sirene mengaung-ngaung, menarik perhatian orang. Ruang gawat darurat rumah sakit penuh sesak oleh korban-korban yang kritis. Mereka harus antre untuk mendapat pertolongan. Sebagian korban terpaksa dijejer di lantai karena tempat tidur tak cukup. Kejadian itu mendadak. Para medis kewalahan.

Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT Arun LNG. Mereka mengambil gambar dan data korban. Dokter dan perawat tampak sangat sibuk. Mereka sempat melarang wartawan mengambil gambar. Tapi Fipin merekamnya diam-diam.

Di lantai rumah sakit itu, beberapa korban yang sudah tak bernyawa digeletakkan berjejer di lantai sebuah ruangan. Darah mengotori lantai dan bau amisnya tercium sangat kuat, bercampur dengan bau keringat dan debu yang lengket di tubuh korban. Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan kondisi mengenaskan.

Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit. Suasana agak kacau.

Para wartawan itu mulai merasa ada kenal satu per satu dengan korban. Ali terpaku, saat melihat anak kecil yang kepalanya bolong itu, ternyata yang tadi memberi air padanya. Imam baru tahu, kalau ibu yang tadi tergeletak di gardu, ternyata kena tembak ginjalnya. Padahal baru beberapa jam lalu si ibu masih tertawa gembira, bersorak-sorak bersama massa. Imam lagi-lagi mengangis melihat itu.

Keluar dari rumah sakit, mereka berhenti di masjid Batu Phat. Istirahat sekalian makan nasi bungkus. Mereka sudah sangat lemas. Imam menelepon RCTI Jakarta. Beritanya cuma satu. "Ada kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up. Aku akan segera mengirim materinya. Tapi situasi sangat berbahaya."

Santa Cruz adalah nama sebuah kuburan di Dili, Timor Timur, di mana pada 12 November 1991, pasukan Indonesia menembaki orang-orang Timor yang berdemonstrasi di pemakaman itu, memperingati empat puluh hari terbunuhnya seorang aktifis pro kemerdekaan.

Imam merasa ada bahaya yang menunggunya. Dia menyempatkan menelepon seorang temannya untuk memberi kabar ke istrinya. Dia ingin istrinya tahu bahwa keadaannya baik-baik saja.

Salah seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam, "Kau harus segera pergi dari Lhokseumawe."

Mereka merasa harus segera mengamankan kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan gambar yang ekslusif yang pasti jadi incaran militer. Umar kemudian menitipkan kaset rekaman mereka ke salah seorang saudaranya.

Imam terus bergerak mencari data korban ke rumah sakit Cut Mutia di Lhokseumawe. Di sana situasinya lebih dahsyat. Korban lebih banyak. Hampir tak bisa tertampung. Mereka ditidurkan di lantai lorong rumah sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi. Pintu pagarnya tertutup dan tampak beberapa pasukan marinir berjaga di gardu.

Azhari masih sedikit tegang ketika dia tiba di Lhokseumawe pukul tiga siang. Dia tadi menumpang sebuah mobil sedan yang hendak ke Lhokseumawe. Dia mendatangi rumah sakit Cut Mutia untuk mencari data korban. Berita pertamanya di Antara telah naik. Berita itu berjudul, "Tentara Membubarkan Demonstran di Simpang Kraft dengan Tembakan." Azhari menyebutkan, belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka.

Hingga malam, Azhari masih bekerja sendiri di kantornya. Dia melaporkan jumlah korban yang terus bertambah. Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi siang.

Azhari seperti orang linglung setelah kerja maraton, mencari data berulang-ulang ke rumah sakit. Dia tersentak ketika kepala biro Antara Banda Aceh menelepon menanyakan foto peristiwa itu. Di situ baru disadarinya, ternyata tustelnya masih tersimpan di tas yang masih menggantung di pinggangnya. Dia bahkan lupa memotret korban di rumah sakit.

Malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam. Hanya suara sirene ambulans terdengar sampai pukul 10 malam. Jalanan sepi. Tak ada mobilitas tentara. Markas polisi dan tentara di Lhokseumawe dijaga ketat aparat keamanan. Keramaian malam itu terkonsentrasi di rumah sakit. Keluarga korban dan orang-orang terus berdatangan, untuk menyumbangkan darah, memberikan bantuan uang, atau sekadar menunjukkan rasa simpati. Persediaan darah di palang merah kosong. Hingga tengah malam, dokter dan paramedis masih melakukan operasi mengeluarkan butir-butir peluru dari tubuh korban yang kritis.

Orang-orang di Lhokseumawe terus menunggu perkembangan berita. Mereka menunggunya di televisi dan radio. Berita pertama muncul di acara Seputar Indonesia RCTI pukul 18.30. Peristiwa itu muncul sebagai headline. Redaksi RCTI melakukan telewicara dengan Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Jhonny Wahab dan juga laporan telepon dari Imam Wahyudi langsung dari Lhokseumawe. Sampai di situ para petinggi militer di Lhokseumawe belum mengetahui bahwa ada wartawan RCTI jadi saksi mata peristiwa itu.

Malam itu banyak orang di Lhokseumawe menonton siaran RCTI. Mereka kembali mendengar berita tentang penembakan orang-orang di Simpang Kraft. Pukul 21.00 RCTI dan semua stasiun televisi merelai siaran Dunia Dalam Berita milik TVRI. Isi berita itu ditekankan pada pernyataan resmi militer Indonesia. Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan tentara terpaksa menembak karena massa hendak menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka bentrok dengan tentara yang berjaga.

Orang-orang yang menonton berita itu melalui RCTI marah. Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita bohong. Tak ada satu pun orang yang menyerang Arhanud Rudal. Mereka tidak mengerti, kalau sebenarnya itu berita TVRI.

Kegusaran orang itu tidak diketahui Imam, Umar dan Fipin. Malam itu, mereka sedang menikmati ikan panggang di pantai Ujung Blang.

Pukul 22.00 kaset rekaman yang berharga itu dikirim melalui bus ke Medan untuk dikargokan dengan pesawat ke Jakarta. Imam menitipkan kaset yang direkam Fipin. Ada tiga kaset dengan alamat yang berbeda yang dikirim Umar. Satu untuk RCTI, satu untuk Associated Press dan satu untuk Reuters. Umar menggandakan rekaman milik Ali untuk dikirimnya ke dua kantor berita internasional. Ali sempat protes.

SELASA 4 Mei 1999 pukul 06.00 berita Nuansa Pagi RCTI kembali menyiarkan laporan langsung Imam dari Lhokseumawe. Wawancara telepon dengan Kolonel Jhonny Wahab juga dimunculkan. Jhonny Wahab mengatakan tentara bertindak sesuai prosedur dalam peristiwa Simpang Kraft siang kemarin.

Umar tergopoh-gopoh datang bersama Ali ke hotel. Dia mengabarkan kepada Imam dan Fipin, bahwa orang-orang di Lhokseumawe marah pada RCTI karena pemberitaan semalam.

Ketika mereka berada di rumah sakit Cut Mutia semua itu jadi jelas. Imam merasa dr. Mulya Hasjmy, pemimpin rumah sakit, tak bebas bicara ketika Imam mewawancarainya. Ada yang mengikuti mereka sejak di rumah sakit. Seorang pemuda bertopi taliban.

Pemuda itu terus mengekor keempat wartawan itu. Di pelataran rumah sakit, Imam dicerca seorang aktivis mahasiswi yang membuka pos kemanusiaan.

"RCTI pembohong," tuding gadis berjilbab itu.

Orang-orang mulai mengerubungi Imam. Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban, dan Fipin berdiri memisah, menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai tudingan.

"RCTI pembohong," kata bapak itu.

"Itu bukan kami, itu TVRI," kata Imam.

"Kalau begitu saya mau diwawancara."

"Wawancara soal apa?" tanya Imam.

"Soal Simpang Kraft."

"Kemarin Bapak di mana? Saya ada di sana. Tidak perlu mewawancarai Bapak. Saya tahu kejadiannya."

"Ya, tapi berita RCTI itu bohong."

"Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan berapa korbannya. Saya punya data dari rumah sakit," sahut Imam.

"Kalau begitu saya mau diwawancara soal Aceh," bapak itu masih berkeras juga.

"Kalau soal Aceh, kalau saya wawancara bapak, saya punya kewajiban untuk mewawancarai pihak lain yang menjadi lawan bapak. Mungkin ini militer," kata Imam lagi.

"Ya, tapi RCTI ….."

Imam cepat memotong, "Begini Pak. Saya menghadapi situasi seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya saya sudah mengalami kejadian serupa, termasuk di Timor Timur. Bapak tahu Timor Timur? Di sana orangnya Kristen. Tapi di sana saya memberitakan apa adanya. Kemudian saya menjadi tidak disukai oleh kalangan militer, saya tempuh risiko itu. Itu orang Kristen, Pak. Ini Aceh, Islam. Saya Islam."

"Ya tapi kan berita itu bohong. Tidak perlu takut."

"Pak, saya kasih tahu. Bahwa wartawan itu harus berpijak pada kebenaran, pada apa yang terjadi. Apa yang terjadi itulah kebenaran. Dan bagi saya menyuarakan kebenaran itu jihad," Imam berkata sambil mendorong telunjuknya ke dada bapak itu. Orang-orang yang semula mencecar Imam terdiam.

Kebanyakan keluarga korban yang memenuhi rumah sakit bereaksi keras terhadap media. Tidak hanya televisi tapi juga koran yang terbit pagi itu. Mereka protes karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang diberitakan media. Tak semua korban tewas dibawa ke rumah sakit. Beberapa anggota keluarga yang tewas ada yang membawa pulang langsung mayat karena ketakutan.

Jumlah korban masih simpang siur. Berbagai versi berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun di rumah sakit. Bahkan para mahasiswa yang membuka pos kemanusiaan, mengklaim jumlah yang tewas sampai seratus orang. Tapi data lengkap dari tim pencari fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang hilang.

Sempat muncul rasa tidak senang terhadap wartawan, sehingga siapa pun wartawan yang datang ke rumah sakit, diperiksa identitasnya dengan ketat. Sejumlah wartawan dari Jakarta, sudah berdatangan ke Lhokseumawe untuk meliput peristiwa penembakan Simpang Kraft. Umar sempat berdebat dengan beberapa orang yang mencurigai seorang wartawan radio lokal. "Itu wartawan juga. Saya kenal mereka," katanya.

Azhari dan seorang temannya yang juga wartawan lokal, baru sampai di ruang gawat darurat dan sedang mencatat data korban, saat dua pria menghampirinya. Salah satunya, seorang pria bertubuh tinggi, berkulit hitam dan memakai jaket panjang hingga ke mata kaki. Dia mengintrograsi Azhari. "Dari mana?"

"Wartawan Antara."

"Coba tulis sedikit," dia menyodorkan kertas ke Azhari.

"Abang dari mana kok tanya identitas saya?" Azhari mengira orang itu intel polisi.

"Saya dari Angkatan Aceh Merdeka," lelaki itu menyibak belahan jaketnya. Tampak senjata laras panjang jenis AK 47 yang gagangnya terlipat.

Azhari sempat terpelongo karena baru kali itu dia melihat ada orang dari Aceh Merdeka. Azhari merasa perlu bicara baik-baik dengan mereka. Di koridor rumah sakit belasan laki-laki lainnya datang mendekat. Pria dari Aceh Merdeka itu marah. "Wartawan kenapa buat berita begini. Orang yang mati banyak sekali, kenapa ditulis cuma 20?"

"Begini, Teungku. Jangan salahkan wartawan, data ini dari rumah sakit."

"Enggak, korban banyak lebih dari 40 orang."

"Oke, sekarang kita buat perjanjian. Kami menulis apa adanya. Sebab seandainya kami menulis lebih, orang bisa menuntut kami. Kami enggak punya apa-apa. Gaji kami tak seberapa. Kami hanya mengabdi untuk masyarakat," Azhari melawan argumentasi orang-orang itu.

Umar sendiri panik ketika istrinya melaporkan sambil menangis bahwa ada beberapa orang yang terus menelepon ke rumah mereka sejak siang. Orang itu mengancam akan membakar rumah, karena Umar dianggap membuat berita bohong di RCTI. Umar resah dan dia sampai terpikir untuk membuat selebaran bahwa RCTI bukan TVRI.

Rasa tidak aman setelah peristiwa itu dirasakan oleh keempat wartawan RCTI tersebut. Orang dari Korem Lilawangsa berkali-kali menelepon Umar, ingin bertemu Imam Wahyudi untuk minta rekaman gambar peristiwa. "Dia sudah pulang ke Jakarta dan terus ke Singapura untuk berlibur," Umar berbohong.

Ray Wijaya, produser Seputar Indonesia di Jakarta berkali-kali mengingatkan Imam, "Kau harus segera pergi dari situ." Sore itu juga, Imam dan Fipin berangkat ke Banda Aceh dengan bus. Mereka berusaha menyamarkan atribut RCTI agar orang-orang tidak tahu keberadaan mereka.

Di kantornya Azhari mulai menerima telepon-telepon misterius dengan nada mengancam dirinya. Tidak jelas siapa mereka. Azhari selalu berangkat tidur dengan rasa takut yang tinggi. Sehingga dia terpaksa minta seorang saudaranya menemaninya.

Rabu, 5 Mei 1999, setelah mencapai Jakarta, gambar video penembakan orang-orang sipil di Simpang Kraft muncul di televisi-televisi nasional. Itu gambar Ali Raban yang disiarkan Reuters ke pelanggannya di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pemandangan saat ratusan orang berhamburan dengan panik saat tentara menembak sungguh membangkitkan emosi siapa saja yang menontonnya. Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft.

RCTI ketinggalan satu setengah jam dari berita pukul 17.00 di Anteve yang menyiarkan gambar Reuters. Gambar Fipin Kurniawan naik pada siaran berita Seputar Indonesia pukul 18.30. Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh. Peristiwa Simpang Kraft sudah diberitakan. Sisanya sejarah.

Epilog

PASCAPERISTIWA itu Imam Wahyudi mengalami trauma. Hampir setahun dia merasa dikejar-kejar bayangan orang-orang yang ditembak di depan matanya. Setiap datang ke Lhokseumawe, Imam menyempatkan diri datang ke Simpang Kraft. Di situ, dia bisa lama menghabiskan waktunya, duduk, berdiri, diam, seakan hendak mengulang kembali semua yang dilihat dan dirasakannya ketika peristiwa itu berlangsung.

Imam tak pernah bisa menyembunyikan emosinya ketika menceritakan peristiwa penembakan itu kepada saya dalam dua kali pertemuan bersama Fipin Kurniawan di Jakarta pada November 2001. Saat saya menonton rekaman video Simpang Kraft, mulanya Imam menemani saya di ruang editing. Tapi ketika layar monitor mulai memperlihatkan gambar-gambar penembakan itu, Imam menghilang keluar ruangan tanpa saya ketahui.

Fipin Kurniawan mendapat IJTI Award dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia sebagai kamerawan terbaik pada 1999. Ali Raban kurang beruntung tak mendapatkan penghargaan walau Ali lebih berhasil merekam dalam adegan penembakan. Ali merasa kecewa.

Ali Raban dan Umar HN telah pecah kongsi. Ali jadi kamerawan Metro TV Lhokseumawe. Umar jadi koresponden Lativi. Saya mewawancarai mereka secara terpisah di Lhokseumawe pada Desember 2001.

Umar dan Ali Raban sering mengalami intimidasi bahkan kekerasan oleh aparat keamanan Indonesia ketika meliput di lapangan. Tak mudah jadi wartawan di Aceh. Sangat tidak mudah. Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita ini secara hati-hati. Dia dan keluarganya tak mau diteror lagi.

Simpang Kraft masih seperti tiga tahun lalu. Bale-bale di sudut kiri simpang masih berdiri. Toko dan warung berdinding papan, yang berdiri di sepanjang kiri kanan simpang, masih membuka usahanya. Tanah kosong di samping warung belum berubah fungsi. Dulu di sana ada sebuah rumah panggung sederhana. Tapi sudah dibongkar si empunya rumah, setelah anak gadisnya turut tewas dalam penembakan. Gadis malang itu, baru pulang sekolah, dan hendak menukar baju di kamarnya, ketika mendadak peluru nyasar menembus dinding rumah dan menerjang tubuh si gadis.

Pada suatu siang berudara mendung Januari lalu, saya duduk persis menghadap Simpang Kraft. Di bawah pohon rindang, saya bersama Muhajir, anak muda yang jadi pemandu saya. Mei berdarah itu Muhajir masih murid sekolah menengah. Dia baru pulang ujian ketika ikut membaur dengan ribuan orang di Simpang Kraft. Ketika tentara menembak, Muhajir tiarap bersama ribuan orang. Beberapa kawan baiknya tewas dan luka-luka. Muhajir yang menemani saya mewawancara orang-orang kampung dan beberapa korban yang dikenalnya.

Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru. Orang-orang militer yang bertanggung jawab dalam peristiwa itu, entah di mana kini bertugas. Mereka tak tersentuh hukum. Tapi Sersan Dua Aditia juga tak ketahuan rimbanya. Dia dinyatakan hilang.

Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi massa. Tentara menembak karena ada tembakan yang ditujukan kepada mereka. Peristiwa itu bermula ketika muncul tembakan ke arah massa dari sebuah bukit kecil di kiri jalan. Akibatnya, sebagian massa lari ke arah aparat untuk mencari perlindungan. Suasana kacau dan memanas. Di tengah kerumunan massa yang mulai panik, tentara melihat ada orang yang membawa senjata AK 47, yang umum dipakai GAM. Orang ini melepaskan tembakan ke arah tentara.

Karena diserang, tentara membalas tembakan yang ditujukan ke tengah massa. Maka terjadilah korban. Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal. Berbahaya jika terjadi penyerangan karena markas itu menyimpan senjata berat dan amunisi termasuk peluru kendali. Jika meledak, akan terjadi bencana besar yang memakan korban dalam radius lima kilometer dari markas.

Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin, saya jumpai seminggu sebelum keberangkatannya ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. "Tembakan pertama itu datang dari pasukan Arhanud Rudal yang berdiri dekat pohon asam. Mungkin mereka panik karena dilempari batu oleh massa," kata Marzuki. Marzuki selamat, karena dia berlindung di balik sebuah pohon. Pohon itu berlubang sembilan dihantam peluru tentara.

Marzuki bertemu Faisal, si koordinator lapangan, di ruang gawat darurat rumah sakit PT Arun LNG. Mereka sama-sama dalam pengobatan. Faisal tertembak kakinya. "Di situ Faisal memperlihatkan pada saya segenggam peluru yang ternyata disimpan dalam kantong jaketnya," kata Marzuki. Kepada Marzuki, Faisal mengaku dari Gerakan Aceh Merdeka. Faisal menghilang dari rumah sakit sebelum orang-orang mendatanya. Selang beberapa bulan, Faisal menemui Marzuki di kantornya. Faisal minta maaf kepada Marzuki. Sejak itu Marzuki tak pernah lagi melihat Faisal.

Kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam oleh berbagai kasus kekerasan lain yang terus bermunculan di Aceh selama tiga tahun terakhir. Kasus pembantaian itu rupanya bukan akhir dari cerita sedih yang menimpa orang Aceh. Tak lama, giliran Teungku Bantaqiah, seorang ulama di Beutong Ateuh, sebuah wilayah pegunungan terpencil di Aceh Barat, ditembak mati tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat dalam kasus Bataqiah akhirnya dihukum.

Hampir tiga tahun lebih para korban Peristiwa Simpang Kraft mencari keadilan. Koalisi NGO HAM Aceh adalah organisasi nonpemerintah di Banda Aceh yang selama ini berupaya melakukan advokasi terhadap para korban. Upaya hukum pertama dilakukan pada September 1999 bersama Lembaga Studi Advokasi Masyarakat Jakarta. Mereka mendaftarkan gugatan perdata terhadap Presiden, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, Panglima Kodam Bukit Barisan, Komandan Korem Lilawangsa, dan Komandan Kodim Aceh Utara, dengan tuntutan Rp 83 miliar. Peradilan itu belum pernah berlangsung karena pengadilan Banda Aceh beralasan ketiadaan hakim setelah hampir seluruh perangkat hukum di Aceh lumpuh total.

Sejak Januari 2002, sidang gugatan perdata Peristiwa Simpang Kraft berlangsung di pengadilan Jakarta Pusat. "Ini bukan masalah uang, tapi lebih dari upaya kita untuk memberikan keadilan untuk para korban. Tapi sayang, pemerintah tampaknya tidak serius menegakkan keadilan untuk rakyat Aceh," kata ketua Koalisi NGO HAM Aceh Maimul Fidar.

"Sebenarnya para korban sudah pesimis untuk mencari keadilan. Selain itu mereka juga takut karena jika memberi kesaksian akan ada tekanan dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus itu," kata Maimul Fidar.

Rasa curiga itulah yang saya tangkap pada seorang anak muda. Dia teman Muhajir. Kami menemuinya sedang duduk bersama sejumlah anak muda lain di sebuah warung rokok tak jauh dari Simpang Kraft. Kata Muhajir, anak muda itu ikut tertembak. Ajaib dia selamat, padahal sejumlah peluru bersarang di punggungnya. Tapi dia menolak bicara dengan saya. "Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa’i-pa’i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh."

Saya terpaku dan tak banyak berkata. Saya bahkan tak sempat menanyakan namanya, karena secara halus dia mengusir saya pergi.*

by:Chik Rini
2 Trackbacks:

[…] Laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” selengkapnya klik di sini…. […]

[…] oleh pemerintah. Di antaranya pembantaian 1965, penculikan aktivis 1998, penembakan warga sipil di Simpang Kraft Aceh 1999, hingga Tragedi Semanggi I dan […]

Comments are closed.