JULI 2001 adalah bulan yang paling menguras emosi warga Nahdatul Ulama. Pemimpin mereka, Presiden Abdurrahman Wahid, jadi bulan-bulanan media. Praktis tiada hari tanpa hadirnya laporan dan ulasan media yang memojokkan Wahid.

Saat itu suasana sendu menggelayut di Jalan Haji Ramli 20-A, Menteng Dalam, Jakarta. Di sini berkantor Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, sebuah lembaga riset yang dekat dengan Nahdatul Ulama. Gedung itu terasa gerah oleh rasa sedih, kalut, dan risau, campur aduk dalam benak para penghuninya: anak-anak muda Nahdatul Ulama, yang secara ideologis dekat dengan Wahid, yang juga dikenal sebagai cendekiawan Muslim terkemuka.

Membaca suratkabar boleh jadi hal yang paling menjengkelkan mereka. “Media terlihat sekali by design mau menjatuhkan Gus Dur,” kata Rumadi, mewakili teman-temannya.

Mereka jengkel karena media menebarkan opini negatif tentang Wahid dan Nahdatul Ulama, bukan hanya lewat berita, namun juga lewat polling. Media getol menyelenggarakan telepolling —polling lewat telepon. Para presenter maupun komentator televisi mengutip-ngutip berbagai polling itu untuk menegaskan kesimpulan bahwa pemerintahan Wahid sudah kehilangan kepercayaan masyarakat.

“Ini yang bagi kami keterlaluan. Padahal masyarakat yang mana? Apa mereka juga menjaring suara warga NU yang masih mendukung Gus Dur?” kata Khamami Zada. “Walaupun pahit, kami sebenarnya rela jika Gus Dur akhirnya harus lengser. Tapi mbok ya caranya yang fair. Apa artinya polling-polling di televisi itu, kok mereka tiba-tiba mengklaimnya sebagai pendapat masyarakat? Berapa banyak masyarakat kita yang memiliki telepon? Polling itu hanya akal-akalannya orang yang mau menjatuhkan anti Gus Dur,” tambah Zuhairi Misrawi.

Meski emosional, kekecewaan anak-anak muda Nahdatul Ulama itu sesungguhnya dapat dipahami. Jika mau jujur, polling yang diselenggarakan banyak media Indonesia, terutama saat-saat menjelang kejatuhan Wahid pada Juli 2001, memang mengandung banyak kelemahan, termasuk kelemahan yang sangat mendasar.

Polling adalah teknik penelitian untuk mengukur pendapat umum. Sekedar contoh adalah bagaimana polling melihat persepsi masyarakat tentang pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Sebelum dilakukan polling, yang ada hanyalah pendapat-pendapat pribadi tentang kinerja pemerintahan Megawati. Dengan mengajukan pertanyaan lewat kuisioner atau angket, orang dapat mengumpulkan pendapat-pendapat pribadi itu untuk kemudian menampilkannya sebagai ekspresi pendapat umum.

Bentuk ekspresi pendapat umum sebenarnya bermacam-macam. Sebelum polling lahir, peradaban manusia mengenal berbagai teknik ekspresi pendapat umum: orasi, cetakan, kerumunan, petisi, ruang diskusi, coffe house, gerakan revolusi, pemogokan, pemilihan umum, straw poll (pemungutan suara tak resmi), suratkabar modern, dan lain-lain.

Inovasi terpenting dalam polling adalah penggunaan prinsip-prinsip ilmiah dalam metode penelitian sosial. Polling menerapkan prinsip probabilitas untuk penarikan sampel. Dengan prinsip ini, pengukuran pendapat dapat dilakukan dengan hanya melibatkan sedikit orang. Meski tanpa melibatkan semua anggota populasi, hasil polling dapat digeneralisir sebagai representasi suara mayoritas. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode yang ketat dan baku (biasa disebut teknik sampling), sehingga tiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih atau tak dipilih jadi responden.

Sampling probabilitas adalah prinsip terpenting dalam polling. Namun prinsip inilah titik lemah utama polling media massa Indonesia, khususnya media televisi dan media online.

Prinsip probalilitas mengharuskan sampel polling dipilih secara acak dengan menggunakan beberapa varian teknik random sampling. Responden harus bersikap pasif. Ia dipilih, dan bukannya mengajukan diri. Konsekuensinya, dibutuhkan fungsi pewawancara (interviewer) untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada responden. Proses ini, lazimnya membutuhkan waktu relatif lama.

Namun, apa yang terjadi di televisi Indonesia? Sebuah polling dapat dilakukan tak lebih dari setengah jam. Dalam hitungan menit, setelah pertanyaan dibacakan, bisa terhimpun ribuan jawaban responden. Bagaimana ini bisa terjadi? Jawabnya sederhana. Televisi Indonesia tak melakukan proses sampling. Responden tak dipilih secara acak dan selektif. Semua orang dapat jadi responden dan bebas mengirim jawaban lewat nomor telepon yang disediakan.

Sebagai contoh, polling Metro TV yang diselenggarakan tiap hari dari Senin hingga Jumat. Metro TV bekerja sama dengan Asiatel, sebuah perusahaan jasa yang dikenal dengan nama fasility provider. Metro TV hanya menentukan topik polling saja. Teknis pengumpulan pendapat dilakukan Asiatel.

Asiatel mempunyai perangkat yang disebut interactive fasility provider. Perangkat ini berfungsi merekam jawaban-jawaban yang masuk ke nomor telepon yang disediakan Metro TV. Namun perangkat ini tak dapat memberikan pertanyaan kepada responden. Asiatel menggunakan sistem komunikasi yang disebut E1 Trunk. Sistem ini memungkinkan satu saluran telepon menerima 30 penelpon sekaligus dalam waktu yang bersamaan.

“Untuk polling Metro TV, Asiatel menyediakan enam hingga tujuh E1-Trunk. E1-Trunk ini menggunakan prinsip one call one vote untuk menghindari penelponan dua kali dari nomor yang sama atau rapid call,” kata Novianto dari Asiatel Jakarta kepada saya. Asiatel bekerja sama dengan PT Telkom Tbk. dengan sistem bagi hasil. Metro TV sebagai pengguna membayar uang sewa kepada Asiatel.

Dengan demikian, dapat dipahami jika dalam waktu 30 menit, polling Metro TV dapat menjaring ribuan penelepon. Jika rata-rata satu responden membutuhkan satu menit untuk menjawab pertanyaan, dengan enam E1-Trunk, Metro TV dapat menjaring 5.600 jawaban selama setengah jam.

Apakah hasil polling macam ini dapat dipertanggungjawabkan? Apakah dapat diklaim sebagai gambaran opini masyakarat?

Norman Bradburn, direktor National Opinion Research Center, menggunakan istilah Self-Selected Listener Oriented Public Opinion (SLOP) untuk merujuk pada jenis polling di mana sampel tak dipilih secara ketat, bahkan anggota masyarakat sendiri yang memilih dirinya sebagai sampel. Bradburn adalah direktur National Opinion Research Center (NORC), sebuah organisasi riset nasional di Amerika yang berpusat di University of Chicago.

Bradburn menganggap polling semacam ini sebagai “polling palsu.” Hasilnya seakan-akan mencerminkan pendapat publik, padahal tidak. Dengan menyertakan jumlah sampel yang besar, seolah-olah otomatis menggambarkan opini masyarakat. “Polling jenis ini tidak mempunyai nilai apa-apa kecuali sekedar memenuhi rasa ingin tahu saja” kata Bradburn seperti dikutip Sheldon R. Gawiser dan G. Evans Witt dalam buku A Journalist Guide to Public Opinion Polls, yang terbit 1995.

Yanti Sugarda dari Polling Center, sebuah lembaga riset swasta yang menangani polling Metro TV, menyebut “polling palsu” itu dengan nama teledata. Sugarda menerangkan teledata sebagai teknik pengumpulan pendapat melalui telepon yang tak menggunakan prinsip probabilitas sampling. “Teledata tidak bisa untuk mengukur opini masyarakat. Kecuali kalau ada data-data pendukung. Selain itu, dalam penyajiannya, harus dijelaskan keterbatasan-keterbatasannya, misalnya soal tiadanya proses sampling, keterbatasan representasi dan lain-lain” kata Yanti Sugarda.

Enceng Ibrahim Nadj, wakil direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), sebuah lembaga penelitian nirlaba. “Yang membahayakan dari polling semacam itu adalah sangat mungkin terjadi mobilisasi orang. Karena pollling mempertanyakan kinerja pemerintahan Megawati misalnya, bisa saja terjadi mobilisasi pendukung Megawati untuk memberikan suaranya. Di sinilah pentingnya sampling acak,” kata Enceng.

Namun apa boleh buat? Polling dengan sampling nonprobabilitas inilah yang jadi trend media Indonesia. Paling tidak harian Media Indonesia, Koran Tempo, Jawa Pos, atau media online detik.com dan satunet.com menggunakan polling jenis ini. Mereka kebanyakan menggunakan medium internet untuk mengumpulkan pendapat. Peserta polling tinggal mengklik jawaban yang disediakan pada situs Web masing-masing media.

Bagaimana menghindari klik dua kali oleh peserta yang sama? “Kami mempunyai sistem untuk menghindari datangnya jawaban dari satu komputer yang sama,” kata Heru Prasetyo dari Media Indonesia. Uniknya, polling online Media Indonesia seperti sudah punya fans sendiri. “Dari sisi usia, umur, pendidikan dan lokasi, praktis tidak ada yang berubah pada profil responden polling kami,” tambah Prasetyo.

Eksperimen unik dilakukan SCTV. Sejak pertengahan November 2001, SCTV menyelenggarakan dua jenis polling sekaligus. Kedua macam polling itu, satu dengan teknik probabilitas dan satunya tanpa probabilitas, dilaksanakan dua lembaga riset swasta yang berbeda. “Beberapa kali coba dibandingkan, hasilnya tak jauh berbeda. Namun dibutuhkan waktu lebih lama untuk melihat perbandingan yang sebenarnya,” kata Iskandar Siahaan dari SCTV.

Harian Kompas dan majalah Tempo adalah media yang menggunakan sampling probalibilitas dalam pollingnya. Polling majalah Tempo ditangani oleh Insight, sebuah lembaga riset swasta. “Kita menentukan tema dan membikin kuisionernya. Sedangkan pelaksana lapangannya Insight. Satu polling praktis membutuhkan waktu dua minggu,” ujar Arif Zulkilfi dari Tempo.

Namun, ada yang unik dari polling Tempo. Insight menggabungkan teknik wawancara langsung dan wawancara melalui telepon. Persoalannya apakah data dari dua teknik wawancara yang berbeda ini dapat diperlakukan secara sama?

“Insight saya kira telah melakukan sampling dengan benar. Namun inkonsistensi dalam penggabungan hasil dua teknik wawancara itu patut dipersoalkan. Hasil wawancara langsung dan wawancara telepon harusnya diperlakukan secara berbeda,” kata Enceng Sobirin.

SEBUAH polling di Amerika pernah menanyakan pada responden, “Apakah menurut Anda kita membutuhkan hukum untuk mengatur batas jumlah pajak yang harus dibayar sebagai cara menghentikan penarikan pajak tiap hari yang menguras kantong Anda?”

Hasilnya, 90 persen responden menjawab “ya.” Jawaban ini patut dicurigai.Bisa jadi, jawaban itu muncul bukan semata-mata karena responden memang mendukung adanya pembatasan pajak, tapi karena pertanyaannya bias. “Dengan pemakaian kata seperti ‘menguras kantong Anda’ peneliti mengarahkan responden untuk menjawab ‘ya,’” kata Tom W. Smith sebagaimana dikutip Eriyanto dalam bukunya Metodologi Polling, Memberdayakan Suara Rakyat.

Pertanyaan adalah aspek penting dalam polling. Kesalahan merumuskan pertanyaan dapat berdampak sangat serius. Jawaban yang muncul mungkin bukan gambaran sikap responden yang sesungguhnya, namun lebih merupakan jawaban dari pertanyaan yang bias dan menggiring responden ke pilihan tertentu. “Responden sebenarnya tidak sedang berbohong dengan jawabannya. Perbedaan jawaban muncul semata karena teknik dan pertanyaan yang dipakai berbeda,” kata Eriyanto.

Ambil contoh, polling majalah Tempo edisi 5 Agustus 2001. Pertanyaan utama dalam polling ini, “Bagaimana pendapat Anda terhadap opini yang mengatakan bahwa pembubaran MPR oleh Presiden merupakan tindakan makar?” Setuju atau tidak? Responden yang menjawab setuju 81,8 persen, yang menjawab tidak setuju 18,2 persen.

Pertanyaan Tempo itu bukan pertanyaan yang baik, karena bernada menghakimi obyek dan tak memberikan alternatif yang seimbang. Di samping “opini” yang melihat tindakan presiden membubarkan MPR itu sebagai tindakan makar, ada juga opini yang menganggapnya sebagai tindakan yang konstitusional. Opini kedua ini terabaikan dalam pertanyaan Tempo. Tak mengherankan jika responden tergiring pada satu jawaban. Jawaban yang beda bakal muncul bila pertanyaannya dibuat lebih berimbang.

Kesalahan serupa juga sering muncul dalam polling Metro TV dan Media Indonesia. Polling Media Indonesia 21 Juli 2001 misalnya, menyapa pembaca dengan pertanyaan, “Menurut Anda, apakah dekrit untuk membubarkan DPR dapat dikategorikan makar karena melanggar UUD 1945?” Polling Metro TV 17 Juli 2001 mengajukan pertanyaan, “Setujuhkah Anda, apabila dekrit yang dikeluarkan Presiden (Wahid) disebut sebagai inkonstitusional?” Dua pertanyaan ini menyudutkan Wahid dan mengarahkan responden untuk memberi penilaian negatif kepadanya. Dengan rumusan pertanyaan itu, mereka yang anti-Wahid akan lebih terdorong memberi jawaban daripada pihak yang pro-Wahid. Mobilisasi responden, seperti yang dikhawatirkan Enceng Sobirin, bisa terjadi lewat pertanyaan-pertanyaan bias.

Di sisi lain, banyak ditemukan pertanyaan-pertanyaan polling yang tidak jelas. Metro TV pada 8 November 2001 mengajukan pertanyaan, “Menurut Anda, jika kurang dari 51% pada pemilu tahap I siapa yang berhak memilih presiden di tahap II?”

Secara gramatikal, pertanyaan itu sulit dipahami.

Polling Media Indonesia 1 Oktober 2001 mengajukan pertanyaan, “Percayakah Anda terhadap kebenaran isi buku sejarah G-30-S-PKI?”

Secara logika, pertanyaan ini bisa menimbulkan multiinterpretasi. Ia tak secara spesifik menjelaskan buku sejarah mana yang dimaksud serta kebenaran isi mana yang dipersoalkan.

Kejanggalan lain tampak pada pertanyaan polling Media Indonesia 8 Oktober 2001. “Apakah UU No. 1 tahun 1995 ayat 4 dan 5 merupakan bukti baru (Novum) yang kuat untuk membebaskan Tommy?”

Pertanyaan ini hanya relevan untuk mereka yang memahami aspek-aspek hukum kasus hukum Hutomo Mandala Putra, putra bungsu mantan diktator Soeharto, yang jadi buronan polisi. Sebagian besar warganegara Indonesia tak tahu apa bunyi dua pasal itu.

Pemahaman tentang pertanyaan polling yang benar sangat penting bagi para penyelenggara polling. Pertanyaan polling harus menggambarkan konteks persoalan, spesifik, mudah dipahami, dan relevan. Masyarakat juga perlu memahami segi-segi pertanyaan polling ini. Sebab rekayasa sebuah polling untuk kepentingan politik atau bisnis tertentu, bisa dilakukan melalui rumusan pertanyaan yang bias.

“Pengumpulan pendapat umum, bagaimana pun mudah dimanipulasi demi kepentingan politik tertentu. Pembagian proporsi antara orang yang setuju dan tidak setuju terhadap suatu hal, contohnya, bisa merupakan produk rekayasa peneliti dalam menyusun bentuk pertanyaan yang diajukan kepada responden, cara mengajukan pertanyaan,” kata Dedy N Hidayat dari Universitas Pajajaran Bandung dalam makalah berjudul “Polling Pendapat Publik oleh Media Massa” –disampaikan pada diskusi polling harian Kompas 12 November 1996.

PESOALAN mendasar dari sebuah polling adalah sejauh mana ia dapat menggambarkan pendapat publik? Sebuah polling media harus dinilai berdasarkan derajat kebebasan media itu dalam memberitakan peristiwa, derajat persamaan akses ke media dari berbagai kelompok politik, serta konteks sosial, politik, dan budaya ketika suatu isu muncul ke permukaan.

“Validitas suatu pendapat umum sebagai sumber legitimasi suatu realitas sosial, atau pun sebagai input dan feedback bagi kebijakan umum, ditentukan oleh sejauh mana proses pembentukannya berlangsung dalam suatu ruang hampa di mana tersedia cukup keleluasaan dan kesetaraan akses bagi kelompok-kelompok terlibat untuk menyajikan pendapat mereka masing-masing,” tambah Dedy Hidayat

Hal yang perlu digarisbawahi dalam hal ini, hampir seluruh polling media Indonesia belakangan ini dilakukan melalui telepon dan internet. Seberapa banyak penduduk Indonesia yang punya pesawat telepon apalagi internet? Jika teknologi untuk menjangkau polling hanya dimiliki oleh sebagian kecil warganegara, maka otomatis suatu polling hanya menggambarkan opini publik yang terbatas pula.

Yang dibutuhkan pada titik ini adalah kejujuran media untuk memberikan informasi tentang polling yang mereka selenggarakan. Agar semua pihak bisa membaca hasil polling dengan benar dan tak berlebihan, media harus secara terbuka dan jujur membeberkan beberapa aspek metodologis polling tersebut.

Warganegara sering secara keliru menggunakan hasil polling media sebagai acuan untuk berpendapat. Padahal warganegara ini tak tahu benar mana polling yang sahih, mana polling main-main. Dampaknya bisa jelek sekali. Negara ini digerakkan berdasarkan keputusan yang keliru.

Pollster terkenal, Peter D. Hart pernah mengatakan, seorang peneliti dapat membuat hasil polling seperti yang diinginkannya. Dengan sampel tertentu, bentuk pertanyaan tertentu, teknik wawancara dan penafsiran hasil tertentu, hasil polling dapat dibuat sebagaimana yang diinginkan.

“Kalau Anda tidak setuju dengan suatu kebijakan dan Anda ingin mendapat dukungan lewat polling sederhana saja. Buatlah kuisioner sedemikian rupa, sebarkan kepada responden yang tidak setuju, dan dengan data itu Anda dapat mengatakan bahwa masyarakat menolak suatu kebijakan. Kalau Anda ingin mencalonkan seseorang jadi ketua partai juga mudah, sebarkan ke beberapa orang yang kita anggap akan mendukung tokoh politik tertentu,” kata Hart, seperti dikutip Ann E. Weis dalam bukunya Polls and Surveys: A Look At Public Opinion Research, diterbitkan oleh penerbit Franklin Watts, New York tahun 1979.

Apa yang perlu diinformasikan para penyelenggara polling kepada masyarakat ramai? Mungkin kode etik yang dirumuskan American Association for Public Opinion Research dapat dijadikan acuan. Asosiasi ini menghendaki agar pemaparan hasil polling menyertakan informasi vital paling tidak delapan hal:

• Identitas sponsor dan penyelenggara polling

• Rumusan pertanyaan yang diajukan, sekaligus penjelasan untuk pewawancara dan responden yang mungkin berakibat pada jawaban responden

• Populasi dan kerangka sampel yang dipakai untuk mengidentifikasi populasi

• Prosedur pengambilan sampel yang memberikan informasi yang jelas bagaimana metode pemilihan responden

• Besar sampel yang dipakai

• Kepresisian dari temuan polling, jika ada informasi tentang estimasi sampling error

• Informasi tentang apakah hasil didasarkan pada sebagian dari sampel ataukah sampel secara keseluruhan

• Metode, lokasi dan waktu pengumpulan data.

Keterbukaan untuk menjelaskan aspek-aspek polling inilah yang kurang tampak pada polling media Indonesia. Keterbatasan ruang, seharusnya tak bisa dijadikan alasan.

Dalam presentasi pollingnya, Media Indonesia hanya menyebutkan, “Jajak pendapat dilakukan melalui Media Indonesia Online (www.mediaindo.co.id) yang berlangsung tanggal … hingga …, diikuti … responden.” Tak ada penjelasan tentang metode penarikan sampel, identitas dan asal responden.

Metro TV, televisi swasta yang satu kelompok dengan Media Indonesia, setali tiga uang. Polling Metro TV hanya disertasi penjelasan, “Polling berlangsung pada tanggal … dari pukul … sampai …WIB. Total responden …, penelepon dari Jakarta … %, luar Jakarta …%.”

Kompas, majalah Tempo dan Koran Tempo cukup terbuka menjelaskan spesifikasi pollingnya. Polling Koran Tempo ditampilkan dengan deskripsi, “Jajak pendapat ini tidak berpretensi untuk bersifat ilmiah karena hanya merupakan cerminan dari … pengunjung situs Tempo Interaktif.”

Majalah Tempo lebih berpanjang lebar lagi. Pada edisi 5 Agustus 2001 dijelaskan, “Jajak pendapat ini dilakukan oleh majalah Tempo dengan Insight. Pengumpulan pendapat dilakukan terhadap 516 responden di lima wilayah DKI, pada 23-26 Juli 20001. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen. Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak bertingkat (multistages random sampling) dengan unit kelurahan, RT dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan wawancara melalui telepon.”

PERSOALAN lain yang tak kalah penting adalah bagaimana hasil polling dimaknai. Telah dijelaskan, kelemahan dalam penggunaan sampling nonprobabilitas dan teknik wawancara melalui telepon menyebabkan hasil polling mediasulit digeneralisasi sebagai suara publik. Awak media sering mengklaim polling mereka sebagai cermin pendapat masyarakat, atau setidak-tidaknya common sense warganegara Indonesia tentang berbagai isu.

Sebagai contoh, dalam polling majalah Tempo 14 Mei 2000, 51 persen responden dilaporkan tak setuju sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat, rencananya pada Agustus 2000, guna mencopot Wahid sebagai presiden, dan 49 persen setuju. Tempo menerjemahkannya dalam subjudul, “Sebagian besar responden menyatakan Gus Dur tidak perlu dicopot pada sidang MPR Agustus mendatang.”

Dengan sampling error lima persen, bisakah kesimpulan itu dibenarkan?

Sampling error adalah tingkat kesalahan yang ditolerir dari nilai aktual sebuah polling. Kalau kemungkinan salah lima persen, sedang hasilnya 51 lawan 49, berarti polling itu tak bicara banyak. Sampel jelas berbeda dengan populasi. Konsekuensinya, hasil polling harus dilihat sebagai hasil perkiraan, bukan hasil pasti. Nilai aktual polling Tempo seharusnya dibaca pada interval 46 persen-56 persen atau 44 persen-54 persen. Dengan interval ini, ada kemungkinan antara jawaban yang setuju dan yang tidak setuju nilainya berhimpitan atau bahkan sama. Maka, akan lebih tepat jika hasil polling majalah Tempo itu diterjemahkan sebagai fifty-fifty.

Kesalahan majalah Tempo yang lain adalah mengidentifikasi hasil pollingnya dengan pendapat publik. Polling Tempo 6 Agustus 2000 ditampilkan dengan judul “Publik Belum Puas, Gus!” Sedang polling Tempo 20 Mei 2001 menyatakan, “Publik menilai aksi preman sudah amat menganggu ….” Istilah “publik” di sini adalah bentuk generalisasi yang semestinya dihindari. Bandingkan dengan penggunaan istilah “responden” pada contoh berikut, “Menurut Responden TEMPO, becak tak perlu dienyahkan. Kendaraan itu hanya perlu ditertibkan.” –Tempo 9 September 2001.

Saat mewawancarai Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono pada program “Metro Hari Ini” 24 Juli 2001, presenter Rahman Andi Mangussara menyatakan, “Suatu hari di Metro TV diadakan polling tentang calon wapres, nama Bapak menduduki ranking paling tinggi. Itu artinya banyak masyarakat mempunyai harapan terhadap Bapak.” Rahman, atau siapa pun yang membuatkan pertanyaan itu, tampaknya belum mengerti persoalan polling.

Rizal Mallarangeng, peneliti dari Center for Strategic and International Studies, yang terkadang menulis pidato Presiden Megawati Sukarnoputri, dan kini juga jadi presenter Metro TV, juga melakukan kesalahan. Suatu saat Mallarangeng mengatakan, “Berdasarkan polling yang dilakukan Metro TV selama tiga bulan ini, mayoritas responden, yakni 73,34 persen menilai positip kinerja pemerintahan Megawati. Paling tidak ini menunjukkan common sense masyarakat tentang pemerintahan Megawati.” Mallarangeng mengatakan kalimat yang memuji-muji bosnya itu pada acara “Indonesia Recovery” 15 Oktober 2001.

Apa pendapat Mallarangeng tentang hal ini? “Jika benar saya ngomong begitu, jelas ini sebuah kesalahan. Mungkin waktu itu saya larut dalam suasana diskusi ya. Pada prinsipnya sih, saya sepakat hasil polling televisi kita, tidak hanya Metro TV tentunya, tidak dapat digeneralisir sebagai suara publik,” katanya.

Mallarangeng jujur mengakui kesalahannya. Bagaimana dengan nama-nama ini?

Riswanda Imawan, dosen ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada dalam Media Indonesia, Rabu 25 Juli 2001 menyatakan, “Lagi pula salah satu polling yang dilakukan Metro TV di bulan Juni 2001 menunjukkan sekitar 77 persen responden menyatakan tidak keberatan TNI mengambil tindakan tegas demi mengembalikan rasa aman di kalangan masyarakat.”

Umar Juoro dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dalam Media Indonesia, 4 Nopember 2001 mengatakan, “Saya lihat selama 100 hari Kabinet Gotong Royong belum ada perkembangannya. Hasil polling menyatakan masyarakat masih belum puas.”

Kecerobohan Mallarangeng, Riswanda, maupun Umar Juoro, dalam mengutip telepolling, adalah khas kebiasaan orang-orang yang sering disebut media sebagai “pengamat.” “Saya heran, mengapa para pengamat lulusan Amerika begitu sembrono menafsirkan polling media. Mereka mestinya paham betul mana polling yang beneran, mana yang main-main? Sebab ketika studi di Amerika, polling itu menjadi santapan sehari-hari mereka,” kata Enceng Sobirin dari LP3ES.

Enceng punya pengalaman menarik. Awal 1990-an, LP3ES sering mengadakan polling tentang isu-isu kontroversial. Polling tersebut dilakukan dengan metodologi yang ketat. Tapi para “pakar” dan “pengamat” sering mencercanya dengan kritik metodologis. Nah, yang terjadi belakangan ini sungguh bertolak belakang. Orang-orang yang menjadi narasumber media begitu tak peduli dengan berbagai keterbatasan metodologis telepolling media. Mereka bahkan mengutip hasil telepolling itu untuk menunjukkan opini publik tertentu.

“Mungkin polling yang dulu itu dikritik karena tidak menguntungkan kepentingan kalangan intelektual tertentu. Dan kalau telepolling yang belakangan ini dikutip-kutip, dibenar-benarkan, mungkin karena hasilnya sesuai dengan misi politik mereka,” kata Enceng.

Enceng memperkirakan, orang akan makin cenderung memaknai polling sesuai dengan kepentingan masing-masing. Fenomena ini menurutnya masih akan terus berkembang. “Bahkan saya berani memprediksi, tak lama lagi, orang mau dibayar untuk mengadakan polling yang jelas-jelas menyesatkan masyarakat, bahkan menyesatkan orang yang membiayai polling itu sendiri,” tambah Enceng.

Mungkin dia mengacu pada persiapan pemilihan umum pada 2004. Enceng Sobirin secara kultural dekat dengan Nahdlatul Ulama. Saya kira dia juga termasuk orang yang kecewa karena Abdurrahman Wahid digeser dari kursi kepresidenan.

AFAN Gaffar adalah dosen senior ilmu politik Universitas Gadjah Mada. “Bagi saya itu gombal,” kata Afan Gaffar pada sebuah seminar 9 April 1996. Dosen ini gusar terhadap suatu hasil polling Kompas. Intinya, polling itu menyimpulkan 50 persen responden setuju dengan pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu, sebuah lembaga pemantau pemilihan umum bentukan swasta, sebagai tambahan terhadap komite sejenis bentukan parlemen.

Sehari sesudah menyatakan kegusarannya, Kompas menampilkan berita berjudul, “Afan Gaffar Nilai ‘Polling Kompas’ Soal KIPP ‘Gombal.’”

Seminggu kemudian, dalam suatu diskusi di kampusnya sendiri, Afan Gaffar “diadili” kawan-kawannya sendiri karena kritik tersebut. “Saya tak habis pikir, mengapa Saudara Afan Gaffar sampai berkomentar begitu. Siapa pun tahu, Kompas itu punya lembaga polling yang sangat prestisius. Kompas adalah pelopor penyelenggaraan polling yang serius dan valid di Indonesia,” kata Arief Budiman, dosen Universitas Melbourne, yang kebetulan ada dalam diskusi itu. Entah berapa banyak lagi suara-suara pembelaan buat Kompas. Pendek kata, simpati justru berdatangan buat Kompas.

Apa yang dikatakan Budiman, memang tak berlebihan. Polling Kompas ditangani oleh Pusat Penelitian Kompas yang merupakan bagian dari divisi Penelitian dan Pengembangan Kompas. Pusat Penelitian Kompas saat ini mempunyai 13 staft polling. Mereka disaring melalui rekrutmen yang ketat, termasuk masa enam bulan pendidikan metodologi polling. Mereka kini menempati sebuah ruangan yang cukup luas, dilengkapi 21 sambungan telepon dan 15 perangkat komputer, di lantai empat kantor harian Kompas di bilangan Palmerah Selatan, Jakarta.

Pusat Penelitian Kompas mempunyai daftar 300 pewawancara yang siap panggil setiap saat. Satu kali telepolling, dibutuhkan 22 hingga 25 tenaga pewawancara, yang dipilih secara bergantian sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Pemilihan pewawancara didasarkan pada latar belakang pendidikan, kualitas, pengalaman, dan prestasi selama menjadi pewawancara. “Semua data-data ini terdokumentasi dengan baik,” kata Bestian Nainggolan, manajer Pusat Penelitian Kompas.

Pusat Penelitian Kompas khusus menangani polling isu-isu sosial-politik. Sedangkan riset-riset untuk kepentingan internal Kompas ditangani Pusat Penelitian Bisnis Kompas. Polling secara rutin diselengarakan seminggu sekali, belum termasuk jika harus mengadakan polling untuk kebutuhan tertentu. Responden polling dipilih secara acak dari delapan kota besar Indonesia dengan jumlah 800 hingga 1.000 orang. Untuk isu-isu yang berkaitan dengan institusi negara, responden diperluas lagi jadi 13 kota dengan jumlah 1.600 hingga 2.000 orang.

“Sekali telepolling menghabiskan biaya sekitar 10-14 juta rupiah. Enampuluh persen di antaranya, habis untuk kebutuhan telepon. Untuk honor interviewer, biasanya kita ngasih Rp 250 ribu per-orang, di luar uang transpor dan makan. Biaya itu belum untuk gaji karyawan tetap. Jika menggunakan metode wawancara langsung, biayanya jauh lebih besar lagi,” kata Nainggolan.

Dapat dibayangkan, betapa mahalnya menyelenggarakan polling yang serius. Dibutuhkan kekuatan ekonomi sebesar Kompas untuk membangun institusi polling yang kredibel dan mampu melaksanakannya secara lumintu. Jika demikian, mengapa banyak media yang mencoba ikut-ikutan menyelenggarakan polling?

Yanti Sugarda dari Metro TV melihat fenomena itu tak lepas dari kehidupan politik yang sudah semakin terbuka. Publik sudah semakin berani mengungkapkan pendapatnya. Keterbukaan ini hendak ditanggapi media dengan merancang program-program yang bersifat interaktif. Salah satunya adalah polling.

“Polling adalah cara media mendekatkan diri pada khalayaknya. Nilai tambahnya, karena polling dimensi ilmiah yang kental. Angka-angka statistik dalam polling, memberi landasan ilmiah bagi media untuk menilai sesuatu hal,” kata Sugarda.

Rizal Mallarangeng juga melihat kegairahan media mengadakan polling sebagai perkembangan positip. Dia optimis, suatu saat media dapat menyelenggarakan polling yang lebih representatif dan dapat dipertanggungjawakan secara metodologis. “Dengan berbagai keterbatasannya, anggap saja polling media yang ada saat ini, sebagai proses pembelajaran. Mau bagaimana lagi? Untuk membikin polling yang beneran saat ini ya susah. Sangat mahal di biaya dan waktu,” ujar Mallarangeng.

Enceng Sobirin mengamatinya dari sisi lain. Krisis ekonomi yang memuncak pada 1997-1998, menyebabkan order riset bisnis menurun secara signifikan. Hal ini mendorong lembaga-lembaga riset swasta berpaling pada riset-riset ekonomi-politik. Di samping terus mencoba mempertahankan diri pada jalur riset bisnis, mereka mencoba mengadu peruntungan di jalur riset sosial-politik, terutama sekali polling.

“Persoalannya kemudian adalah soal kecermatan. Polling harus dilakukan dengan cara yang baku dan standard. Sampling harus benar-benar dilakukan secara acak, dan diganti-ganti untuk setiap pemutaran polling. Pada market survey, bisa saja digunakan quota sampling atau fix sampling. Nah, kebiasaan-kebiasaan market survey itu masih terbawa-bawa ketika mereka melakukan polling sosial-politik. Ini yang membuat polling-polling tersebut sulit dipertanggungjawabkan secara metodologis,” tandas Enceng.

Semakin banyak pihak yang mencoba melakukan polling, mungkin semakin baik. Sebab esensi sebuah polling adalah munculnya penghargaan terhadap suara publik. Namun sikap kritis –bahkan kalau perlu curiga— terhadap hasil polling tetap menjadi keharusan. Pengumpulan pendapat umum bagaimana pun mudah dimanipulasi demi kepentingan politik tertentu. Seperti dikatakan Dedy N Hidayat, berbagai keterbatasan metodologi dan teknik, bisa pula tanpa disengaja, membawa pembaca atau pemirsa ke kesimpulan yang menyesatkan. Apalagi bila disertai dengan jumlah sampel yang besar serta prosedur-prosedur statistik canggih yang mengesankan suatu tingkat keilmiahan yang tinggi.*

by:Agus Sudibyo