Yang Muda Yang Berprestasi

Andreas Harsono

Mon, 4 March 2002

MAJALAH ini 25 Januari lalu mengumumkan nama sembilan wartawan muda berprestasi. Mereka dinilai punya integritas, independensi, daya tembus, scoop, serta memiliki dedikasi dan keberanian dalam memberitakan kebenaran.

MAJALAH ini 25 Januari lalu mengumumkan nama sembilan wartawan muda berprestasi. Mereka dinilai punya integritas, independensi, daya tembus, scoop, serta memiliki dedikasi dan keberanian dalam memberitakan kebenaran.

Ide pemilihan ini bermula dari dua hal. Pertama, sudah jadi rahasia umum, bahwa mutu jurnalisme Indonesia pasca-Orde Baru, di mana kebebasan dijamin, ternyata tak bagus-bagus amat. Ada banyak kritik terhadap wartawan. Dari masalah wartawan menerima suap (amplop) hingga berita yang akurasinya berantakan. Dari gaji rendah, sensasionalisme, hingga kaburnya iklan dan berita.

Aisyah Amini, anggota parlemen dari Partai Persatuan Pembangunan, menyebut pers Indonesia “kebablasan.” Presiden Megawati Soekarnoputri mengatakan berita media sering tak proporsional, kurang dalam, dan kurang check and recheck. Banyak juga suratkabar yang mementingkan kepentingan bisnis di atas kepentingan publik. Pendek kata, amburadul, bikin kepala pening.

Tapi majalah ini percaya bahwa tak semua wartawan brengsek. Masih banyak wartawan, bahkan lebih banyak, yang bekerja dengan jujur, tak menerima suap, dan benar-benar mau mengabdi pada jurnalisme bermutu. Mungkin mereka ini pernah bikin salah-salah kecil tapi mereka pun percaya, bahwa lewat jurnalisme, mereka bisa ikut membantu masyarakat Indonesia memahami kompleksitas transisi demokrasi sekarang ini sekaligus membantu warga-warga negara ini mengambil keputusan-keputusan yang baik bagi mereka, terutama bagi anak-anak dan cucu-cucunya. Kami merasa perlu mengedepankan contoh agar banyak orang tahu masih banyak wartawan yang baik.

Dorongan kedua muncul Juli tahun lalu ketika majalah ini menurunkan satu esai foto karya fotografer Waluja Jati. Ia memotret beberapa wartawan senior yang usianya lebih dari 70 tahun. Di antaranya S.K. Trimurti, Soebagijo Ilham Notodidjojo, Herawati Diah, dan Karim D.P. Foto-foto itu, kata beberapa orang, membangkitkan rasa ingin tahu, “Apa sih yang sekarang dikerjakan wartawan-wartawan tua itu?”

Banyak orang tahu S.K. Trimurti bolak-balik masuk penjara Belanda karena kekritisannya sebagai wartawan. Soebagijo I.N., mantan wartawan Antara, dikenal sebagai pencatat sejarah pers Indonesia. Herawati Diah dikenal sebagai pendiri harian Indonesian Observer. Karim D.P. nasibnya agak jelek. Dia dianggap membawa Persatuan Wartawan Indonesia berdekatan dengan komunisme. Karim dipenjara oleh rezim Orde Baru.

Ketika foto-foto itu beredar, ada komentar masuk ke redaksi majalah ini. Kalau PANTAU memotret wartawan-wartawan senior mengapa bukan yang muda juga? Saya pribadi menjawab tak mudah mencari wartawan muda berprestasi karena track record mereka masih pendek. Bila salah pilih nanti malah jadi beban. Dalam masyarakat yang tak tulus –meminjam istilah Jakob Oetama dari Kelompok Kompas Gramedia—selalu ada resiko upaya macam ini jadi bahan cibiran. Tapi ada seorang redaktur senior bilang, mencari wartawan yang berprestasi bakal membantu para wartawan lain tahu, terutama mereka yang muda, “Oh wartawan yang baik itu dinilainya begini.”

Maka dimulailah proses pencarian itu. Majalah ini mengumumkan keinginannya mencari 10 wartawan muda berbakat. Umurnya harus di bawah 30 tahun. Satu demi satu nominasi masuk. Total ada 60 nominasi, dari Aceh hingga Papua, walau mayoritas dari Jakarta.

Kami minta bantuan Riza Primadi, direktur pemberitaan Trans TV, juga Hani Hasyim, produser Intermatrix yang memproduksi program wicara Perspektif, Maria Hartiningsih (Kompas), Oscar Motuloh (Galeri Foto Jurnalistik Antara), Jim Barry Aditya (Matra), Santoso (kantor berita radio 68H), Toriq Hadad (Tempo), dan Uni Z. Lubis (TV7).

Mereka dipilih karena reputasinya sudah diketahui. Mereka juga orang media yang tiap hari masih terlibat dengan reportase dan penyuntingan. Pendek kata, mereka kenal perkembangan jurnalisme Indonesia dan tahu cukup banyak reporter muda. Mereka dengan senang hati jadi juri pemilihan ini. Tapi mereka melakukannya dalam kapasitas pribadi. Pencantuman nama lembaga di mana mereka bekerja hanya untuk keperluan identifikasi.

Dalam proses seleksi mereka juga tak melakukan penjurian terhadap peserta di mana si juri punya kemungkinan conflict of interest. Toriq Hadad, misalnya, tak melakukan penjurian terhadap kandidat-kandidat dari majalah Tempo di mana Hadad jadi redaktur eksekutif. Hadad juga tak menilai seorang kandidat karena mereka tergolong saudara jauh. Jim Barry Aditya belakangan berhalangan hadir dalam rapat-rapat juri.

PARA juri bekerja dari Agustus 2001 hingga Januari 2002. Rapat diadakan empat kali. Mula-mula menentukan kriteria. Masing-masing juri menentukan apa yang harus dinilai. Bagaimana mengetahui seorang wartawan bebas amplop? Bagaimana membedakan foto dan reportase? Banyak brainstorming tentang prosedur dan mekanisme.

Toriq Hadad secara khusus menekankan kemampuan berbahasa Inggris. Berdasarkan pengalaman pribadinya, wartawan yang tak mampu berbahasa Inggris, karirnya lebih terbatas ketimbang yang bisa bicara, apalagi menulis, dalam bahasa Inggris. Kriteria ini dibicarakan juri lain yang khawatir kategori ini bakal menguntungkan kandidat yang kerja di media asing. Kompromi dicapai dengan memberi bobot menengah buat bahasa Inggris.

Maria Hartiningsih khawatir karena para kandidat masih muda. Mereka yang terpilih bisa cepat puas padahal karir mereka masih pendek. Hartiningsih minta para pemenang diingatkan agar mereka mawas diri. Karir mereka masih panjang. Mereka hendaknya tetap bekerja keras, jujur, rendah hati, penuh disiplin, dan meningkatkan mutu kerja jurnalisme mereka.

Soal istilah bakat jadi isu tersendiri. Ada dua kubu pemikiran. Kubu pertama berpendapat kemampuan menulis adalah bakat. Jurnalisme senantiasa terkait dengan tulis-menulis. Bahkan mereka yang bekerja di media elektronik sekali pun dituntut kemampuan menulis bila ingin berkembang kemampuannya. Kubu kedua berpendapat bakat perlu tapi ketrampilan reportase, dan juga menulis, bisa dilatih. Soalnya, di Indonesia sistem pendidikan kurang membantu pengembangan ketrampilan menulis ini. Berbeda dengan negara-negara maju di mana sejak sekolah dasar, murid-murid dituntut baca satu buku tiap malam dan berlatih menulis. Buntutnya, kemampuan jurnalisme di Indonesia, lagi-lagi jatuh pada bakat atau talenta.

Debat ini semua bermuara pada kategori-kategori penjurian. Rapat menghasilkan sembilan kriteria dengan skor masing-masing antara 51 dan 100. Masing-masing kategori punya bobot sendiri: bersih dari suap (bobotnya 10), independensi (10), dedikasi dan keberanian (10), etika (8), kemampuan berbahasa Inggris (7), kemampuan reportase (8), akurasi (8), adanya scoop (10), dan adanya penghargaan dari pihak lain (6).

Selama periode menunggu, kami mengumumkan nominasi kandidat secara terbuka, sesuai permintaan juri. Ada sekitar 20 komentar masuk. Ada yang bilang kandidat anu punya masalah suap. Tapi ada juga yang memuji-muji. Repotnya, ada satu kandidat dikomentari empat orang. Dua negatif, dua positif. Pada kandidat juga bekerja buat bermacam-macam media. Ada yang terkenal karena bekerja di televisi dan hampir tiap minggu muncul di layar kaca. Ada juga yang datang dari provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa.

Awal Januari para juri membawa pulang berbagai karya kandidat, termasuk video dan audio. Tapi materi terbanyak media cetak dengan total tebal laporan sekitar 15 cm. Toriq Hadad mengambil inisiatif mengirim email kepada sebagian besar kandidat, yang kurang dikenalnya, untuk tahu persepsi mereka tentang integritas seorang wartawan.

image Salah satu pertanyaannya: Saya seorang pemimpin redaksi sebuah koran kecil yang hampir bangkrut. Di saat sulit ini saya harus membuat aturan untuk mengatur amplop …. Kalau saya buat aturan yang keras, sementara gaji wartawan koran ini kecil, sangat mungkin wartawan saya akan pergi. Atau mencuri-curi waktu cari obyekan. Atau bermalas-malas dan bekerja pas banderol saja. Mutu koran pasti turun, koran ini akan lebih cepat tutup. Jika Anda ada di posisi saya, bagaimana aturan amplop itu harus saya rumuskan?

Jawaban yang diterima Hadad macam-macam. Rata-rata mereka tak memberikan toleransi buat amplop sesulit apa pun keadaan perusahaannya. Tapi ada juga yang toleran walau jumlahnya tak banyak. Namun ada kesalahan teknis soal deadline jawaban. Toriq Hadad seharusnya mengetik 15 Januari tapi salah 15 Februari. Seorang kandidat sempat protes salah ketik ini. Hadad minta maaf.

Rapat final diadakan pada 21 Januari. Semua juri hadir kecuali Santoso dari radio 68H karena anaknya harus periksa dokter. Santoso menyerahkan skor-skor hasil penjuriannya pada panitia sehingga kami tinggal memasukkan angka-angka.

Ketika nama-nama mulai bermunculan –lewat perhitungan dengan dua metode yang makan waktu hingga dua jam lebih—Maria Hartiningsih dan Hani Hasyim termasuk juri yang paling gembira. Tiga dari empat nama pertama yang muncul semuanya perempuan. Uni Lubis dari TV7 menemukan bahwa nama-nama nominasi pemenang tiap juri ternyata hampir sama.

Oscar Motuloh sangat berperan dalam penjurian foto. Harap maklum. Motuloh lewat Galeri Foto Jurnalistik Antara sangat berperan mendidik pewarta foto di negeri ini. Toriq Hadad juga punya kontribusi karena tiap minggu ia memilih foto-foto majalah Tempo.

Riza Primadi, yang banyak berperan dalam menilai kandidat televisi dan radio, didaulat rekan-rekannya jadi ketua juri. Primadi memang lama bekerja buat radio BBC London, SCTV, dan Trans TV.

Setelah melihat angka-angka bermunculan, Primadi usul pemenangnya jadi sembilan saja. Peserta nomor 10 dan seterusnya, jarak angkanya agak jauh. Sembilan wartawan muda ini enam laki-laki dan tiga perempuan. Tiga dari media cetak, dua fotografer, dua media internet, dan dua televisi. Seorang di antaranya master dari Columbia Graduate School of Journalism, sekolah jurnalisme yang prestisius di New York, di mana sekitar 50 tahun lalu, Herawati Diah dari Indonesian Observer bersekolah. Hanya satu berasal dari luar Jakarta.

Para juri sempat bicara menaikkan seorang kandidat dari sebuah kota non-Jakarta jadi pemenang. Maklum kebanyakan dari Jakarta. Mereka ingin pemenangnya tak didominasi wartawan Jakarta. Tapi jika hal itu dilakukan, juri harus mengkatrol angkanya melewati orang lain. Keputusannya, tetap sembilan orang.

Sembilan orang itu adalah Agus Susanto dari harian Kompas, Budi Setiyono dari Suara Merdeka Group (Semarang), Edy Budiyarso (Tempo), Gita Widya Laksmini (Tempo), Kemal Jufri (biro foto Imaji), Rahmat Yunianto (Metro TV), Suwarjono (Detik.com), Wendi Ruky (Trans TV) dan Yenni Kwok (CNN.com). ”Ini contoh satu generasi wartawan muda Indonesia, yang profesional, beberapa malah lulusan perguruan tinggi luar negeri, fasih bukan saja bahasa Inggris tapi juga menguasai bahasa asing lain,” kata Riza Primadi.

Agus Susanto

Fotografer harian Kompas dikenal karena estetika dalam karya-karyanya. Agus bukan sekedar memotret berita tapi menempatkannya ibarat lukisan. Agus memenangkan beberapa lomba foto serta ikut beberapa pameran sejak mulai berkecimpung di dunia fotografi sebagai mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Agus pernah meraih Honorable Mention 5th Annual Great Picture Contest 1998 oleh Popular Photography kategori jurnalisme dan juara pertama lomba foto peringatan hari Waisak 1999 yang diadakan di Candi Mendut, Jawa Tengah. Agus menonjol karena kemampuannya dalam merekam kehidupan orang kecil, kehidupan sehari-hati. Salah satu fotonya yang menyentuh bertutur tentang kehidupan penderita kusta di sebuah rumah sakit Kediri.

Budi Setiyono

Wartawan tabloid Cempaka Minggu Ini dan Suara Merdeka Cybernews di Semarang. Buset, nama panggilannya, gemar menyimak teks-teks sejarah Indonesia. Ia alumnus jurusan sejarah Universitas Diponegoro, Semarang, kampus yang mengenalkannya pada jurnalisme. Ia ikut mengelola majalah mahasiswa Prasasti dan majalah Hayamwuruk. Buset juga pernah menulis laporan panjang buat PANTAU “Bukan Rosihan Biasa” (sejarah suratkabar Pedoman) dan “Ngak Ngik Ngok” (tentang grup musik Koes Bersaudara di masa tuanya).

Edy Budiyarso

Reporter majalah Tempo dan menulis buku Menentang Tirani, Aksi Mahasiswa 1977-1978 (Gramedia Widiasarana Indonesia 2000). Edy aktif di majalah mahasiswa Didaktika saat kuliah sejarah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Ia merintis karir kewartawanannya di Tempo Interaktif pada 1997 dan pindah ke majalah Tempo pada 1998. Liputannya yang menarik antara lain tentang kisruh dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia gara-gara pembelian kapal patroli, pengerukan pasir oleh kapal-kapal di perairan Riau, dan kasus penangkapan Tommy Suharto.

Gita Widya Laksmini

Reporter mengambang (floating reporter) majalah Tempo, karirnya mencuat ketika Gita dikirim Tempo ke Manila, meliput pergantian kekuasaan dari Presiden Joseph Estrada ke Wakil Presiden Gloria Macapagal-Arroyo pada Februari 2001. Gita mendapatkan wawancara dengan Macapagal-Arroyo dan Kardinal Jaime Sin. Gita juga terlibat dalam pembuatan film dokumenter independen Wiji Thukul Penyair dari Kampung Kalangan bersama Yayasan Lontar Jakarta. Gita lulus dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan kini menyiapkan diri studi lanjut di Inggris, setelah terpilih mendapatkan Chevening Award dari kedutaan besar Inggris buat meraih master.

Kemal Jufri

Fotografer dari biro foto Imaji yang sering melayani pesanan foto dari penerbitan asing macam The New York Times, Far Eastern Economic Review, Time, dan sebagainya. Jufri mendapat penghargaan Picture of the Year dari majalah US News & the World, salah satu majalah terkemuka di Amerika Serikat, pada 2000 karena fotonya tentang bentrokan mahasiswa Partai Rakyat Demokratik dengan polisi anti-huru-hara di Jakarta. Jufri mulai belajar fotografi ketika lulus sekolah menengah dari Hawaii. Dia belajar di Galeri Foto Jurnalistik Antara dan sempat magang di kantor berita Antara. Dia sempat bekerja di Agence France Presse sebelum memutuskan jadi fotografer freelance. Pada Maret 2001, ia ikut mendirikan Imaji di Jakarta.

Rahmat Yunianto

Saat mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, ia belajar jurnalisme. Ia sempat aktif mengurus majalah mahasiswa Opini di kampusnya. Pada 1997, ia pindah ke Jakarta dan diterima bekerja sebagai wartawan majalah Tiras. Majalah ini tak bertahan

lama. Ia pun melamar ke majalah Tajuk, menjadi wartawan untuk media yang melibatkannya dalam berbagai liputan penting masa itu, seperti kasus utang Merpati Nusantara Airlines yang dikaitkan dengan mantan presiden BJ Habibie, dan operasi sindikat uang palsu. Sekarang ia reporter untuk program Metro Realitas di stasiun televisi Metro TV.

Suwarjono

Reporter liputan khusus Detik.com ini juga dikenal sebagai aktivis Aliansi Jurnalis Independen. Pada 1992, ia memenangkan juara pertama karya tulis lingkungan hidup tingkat nasional. Sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada, tapi pada 1996, Jono meninggalkan bangku kuliah dan pindah ke Jakarta, bekerja sebagai wartawan. Liputannya yang menonjol soal dugaan Ginandjar Kartasasmita terlibat korupsi maupun penjualan secara murah rumah-rumah mewah milik Pertamina di kawasan Kuningan kepada para bekas pejabat tinggi negara.

Wendi Ruky

Produser Trans TV ini memegang dua gelar master dari Columbia University, satu dari Graduate School of Journalism, dan satunya dari School of International and Public Affairs. Ruky juga sempat magang di televisi CNN biro New York. Perempuan yang sedikit bicara bahasa Prancis ini juga pernah bekerja sebagai asisten produser CBS program Newspath, New York, koresponden kantor berita Voice of America New York dan wartawan majalah Tempo Jakarta di mana ia sempat bikin laporan dari Havana (Kuba). Kini Ruky selain produser acara Santapan Pagi stasiun Trans TV juga mengajar reportase dan penulisan D-3 Universitas Indonesia.

Yenni Kwok

Mantan koresponden CNN.com di Jakarta dan Hongkong. Kwok yang menyelesaikan kuliah jurnalismenya di University of Illinois, Amerika Serikat, pada 1995. Kwok sempat bekerja sebagai wartawan paruh waktu di suratkabar The Jakarta Post dan majalah Asiaweek. Pada Januari 2000, Kwok pindah dari Jakarta ke Hongkong, bekerja buat Asiaweek dan lantas harian South China Morning Post. Kwok menulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris serta bicara dalam bahasa Mandarin dan dialek Cantonese. Dari Makao dia juga pernah bikin laporan buat Tempo. Salah satu penugasannya adalah mewawancarai orang-orang Indonesia keturunan Cina yang berlindung di Hongkong pasca kerusuhan Mei 1998 di Indonesia di mana banyak rumah dan bisnis mereka dihancurkan, maupun pelecehan seksual terhadap perempuan Cina. Kwok juga membuat narasi panjang tentang Pramoedya Ananta Toer, novelis terbesar Indonesia, sampai menyusuri jejak pencurian kayu di Taman Nasional Tanjung Putting, Kalimantan. Dari South China Morning Post, Kwok pindah ke CNN.com. Kini Kwok lagi berhenti kerja, hendak studi lanjut. *

kembali keatas

by: