PADA 1968, Columbia Broadcasting System, biasa disebut CBS, menggandeng Sony Corporation untuk jualan di Macao, Hong Kong, dan Jepang. Tepat sedasawarsa kemudian, CBS tampil sebagai perusahaan Amerika Serikat pertama yang mampu menjangkau nilai penjualan tingkat dunia hingga mencapai 1,2 miliar AS. Sebuah antiklimaks berlangsung pada 1988. CBS diambil-alih Sony.

Perusahaan-perusahaan rekaman kelas dunia yang selama ini dipayungi CBS—katakanlah Epic Records Group, Columbia Records Group, atau Relativity Entertainment Group—praktis masuk ke dalam cengkraman Sony. Nama besar Louis Amstrong, Andy William, atau Philadelphia Orchestra pun terbawa serta.

Peristiwa dramatis itu diakhiri pembukaan selubung papan nama baru: Sony Music Entertainment.

Kelak, Sony Music memperkuat benteng bisnisnya dengan sejumlah perusahaan rekaman lain sejak Mambo Records, Whitfield Recording Studio, sampai Legacy Records. Ada juga Sony Classical yang tempo hari mengguncang dunia lantaran keberhasilannya memacu penjualan album soundtrack film Titanic hingga 26 juta kopi. Album garapan komposer James Horner ini antara lain berisi My Heart Will Go On, sebuah lagu tema dari penyanyi oktaf tinggi Celine Dion.

Sony Music kini beroperasi sedikitnya di 60 negara, dengan nilai penjualan tahunan berkisar 5,8 sampai 6,0 miliar dolar AS sejak 1998. Pusat riset independen Transnationale yang berkedudukan di Amerika memperkirakan, operasi tersebut melibatkan sekurang-kurangnya 6,5 ribu karyawan. Ini jauh lebih efisien ketimbang raksasa-raksasa lain yang jadi pesaingnya.

Dalam skala the big five, pesaing Sony Music adalah Universal Music Group, Bertelsmann’s BMG, Warner Music, dan EMI Group. Sony Music berada di peringkat kedua setelah Universal.

Urutan tersebut lebih didasarkan pada kontrol mereka atas jumlah album yang beredar di AS, sebuah negeri yang dianggap barometer bisnis musik sekaligus pasar terbesar dunia. Pernyataan bersama TiVo dan Philips, masing-masing konsultan independen dan perusahaan elektronika, pada 1999, mengungkapkan, dari 755 juta album yang beredar di AS, 84 persen di antaranya dikuasai lima raksasa tersebut. Universal mengontrol 26.3 persen, Sony Music 16,2 persen, BMG 16 persen, Warner Music 15,7 persen, dan EMI 9,4 persen.

Universal dikenal sebagai grup perusahaan yang beroperasi di bawah kendali The Seagram Company Ltd., yang berpusat di Kanada. Nama-nama besar seperti Bee Gees, Herbie Hancock, Elton John, Metallica, Luciano Pavarotti, dan Stevie Wonder berkembang di sini.

Di bawah Universal, berhimpun sejumlah perusahaan rekaman kelas dunia: A&M, Blue Thumb, Decca Record Company, Def Jam, Deutsche Grammophon, Geffen, GRP, Impulse!, Interscope, Island, MCA, MCA Nashville, Mercury, Mercury Nashville, Motown, Philips, Polydor, Universal, dan Verve. Wilayah operasi sekurang-kurang meliputi 63 negara, yang diawaki sekitar 12 ribu pekerja. Nilai penjualan 2001 berkisar antara 6,2-6,5 miliar dolar AS.

Raksasa BMG sekurang-kurangnya menggalang kerjasama ventura dan lisensi di 42 negara yang melibatkan sekitar 200 perusahaan rekaman, termasuk Ariola, Arista Records, BMG Funhouse, RCA Label Group Nashville, dan RCA Records. Sekitar 11,7 ribu karyawan bekerja untuk BMG, yang nilai penjualan terakhirnya mencapai kisaran 4,1-4,5 miliar dolar AS. Alabama, B.B. King, Barry Manilow, serta Whitney Houston merupakan beberapa nama besar di bawah asuhan BMG.

Kalau BMG identik pop, Warner Music sebaliknya; ia penuh dengan simbol-simbol dan nama-nama gahar semacam Jimi Hendrix, Alice Cooper, Rod Stewart, Van Halen, The Grateful Dead, Dire Straits, atau The Sex Pistols. Sebuah stereotip yang kelewatan sebenarnya, sebab Warner Music pun sebenarnya punya nama-nama manis seperti Frank Sinatra, Neil Young, Eric Clapton, atau Quincy Jones.

Nama Warner sendiri kadang bikin bulu kuduk saya berdiri. Warner dikenal tukang caplok perusahaan. Bahkan blue chip AS sekelas Time Inc., termasyhur sebagai penerbit buku bermutu dan majalah-majalah kelas dunia, pun jatuh ke pelukan poker chip Warner dalam suatu negosiasi akbar pada 1989. Integrasi antara Warner Communication Inc. dan Time Inc. inilah yang melahirkan Time Warner Inc. Tak hanya sampai di sana; pada 2000, Warner bergabung dengan America Online (AOL), sebuah perusahaan multimedia dan portal internet terkemuka. Pernikahan ini menghadirkan wajah baru bisnis dunia: AOL Time Warner Inc.

Warner Music berada di bawah komando langsung AOL Time Warner. Wilayah manajemen Warner Music antara lain meliputi Atlantic Records, Kinetic Records, Elektra Records, Ivy Hill Corp., Reprise Records, London-Sire, Chappell Music, Qwest Records, Rhino Records, Warner Classic Interna, Warner Bros. Records hingga Maverick Records, sebuah perusahaan label yang sebagian besar sahamnya dipegang megabintang Madonna, yang pada 1980-an meratui blantika musik dunia.

Pada 2001, nilai penjualan Warner Music diperkirakan antara 3,8-4,2 miliar dolar AS dari operasinya di 45-an negara. Sekurang-kurangnya sembilan ribu karyawan terlibat operasi itu.

Giliran EMI Group. Seperti priyayi Inggris, kelompok perusahaan yang bermarkas di London ini boleh dibilang paling tenang dan penuh percaya diri dalam melangkah, namun acap melahirkan gebrakan-gebrakan yang mencengangkan dunia. The Beatles, Deep Purple, Genesis, Queen, atau The Rolling Stones merupakan beberapa nama yang membuat dunia histeris. Di masa depan, album-album abadi milik mereka bisa membuat ledakan-ledakan. Dari Megadeth saja, yang meluncurkan lagu-lagu terbaiknya selama 15 tahun dalam Capitol Punishment Megadeth Year, EMI menangguk 12 juta kopi pada 2001 lalu.

Di bawah EMI, bernaung sedikitnya 10 ribu karyawan yang tersebar sekurang-kurangnya di 70 negara. Mereka antara lain mengoperasikan perusahaan-perusahaan rekaman terkemuka di bawah bendera EMI – seperti Virgin, Manhattan, EMI Recorded Music, dan Positive Tone. Nilai penjualan tertinggi di seluruh dunia berlangsung pada 1998 yang mencapai 5,5 miliar dolar AS. Pada 2001, nilai penjualan berkisar 3,6 sampai 3,8 miliar Euros.

KETIKA 1945 Indonesia merdeka, musik tetap terbelenggu hingga dua dekade sesudahnya. Eksperimen rekaman long play (piringan hitam) pertama yang dilakukan Irama Record pada 1957, atau setahun lebih tua dari produksi komersial Warner Bros. Records tak kunjung membuat Irama Record jadi perusahaan rekaman kelas dunia. Musik jadinya tak punya akar kuat untuk tumbuh sebagai pohon bisnis.

Di masa itu, musik tak lebih dari sekadar hobi – yang dicurigai negara. Orang bermain musik, pop atau rock, bahkan bisa jauh lebih berbahaya ketimbang bergulat atau bertinju. Orang bisa dibui macam Koes Bersaudara pada 1965. Rezim Soekarno memang tidak suka pop atau rock Barat yang disebutnya “ngak ngik ngok”. Musik begini dinilai tak baik buat revolusi – yang katanya “belum selesai.”

Mungkin demi mendapatkan dukungan politis kaum muda, rezim Soeharto membalik keadaan. Lintas diakhronis menunjukkan, sejak awal kekuasaannya pada 1967, Soeharto mengerahkan tentara untuk membuat panggung-panggung hiburan populer, yang antara lain diisi musik “ngak ngik ngok” itu. Kostrad (Korps Cadangan Strategis Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat), elit militer tempur, yang baru saja mengambil-alih kekuasaan, malahan membuat ‘kompi’ baru: Badan Koordinasi Seni atau biasa disingkat BKS-Kostrad. Di sinilah artis-artis dan musisi, terutama dari jalur pop, dibariskan. Di belakang hari, Pusat Penerangan Departemen Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia melanjutkan aktivitas itu dengan membuat acara TVRI Kamera Ria.

Hingga paruh akhir 1970-an, musik berkembang di hampir semua jalur. Di jalur pop, kelompok-kelompok musik seperti Koes Plus, Favorite Group, Bimbo, D’Lloyd, The Mercy’s, atau Panbers, tak hanya hadir di panggung, tapi juga mulai eksis di dapur rekaman. Di jalur dangdut, Rhoma Irama mengibarkan Soneta yang menggabungkan irama Melayu dan idiom Deep Purple. Balada dan country pun mulai mendapatkan tenaganya di tangan Yan Hartlan, Dede Haris, atau Iwan Abdurachman. Warna lain, yang memadukan pop dan art rock, lahir dari tangan Eros Djarot atau Guruh Soekarnoputra melalui kelompoknya, Gypsy.

Perubahan paling bergemuruh berlangsung di jalur rock. Godbless, Giant Step, Rawe Rontek, AKA, Rhapsodia, Rollies, atau SAS adalah beberapa agen perubahan itu. Sungguh sayang, kehadiran mereka baru sekadar jadi ‘pita kaset’ dari kelompok musisi asing yang tengah merajai dunia—sejak Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Alice Cooper, Rolling Stones, hingga The Beatles. Bisa dipahami kalau industri rekaman, yang mulai bermunculan saat itu, memunggungi mereka.

Sekiranya masuk dapur rekaman, album mereka dibuat dalam kopi terbatas. “Laku 10 ribu – 20 ribu kaset,” ungkap Maman Sagith, eks wartawan Aktuil, majalah musik ternama 1970-an, “sudah dianggap luar biasa.” Energi industri rekaman agaknya lebih bertumpu pada usaha mereproduksi lagu-lagu mancanegara, yang praktis tidak perlu mengeluarkan biaya royalti atau hak cipta.

“Zaman itu zaman bebas merekam apa saja,” kata Jan Nurdjaja Djuhana, direktur senior artis dan repertoar Sony Music Entertainment Indonesia, yang pada 1973 ikut-ikutan mencari peruntungan dengan mendirikan Angels Record. Modalnya, tape recorder dan mesin ketik buat menuliskan judul-judul lagu. Lima sampai 10 kaset yang diproduksinya selama sepekan, ia taruh di etalase tokonya.

Saat itu industri rekaman dalam negeri memang menangguk untung besar dari absennya Indonesia dalam penandatanganan Konvensi Bern tentang hak cipta. Aquarius Records, misalnya, dalam catatan Tempo, sempat memproduksi kaset rekaman lagu-lagu Barat hingga dua juta keping dalam setahunnya.

Pada 1980-an, sikap industri rekaman terhadap musik rock mulai berubah secara signifikan menyusul lahirnya kader-kader berbagai festival. El Pamas, Power Metal, atau Slank adalah beberapa yang beruntung bisa mencicipi rejeki dapur rekaman. Keberuntungan yang sama juga menghampiri sejumlah lady rocker seperti Ita Purnamasari, Nicky Astria, Atiek CB, Anggun C. Sasmi, atau Nike Ardilla. Pada gilirannya mereka inilah yang menantang kekuatan pop generasi Jangan Sakiti Hatinya dan Hati yang Luka yang berada di tangan Iis Sugianto, Nia Daniaty, atau Betharia Sonata.

Eksperimen musik dan vokal yang diketengahkan mereka itulah agaknya yang membuka mata hati musisi lain untuk ikut mengeksplorasi kekayaan irama dan bunyi. Pop yang selama ini berada dalam ortodoksi Rinto Harahap, tiba saatnya mendapat gempuran musikus pop alternatif, katakanlah Dodo Zakaria yang mengorbitkan Vina Panduwinata. Nama lain seperti Trie Utami, Ruth Sahanaya, Yopie Latul, Utha Likumahuwa, Chrisye, atau Harvey Malaiholo, turut memberi sapuan perubahan selera pasar.

Gempuran makin keras ketika pintu belakang industri rekaman Indonesia didatangi Ebiet G. Ade yang menawarkan semacam balada dalam syair liris. Balada yang berkawin dengan rock diperlihatkan musikus Gombloh atau Konser Rakyat Leo Kristi dari Surabaya. Tapi, musik beginian baru bisa diterima dunia rekaman secara antusias begitu Iwan Fals, yang memompakan country ke dalamnya, digandeng Musica Studio.

Jalur jazz, yang dalam dekade 1960-1970, hanya dihuni segelintir nama seperti Bubi Chen, Jack Lesmana atau Bill Saragih, pun membuat lompatan penting melalui Karimata, Bhaskara atau Krakatau. Nama-nama yang disebut terakhir mencoba mengawinkan jazz dan rock dalam satu kemasan sehingga menghasilkan beat-beat yang lebih bisa diterima publik luas. Fusion buat pertama kalinya mewujudkan diri dalam jagat musik Indonesia.

Segenap perubahan tadi mendapat sambutan industri rekaman, yang memang sedang berusaha membebaskan diri dari okultisme musisi luar.

Nasionalisme sedang bersemi di dada mereka? Tunggu dulu. Kehendak untuk mereproduksi artis dan musisi lokal agaknya lebih didasarkan pada munculnya aturan yang mengharuskan adanya lisensi bagi perusahaan yang merekam lagu-lagu Barat. Beleid ini hanya berselang dua tahun dari luapan amarah Bob Geldof lantaran materi Live Aid – konser musik raksasa yang diprakarsainya untuk membantu korban kelaparan Ethiopia pada 1985 – dikasetkan dengan semena-mena oleh kalangan industri rekaman Indonesia. Pemerintah tak luput dari tekanan masyarakat internasional lantaran dianggap ikut bersekongkol lewat pengenaan cukai resmi terhadap reproduksi itu.

Di bawah aturan baru, artis dan musisi Indonesia mendapat daulat di negerinya sendiri. Kini festival tidak hanya diikuti kaum pemusik, tapi juga pengusaha rekaman. Mereka berlomba-lomba untuk memproduksi album yang dapat diterima telinga publik.

Hampir seluruh jalur musik akhirnya tersambung ke industri rekaman. Tak terkecuali rock. Pada paruh akhir 1980-an, rock malah membuat kejutan ketika album Semut Hitam Godbless terjual mencapai 400 ribu kopi. Rekor penjualan sebesar ini bertahan untuk waktu lama sampai akhirnya datang generasi baru rock di bawah triumvirat penguasa pasar musik rock: Slank-Boomerang-Jamrud.

MESIN ekonomi Indonesia berputar kencang pada awal 1990-an. Pemerintah bahkan harus mengeluarkan kebijakan uang ketat (tight money policy) untuk menurunkan nafsu investasi yang meledak-ledak. Dalam situasi ini, sektor media massa juga jadi titik bidik kaum pemodal. Lumrah kalau bisnis suratkabar tiba-tiba berada di jalur cepat. Lumrah pula kalau bisnis televisi swasta bisa langsung tancap gas.

Bagi industri musik, perkembangan tadi besar artinya. Paling tidak, industri musik punya kesempatan yang lebih luas untuk melakukan aktivitas promosi. Di masa lalu, untuk media televisi misalnya, musik hanya punya satu pilihan: TVRI. Itu pun sangat terbatas lantaran beragam kendala.

Pertama-tama, tentu saja karena TVRI menghentikan paket siaran komersial, sehingga para pengusaha rekaman tidak bisa mendaulat sepenuhnya TVRI sebagai salah satu medium promosinya. Sisi lain, remote control paket musik TVRI berada di tangan manajemen Artis Safari, yang dikoordinasi bekas pelawak Eddy Sud. Tidak mudah bagi pengusaha rekaman untuk mempromosikan album rock gahar, atau musik yang dianggap tidak sesuai dengan “kepribadian Timur”. Lebih-lebih musisi yang hendak dipromosikannya hadir dengan baju kocar-kacir, rambut acak-acakan, mata seperti baru bangun tidur, dan tampang luar biasa berantakan.

Televisi swasta lebih permisif. Apalagi setelah stasiun Anteve bergandengan tangan dengan MTV-Asia yang bermarkas di Singapura itu. Segala jenis musik, dari pop sampai rap, dari jazz sampai rock, dari R&B sampai hip hop, bisa tampil di sana.

Dalam perjalanannya, industri musik dan industri televisi membentuk jaringan komunikasi yang konvergen. Konstelasi paling kentara dapat dilacak ke tahun 1997, ketika krisis finansial mulai menggejala di Indonesia. Untuk bertahan, stasiun-stasiun televisi tidak cukup hanya memangkas waktu siarannya dan membuang tayangan-tayangan langsung sepakbola atau tinju. Tapi juga berusaha membuat paket-paket siaran yang dianggap murah. Dan musik jadi salah satu pilihannya. Bukan saja murah, paket siaran musik pun adakalanya jadi sumber pemasukan kalau kebetulan yang ditayangkan adalah klip musik yang sedang dipromosikan perusahaan rekaman.

Riset yang dilakukan R. Anderson Sutton, peneliti dari Universitas Wisconsin-Madison, AS, barangkali dapat dijadikan referensi mengenai hal itu. Dalam kertas kerjanya, Popular Music on Indonesian Television: Local, Global, or National? Sutton memperlihatkan bagaimana stasiun-stasiun televisi bertahan dari gempuran krisis tadi. TPI dan Indosiar, umpamanya, segera menggenjot program acara dangdutan. Di pihak lain, RCTI merancang paket musik “Dua Warna” yang mengolaborasikan musik etnik dan modern dalam sebuah kemasan. Stasiun Anteve, bahkan menyewakan sebagian waktu siarnya kepada MTV-Asia. Di luar paket-paket yang dibuat, klip musik menyelinap di berbagai acara, bahkan pada primetime sekalipun.

Bagaimana perlakuan media cetak? Kurang lebih sama. Jangankan suratkabar yang bervisi hiburan, suratkabar seserius Kompas pun menjatahkan sebagian kolomnya buat memantau perkembangan musik—mulai album baru, tur para musikus, gosip penyanyi, hingga artikel panjang lebar sekitar industri musik. Buat kaum muda yang benar-benar keranjingan musik, tulisan dan foto artis pujaannya tidak cuma dapat ditemukan pada majalah Hai, Gadis, atau Aneka. Ada juga Bintang Indonesia dan Citra. Di belakang hari, mereka bisa baca Mumu, Music Book Selections, atau NewsMusik.

Lima raksasa industri musik dunia hadir di Indonesia dalam suasana penuh dukungan seperti itu. Krisis finansial yang menghantam Indonesia, tidak sertamerta membuat mereka ikut terkulai. Sejatinya, musuh utama krisis adalah rupiah. Dan mereka datang ke Indonesia dengan pundi-pundi berisi dolar AS.

Mereka bukan pemain baru sebenarnya. EMI, katakanlah, sejak awal 1980-an sudah berada di Indonesia. Namun, gerak langkahnya tak seleluasa sekarang lantaran dibelenggu aturan yang mengharuskan bermitra dengan partner lokal. Warner Music lebih pagi lagi, sekitar 1970-an. Raksasa ini masuk ke Indonesia lewat salah satu anak perusahaannya Atlantic Record. Bila EMI berkongsi dengan Aquarius, Atlantic dengan Log Zhelebour di antaranya.

“Asing dulunya harus afiliasi dengan lokal. Baru setelah dideregulasi tahun 1996 atau 1997, bebas berdiri sendiri,” kata Yohanes Teja, managing director EMI Indonesia, suatu hari di bulan Mei 2002.

“Sony Music dan Warner kan tahun 1995…,” saya mencoba mengoreksi.

“Ya, mungkin sekitar itu. Tapi, EMI masuk ke Indonesia sekitar 1997.”

Label internasional dimungkinkan dapat beroperasi secara penuh setelah Indonesia menggulirkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 pada 1994, yang segera mengubur riwayat paket deregulasi November 1988 tentang kemitraan asing-lokal itu. Penghapusan daftar negatif investasi (DNI) Indonesia pada Mei 1989, Economic Vision Statement APEC 1992 serta rekomendasi Putaran Uruguay mengenai perdagangan bebas pada 1993, diduga ikut mempercepat keluarnya peraturan pemerintah tersebut.

Apapun, kehadiran label asing itu ditanggapi suka-cita di satu pihak, dan duka-cita di pihak lain. “Kelompok” suka-cita umumnya para pemusik yang merasakan adanya tanda-tanda kebangkrutan pada sementara produser lokal sehingga tak lagi dapat dijadikan sandaran hidup. “Sony menerima 50 sampai 60 demo setiap bulan,” Jan Nurdjaja Djuhana, direktur Sony Music Indonesia itu, menuturkan demo album yang dikirimkan musisi dan artis penyanyi Indonesia sejak 1998.

Yang berduka? Siapa lagi kalau bukan para pengusaha lokal. Mereka takut artis yang selama ini jadi tambang uangnya direbut. “Five major label ini dianggap tukang caplok. Padahal saya sendiri lebih suka create artis baru. Dewa saja tidak saya ambil. Sampai saat ini masih tetap di Aquarius kan?” kata Djuhana mengacu kelompok musik pimpinan Ahmad Dhani, yang ditemukannya sewaktu masih bekerja untuk Team Record. Saat Team Record hancur, Dewa diungsikan Djuhana ke Aquarius.

Dicaplok atau bukan, gejala hijrahnya artis kini sudah mulai tampak. Gigi, misalnya, sebelum berada di bawah bendera Sony Music, menggunakan label Union Artis. Demikian pula Kla Project. Setelah berkembang bersama Prosound dan Aquarius, grup musik berusia sekitar 14 tahun itu akhirnya berada dalam barisan Sony Music. Belum lagi S.O.G (BMG), Cici Paramida (Warner Music), Ciccio (Universal), atau Rama Aiphama (EMI).

Patty Meggie Andryet dari BMG Indonesia melihat penggunaan lebih dari satu label di kalangan artis musik merupakan hal biasa. Bahkan seorang artis musik bisa saja menggunakan dua label sekaligus pada saat bersamaan. Sekadar contoh, ia menunjuk Ada Band, yang sebelah kakinya berada di BMG Indonesia dan sebelah lagi di Kama Record.

Tentu saja, dalam sejarah industri rekaman di Indonesia, belum ada seorang artis musik yang telah diikat label mayor internasional tiba-tiba memutuskan hijah ke label lokal. Kalau pun kelak muncul, bisa jadi lantaran si artis diputus kontraknya akibat tak lagi punya daya saing komersial. Di luar negeri, kasus seperti ini bisa menimpa siapa saja, termasuk pada artis sekaliber Mariah Carey yang sempat jadi ratu dunia pop dengan 12 juta keping untuk album Mariah Carey. Ia kini tak lagi bersama Sony Music.

TATKALA datang keputusan untuk merekam artis-artis lokal, Sony Music memulainya dengan /rif, sebuah kelompok musik cadas asal Bandung. Album Raja, dirilis 1997, meledak hingga 300 ribu kopi. Ketika krisis finansial makin akut—diikuti beragam tragedi nasional yang berpuncak pada tumbangnya Presiden Soeharto—/rif masih bisa menjual Salami, album keduanya, sampai 100 ribu kopi.

Sukses Sony Music belum lagi usai. Sheila on 7, kelompok musik asal Yogyakarta yang sempat ditolak Warner Music, mengguncang jagat musik Indonesia segera setelah albumnya, Sheila on 7, yang dirilis 1999, terjual 1,3 juta kopi. Sebuah rekor baru dibukukan.

Lagi-lagi Sheila on 7 mencetak rekor baru atas namanya sendiri pada Agustus 2001 ketika album Kisah Klasik untuk Masa Depan menembus angka penjualan sampai 1,7 juta kopi. Rekor ini lebih cepat dua bulan dari angka penjualan album Ningrat milik Jamrud yang mencapai 1,85 juta kopi pada akhir Oktober 2001. “Kami jual album juta-juta setelah tahun 1999,” kata Jan N. Djuhana.

Di luar Sheila on 7 dan /rif, masih banyak grup lain yang kini melapis kekuatan Sony Music. Edane, Kla, Cokelat, Ultra, Kafein, Wong, dan Padi adalah beberapa di antaranya. Padi dinilai potensial untuk melahirkan kejutan-kejutan baru di jagat musik. Album Sesuatu yang Tertunda, hingga Maret 2002 terjual sampai 1,6 juta keping.

Langkah-langkah cepat Sony Music membangun tembok bisnisnya lewat grup ben, tampaknya telah memacu bentuk persaingan baru di lingkungan label-label internasional: berburu grup debutan. Terlihat dengan jelas, Universal umpamanya, langsung mengambil Element dan Funky Kopral sebelum memutuskan merekam penyanyi-penyanyi solo.

Gerakan serupa diperlihatkan BMG Indonesia yang merangkul The Fly, T-Five, S.O.G, dan Ada Band. Demikian pula EMI. Di sana, kini setidaknya ada Bunglon, Humania, Pixel, Harapan Jaya, dan BIP.

Tertinggal dalam start, Warner Music terkesan hendak membelokkan jalannya peperangan lewat perburuan artis-artis solo. Berhasil. Sejumlah penyanyi kuat kini berbaris dalam panji-panji Warner Musik. Mereka, taruhlah: Andien, Yunika, Shanty, atau Krisdayanti.

Itu di jalur pop. Di jalur jazz, bendera Warner Music berkibar di tangan Indra Lesmana. Pemusik yang pada dekade 1980-an ikut merevolusikan Jazz Indonesia bersama kelompoknya, Krakatau, ini muncul kembali membawa album Reborn yang terjual sampai 95 ribu kopi pada 2001 lalu. Anugerah gold pun mampir ke tangannya.

Di Indonesia, gold berdasarkan ketentuan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) diberikan untuk penjualan di atas 75 ribu kopi. Sedangkan platinum di atas 150 ribu kopi. Ini untuk artis lokal. Untuk artis Barat jumlahnya lebih tipis lagi, 25 ribu dan 50 ribu kopi masing-masing untuk gold dan platinum. Di AS, sesuai ketentuan lembaga The Recording Industry Association of America (RIAA), gold diberikan untuk penjualan 500 ribu kopi, dan platinum untuk sejuta kopi. Di luar dua anugerah tadi, masih ada multiplatinum, yang baik di Indonesia atau Amerika, dimaksudkan sebagai kelipatan platinum.

“Untuk ukuran Indonesia, prestasi Indra bisa disebut luar biasa. Tidak mudah menjual album kelompok musik tertentu,” ujar Bens Leo, wartawan senior yang menaruh perhatian pada dunia musik sejak tahun 1970-an, paling tidak sejak bekerja untuk majalah Aktuil, Bandung.

Bisnis musik jazz di Indonesia memang cenderung jalan di tempat. Penulis industri musik Theodore KS bahkan sempat membuka kalimat pertama dengan satu suku kata: “menyedihkan” – yang diikuti tanda seru untuk tulisannya Bisnis Rekaman Musik Jazz Berjalan karena Kecintaan yang digarap bersama Rakaryan S., wartawan Kompas. Di situ, mereka mendeskripsikan betapa sulitnya menjual rekaman jazz. Saking sulitnya, Lodhy Surya dari Suryanada Record hanya mampu menjual album Virtuoso sebanyak lima ribuan kopi—padahal album ini lahir dari kreasi Bubi Chen, salah seorang maestro jazz Indonesia.

Keberhasilan menjual album Indra Lesmana sekaligus memberi peringatan keras buat industri rekaman lokal bahwa perusahaan multinasional sekelas Warner Music bisa berdagang apa saja di Indonesia sejak pop, jazz, sampai dangdut sekalipun.

Sekadar catatan, tanda-tanda Warner Music masuk ke jalur dangdut paling tidak terlihat saat mengontrak Cici Paramida, salah seorang penyanyi dangdut terkenal di Indonesia. Dan ini kemungkinan besar akan memperluas wilayah eskalasi pertempuran di kalangan label internasional. Lihat saja Sony Music yang kontan merangkul Camelia Malik, setelah Ikke Nurjanah. Bagaimana raksasa yang lain? “Semua label harus ambil semua jenis musik,” tutur Putri Ayu dari EMI Indonesia. “Kalau dangdut memang bagus, kami ambil.” Putri Ayu tidak asal nguap agaknya. Pelantun keroncong berbau dangdut seperti Rama Aiphama, kini ikut memperkuat barisan EMI.

Sejak medio 1990-an, dangdut terus menjangkarkan akarnya dalam jagat musik Indonesia. Peran TPI lumayan besar dalam mengangkat martabat musik yang semula dicap musik kampungan itu. Selain konsisten membuat paket siaran langsung konser dangdut, TPI juga amat bersemangat merancang tayangan lain yang berbau dangdut, mulai sinetron dangdut sampai kuis dangdut. Belum lagi pemberian penghargaan tahunan dalam bentuk Anugerah Dangdut.

Sikap TPI ‘membumikan’ dangdut diikuti stasiun-stasiun televisi lain. Indosiar sekurang-kurangnya saban Minggu tak pernah henti menampilkan acara dangdutan. Demikian pula RCTI yang menghadirkan “Joget”, atau SCTV dengan “Goyang Dangdut”. Bahkan MTV-Asia sekalipun membuat “Salam Dangdut”. Di belakang hari, Trans-TV turut meramaikannya lewat “Digoda” alias digoyang dangdut.

Kini, dangdut tidak sekadar mengakar, tapi jadi salah satu musik terpopuler di Indonesia. Hasil riset AC Nielsen sebagaimana terekam dalam Indonesian Consumer 2000 menunjukkan pendengar dangdut jauh lebih banyak ketimbang pop Barat. Dangdut sekurang-kurangnya punya 9,2 juta pendengar, sedangkan pop Barat sekitar 3,8 juta pendengar. Posisi teratas adalah pop Indonesia yang berselisih angka tidak sampai sejuta, yakni sekitar 9,9 juta pendengar.

Segagah itukah dangdut? Di dapur rekaman, dangdut tidak sehebat yang dikira. Penjualan album terakhir Camelia Malik, Rekayasa Cinta, umpamanya, berjalan tertatih-tatih. Jangankan platinum, sekadar mendapat gold saja masih diragukan. “Dari dulu juga dangdut nggak pernah gede,” kata Jan N. Djuhana. Ia lantas menunjuk album terakhir Ikke Nurjanah, Selalu Milikmu, yang hanya terjual 50 ribu kopi. “Camelia ini belum tahu persisnya, tapi mungkin di bawah Ikke.”

NILAI penjualan musik dunia meningkat secara impresif dalam satu dekade lalu. Data The International Federation of the Phonographic Industry (IFPI), lembaga yang menghimpun sekitar 1.400 industri rekaman internasional dengan afiliasi di 46 negara, memperlihatkan kenaikan itu sekurang-kurangnya mencapai 58 sampai 68 persen. Bisa dipahami kalau pada 2001, total nilai penjualan dunia sudah menotok angka 38 miliar dolar AS. Ditilik dari sini, apa sebenarnya arti Indonesia buat label-label mayor raksasa itu?

Selama dekade yang sama, pasar musik dunia cenderung terkonsentrasi di Amerika Serikat. Daya serapnya, menurut IFPI, mencapai 40 persen lebih. Urutan kedua di tangan Jepang, yang menyerap sekitar 20 persen. Sekitar 20 persen lagi diserap Eropa, terutama Jerman, Swedia, Denmark, dan Inggris. Baru sisanya dilempar ke penjuru bumi yang lain. Kondisi macam begini bisa membahayakan masa depan industri musik, sebab pasar yang statis cepat atau lambat akan dilanda kejenuhan.

Chuck Philips, penulis Los Angeles Times, menyiratkan indikasi ke arah sana. Dalam tulisannya, Record Label Chorus: High Risk, Low Margin, Philips menilai bukan perkara mudah menjalankan bisnis musik di Amerika sekarang ini. Pada 2000, misalnya, dari 6,2 ribu album yang diproduksi, hanya 50 album saja yang bisa terjual di atas sejuta kopi. Selebihnya, 65 album terjual 500 ribu kopi dan 356 terjual seratusan ribu kopi. Padahal, demikian Philips, “sebuah album label mayor mesti terjual 400 ribu kopi untuk meraih keuntungan.”

Di Indonesia, menurut Log Zhelebour, angka penjualan 50 ribu kopi sudah bisa mencapai titik impas, bila semuanya dikerjakan dalam manufaktur lokal. Kenapa di AS dan berbagai negara lain di Eropa harus sampai ratusan kopi? Hal tersebut, menurut Philips, lantaran tingginya biaya advance (uang muka) dan royalti yang harus dibayarkan kepada artis yang merekamkan suaranya.

Jalan keluar dari keadaan sumpek tersebut apalagi kalau bukan mendekati sumber-sumber kreatif di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. IFPI sendiri sebenarnya lebih memfokuskan diri pada kekayaan musik di Afrika dan Timur Tengah. Bila Indonesia jadi salah satu pilihan mereka, itu agaknya lebih berkaitan dengan besarnya pangsa pasar musik yang tersedia.

“Indonesia pasar musik terluas kedua di Asia setelah Jepang,” ungkap Bens Leo, kini pemimpin redaksi NewsMusik, Jakarta. Ia tak punya data persis. Tapi Leo tahu kalau penjualan album Coast to Coast milik Westlife mencapai 12 juta kopi itu. “Sekitar dua juta di antaranya berasal dari Indonesia. Itu 16 persen kurang lebih.”

Djuhana dari Sony Music punya cara lebih simpel melihat pasar. Ia mengambil data cukai yang melewati meja ASIRI. Pada 2001, sekurangnya ada 40 juta stiker pajak pertambahan nilai (PPN). Ini, dalam pandangan Djuhana, bisa menjadi gambaran besarnya pasar Indonesia. Dan angka ini masih bisa dikembangkan lagi seiring tumbuhnya daya beli masyarakat. Djuhana optimis sebab angka sebesar tadi sebenarnya tidak sampai 50 persen dari angka tahun 1994 atau 1995 yang mencapai 90 juta itu.

Dari sana, orang bisa menghitung berapa banyak uang yang beredar di sektor industri musik dalam setahun. Kalau satu striker punya daya jual Rp 15 sampai 20 ribu, berarti sekurang-kurangnya akan menghasilkan omzet sekitar Rp 600 – 800 miliar. Angka ini lebih kecil dari omzet tahun kemarin, yang menurut Yohanes Teja, managing director EMI Indonesia, mencapai sekitar Rp 800 – 900 setahun.

Untuk merebut pasar, label-label internasional tidak hanya datang dengan kapital besar. Kehadiran mereka pun ditunjang sejumlah pranata bisnis dan sistem yang dimilikinya, dari kontrol atas sejumlah lisensi, rekrutmen artis dan pencipta lagu, pengembangan kualitas manufaktur rekaman, sampai pembangunan jaringan distribusi serta pemasaran – baik secara tradisional, franchise, maupun online.

Dalam soal online marketing, perhatikan saja EMI Indonesia. Hanya beberapa saat setelah kakinya berada di Indonesia, EMI langsung menggandeng Soundbuzz, distributor musik digital yang memiliki daya cengkram kuat di Indonesia, Singapura, Filipina, sampai Hong Kong. Warner Music pastilah akan menggunakan saluran AOL yang mengintegrasikan dunia dalam satu jaringan maya. Di pihak lain, Universal dan BMG yang selama ini relatif tertinggal dalam konsep pemasaran demikian, menggalang aliansi dalam GetMusic, jaringan pasar maya. “Nowhere else on the Internet will music fans find a more comprehensive package of music content, access to artists, music for purchase and community-building features,” ujar Michael Dornemann, eksekutif puncak BMG.

Jangan lupa pula, raksasa-raksasa itu datang dengan peran lain selaku publishing. Sebagai publisher, mereka punya kekuasaan penuh untuk memasarkan karya cipta musik artis yang dikontraknya ke perusahaan iklan, film, maupun industri rekaman lain di luar dirinya.

Untuk amannya, ingin sekali saya menyarankan label lokal untuk tidak coba-coba menyalakan api peperangan dengan mereka. Tapi, saran ini bodoh juga sebab saya tidak bisa memberikan jaminan bahwa diam itu aman. Label lokal bisa saja kena tuah peribahasa orang Betawi: “Gajah berantem, semut-semut pade mati keinjek.”

Sebegitu rentan posisi label lokal?

Kelompok yang menamakan diri Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia tidak melihat raksasa-raksasa tersebut membawa potensi ancaman bagi industri rekaman lokal. Dalam Direktori Industri Musik, 1999, mereka menulis, pangsa pasar yang dikuasai label lokal bergerak antara 80 hingga 85 persen. “Baru sisanya dikuasai musik asing. Kecenderungan ini, agaknya akan bertahan lama.”

Data yang mereka gunakan pastilah di bawah tahun 1999, saat para warlord itu sedang sibuk mengatur posisi, menyiapkan strategi perangnya. Selepas 1999, keadaan jadi berbeda setelah album-album yang ditembakkan para raksasa itu menghasilkan ledakan-ledakan yang tak pernah terjadi sebelumnya.

“Mungkin sekitar 10 persen, ya,” ungkap Djuhana, April 2002, ketika saya tanya berapa besar pangsa pasar musik Indonesia yang telah diambil Sony Music sekarang ini.

Djuhana memperkirakan, gabungan empat raksasa lainnya kemungkinan mencapai 30 persen. Ini berarti, industri rekaman lokal mendapatkan 60 persen sisa. Angka yang terbilang besar, sebenarnya. Tapi, tentu saja, angka-angka ini menegaskan, pasar telah terfragmentasi sebegitu rupa dalam tempo cepat. Esok lusa, siapa tahu komposisi macam tadi berbalik muka.

Jumlah 60 persen pun sesungguhnya tetap saja bisa mengundang kecemasan di kalangan pelaku bisnis musik. Soalnya, persentase terdistribusikan sangat tidak merata. Djuhana mensinyalisasi, 20 persen di antaranya berada dalam genggaman Musica Records. Ini menarik, karena Musica bukanlah pemain agresif dalam mengorbitkan artis dan melakukan inovasi-inovasi dalam aktivitas promosinya. “Tapi kan Musica punya album-album abadi, seperti Chrisye atau Iwan Fals,” Djuhana mengomentari sok tahu saya.

Internasional atau lokal, album-album abadi acap bisa berubah jadi bom waktu pada momentum tepat, dan menghasilkan ledakan tinggi. Lihat saja umpamanya album konser Chrisye, Badai Pasti Berlalu, yang diaransemen ulang komposer Erwin Gutawa. Album ini tak diduga-duga meledak hampir mendekati angka 500 ribu kopi. “Dia selalu stabil,” komentar Leo.

Grup-grup yang berhimpun di bawah bendera Musica pun bukanlah sosok-sosok “kacang bawang”. Sebut saja Iwa K. yang sampai saat ini masih yang terbaik buat jalur rap, atau Base Jam, Wayang, dan Kahitna untuk pop semanis gula-gula.

PERUSAHAAN rekaman lokal berjumlah ratusan. Ada Akurama Record, Binsar Padosma Recording, DD Record, Harpa Record, Jeka Record, Lolypop, Satria Kurnia Irama, Tomatra Tolali, Udapana Swasti, atau Virgo Studio. Nama mereka mewakili hampir seluruh abjad dalam alfabet. Mereka inilah yang memperebutkan 40 persen pangsa pasar.

Tapi, sebelum mereka melangkah penuh harapan untuk menjelajahi ceruk pasar, Aquarius Musikindo sudah lebih dulu mengambil 10 persen di antaranya. Dan sisa 30 persen, harus mereka rebut setelah bisa melangkahi pembesar-pembesar industri rekaman lokal lain seperti Logiss Records, Indo Semar Sakti, Ceepee Record, atau Prosound.

Dua yang disebut terakhir masih bisa menjaga denyut nadinya lantaran mereka relatif lebih atraktif dalam mengembangkan artis-artis baru. Ceepee Record, umpamanya, minimal masih punya Moluccas yang kini sedang naik daun, selain album abadi Vina Panduwinata. Tantowi Yahya sendiri, salah seorang pemiliknya, masih bisa dijual nama dalam pop-country. Sedang dalam barisan Prosound, masih ada Naif, Shakadiva, dan Rossa. Album Tegar Rossa tempo hari laku sampai 250 ribu kopi. Bukan hanya dapat platinum, Rossa juga langsung memosisikan diri dalam deretan penyanyi papan atas.

Bagaimana Indo Semar Sakti? Artis debutan baru yang mulai mengkilat di situ praktis hanya Tiket. Tapi, Indo Semar Sakti memiliki perusahaan distribusi yang sampai sejauh ini disebut-sebut paling luas, selain menguasai sejumlah lisensi artis-artis Barat. Sebelum lima raksasa datang ke Indonesia, separuh besar lisensi artis Barat berada dalam genggaman Indo Semar Sakti. Sebagian sahamnya pun, menurut Log Zhelebour, tertanam di Logiss Record.

Meski Boomerang meninggalkannya, pundi-pundi Logiss masih terus diisi ben jagoannya: Jamrud. Pada 2001, perhitungan puncak menunjukkan, angka penjualan Ningrat, album keempat Jamrud, mencapai dua juta kopi. Album kelima Jamrud, Sydney 090102, yang beredar mulai Januari 2002, diproyeksikan Log Zhelebour akan mencapai tiga juta kopi. “Pada bulan pertama edar saja sudah terjual 400 ribu. Spending awal sudah bagus,” katanya optimistik.

Masih jadi pertanyaan di benak saya, apa sih istimewanya Aquarius hingga bisa menguasai 10 persen pangsa pasar? “Kita ini semua berangkat dari hobi. Hobi dulu, baru bisnis,” ungkap Kadet, panggilan akrab buat Chairul Saleh dari Aquarius.

Berbekal sikap dasar seperti itu, Aquarius relatif lebih optimistik dalam melihat perkembangan pasar. “Kami jadinya nggak punya tuh target-targetan. Di kepala kami, pokoknya bagaimana ngeramein musik Indonesia. Dunia rekaman selebihnya kan gambling,” kata Kadet.

“Kalau gagal bisa habis sama sekali,” Bens Leo menggenapi di kesempatan berbeda.

Ia bisa berkata demikian karena mengalami sendiri bagaimana pahit-getirnya menjalankan bisnis rekaman. Di awal 1990-an, ia mendirikan BL Produktama, dengan produksi pertama album Cerita Cinta milik Kahitna. Ia masih sempat berkipas-kipas senang lantaran album tersebut laku sampai 200 ribu kopi. Berikutnya, tanpa tahu di mana akar masalahnya, BL Produktama kehabisan peluru dan terus tiarap sampai kini.

“Belum apa-apa, kami mesti keluarin ongkos produksi, lalu advance, “ kata Leo lagi. “Artis yang mulai terkenal minta 100 juta di depan sebelum kita jualan.”

Advance atau uang muka, menurut Leo, masih bisa dinegosiasikan besarnya—bergantung pada kesepakatan apakah akan menggunakan royalti penuh, atau semi-royalti. Royalti penuh bisa menguntungkan produser, dengan catatan bila albumnya laku dan melampaui titik impas. Yang sulit “dinegosiasikan” adalah ongkos produksi. Lebih-lebih di masa serba tidak pasti seperti sekarang ini.

Berapa ongkos produksi sebuah album? Log Zhelebour, produser Logiss Records, mengungkapkan, biaya produksi album ben yang sudah dikenal bisa mencapai Rp 400 juta dalam 50 ribu kopi. Ini berarti Log menggunakan biaya promosi dan umum sekitar Rp 250 juta, sebab biaya reproduksi kaset sebenarnya hanya Rp 3.000 per unit. Biaya promosi sebesar itu cukup untuk membuat dua atau tiga klip video.

Bila harga kaset dipatok Rp 16 ribu per unit, album tersebut akan menghasilkan nilai jual Rp 800 juta. Di sini Log belum lagi untung. Paling-paling ia hanya mencapai titik impas versi buku. Hitungan saya, net margin Log cuma Rp 50 juta. Kepada Kontan, Log mengatakan, keuntungan kotor rata-rata kaset mencapai 40 persen dari harga jual. Keuntungan ini harus dibagi dengan agen pengecer. Satu kaset Rp 4.970. Belum cukai Rp 430 per kaset. Kalkulasi jadinya: 40 persen x Rp 800 juta – ([4.970 + 430] x 50 ribu). Kalau saya katakan “versi buku”, ini lantaran sebelum jualan Log mesti memberikan advance di muka. Jumlahnya bisa ratus-ratus juta untuk ben sekelas Jamrud, misalnya. Masa sih Jamrud mau dikasih Rp 50 juta?

Dari angka-angka tersebut, Anda paham kenapa bisnis musik mutlak dilakukan oleh mereka yang punya dana besar, berotak dagang, berhati bisnis. Modal lain: bertelinga seni.

Di masa krisis ini, tidak mudah daftar kriteria seperti itu dipenuhi para produser rekaman. Dana besar, otak dagang, dan hati bisnis, bisa rusak seketika begitu datang situasi tidak menentu akibat rupiah yang sempoyongan. Saya bisa mengerti kalau dari seratusan perusahaan rekaman lokal yang ada, hanya sekitar 20 saja yang dikabarkan masih bisa wara-wiri di jagat industri musik. Sisa terbesarnya, sebagian menunggu cuaca baik pasar, sebagian menunggu datangnya artis debutan, sebagian lagi gulung tikar dan banting setir ke usaha lain.

Dalam perjudian nasib semacam itu, Aquarius beruntung punya grup-grup tangguh. Dewa, misalnya, meski dilanda perpecahan yang berbuntut keluarnya vokalis Ari Lasso, masih bisa mendulang sukses dengan vokalis Elfonda “Once” Mekel. Albumnya, Bintang Lima, sukses terjual hingga 1,7 juta kopi, tempo hari.

Grup-grup lain yang membentengi Aquarius pun bukan recehan. Potret, debutan baru Tipe-X, Romeo, dan Pas Band sudah bisa menyejajarkan diri dengan ben-ben sekelas Sheila on 7 atau Padi. Minimal, dalam tangga lagu di televisi atau radio.

Benteng terkokoh Aquarius adalah barisan solois perempuan. Titi DJ, Agnes Monica, Reza Artamevia, dan Melly Goeslaw; semuanya tambang-tambang uang. Melly Goeslaw bahkan masih tetap penyanyi wanita teratas dalam dunia rekaman, meninggalkan Krisdayanti. Albumnya, Melly, dengan lagu andalan Jika, tempo hari terjual sampai 500 ribu kopi. Kemudian single-nya, Ada Apa dengan Cinta, terjual 600 ribu kopi. Krisdayanti sendiri hanya membukukan 400 ribu kopi lewat album Mencintaimu. “Melly masih tertinggi di Aquarius, juga tertinggi di Indonesia,” ujar Kadet.

Reza masih di bawah Kridayanti. Tapi, Keabadian, album terakhir Reza, membuat pukulan ganda. Di dalam negeri terjual sekitar 300 ribu eksemplar, di luar negeri mengail royalti. Oleh Asian Music Standard yang bermarkas di Tokyo, album tersebut diinggriskan dan diedarkan di Jepang dalam titel Amazing.

Asian dimiliki Masaki Ueda, seorang solois, aranjer, dan komposer. Sebagai solois, selain sempat berkolaborasi dengan sejumlah artis dunia mulai BB King, Natalie Cole, sampai Miles Davis, Ueda sekurang-kurangnya telah mencetak 30 album. Hand of Time, album terakhir Ueda, memuat Forever Peace, sebuah lagu terjemahan Biar Menjadi Kenangan, ciptaan Ahmad Dhani yang dipopulerkan Reza. Forever Peace dibawakan dalam komposisi duet Ueda-Reza, dan menjadi tema balap Formula 1 di Jepang dan Korea, beberapa waktu lalu.

ADA sejumlah jurus untuk bertahan di industri rekaman. Jurus pertama, menjual album musik etnik sebagaimana dilakukan Eksotika Karmawibhangga Indonesia, yang melempar lagu-lagu karya Sujiwo Tejo. Pasar ini mengandalkan fanatisme daerah. Barangkali inilah dasar utama kenapa karya-karya Manthous atau Waljinah nyaris “kagak ade matinye” di pasar musik. Begitu pula Didi Kempot, yang mendekatkan musik Cirebonan ke telinga publik luas.

“Bahkan lagu-lagu pop berbahasa daerah, seperti lagu berbahasa Sunda, Kalangkang, terjual 2 juta kopi,” tulis peneliti Krishna Sen dan David T. Hill dalam Media, Budaya dan Politik di Indonesia, mengutip “Indonesian Music Industry” Johannes Simbolon dalam Jakarta Post. Album Kalangkang sendiri dinyanyikan Nining S. Meida, penyanyi populer Jawa Barat pada awal 1990-an.

Jurus berikutnya, menyelipkan lagu andalan pada film atau sinetron. “Ada Apa dengan Cinta sama kasusnya dengan Badai Pasti Berlalu Chrisye. Tertolong film,” kata Bens Leo. Ada Apa dengan Cinta adalah single Melly Goeslaw bersama Eric, yang jadi lagu tema film dengan judul yang sama.

Masih ada contoh lain. Single Agnes Monica, Pernikahan Dini, lagu tema sinetron dengan judul sama di RCTI saban Sabtu malam, terjual sampai 250 ribu kopi. Belum lagi Krisdayanti lewat Mencintaimu, atau Rossa melalui Hati yang Terpilih; album mereka terjual dalam ratusan ribu kopi.

Percaya atau tidak, jurus nebeng ke film atau sinetron belakangan dijajaki juga oleh banyak artis dan musisi. Lihat saja film Ca-Bau-Kan. Bukankah lagu temanya, Waktu kan Menjawab, itu milik kelompok Warna. Sedangkan pada sinetron, taruhlan Jin & Jun, pemirsa yang punya kuping normal pasti bisa menebak lagu temanya, Kupersembahkan Nirwana, andalan Element.

Saya bisa menambah daftar lagi. Misalnya saja Seberapa Pantas Sheila on 7 yang merekat pada sinetron Siapa Takut Jatuh Cinta. Atau Sesuatu yang Tertunda Padi yang nyantel pada sinetron Keajaiban. Salah satu episode Zig Zag, sinetron laga, diisi penampilan kelompok keras Jamrud melalui Halo Penjahat. Pelangi Jamrud juga jadi lagu tema sinetron Pelangi di Matamu.

Kalau tertarik jurus lain, ikuti saja lanjutan cerita Bens Leo. Misalkan tentang kisah-kisah sukses para produser yang mengembangkan diri dalam indie label. Disebut demikian, lantaran mereka memproduksi sendiri, mengembangkan jaringan pasar sendiri. Kalau tidak laku, ya dikonsumsi sendiri, minimal teman sendiri.

Dapat disebut di sini kisah sukses Hadad Alwi, pelantun irama kasidahan yang biasa berduet dengan Sulis. Tahun 2000, di tengah-tengah heboh sukses album pertama Sheila on 7 yang terjual 700 ribu kopi dalam delapan bulan, Alwi melemparkan album Cinta Rasul. Lagu andalan Lil Abi wal Ummi dan Yaa Thoybah terdengar di mana-mana; di televisi, radio, dan dinyanyikan anak-anak TK Al-Quran. Majalah NewsMusik mencatat, untuk menjangkau penjualan sejuta kopi, Alwi hanya membutuhkan tiga bulan, yang kebetulan melintasi bulan Ramadhan. Berapa jumlahnya di puncak edar? “Mungkin sekitar 1,2 juta kopi. Ini luar biasa,” kata Bens Leo.

Bila ingin kasus lain, bisa ditengok Slank; tahun 1991, kelompok ini memulai debut rekaman di bawah label Program Q, dengan beking distribusi Virgo Ramayana Record. Album perdana Suit He He terjual 300-an ribu kopi. Album kedua dan ketiga pun tidak beranjak dari angka tersebut. Sejak album keempat, Slank memutuskan bergerilya lewat indie label. Hasilnya, album Slank selalu melampaui angka rekaman sebelumnya.

“Yang lain nggak berani seperti itu. Mereka tak pernah di bawah 400 ribu. Mereka punya publik sendiri,” kata Leo. “Di Indonesia, Slank satu-satunya yang dalam setahun bisa melepaskan dua album.” Maksud Leo adalah kurun waktu yang dijalani album Virus (medio 2001) dan album Roadshow Slank (Maret 2002). Penjualan album tertinggi Slank berlangsung pada 2000 ketika melempar Balikkin yang terjual sampai 1,5 juta kopi.

Slank, demikian pula Hadad Alwi, seperti hendak mengulang teriakan Jonathan Schaech, pemeran karakter James Mattingly II, gitaris The Wonders, dalam film musikal That Thing You Do: “Jangan percaya label!”

Terilhami sukses mereka atau tidak, indie label mengalami perkembangan luar biasa dalam lima tahun terakhir ini, terutama dalam poros Jakarta-Bandung-Surabaya. “Di Bandung saja,” kata Eko, pemusik hardcore kelompok Holocaust, “jumlahnya bisa mencapai 30-an.” Dalam skup nasional, tentu lebih banyak lagi.

Pengibar bendera indie label—dari Death Vomit sampai Sadist Compilation, dari Indonesian Corpsegrinder sampai Universal Harmony, atau dari Sawung Jabo sampai Shaggy Dog—kebanyakan pemusik-pemusik bawah tanah. “Major label nggak suka musik kayak kita. Dianggapnya musik kita ini akan merusak kuping orang. Padahal… iya seratus persen,” kata Eko ngakak.

“Bagaimana kalau dibajak?”

“Malah seneng. Musik kita beredar luas,” kata Eko asal-asalan.

“Indie label paling rentan pembajakan memang,” ujar Bens Leo. “Tapi jangankan indie, major label pun pasti kerepotan kalau berurusan dengan ini.”

Di tempat lain, Kadet dari Aquarius mengiyakan, Yohanes Teja dari EMI Indonesia membenarkan, dan Patty Meggie Andryet dari BMG Indonesia menganggap para pembajak sebagai musuh bersama. “Kami tidak mempunyai pesaing terkuat. Karena di Indonesia sendiri antarperusahaan rekaman, kami saling mendukung. Kalau pun ada pesaing, yah paling2x sipembajak2x itu,” katanya dalam email kepada saya.

“Duit mereka kenceng,” ungkap Jan N. Djuhana.

Seorang pembajak, demikian Djuhana, bisa menjual sejuta kopi sehari. Dengan keuntungan per kopi Rp 100 saja, mereka bisa meraup Rp 100 juta sehari atau Rp 3 miliar sebulan. “Bahkan ada yang bisa mencapai sepuluh miliar sebulan. Gila nggak,” alis Djuhana terangkat dengan kening sedikit berkerut. “Pembajak bisa ngedarin Dewa, Sheila, Padi, Jamrud, dalam satu tangan sekaligus. Omzetnya bisa tiga kali lipat kita.”

SONY Music Entertainment Indonesia berkantor di sebuah gedung berlantai empat, di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tak ada muka menyeramkan di sana. Di belakang resepsionis, tiga pesawat televisi yang disusun secara vertikal melulu menyiarkan paket acara MTV dalam volume rendah.

Tepat di depan resepsionis, lukisan besar karya Irawan Karseno menghiasi dinding. Di sebelah kirinya, berderet sejumlah penghargaan musik, baik gold maupun platinum. Replika anugerah multiplatum buat soundtrack film Titanic itu terlihat menempati posisi sentrum, dikitari platinum buat Padi dan Sheila on 7 serta gold buat /rif.

Selang beberapa menit, seorang pria berkumis tipis masuk. Ia berjalan menuju lift, dan menekan-nekan tombol di sana. Sebelum pintu benar-benar terbuka, tergesa-gesa ia masuk peturasan eksekutif di sebelah kanan kapsul tangga berjalan itu, yang berjarak hanya dua-tiga langkah. Ia Jan Nurdjaja Djuhana, orang yang hendak saya temui.

Lagu Jump Around dari House of Pain memenuhi ruangan ketika datang kesempatan saya untuk naik ke lantai tiga, tempat Djuhana berkantor. Seorang petugas satuan pengamanan menghampiri saya dan bertanya dengan nada santun, “Bapak sudah tahu ruangan Pak Jan?” Saya menggelengkan kepala dan menerima jasanya untuk mengantar.

Kantor Djuhana hanya beberapa langkah dari pintu lift. Stereo set, pesawat televisi, tumpukan kaset dan CD, patung perempuan telanjang dari kayu karya Wayan Winten dari Ubud, Bali, mengisi ruangan. Di sini juga terpajang sejumlah penghargaan musik.

Seumumnya kantor eksekutif, ruangan itu bersih dan wangi. Djuhana menyambut saya dengan ramah, dan menawarkan minum. Sejenak kami berbasa-basi sebelum masuk ke inti masalah yang hendak saya tanyakan.

Djuhana, kini 54 tahun, bukan sosok baru dalam jagat musik Indonesia. Jauh sebelum menempati posisi strategis sebagai direktur senior artis dan repertoar di lingkungan PT Sony Music Entertainment Indonesia, namanya telah berkibar sejak dua dasawarsa silam.

Persentuhan intens dengan musik dimulainya sejak duduk di bangku sekolah menengah ketika ia membangun kelompok musik Navano. Tiada yang layak dicatat, selain pernikahan Djuhana dengan Janawati, vokalis kelompok itu.

Hari-hari Djuhana berikutnya lebih tercurah untuk membantu ayahnya jualan kaset dan piringan hitam di tokonya, di kawasan Glodok, Jakarta. Seraya berjualan, pria yang sempat studi teknik elektro di Universitas Kristen Djakarta itu juga memproduksi kaset rekaman sendiri. Amatiran.

Industri rekaman sesungguhnya dijalaninya sejak 1976, segera setelah dirinya merapat ke Star Cemerlang. Tidak sampai setahun, kaki Djuhana berada di Perina Group. Ia membawahi Saturn Record. Tapi, perusahaan ini tidak mampu bertahan lama karena kurang modal. Apa boleh buat, pada 1983, Saturn Record terpaksa dilebur ke dalam Team Record bersama Perina Top dan Pramsbors Casseta.

Mula-mula ia berkonsentrasi pada kegiatan menyeleksi lagu-lagu Barat. Namun, setelah lagu-lagu Barat dikenai aturan lisensi, Djuhana langsung menajamkan daun telinganya untuk mencari artis-artis lokal yang pantas diorbitkan. Pada 1988, ia menduetkan Yana Yulio dan Lita Zein dalam sebuah single buat soundtrack film Catatan si Boy. Lagu Emosi Jiwa meluncur di pasaran dan langsung jadi hit.

Sukses masih mengiringi Djuhana tahun berikutnya tatkala dipercaya menangani rekaman “10 Bintang Nusantara”. Dari sini, lahir Kla Project yang menghasilkan BASF Award pada 1990. Kemudian Dewa 19 yang meledak sejak album pertama mereka, Kangen. Elfa Singers pun lahir dari ketajaman kuping Djuhana.

Tahun 1993, Team Record limbung dan hancur. Dunia rekaman ia tinggalkan. Seperti membalik waktu, Djuhana kembali mengurusi toko kaset. Tak lagi di Glodok, tapi di Pasaraya Blok M, Jakarta Selatan. Outlet-nya, Team Music Center, dibeli Djuhana dari Team Record.

Meski sudah tidak bekerja di perusahaan rekaman, langkah Djuhana tetap dikuntit sejumlah musisi. Di antara mereka tak sedikit yang menyodorkan demo rekaman lagu. Ia sering tak sampai hati menelantarkannya. Beberapa yang dianggap bagus, taruhlah kelompok Bayou, diantarkan Djuhana ke Aquarius Record, atau kelompok Gigi diserahkan ke Union Artis.

Tahun 1995, Sony Music mengibarkan bendera di Indonesia. Tapi, perburuan terhadap artis-artis lokal baru dimulai pada 1997 menyusul masuknya Djuhana. Dia memulainya dengan /rif, kemudian Sheila on 7. Musik mereka tidak hanya terdengar di dalam negeri, tetapi juga bergaung sampai ke Malaysia. Kelompok /rif bahkan ikut menggarap soundtrack film Spiderman, mengikuti jejak Padi yang memasukkan Work to Heaven ke dalam kompilasi lagu World Cup 2002, berdampingan dengan Boom Anastacia itu.

Meski Djuhana menerapkan standar tinggi dalam rekrutmen artis baru, sejatinya ia bukan orang yang cepat nyinyir dengan grup-grup debutan, sekalipun mereka datang tanpa nama. “Saya denger dulu musik mereka, liat bagaimana mereka main, liat sambutan buat mereka.”

Kalau masih tetap ragu? Djuhana biasanya melakukan tes pasar melalui Indie Ten, album kompilasi yang terkenal dari Sony Music Indonesia. Padi, Wong, atau Cokelat lahir dari pola ini.

“Itu mungkin jadi bukti kalau kami lebih suka create artis baru,” telunjuk Best Producer of the Year 1999 versi Anugerah Musik Indonesia itu terarah ke sertifikat The Super Achievement, yang ditaruh di dinding kanan tak jauh dari Pianissimo, sebuah karya fotografi dari James B. Wood. Penghargaan tersebut diberikan 10 negara di Asia dalam pertemuan terakhir mereka di Thailand, pada 2000. Sony Music Indonesia memperolehnya karena dianggap sukses mengembangkan talenta-talenta baru.

Dari 20 artis yang ada, hanya lima di antaranya muka lama. Saya tidak meragukan Sony Music, demikian juga label-label internasional lain, untuk terus mengerahkan segenap enerjinya guna mendapatkan sumber daya terbaik dari hulu sampai hilir. Ya artis andal, ya manajer profesional. Esok lusa, kalau begitu, apalagi yang tersisa buat label-label lokal? *

by:Agus Sopian