RESMINYA, ia bernama Sarwendo. Lantaran dianggap kurang komersial dan … ngepop, ia mengubahnya jadi Arswendo. Di belakangnya, ia bubuhkan nama sang ayah. Jadilah ia Arswendo Atmowiloto. Untuk menyapa, Anda tak perlu bersusah-payah menyebut selengkap-lengkapnya. Cukup memanggil Wendo, pasti ia menoleh.

Lebih 10 tahun silam, tabloid yang dipimpinnya, Monitor, membuat semacam angket. Ekornya, publik tak cuma kaget. Tapi juga marah. Ia dituding menghina Nabi Muhammad S.A.W. Ia dihujat melukai hati kaum Muslim, warga mayoritas di Indonesia.

Kemarahan itu mereka luapkan dalam aksi-aksi unjuk rasa sepanjang akhir Oktober hingga awal November 1990. Klimaksnya, Wendo ditahan. Dari sini klimaks-klimaks lain bermunculan: organisasi wartawan tempatnya berlindung mencabut status keanggotaannya, perusahaan tempatnya bekerja mempreteli seluruh jabatannya, pengadilan tempatnya mencari selarik sinar keadilan malah menggodamnya dengan hukuman maksimal.

Jangan tanya Monitor, anak rohani kreativitas Wendo. Sebelum dirinya benar-benar masuk bui, tabloid “ser dan lher” itu sudah tewas di tangan penguasa.

Kekusutan nasib Wendo tak hanya sampai di sana. Keluarganya, yang semula hidup berkecukupan, tiba-tiba kelimpungan. Cecilia Tiara, si bungsu, terpaksa bersekolah sambil berjualan kue buatan ibunya. Separuh harta mereka ludes dipakai mengongkosi perkara Wendo. Perkara Monitor juga.

Wendo habis?

KEAHLIANNYA melukis tato menyelematkan Wendo. Tak berani menato orang, sandal jepit jadi sasaran. Dalam sehari, Wendo bisa menggambari sandal sampai berpuluh-puluh. Sandal yang mulanya cuma berharga Rp 500, bisa ia lego dengan harga Rp 2.000 – Rp 2.500 setelah ditato.

Belakangan, ia mengajarkan keahliannya pada anak-anak buahnya. “Saya punya anak buah sampai 700 orang. Saya jadi bos yang tak terlawan. Bener-bener bos dari yang bos,” kata Wendo kepada saya dengan nyengir khasnya.

Seperti bos gangster dalam kisah-kisah mafioso, hari-hari Wendo berikutnya hampir tak pernah luput dari kawalan. Minimal ada dua “letnan” Wendo yang sangat setia dan berjanji mati untuknya. “Saya nggak tahu siapa mereka sebenarnya. Saya namai mereka Charlie dan Safei,” ungkap Wendo. Charlie berasal dari Manado, Safei dari Madura.

Pernah suatu ketika Wendo berjalan-jalan menghirup angin. Charlie dan Safei tiba-tiba berlari menyalip. Orang di depan Wendo, mereka pukul bergantian. Wendo terpana. Dan setelah menguasai diri, Wendo menghardik mereka, “Ngapain kamu mukul-mukul orang. Kan dia nggak salah?”

“Dia ngalangin jalan, Bos,” Safei menjawab.

“Kamu tahu,” Wendo menyunggingkan senyum pada saya, “orang nginjek bayangan saya, bisa dipukul. Itu real.”

O ya, A.M. Fatwa dan Tony Ardhie itu, yang awalnya amat ditakuti Wendo, ternyata tak membuatnya menderita. Alih-alih menyengsarakannya, mereka malah menyambut hangat sebuah jalinan persahabatan. Wendo punya kesan, Fatwa dan Ardhie bukanlah manusia-manusia pemberang. Mereka lembut hati.

Tahu aturan main, penjara jadi ramah buat Wendo. Sipir-sipir jadi sahabatnya pula. Ruang komunikasi yang dulunya sempit, jadi serasa longgar. Wendo menggunakan ruang ini untuk mulai mengintensifkan aktivitas menulisnya, yang sempat tertunda untuk beberapa waktu lama karena larangan membabi-buta.

Ingat inspeksi, ingat sensor. Ingat sensor, Wendo jadi ingat pengalaman yang membuatnya senyum-senyum sendiri. Sudah jadi semacam memorandum of understanding, setiap menyelesaikan tulisannya, Wendo harus menyetor kepada sipir untuk disensor.

Saat sedang malas menulis, sang sipir datang lagi, “Sensor … sensor ….”

Wendo angkat tangan.

Sipir itu bilang “Mana ini lanjutannya?”

Ha … ha … ha … kembali Wendo tergelak, “Rupanya gara-gara nyensor jadi suka baca novel.”

Selama di sel, Wendo menghasilkan artikel. Jumlahnya puluhan. Belum lagi tiga naskah skenario, tujuh novel, dan beberapa cerita bersambung. Sebagian di antaranya ia kirimkan ke redaksi suratkabar seperti Kompas, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. Tentu saja dengan alamat gadungan dan identitas palsu. Untuk alamat, ia acap menggunakan “Jalan Bekasi Raya 45.”

“Sampai tahun 1995 saya belum pake nama sendiri. Saya cuma ingin membuktikan bahwa saya profesional di bidang ini,” ungkapnya. Sekadar untuk menyebut contoh, Wendo menggunakan nama Sukmo Sasmito untuk Sudesi (Sukses dengan Satu Istri), novelnya yang dimuat sebagai cerita bersambung di harian Kompas. Sedangkan untuk cerita bersambung Auk di Suara Pembaruan, Wendo memakai nama Lani Biki, kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng ia pungut sekenanya. Masih ada nama lain yang juga dipakainya. Katakanlah Said Saat atau B.M.D. Harahap.

Produktivitas tulisan Wendo yang boleh dikata luar biasa untuk ukuran narapidana, tak datang dengan sendirinya. Insipirasi dan ilhamnya menulis, antara lain datang dari pergumulannya dengan perpustakaan yang ia bangun di bloknya. “Wendo biasa kejam pada dirinya. Waktu di Monitor dulu, ia punya daftar buku yang harus dibacanya dalam sebulan,” kata Veven Sp. Wardhana, salah seorang koleganya yang sama-sama merintis Monitor.

“Siapa pun boleh membaca di situ,” kata Wendo tentang perpustakaan miliknya, yang juga memuat semacam koran dinding. “Syaratnya cuma dua. Satu, kaki harus bersih. Dua, sudah mandi.”

WENDO lahir di Harjopuran, Surakarta, pada 26 Nopember 1948. Ia anak ketiga dari enam bersaudara. Sarono adalah sulung mereka, yang di belakang hari mengubah namanya jadi Satmowi Atmowiloto. Di bawah Sarono berturut-turut Kamtinah, Wendo, Kamtari, Sarsidi, dan Kusukaningsih. Sarsidi, yang tak pernah melepaskan nama baptisnya, Gregorius, kelak ikut Wendo mengeloni Monitor.

Ayah mereka, Djoko Kamit, kemudian mengganti namanya jadi Atmo Wiloto, meninggal pada 1960 dalam usia 68 tahun atau saat Wendo duduk di bangku kelas lima sekolah dasar. Sang ayah lulusan AMS (Algemene Middelbare School), setingkat sekolah menengah atas. Menjelang hayatnya berakhir, ia bekerja di balai kota Surakarta sebagai staf bagian hukum dengan golongan pegawai II-C. Sedangkan ibu mereka, Sardjiem, meninggal pada 1965. Praktis, di usia 17 tahun Wendo jadi anak yatim-piatu.

Sejak ayahnya meninggal, mereka hidup dari uang pensiunan dan sewaan pendopo rumah yang disulap jadi Sekolah Dasar Negeri Harjopuran. Bagi mereka, sekolah itu jelas mendatangkan berkah. Wendo dan saudara-saudaranya hanya perlu beberapa langkah dari tempat tidur untuk menuntut ilmu.

Selepas sekolah dasar, Wendo remaja belajar di Sekolah Menengah Pertama Negeri IV Banjarsari dan Sekolah Menengah Negeri II Margoyudan. Kini ia harus berjalan berkilo-kilometer untuk menuntaskan pendidikannya.

Wendo hampir tak pernah mendapat uang saku untuk jajan. Tapi ia bukan tipe manusia melankolis dan terus-menerus meratapi nasib, yang makin hari makin terasa kalau ia dan saudara-saudaranya ternyata miskin. Majalah Tempo pada 1990 pernah secara dramatis mendeskripsikan kemiskinan mereka, yang untuk membeli beras saja terpaksa harus mencongkel beberapa lembar genting untuk dijual.

Di sela-sela waktu kerjanya, Wendo meluangkan waktu membaca komik dan cerita wayang. Pengarang favoritnya R.A. Kosasih dan B. Ardi Soma. Kedua-duanya komikus asal Bandung dan sangat terkenal dalam dekade 1970-an. “Mungkin kamu benar gara-gara itu daya khayal saya kuat sekali,” kata Wendo pada saya, di awal November 2001.

Daya khayal itu pula agaknya yang menuntun Wendo ke dunia tulis-menulis. Awalnya, saat duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas, tahun 1967, iseng-iseng Wendo membuat tulisan. Ia mengirimkannya ke Gelora Berdikari, suratkabar mingguan di kotanya. Ia kaget sendiri sebab tanpa dinyana tulisannya ternyata dimuat. Tak perlu menunggu berhari-hari, ia segera mendatangi kantor redaksi mengambil honor sekalian berkenalan. “Lupa berapa honornya, Rp 150 atau Rp 1.500. Tapi kira-kira cukup untuk makan tiga harilah,” kata Wendo.

Tamat sekolah menengah atas, Wendo girang betul begitu dinyatakan mendapat beasiswa ikatan dinas dari Akademi Pos dan Telekomunikasi Bandung, pada 1968. Kegirangan yang wajar, agaknya. Tidak banyak siswa yang mendapat keberuntungan seperti itu. Dari sekian sekolah menengah atas yang bertebaran di Jawa Tengah, hanya dua orang yang beruntung.

Hari-hari terakhir berangkat ke Bandung tiba. Pagi-pagi sekali Wendo keluar dari rumahnya dengan membawa tiga setel pakaian di dalam tasnya. Ia berjalan sepanjang lima kilometer dengan tujuan stasiun kereta api Solo-Balapan. Pukul 07.00 lebih Wendo sampai di sana.

Di tengah arus manusia, Wendo menunggu kereta datang dengan hati gamang. Kereta api ke Bandung biasanya berangkat dari Solo-Balapan sekitar pukul 09.00 kalau tidak ada gangguan. Ini artinya, Wendo punya banyak waktu untuk mencari wajah-wajah yang mungkin dikenalnya.

Sepanjang penantian Wendo berjalan hilir mudik. Sama sibuknya dengan kaki, lehernya tengok kanan tengok kiri.

Dari sebelah timur, pukul 09.00 lebih, lokomotif mengasapi langit. Mestinya Wendo senang sebab kota Bandung yang hendak ditaklukkannya tinggal hitungan jam. Tapi Wendo justru tambah gamang. Kegetiran merambati sekujur dirinya.

Bahkan ketika kereta api berangkat, Wendo masih berdiri di sana. Rupanya, ia tak berhasil mencari wajah-wajah yang dikenalnya. Ia tak punya duit untuk beli karcis.

Wendo putar badan. Sekali lagi ia menempuh perjalanan sepanjang lima kilometer, menyusuri rute yang dijejaknya tiga jam lalu. Kali ini ia memikul beban harapan yang baru saja hilang.

URUNG kuliah di Bandung, Wendo tidak terus-menerus menyumpahi takdirnya. Ia kembali pada kegiatan yang telah dirintisnya: menumpahkan imaji-imajinya ke dalam tulisan dan mengirimkannya ke berbagai media massa.

Sejumlah cerita pendek, baik dalam bahasa ibunya, bahasa Jawa, maupun bahasa Indonesia, ia kirimkan ke Gelora Berdikari di Surakarta dan majalah Mekarsari Yogyakarta. Jakarta pun ditembusnya. Majalah anak-anak Si Kuntjung sering memuat karya Wendo. Belakangan, Wendo bergabung dengan suratkabar mingguan Dharma Kanda terbitan Surakarta. Kegiatan jurnalistik mulai diotak-otik, menulis fiksi terus didalami.

Mengikuti jejak kakaknya, Satmowi Atmowiloto, Wendo menginjakkan kaki di Jakarta pada 1973. Di ibukota, sastrawan Julius Sijaranamual yang sudah lama menunggunya, menyambut Wendo. Ia ditempatkan sebagai wakil pemimpin redaksi Astaga, majalah humor yang didirikan Sijaranamual.

Dari Astaga yang mati muda, Wendo melangkah ke Midi, majalah remaja yang diterbitkan Kelompok Kompas Gramedia. Habis Midi, terbit Hai. Di majalah yang disebut terakhir, Wendo benar-benar mengencangkan tali sabuk dan ngebut dengan sejumlah karya-karya kreatifnya, mulai serial detektif Jawa Imung, petualangan Kiki dan Komplotannya, serta cerita silat Senopati Pamungkas. Remaja generasi 1980-an, terutama pembaca Hai, niscaya tahu buku Wendo yang sangat terkenal: Mengarang Itu Gampang.

Karya-karya itu sekaligus menunjukkan kelas Wendo sebagai wartawan-cum-pengarang produktif. Dengan jumlah lebih 200 cerita pendek, puluhan novel, sejumlah cerita bersambung, beberapa naskah drama, puluhan artikel lepas, esai, dan kolom, produktivitas Wendo jelas tak terlawan oleh siapa pun pada masanya di Indonesia.

Tak usah mendiskusikan hubungan produktivitas dengan kualitas. Wendo agaknya dengan mudah mematahkan teori yang tak jelas asal-usulnya itu. Simak saja daftar pemenang sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Sepanjang tahun 1970-an saja, Wendo tiga kali menyabet juara: 1972, 1974, dan 1975.

Tipikal tulisan Wendo biasanya ringan dan siap saji seperti fast food, renyah bagai rempeyek, dan berasal dari dunia remaja. Tulisan mengenai televisi, lain lagi. Wendo bisa saingan dengan seorang akademisi. Kalau perlu ia bermain-main dengan grafik, tabel, angka-angka. Sejarah pun memberinya tempat sebagai kritikus televisi terkemuka. Majalah mingguan Tempo pada 1990 menyebut Wendo sebagai pengamat televisi yang jeli. “Kritik-kritiknya terus mengalir, tanpa peduli ditanggapi atau tidak,” tulis Putut Trihusodo dari Tempo.

Kritik-kritik Wendo terhadap pertelevisian Indonesia, yang pada 1980-an dihegemoni sepenuhnya oleh TVRI, tersebar di berbagai media, terutama Kompas yang jadi rumah keduanya setelah Hai.

Sebagai kritikus televisi, Wendo mengatakan hampir tak pernah mematikan pesawat televisi di ruang kerjanya. Kepada awak Monitor kelak, ia sering berujar, “TV itu altarmu. Rezekimu.”

Ia telah membuktikan kata-katanya, paling tidak pada 1981.

Sekadar menyegarkan ingatan, terhitung sejak 1 April 1981, TVRI mengubah pola siarannya, termasuk membuang siaran niaga. Pada tanggal itu, terlontar janji bahwa TVRI hendak membenahi diri, mengurangi porsi berita-berita seremonial, meminimalisasi laporan aktivitas pejabat.

Wendo sangsi. Maka, mata Wendo pun ditajam-tajamkan untuk memelototi layar kaca secara intensif. Setahun.

Kesangsiannya melahirkan postulat. Demi memperkuat argumen-argumennya, Wendo mengambil video recorder. Sepanjang April 1982, puncak pengamatannya, Wendo merekam siaran berita TVRI. Hasilnya, ia presentasikan di suratkabar Kompas pada Juni, tahun yang sama. Dalam artikel yang dilengkapi tabel-tabel itu, Wendo memperlihatkan betapa masih dominannya suara pejabat. Itu pun didominasi pejabat tertentu. Tak ada bantahan, tak ada gugatan. TVRI mati angin.

Bukan sekadar menonton. Referensi Wendo tentang masalah pertelevisian banyak didapatkan selagi mengikuti The International Writing Program pada 1979, di Iowa, Amerika Serikat. Program ini—didirikan Paul Engle dan Hualing Nieh Engle pada 1967—dianggap berhasil mengentaskan ribuan penulis berbakat dari 100 negara lebih. Beberapa nama penulis dan pengarang terkenal di Indonesia seperti Taufiq Ismail, Toeti Herati Noerhadi, Nano Riantiarno, Sutardji Calzum Bahri, Ahmad Tohari, atau Putu Wijaya tercatat pernah mengikuti program tersebut.

Mungkin karena kejeliannya itulah, Wendo akhirnya diserahi tanggung jawab untuk mengurus Monitor.

Pada mulanya, Monitor berbentuk majalah. Diterbitkan oleh Direktorat Televisi Departemen Penerangan pada 1972, Monitor lebih berfungsi sebagai gardu jaga TVRI. Isinya, kalau tidak program acara, pastilah wejangan-wejangan petinggi TVRI, atau orang-orang Departemen Penerangan lainnya. Tak usah diratapi kalau majalah ini mati suri sejak 1973, setelah terbit 20-an nomor.

Pada Agustus 1980, Monitor dibangkitkan lagi di bawah bendera Yayasan Gema Tanah Air. Berkaca pada pengalaman, redaksi Monitor versi baru tak lagi diasuh oleh para pegawai negeri di lingkungan Departemen Penerangan. Tenaga-tenaga profesional dipompakan ke situ untuk menjaga konsistensi, untuk tidak sekadar asal terbit. Salah seorang di antaranya Lazuardi Ade Sage, yang ditunjuk sebagai redaktur pelaksana.

Debut manajemen baru ditandai oleh meluncurnya oplah sebanyak 25 ribu eksemplar. Tak ada catatan yang dapat menjelaskan reaksi pasar terhadap Monitor yang berharga jual Rp 500 itu. Yang hampir dapat dipastikan, sejak 1984 Monitor mulai limbung. Setahun kemudian ngos-ngosan. Ia jadi “majalah tempo.” Tempo-tempo terbit, tempo-tempo tidak. Akhirnya, lagi-lagi mati suri.

Di tangan Wendo, Monitor terbit tak lagi dalam format majalah menyerupai tipografi Life; tapi tabloid dengan ketebalan 16 halaman, berukuran 285 x 410 milimeter. Harganya dibandrol Rp 300.

Penerbit masih Yayasan Gema Tanah air, namun manajemen sepenuhnya dikendalikan oleh Gramedia. Monitor pada gilirannya jadi ruangan yang sempurna buat perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Suatu perselingkuhan antara orang-orang Departemen Penerangan yang acap jadi semacam thypoon bagi kehidupan pers dan orang-orang di Gramedia yang nyata-nyata telah memerankan dirinya sebagai tycoon dalam industri pers Indonesia.

YAYASAN Gema Tanah Air, penerbit tabloid Monitor, sekurang-kurangnya dikuasai pejabat Departemen Penerangan: Harmoko, Subrata, dan M. Sani.

Harmoko, siapa tak mengenalnya. Ia bekas wartawan yang di akhir kekuasaan rezim Orde Baru menjadi tukang stempel pemerintah dalam kapasitasnya sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Saat itu, ia menjabat Menteri Penerangan, penentu hitam-birunya pers Indonesia. Subrata—yang sebelumnya memangku jabatan pemimpin umum tatkala Monitor masih berwajah majalah—adalah direktur TVRI. Di kemudian hari, Subrata diangkat jadi direktur jenderal Pembinaan Pers dan Grafika dan menjadi sangat terkenal ke seluruh dunia karena meneken surat pembunuhan terhadap mingguan Tempo, Editor, Detik pada 1994. Lalu M. Sani, yang relatif tak dikenal dalam percaturan pers, sehari-harinya memangku jabatan direktur radio Departemen Penerangan.

Kedudukan mereka di yayasan itu, menempatkan mereka sebagai para penguasa saham Monitor. Bagian perorangan terbesar berada dalam genggaman Harmoko yang menguasai saham sampai 30 persen. Kelompok Kompas Gramedia santer disebut-sebut menguasai saham hingga mencapai 40 persen. Komposisi ini tak serta-merta mengamankan kedudukan Gramedia selaku pemegang saham mayoritas. Sebab sekiranya terjadi pertarungan zero-sum games dalam rapat umum pemegang saham, Gramedia mudah ditikam oleh gabungan penguasa 60 persen. Opsi saham Wendo sebanyak lima persen, agaknya lebih dimaksudkan untuk menjaga stabilitas Gramedia.

Ada perimbangan kekuatan jadinya. Perimbangan ini terelaborasikan dalam pohon organisasi manajemen puncak. Harmoko komisaris utama; Godfather Gramedia Jakob Oetama direktur utama; Wendo wakilnya. Secara kasat mata perimbangan pun dapat terlukis dalam distribusi kekuasaan di tingkat kepala dan leher kepemimpinan Monitor. M. Sani ditunjuk sebagai pemimpin umum menggantikan posisi Subrata. Di bawahnya, sebagai wakil pemimpin umum tercantum nama Suyanto, yang tak lain adik Subrata. Representasi Gramedia lebih ke tingkat operasional, dengan puncak kepemimpinan di bahu Arswendo sebagai pemimpin redaksi.

Kehadiran Wendo di Monitor bukannya tanpa rintangan. Bahkan intrik-intrik di sekitar pendirian Monitor agaknya lebih tertuju pada pribadi Wendo yang dianggap terlampau cepat melesat. Sampai-sampai, di belakang hari, gaya rambut Wendo menyibak kening dan ekspresinya dalam berbicara yang penuh percaya diri, diejek sebagai epigon Jakob Oetama.

“Calon putra mahkota Kompas,” ledek di satu sudut.

“Karbitan,” kata sudut lain.

Wendo cuek.

Ia baru bangkit dari kursinya ketika modal disetor tak diterimanya secara utuh. Aturan, mestinya ia menerima Rp 400 juta sebagai investasi awal, namun yang datang hanya Rp 300 juta. “Asem,” gerutunya.

Wendo kasak-kusuk cari tahu. Ia akhirnya paham juga, Rp 100 juta sengaja ditahan lantaran manajemen Gramedia tak sepenuhnya mempercayai eksistensi Wendo. Rekor kegagalan mengelola Astaga dan Midi, ditambah suara-suara sumbang saingan-saingannya di tubuh Gramedia, agaknya mendeterminasi semua itu.

Soal lain muncul. Wendo yang terlalu bersemangat dengan persiapan, menginjak pedal gas promosi sekencang-kencangnya. Tahu-tahu ia sudah menghabiskan uang sebesar Rp 56 juta. “Semua orang teriak-teriak. Mereka marahin saya,” tutur Wendo.

Apa boleh buat, nasi sudah jadi kerak. Wendo tak punya daya untuk bereaksi. Menghibur diri, ia menerima kemarahan itu sebagai suatu ekspresi semangat kolegial yang sudah mulai mengristal. Sungguh pun demikian, ada efek berantai yang mau tak mau harus dirasakan Wendo dan anak buahnya. Mereka tak bisa membeli perabotan kantor, semisal meubelair. Untunglah, kelak ada pembaca baik hati yang mau menyumbangkan meja-kursi untuk mengisi ruang tamu. “Bukan kursi yang bagus-bagus bener, tapi cukuplah untuk nyantai,” ucap Wendo.

Fasilitas yang minim ditafsirkan Wendo sebagai bekal semangat untuk memacu diri. Diberi izin menerbitkan tabloid pun sebenarnya sudah membuatnya senang. Kini ia tinggal mewujudkan mimpinya membidani lahirnya sebuah media yang tidak melulu berpihak pada topik permasalahan, tetapi juga manusia-manusia yang menukangi topik tadi. “Masyarakat Indonesia,” Wendo menuliskannya nanti dalam Telop, sebuah kolom di halaman awal Monitor, “boleh diibaratkan sebuah kampung, bukan suatu kompleks real estate, tapi juga bukan pemukiman suaka suku terasing. Di dalam sebuah kampung, kita bisa lebih jujur dan berani untuk memuji, mencaci, memberi saran.”

Singkat kata, Monitor menurut Wendo tak disetel untuk menjadi, apa yang dia sebut “pers priyayi.” Pernyataan ini, buat sebagian orang, dapat ditangkap sebagai sebuah tamparan terhadap jurnalisme ala Kompas—yang selama ini dianggap melingkar-lingkar di wilayah kepriyayian itu. Bagaimana sebetulnya jurnalisme Kompas? Kalau pandangan Jakob Oetama dapat dianggap sebagai pemberi warna dominan terhadap cetak biru jurnalisme Kompas, buku lawas Perspektif Pers Indonesia barangkali dapat menjelaskannya.

Di sana Jakob Oetama bertutur, bahwa kecenderungan eksekutif dan masyarakat Indonesia adalah melihat persoalan dari satu segi sehingga get things done, mencapai hasil, jadi prioritas. Kecenderungan ini mendesakkan dimensi cara, termasuk dimensi permasalahan dan dimensi etikanya. Media seperti Kompas, lanjut Jakob Oetama, mempunyai kewajiban untuk melengkapi kecenderungan tersebut dengan menyajikan visi, menampilkan berbagai dimensi, menyoroti dan menekankan dimensi yang terdesak ke belakang.

Yang hendak dimaksudkan Oetama, barangkali, betapa perlunya wartawan membiasakan diri melakukan verifikasi, sehingga isi liputan dapat menjelaskan duduk perkara suatu kejadian, suatu fenomena yang berkembang.

“Fakta itu harus tampil selengkap mungkin,” kata Oetama.

“Jurnalisme Kompas memang baik, tapi itu bukan satu-satunya,” Wendo berkelit di depan saya.

Wendo tak menafikan kalau jurnalisme induk semangnya berada dalam tataran kriteria yang serius. Namun, ia ketika itu minta waktu kepada para bosnya untuk membuktikan bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam masyarakat yang justru minta dilayani oleh jurnalisme di luar mainstream. “Kita ingin melayani ini,” tandas Wendo, yakin akan pandangannya.

Berangkat dari niat semacam tadi, begitu diiyakan oleh para bosnya di lingkungan Gramedia, Wendo buru-buru menyiapkan pasukan untuk dikirim ke medan peperangan baru, sebuah zona jurnalisme yang dianggap aneh kala itu.

Wendo tak memerlukan pasukan besar untuk jurnalisme yang diyakininya. Ibaratnya peleton kecil, pasukan Wendo tak sampai sepuluh orang. Mereka berasal dari Gramedia dan Monitor lama. Dari Gramedia, Wendo merangkul Veven Sp. Wardhana, Syamsudin Noer Moenadi, dan Irene Suliana. Dari Monitor lama, ia mengambil Hans Miller Banureah. Mereka mengisi jajaran redaksi. Untuk melengkapi, Wendo menerima Mayong Suryo Laksono, yang disodorkan P. Swantoro, salah seorang redaktur Kompas. Di sektor foto, hadir dua fotografer yang kelak menyangga kekuatan grafis Monitor. Mereka Gunawan Wibisono dan Atok Sugiarto.

Beberapa bulan sebelum Monitor diluncurkan perdana pada 5 Nopember 1986, Wendo dan pasukannya sudah mengambil posisi siap tempur di Jalan Lomba Layar 345, Senayan, Jakarta. Sejumlah mesin tik baru Olivetti dan Brother ditenggerkan dalam keadaan siaga 1 x 24 jam untuk melontarkan kata-kata ke hadapan publik. Tak-tik-tak-tik … Monitor sebentar lagi menggelitik.

SUATU Senin sore di awal Nopember 1986. Hari itu, orang-orang percetakan Gramedia berbaik hati mempersilakan awak Monitor ikut menyaksikan deru mesin cetak Goss Urbanite, yang mampu mencetak tabloid sebanyak 20 ribu eksemplar dalam sejam. Jabang bayi Monitor sedang dipersiapkan kelahirannya.

Seumumnya menunggu kelahiran bayi, mereka menanti dengan harap-harap cemas. Mesin meleset sedikit saja dari area cetak jadi pangkal kecerewetan. Komposisi warna, kualitas cetak, mereka perhatikan dengan seksama. Mereka ingin Monitor tampil mengesankan pada pandangan pertama. Saking ingin terlihat keren, cetakan awal Monitor dilakukan berkali-kali.

“Suasananya seru banget,” sambung Aris Tanjung.

Sebanyak 200 ribu eksemplar akhirnya tuntas dicetak. Wajah-wajah penuh suka cita mengembang di antara bentangan tabloid yang sedang disimaknya. “Nggak nyangka kita akhirnya berhasil juga bikin tabloid,” tutur Tanjung kemudian. Ia ingat, selama berbulan-bulan dirinya pontang-panting mempersiapkan dummy bersama seluruh awak Monitor. Siang, malam.

“Kita mempersiapkannya sembilan bulan,” tambah Tanjung.

“Cepat kok, cuma tiga bulan,” sanggah Wendo.

Edisi pertama Monitor tampil dengan sampul Veronika sedang mendekap gitar. Di bawah judul “Pak Haji Sedang Diuji Tuhan,” bekas istri raja dangdut Rhoma Irama itu bertutur tentang calon suami barunya, sambil menyemburkan kekesalannya pada Rhoma Irama, yang disebut-sebut telah melukai hatinya.

Hanya ada dua judul di sampul itu. Satunya lagi tulisan tentang Tatiek Maliyati, penulis serial drama Losmen TVRI, yang menuturkan resepnya jadi istri ideal. Judulnya menegangkan: “Guna-guna Tatiek.” Item lain, daftar isi yang disandingkan dengan gambar tokoh Oshin, sebuah drama asal Jepang yang konon banyak menguras air mata pemirsa televisi.

Logo Monitor didesain secara atraktif, dengan menggunakan huruf kecil dalam dominasi warna merah, kecuali huruf “t” yang dibiarkan putih—dengan bingkai hitam dan dibentuk menyerupai gagang payung. Di atas logotif, mereka mencantumkan slogannya sebagai “Mingguan Televisi, Video, Radio dan Film” dengan huruf kapital.

Tak ada surat pembaca di dalamnya. “Kejujuran setidaknya kita mulai (dari) penerbitan ini dengan polos. Tanpa surat pembaca, walaupun kami bisa mengarang dan memberikan jawaban. Walaupun kami bisa minta kepada tokoh-tokoh masyarakat yang kampiun. Kami ingin memulai sebisanya, seadanya,” begitu Wendo memberi semacam sambutan edisi pertamanya, sebagaimana tertuang dalam kolom Telop di halaman kedua Monitor.

Seperti juga tipikal tulisan Wendo, sajian Monitor terasa ringan dan akrab. Sederhana. Pendek-pendek. Gaya stakato bertebaran di hampir seluruh halaman, yang didesain rata kiri (align left) dan memberi kesempatan pada mata untuk menangkap ruang-ruang kosong. Dua halaman tengah dijadikan kavling acara televisi untuk sepekan yang diambil dari sembilan stasiun TVRI, termasuk stasiun pusat Jakarta.

Dari keseluruhan halaman, terasa betul kalau Monitor dimaksudkan sebagai media hiburan. Tapi di mana sesungguhnya letak kepioniran Monitor seperti banyak digunjingkan orang itu? Dari segi bentuk, Monitor jelas bukan yang pertama. Tabloid Bola sudah memulainya sejak 1984, setelah sebelumnya menjadi sisipan di halaman tengah Kompas. Juga Mutiara asuhan duet Subagyo—Aristides Katoppo yang mengambil bentuk tabloid sejak awal 1980-an.

Dari segi isi, Monitor pun bukan sang pemula. Jauh di masa lalu, sejumlah media hiburan, di antaranya berisi film dan musik, telah muncul meramaikan persada pers Indonesia. Dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia, wartawan Kurniawan Junaedhie mencatat, setidaknya sejak tahun 1920-an Indonesia sudah memiliki media-media semacam itu. Ia antara lain menunjuk Doenia Film dan Pertjatoeran Doenia Film.

Agak sulit memang menakar kepioniran Monitor dari penglihatan parsial. Ini karena, kepeloporan Monitor justru terletak pada gabungan bentuk dan isi. Dalam frasa Wendo, “tabloid bentuknya, tabloid pula isinya.” Di luar negeri, Veven Sp. Wardhana menambahkan, tabloid identik dengan suatu semangat jurnalistik yang mengedepankan laporan-laporan penuh sensasi. Dan Monitor berlaga di wilayah itu.

“Ada sensasi, tanpa berubah menjadi sensasional,” kata Wendo.

“Geber sekarang, konfirmasi nomor depan. Itu semangat Monitor,” Wardhana menggenapi.

Baik Wendo maupun Wardhana merasa yakin, konsep semacam ini belum pernah dilahirkan dunia pers Indonesia. Mereka percaya, apa yang mereka bikin adalah sesuatu yang genuine, datang dari kepala sendiri. Bukan jiplakan. Bukan pula hasil kerja konsultan. Santer memang disebut-sebut Monitor menggunakan jasa konsultatif Maynard Karper, pemimpin majalah Playboy edisi Belanda.

“O, nggak. Nggak. Dia datang jauh sebelum Monitor terbit. Dia memang memberikan saran pada majalah-majalah di Gramedia. Tapi Monitor dia udah nggak ikut. Saya berani mengklaim itu orisinal,” Wendo menerangkan, dengan raut mukanya serius, dengan intonasi bicara yang penuh tekanan di sana-sini. “Bahwa kita mengintip gaya Daily Mirror atau Sun, itu belakangan. Setelah kita besar.”

“Kita sampai melombakan desainnya,” kata Wardhana, di tempat berbeda, “desain Aries Tanjunglah akhirnya yang dipakai.”

“Dari mana Anda menjiplak?” saya menggoda Tanjung.

“Otak-atik sendiri. Saya membuatnya berkali-kali. Akhirnya sampai ke desain norak itu,” jawabnya. Di seberang telepon, saya mendengar tawa kecilnya

EDISI pertama Monitor sampai di tangan Jakob Oetoma. Ia hanya melihatnya sekilas. “Apa ini? Nggak ada arah,” ucapnya, sebagaimana ditirukan Wendo. Wardhana melukiskan adegannya: Oetama membanting Monitor ke meja.

Pikir Wendo, situasi tersebut bukan saat yang tepat untuk adu argumentasi. Ia kembali ke markasnya, di Kompleks Senayan itu. Dan menenggelamkan diri dalam pekerjaannya sembari menunggu datangnya kabar oplah yang terjual.

Kabar yang kemudian sampai sungguh menyesakkan dadanya: Monitor cuma laku sekitar lima persen. Artinya, kurang lebih 10 ribu eksemplar. Ini pun dijual di bawah bandrol: Rp 100.

Segera terbayang di benak Wendo cibiran orang-orang di Gramedia, terutama yang selama diketahui memendam iri padanya. Benar saja. Ungkapan Jakob Oetama ‘apa ini’ tiba-tiba jadi semacam ayat suci buat mereka yang hendak menguliti Wendo. Wendo, yang biasanya menanggapi segala sesuatu dengan lempang, berang juga. Ia merasa diperlakukan tak adil dan dijadikan bulan-bulanan cemoohan.

“Kalau kita jualan seratus, laku satu, itu nggak soal. Tapi tolong jangan dibilang laku satu padahal seratus,” pekiknya, “sekarang kalau perlu cetak lebih banyak dan tolong sampaikan ke masyarakat. Sekali lagi, sampaikan ke masyarakat. Judgement ada di masyarakat. Bukan di kita,” Wendo tidak ingat lagi kepada siapa ia melontarkan kegusarannya. “Tapi itulah yang saya katakan, dan saya ingat.”

Tak ada alasan bagi Gramedia untuk mengikuti saran Wendo menaikkan tiras. Mereka mencetak seperti jumlah sebelumnya yang 200 ribu eksemplar itu. Berbeda dengan sebelumnya, edisi kedua yang dipasangi gambar sampul Euis Darliah dalam posisi ngangkang dengan rok ditiup angin, diserap pasar sampai 30 persen atau sekitar 60 ribu eksemplar. Optimisme tiba-tiba melompat dari satu meja ke meja lainnya di ruangan redaksi.

Hari-hari berikutnya tambah menyenangkan. Telepon dari pembaca terdengar lebih sering berdering menanyakan ini-itu, termasuk menanyakan bagaimana kalau satu kupon kuis difotokopi agar bisa dipakai rame-rame. Surat-surat pun berdatangan, dan awak Monitor berebutan membukanya. Ucapan selamat terus mengalir dari pelbagai pelosok. Ada juga yang mengirimkan tumpeng sekadar ungkapan tumbuhnya kecintaan pada Monitor. “Trims sekali. Bukan hanya kebetulan sedang lapar, dan ini selalu terjadi, akan tetapi sejak pindah ke Jalan Lomba Layar dan terbit, rasa-rasanya belum pernah selamatan,” balas Wendo dalam tulisannya.

Reaksi pembaca agaknya bisa diterjemahkan sebagai reaksi pasar. Kenyataan memang begitu. Secara signifikan, tiras Monitor terus meningkat pada edisi-edisi berikutnya hingga pada edisi kelima oplah mencapai 200 ribu lebih. Tak berhenti sampai di sini. Pada minggu ketujuh, oplah mengalami ledakan hingga mencapai 280 ribu eksemplar. Ledakan ini agaknya dipicu edisi sebelumnya yang bersampul ‘panas.’

Pada edisi keenam, Monitor memang menurunkan laporan Veven Sp. Wardhana yang menguntit Lina Budiarti, salah seorang bintang tamu serial Losmen. Ia dikenal sebagai artis yang berani buka-bukaan. Budiarti dijadikan gambar sampul, dengan pose aduhai untuk ukuran waktu itu: rambut tergerai melewati bahu dengan kesan basah, dan dada berisi dalam balutan busana renang.

Edisi tersebut sekaligus jadi tonggak awal dibakukannya tipografis Monitor. “Format Monitor baru ketahuan di nomor keenam atau ketujuh,” tandas Wardhana. Dalam format baru, sejauh saya lihat, logo digeser ke pinggir kiri sehingga tidak lagi mengambil posisi sentrum. Ruang kosong di sebelah kanan dipakai untuk iklan kuping. Masih ada perubahan-perubahan lain di bagian dalam, namun saya kira yang paling pokok adalah hal tadi.

Oplah Monitor terus beringsut naik sampai edisi ke-12, dan meledak lagi di edisi ke-14 hingga hampir mencapai 500 ribu eksemplar. Ledakan ini, menurut Wendo, kemungkinan dipicu oleh edisi sebelumnya ketika Monitor menurunkan cover story artis Australia Rebecca Gilling dalam judul “Waaaauuu…!”

Laporan Gilling adalah hasil perburuan Mayong Suryo Laksono dan fotografer Atok Sugiarto. Khawatir keduluan media lain—Gilling akan datang di Jakarta hari Minggu sore, menit-menit deadline buat Monitor—Laksono dan Sugiarto bertolak ke Bali, tempat Gilling akan transit. Semula Monitor hendak mencegat di Sydney, namun mereka cemas tak bisa mendapatkan tiket pesawat. Berhasil. Di berbagai kesempatan, Gilling dapat mereka “todong.”

Lumrah publik begitu antusias ingin mendapat kepingan informasi mengenai Rebecca Gilling. Pemeran tokoh Stephanie Harper dalam Return to Eden—opera sabun asal Autralia, yang sukses di berbagai negara antara lain Indonesia, Turki, dan Polandia—ini mewakili karakter tokoh protagonis yang mengundang simpati. Mungkin ini karena penderitaan yang datang padanya begitu bertubi-tubi: kehilangan anak, dirusak wajahnya, hingga kehilangan perusahaan miliknya.

Return to Eden diproduksi sejak 1983 dalam bentuk blockbuster enam miniseri. TVRI menayangkannya setiap Rabu malam sejak 1986 atau ketika Return to Eden memasuki produksi kedua berisikan 22 episode. Monitor sendiri, sejak edisi kedua, mengangkatnya dalam satu halaman penuh, walaupun isinya lebih kepada sinopsis opera tersebut. Di edisi lainnya, sampai-sampai Monitor merasa perlu mengurai plot cerita dalam bentuk skema, sehingga pemirsa televisi dapat dengan mudah melihat hubungan antara satu karakter dengan karakter lainnya; siapa si baik, siapa si buruk.

Keseriusan menggarap tema dan kepekaan menangkap isu, tak syak lagi, itulah yang melahirkan kekuatan redaksional Monitor. Semua itu tak datang dengan sendirinya. Mereka terus membangunnya dalam rapat-rapat redaksi yang biasa digelar saban Senin, yang mereka sebut “hari mati.” Sambil sekalian melakukan evaluasi terhadap penerbitan sebelumnya, pada “hari mati” itu mereka terus berdiskusi saling memancing ide. Tak ada dominasi pendapat di sini. “Suasananya enak banget,” ujar Laksono.

Pria asal Surakarta yang belakangan menikah dengan artis Nurul Arifin itu melihat figur Wendo sebagai pemimpin yang tak suka memaksakan pendapatnya. “Cara melatih dan mendidik dia itu nggak didaktik, dogmatis. Dia lebih mengarahkan.”

Yanto Bhokek mengiyakan. “Ia teman ngobrol yang menyenangkan. Kebiasaannya, ngajak diskusi dan diskusi. Begitu setiap hari. Ilmu kita jadi bertambah terus,” kata Yanto yang mengawali kariernya di Monitor sebagai pesuruh, laden minuman. Dari “sekolah Monitor” ini ia bisa menulis, kemudian jadi stringer sampai akhirnya dipercayai memimpin biro Surabaya. Kini, ia jadi pemimpin redaksi Bintang Indonesia, tabloid hiburan juga.

Suasana lain yang terekam Yanto Bhokek adalah luasnya koridor demokrasi dalam mekanisme kerja sehari-hari. Dari Wardhana, saya tahu kalau di Monitor ada yang dinamakan satgas, kependekan satuan tugas. Seorang satgas diambil bergiliran dari lembaga dewan redaksi. “Fungsi satgas, fungsi pemred. Bisa memerintah Wendo untuk wawancara.”

AWAK Monitor tak bertekuk lutut di bawah konsep nilai berita ‘name makes news.’ Secara faktual terlihat, cerita sampul yang jadi dagangan utama Monitor kebanyakan datang dari ‘artis kelas dua’ atau paling tidak mereka yang berada di balik bayang-bayang nama besar ‘artis kelas satu.’ Sejak nomor perdana, formula ini sudah terlihat ketika Monitor memilih Veronika dan bukannya Rhoma Irama. Di edisi-edisi berikutnya, Monitor lebih suka membidik Euis Darliah ketimbang Vina Panduwinata, menguber-uber Lina Budiarti ketimbang Dewi Yul, mencandai Nena Rossier ketimbang Christine Hakim.

Kalaupun akhirnya pilihan terhadap artis kelas satu harus diambil, Monitor dijamin akan ‘memperkosa’ sang artis dengan jepretan-jepretan fotonya. Nungky Kusumastuti, umpamanya. Ia difoto dengan posisi dimasukkan ke dalam kain sarung yang digantung pada palang bambu. Hanya wajah dan kaki telanjangnya saja yang kelihatan. Kesannya, bugil. Keluarga Kusumastuti dikabarkan sempat memarahinya.

Memajang sampul artis kelas dua, tak hanya membutuhkan keuletan para fotografer untuk melobi dan menahan nafas dalam menyelesaikan tugasnya. Tapi otomatis juga perlu ketekunan para wartawan tulis untuk terus bereksperimen. Wendo dan Wardhana akhirnya sampai pada kiat baru untuk masanya, yakni membuat judul-judul asosiatif. Simak umpamanya: “Saya Pasrah. Terserah Buka Mana …” Lina Budiarti menerangkan kebiasannya berbuka-bukaan di depan kamera; “Saya Masih Doyan Laki-laki …” Joice Erna membantah isu sebagai wanita biseks; “Cuma Sekali …” Nia Zulkarnaen menjelaskan adegan cium dengan Amy Search, penyanyi asal Malaysia, dalam syuting film Isabella.

Tidak semua pembacanya senang dengan foto-foto seronok dan judul-judul macam itu. Kritikan, protes, makian bahkan datang sejak pekan-pekan pertama Monitor dilarikan ke hadapan publik. “Sebagai media umum, Monitor sebaiknya selektif pada gambarnya. Mungkin gambar Euis Darliah yang ‘ngangkang’ pada M.02 agak kurang sopan untuk ukuran Timur. Juga adegan RtE (Sarah dan Tom), saya pikir cuma pantas untuk terbitan-terbitan komersial murahan,” tulis Nana Sastrawaty, seorang pembaca dari Makassar. RtE yang dimaksud adalah Return to Eden.

Pembaca lain, Sunarto S. Gondoutomo dari Jakarta, merasa kesal dengan ulah Monitor yang bukannya mengurangi porsi ‘berita dan foto panas’ justru malah menaikkan suhu dengan sajian-sajian berikutnya. Taruhlah seperti gambar Titi Qadarsih yang memang tidak ‘ngangkang’ tapi ‘ngongkong.’ Efeknya sama saja, yang menurut si empunya surat, “memancing selera rendah.”

Terhadap suara-suara pembaca demikian, Monitor acap langsung memberi komentar pada akhir surat pembaca. Kalau perlu, Wendo menggunakan Telop Monitor untuk menjelaskan sikap tabloidnya. Menulislah Wendo suatu ketika, “Apa sebenarnya yang ingin sampaikan? Wajah yang mendayu, potret yang merangsang, gosip yang hangat? Jawabnya iya. Namun harus buru-buru diingat, bahwa semuanya kita sajikan secara pas. Euis adalah bintang segala ratu panggung, dan hanya Euis Darliah yang mampu bergaya seperti itu. Vero sedang memeluk gitar, Renny Jayusman dengan bayi lelakinya, Lenny dengan pakaian senam, adalah pas. Dan wajar. Impresi seperti itu yang ingin kita tonjolkan. Bukan sekadar mau mengobral gambar dan tulisan tentang ‘ngangkang.’ Betapa tidak menariknya kalau Chintami memakai pakaian penerjun.”

Bagaimana menghadapi kritik dari para dosen komunikasi, wartawan lain, atau pihak-pihak lain yang dianggap punya bobot intelektual berlebih? Apakah cukup dengan mengomentari surat pembaca sedang mereka tidak membuat surat pembaca? Apakah cukup mengurai penjelasan dalam Telop sedang mereka tidak membaca Monitor secara intens?

Monitor panjang akal. Taruhlah ketika menghadapi Astrid S. Susanto, pengecam pertama Monitor. Tak menunggu ledakan kemarahan berikutnya, dosen komunikasi dari Universitas Indonesia itu langsung diwawancarai awak Monitor. Metode simpel ini jitu hasilnya. Astrid S. Susanto tak terdengar menyerang Monitor lagi.

Kritik, protes, kecaman pelan-pelan mereda. Monitor terus melanjutkan perjalanannya mencari ceruk-ceruk pasar yang masih bisa dimasuki. Setahun kemudian, tiras Monitor sudah menotok angka 600 ribu eksemplar. Tiga mesin dikerahkan untuk mencetaknya. Apa komentar Jakob Oetama kini?

“Jurnalisme raw itulah yang mungkin kita perlukan sekarang,” Wendo mengutip bosnya ketika memberikan prasaran di depan insan-insan Serikat Penerbit Suratkabar pada 1987.

Raw? Ini bahasa Inggris untuk “mentah,” kan?

HANYA dalam setahun Monitor dikabarkan mencapai break event point. Kalkulasinya sederhana: titik impas bisa dicapai sekiranya Monitor dapat bertahan dengan oplah rata-rata 115 eksemplar setiap terbit dalam setahun. Nyatanya, oplah Monitor melambung jauh di atas target. Bahkan setelah harganya dinaikkan jadi Rp 500 pada 1989, oplah Monitor masih saja seperti gelombang air laut yang terkena angin barat. Pasang naik terus.

Gambaran menggilanya penjualan tiras Monitor barangkali bisa dijejak ke aktivitas setiap Selasa siang, hari ketika Monitor selesai dicetak seluruhnya. “Puluhan mobil dan motor,” begitu Wendo mengungkapkan, “siap menunggu palang pintu dibuka, dan dalam detik yang bersamaan, meluncurlah iringan bagai konvoi yang tak kalah dengan mereka yang berada di arena balap mobil. Pawai? Kampanye? Bukan. Ini kejadian rutin.”

Pemandangan yang ditangkap Wendo selanjutnya, para agen pulang dengan barang bawaan yang memenuhi kendaraan setelah berjuang rebutan jatah. “Satu sepeda motor, dengan berboncengan, bisa mengangkut 1.200 eksemplar,” ungkap Wendo lagi. Artinya, kalau disusun satu pak, jumlah sebesar itu bisa lebih tinggi dari pengendara motor sendiri.

Bisa saja Wendo cuma berbangga hati, dan ingin membuat semuanya jadi terkesan fantastis. Tapi, tunggu dulu. Simak Media Scene Indonesia edisi 1989/1990 yang dikeluarkan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia—yang bersandar pada data Survey Research Indonesia sepanjang 1985-1989.

Dari data yang ada, terlihat dengan jelas, bahwa dalam kurun waktu 1987 – 1989, Monitor terus memimpin oplah dalam kategori majalah mingguan, melampaui Bola, Tempo, Bobo, Femina, Nova, Hai, Tribun Olahraga, dan Jakarta-Jakarta. Angka kontribusinya terhadap oplah nasional dalam kategori tersebut adalah 46,9 persen (1987), 51,9 persen (1988), dan 55,4 persen (1989).

Tak ada penjelasan angka persisnya. Kalau pun ada, saya mungkin harus meragukannya. Sudah menjadi semacam rahasia umum, penerbit kadang-kadang nakal juga dalam mengumumkan oplahnya. Angka tiras dikatrol sejadi-jadinya demi gengsi, kalau bukan untuk lebih memancing masuk kalangan advertensi. Beda lagi dengan laporan ke Departemen Penerangan, hampir bisa dipastikan mereka akan berusaha memberi kesan miskin se-miskin-miskinnya biar “setoran” bisa diatur nafasnya.

Kembali ke oplah Monitor, berapa sebenarnya angka persis tiras Monitor, katakanlah tiras tertingginya? Wardhana bilang, oplah tertinggi Monitor mencapai sekitar 814 ribu eksemplar.

Saat tiras sedang pasang naik, mereka pernah suatu ketika bergurau, jika kelak mencapai satu juta eksemplar, mereka akan menggunduli rambut. Tiras sebesar ini tak pernah kesampaian dalam hitungan real. Dan penyebabnya? Sejak 26 Nopember 1989, Monitor dipecah jadi dua: Monitor (reguler) dan Monitor Minggu. Dan pada 26 September 1990, Wendo memecahnya kembali. Lahir kemudian jabang bayi baru. Monitor Anak itu. Kebijakan unbundling ini pada gilirannya memacu semacam kanibalisasi bagi bisnis Monitor reguler.

Toh kalau Monitor-Monitor itu disatukan oplahnya dalam satu paket hitungan, bisa jadi jumlahnya sudah mencapai sejuta eksemplar. Tapi ini bukan alasan bagus buat mereka untuk menggunduli rambut, agaknya.

Sejuta atau tidak, oplah Monitor tetap paling top. Ini memudahkan bagian iklan untuk terus bergerilya mengambil ceceran dari belanja iklan nasional. Trend belanja iklan, seperti ditunjukkan Media Scene Indonesia pada edisi yang sama, memperlihatkan kecenderungan yang terus meninggi dari waktu ke waktu. Bila pada 1986 belanja iklan hanya Rp 47 miliar, pada 1987 jumlahnya sudah mencapai Rp 55 miliar. Berikutnya, Rp 60 miliar pada 1988 dan Rp 72 miliar pada 1989. Dari jumlah sebesar itu, Monitor mendapatkan kue iklan sebesar Rp 1,08 miliar pada 1987. Setahun kemudian jumlahnya sudah hampir tiga kali lipat menjadi Rp 3,17 miliar dan pada 1989 melipat lagi jadi Rp 6,32 miliar. Ini menempatkan Monitor sebagai salah satu ‘big five’ dalam perolehan iklan setelah Tempo, Kartini, Femina.

Bagian iklan dan redaksi sering bertengkar gara-gara saling serobot kavling? “Biasalah. Anda tahu sendiri, kalau iklan bertambah, space iklan pasti kan bertambah juga. Caranya ya dibuat aturan main. Jadwal iklan harus sudah booking jauh-jauh hari. Biasanya kita begitu,” tutur Laksono, yang halamannya konon sering dijarah oleh iklan display besar-besar, bahkan sehalaman penuh. “Kita bisa ngerti kok,” kata pengasuh halaman sampul akhir itu.

Oplah yang terus menggila, iklan yang merajalela, membawa konsekuensi melegakkan dalam distribusi kesejahteraan awak Monitor. Dalam setahun, mereka bisa mendapat gaji 18 kali. Di luar gaji reguler yang 12 kali itu, mereka memang mendapatkan pemasukkan lain semisal bonus, grativikasi bagian keuntungan, selain gaji tambahan ketika datang hari raya Idul Fitri dan Natal. “Seorang reporter lepas bisa satu juta sebulan, kalau saya tak salah,” kata Wardhana. Untuk tahun 1990, pendapatan reporter sebesar itu, jelas lebih jreng ketimbang wartawan pemula di Kompas atau Tempo sekalipun.

“Saya pernah dapat seratus, lalu dua ratus,” sambung Wendo mengacu pada angka pembagian keuntungan saham yang mulanya hanya Rp 100 juta pada tahun pertama, dan meningkat jadi Rp 200 juta pada tahun-tahun berikutnya. “Itu cuma dari saham lima persen. Bayangkan berapa yang Harmoko dapet, dari saham 30 persen itu,” ungkap Wendo.

Karena ledakan bisnisnya, Wendo sempat mengangankan Monitor dapat memiliki gedung sendiri, tidak lagi menempati bangunan milik Gramedia, yang disebutnya ‘bedeng’. Soal ini sering ditiup-tiupkan ke anak buahnya di Monitor, bahkan sekali waktu dihembuskan ke hadapan publik dalam guyonan khas Monitor di Telop 26 September 1990: “Insya Allah kami akan pindah ke … bedeng lagi. Sebelum akhirnya punya gedung sendiri, lewat mimpi kali.”

“Artinya angan-angan?” tanya saya pada Wendo.

“Yang lain mungkin. Tapi saya akhirnya punya tekad ke situ,” jawab Wendo, “sombong sekali orang Kompas itu. Orang kita yang datang ke sana ditanyai macam-macam. Kayak nggak boleh nginjek saja. Kita-kita ini dendam sebenarnya. Dendam untuk motivasi.”

Berbekal dendam, Wendo punya niat untuk membangun gedung berlantai 11. Jika niat ini terwujud, alhasil akan lebih tinggi dari Kompas yang berlantai tujuh. Lokasi pembangunan, menurut Wardhana, direncanakan di Jalan Palmerah Barat, di samping kantornya. Tak kesampaian. Areal itu kini telah disulap jadi tempat kursus Lembaga Pendidikan Keterampilan Komputer.

Sekiranya tidak dibredel apa mampu Wendo membalas dendam, mewujudkan mimpi punya gedung sendiri itu? Mungkin ada baiknya Anda melihat figur bisnis Monitor. Jika Anda memberi saya kewenangan untuk mengkalkulasi bisnis Monitor, yang meliputi penjualan oplah dan kolom iklam, inilah kalkulasi saya secara kasar.

Saya mulai dengan oplah. Dalam setahun, pada periode 1989 – 1990, akan didapatkan jumlah oplah trio Monitor sebesar 1.000.000 x 4 x 12 yakni 48 juta eksemplar. Dikalikan harga per eksemplar Rp 500 maka akan didapat omzet sekitar Rp 24 miliar. Sedangkan total perolehan iklan, bercermin pada Media Scene Indonesia tadi—ini didasarkan pada data Surindo Utama pada 1989—adalah Rp 6,3 miliar. Untuk lebih gampangnya katakanlah jumlahnya Rp 6 miliar pada periode yang sama—walaupun sebenarnya Media Scene Indonesia membuat proyeksi yang lebih gile lagi untuk 1990 yakni Rp 10,503 miliar, atau makan kue iklan 13 persen lebih dari total belanja iklan nasional untuk majalah.

Berbekal angka moderat itu maka perputaran omzet bisnis Monitor pada periode 1989/1990 adalah sekitar Rp 30 milyar per tahun, pada periode 1989 – 1990 itu. Ini angka ngawur? Mari kita lihat kalkulasi lain.

Dalam Rahasia Dapur Majalah di Indonesia, Kurniawan Junaedhie menuliskan angka pemasukan Rp 24,5 miliar. Angka ini bersandar pada analisis majalah Prospek terbitan awal Nopember 1990. Jika “pemasukan” diterjemahkan sebagai omzet, angka yang saya dapatkan itu lumayan ngaco. Namun, bila “pemasukan” tersebut dianggap tafsir gain, mohon maaf, justru Junaedhie yang luar biasa ngawur. Paling tidak, angka “gain” ini agak susah untuk mengkonfirmasi perolehan pembagian keuntungan saham lima persen Wendo yang Rp 200 juta itu pada, kira-kira, periode yang sama.

Junaedhie mungkin ngawur. Saya barangkali ngaco. Lupakan dulu angka memusingkan itu agar kita dapat bersama-sama masuk ke sebuah pertanyaan yang acap dilontarkan orang, yakni bagaimana sebenarnya bisnis Monitor yang nyaris di luar akal sehat itu bisa dijelaskan? Saya bisa saja langsung mengecap Monitor sedang berkawan dengan keberuntungan. Jawaban versi asal nguap ini bisa benar bisa tidak. Dibilang tidak, karena ada realitas lain yang menunjukkan jalan masuk ke arah kemungkinan yang lebih rasional.

Sejarah memperlihatkan, tabloid Monitor hidup tanpa saingan di masa jayanya. Apa yang digarapnya, jelas merupakan segmen baru yang sama sekali belum dirambah media lain. Orang membutuhkan informasi acara televisi, siapa pengisi acara tersebut, bagaimana acara dibuat. Lebih jauhnya, bagaimana kehidupan para pengisi acara, artis, dan macam-macam lagi termasuk gosip yang bersliweran di antara mereka.

Masalah-masalah televisi tadi kemudian diramu dengan paha dan dada. Wendo menamainya jurnalisme “ser dan lher.” Bumbunya, kuis berhadiah dan ramalan judi. Dalam penanganan kuis, Monitor bahkan harus menunjuk Globe Promotion Service sebagai kontraktor, sekadar untuk mengirimkan hadiah.

Akan halnya ramalan, ini cerita lain. Awalnya, Monitor mengetengahkan ramalan “Porkas Cuaca,” yang diidentikkan dengan kode pemecah Porkas, program judi nasional yang dirancang Soedomo, menteri koordinator politik dan keamanan saat itu. Judi Porkas dimaksudkan sebagai upaya untuk menimbun dana buat perkembangan olahraga. Nyatanya, olahraga tak pernah mengalami perkembangan signifikan, sementara jutaan rakyat Indonesia ternggelam dalam mimpi-mimpi kosong.

Ketika Porkas yang menggunakan kode huruf diprotes dan bubar, Monitor menghidangkan “Mbah Bejo.” Sama saja, orang menggunakannya untuk menebak judi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah yang lazim disingkat SDSB, yang juga dicanangkan Soedomo. Bila Porkas menggunakan huruf, SDSB memakai angka. “Itu diset Bujang,” kata Veven Sp.Wardhana mengomentari perancang “Mbah Bejo” yang terkenal kejituannya buat mereka yang bisa menafsir. Bujang Praktiko disebut-sebut Wardhana juga sebagai penghubung Monitor dengan “orang pintar,” si pemberi kode pemecah judi.

Segala keunikkan yang didesain Monitor, selain mendongkrak pasar eceran, juga melahirkan pembaca-pembaca fanatis yang selalu merasa rindu akan kehadiran terbitan Monitor terbaru. Saking fanatisnya, beberapa di antara mereka mengganti nama dirinya dengan “Monitor.” Ini antara lain dilakukan Syahrir, siswa Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri I Medan. “Saya sih setuju saja ganti nama saya menjadi Monitor,” tulisnya. Tak cuma sekadar ganti nama, pembaca lain bernama Agus Mulyono dari Tegal (dengan alamat lengkap), menamai anaknya Adi Darmawan Monitor. “Biar cepat gede, kita kirimkan payung, kaos, dan sekadar buat beli bubur,” balas pengasuh surat pembaca.

Keluarga Agus Mulyono pun ketiban rezeki Rp 50 ribu.

EKONOMI Indonesia memperlihatkan wajah cerah sejak awal 1990-an. Picu agaknya berasal dari beleid pencabutan sejumlah retriksi investasi secara gradual, yang antara lain memungkinkan digantinya Daftar Negatif Investasi (DNI) oleh Daftar Skala Prioritas (DSP). Praktis, sektor-sektor usaha yang bisa ditanami modal jadi lebih banyak. Investor asing tergoda. Cerita susulannya Anda tahu sendiri, mereka berbondong-bondong merelokasikan industrinya —frasa lain untuk memindahkan mesin-mesin usang sambil menadah hujan keuntungan dari upah buruh murah.

Fenomenal dampaknya. Investasi dengan fasilitas PMA (Penanaman Modal Asing) pada 1990 mencapai kenaikan fantastis hingga mampu menembus angka 8,7 miliar dolar AS dari angka tahun sebelumnya yang 4,7 miliar dolar AS. Serbuan ini melahirkan efek domino. Investor-investor lokal yang hendak menggunakan fasilitas PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) ikut-ikutan berlaga di sekeliling putaran rolet ekonomi yang kian cepat. Sebagian melayani investor asing sebagai partner, sebagian menjadi subkontraktor. Lainnya, terjun ke sektor-sektor bisnis yang masuk hitungan DSP. Indonesia beringsut dari ekonomi agraris ke ekonomi uang.

Dunia pers yang selama ini tenang-tenang saja, tiba-tiba bergemuruh. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, sebuah organisasi kemasyarakatan keagamaan bentukan Orde Baru, membuat Republika, sebuah koran harian. Pengusaha-pengusaha nonmedia seperti Fadel Muhammad merogoh koceknya memodali majalah mingguan Warta Ekonomi dan majalah otomotif Mobil Motor. Lalu Peter Gontha di Indonesian Observer, Probosutedjo (Berita Buana), Abdul Latief (Harian Ekonomi Neraca), Bambang Yoga Sugama (Berita Yudha), dan Sudwikatmono yang menafasi Sinar. Di belakang hari, stasiun televisi swasta pun disentuh mereka. Gontha mendirikan RCTI, Siti Hardijanti Rukmana bikin TPI.

Buat Kelompok Kompas Gramedia, situasi itu, selain sebuah peluang, juga mungkin dianggap ancaman bagi stabilitas dirinya. Segera saja Gramedia menyusun siasat untuk mengamankan situasi. Tapi, bagaimana mereka bisa mendapatkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) padahal pemerintah sudah menyetop perizinan baru untuk suratkabar dan majalah umum?

Gramedia mulai menjalankan siasatnya. Ke daerah, mereka sibuk beraliansi dengan sejumlah media-media lokal. Dengan Serambi Indonesia di Aceh, Mandala di Bandung, Bernas di Yogyakarya, Pos Maluku di Ambon, Pos Kupang di Kupang, Suara Timor Timur di Dili, dan banyak lagi. Di pusat, mereka memborong SIUPP dan membikin tabloid banyak-banyak, selain majalah-majalah bersegmen khusus. Separuh besar jatuh ke pangkuan Wendo.

Pria yang tak pernah necis dalam berpakaian itu tiba-tiba saja dikenal sebagai juragan penguasa 22 SIUPP. Orang pun akhirnya tak cuma mengenal Wendo sebagai pemimpin redaksi Monitor, tapi juga wakil direktur Gramedia Majalah, sebuah direktorat yang diberi hak mensupervisi seluruh penerbitan majalah dan tabloid di kerajaan Palmerah. Bisa dibayangkan berapa besar kekuatan yang dimiliki Wendo saat itu.

Ada peribahasa lama, makin tinggi pohon makin kencang angin menerpa. Ini pula yang dialaminya setelah Wendo berada di puncak. Tapi ia bukan manusia tempe. Ia menghadapi tiupan angin di sekitarnya dengan sikapnya yang serba mengentengkan masalah. Di balik kesan kendo ini, diam-diam ia membuat kelompok yang dikenal sebagai “Seven Samurai.” Tak penting benar siapa anggotanya. Ini cuma kelompok akal-akalan yang dibikinnya untuk menggertak para bos di Gramedia yang gatal tangan untuk turut campur urusan orang.

“Saya lawan mereka,” ujar Wendo.

Urusan yang begitu bejibun—termasuk mengangkat pamor majalah berita bergambar Jakarta-Jakarta yang redup gara-gara konflik internal, diikuti mundurnya pemimpin redaksi Noorca M. Massardi —karuan saja membuat Wendo harus pontang-panting. Jadwal serba tak teratur. Wendo akhirnya menyerahkan urusan perut redaksi Monitor kepada Tavip Riyanto sebagai wakil pemimpin redaksi-cum-penanggung jawab sehari-hari Monitor. Siapa dia?

Riyanto berkarier di Monitor sejak minggu-minggu pertama terbit. Ia suka menulis masalah-masalah radio, termasuk memonitor perkembangan drama radio dengan segala pernak-pernik di belakangnya, mulai pengarang cerita sampai pengisi suara. Namanya mulai tercantum pada edisi kedelapan terbitan 24 – 30 Desember 1986 sebagai pembantu tetap. Ada dua pembantu tetap sebenarnya. Satunya lagi, Djoko Supriyadi yang kelak jadi kepala produksi dan punya kaitan langsung dengan kasus angket Monitor yang terkenal itu.

Markas Monitor kontan gonjang-ganjing. Suasana yang semula serba adem berubah gerah. Sejumlah redaktur bangkit dari tempat duduknya mengajak Wendo bicara. Mereka mempertanyakan kriteria penempatan Tavip Riyanto di pos barunya. Celakanya Wendo, Riyanto keponakannya. Ini jadi titik lemahnya. Wendo terjepit. Ia mulai kehilangan rasa humornya, “Kalau nggak sejalan ya sudah. Kamu keluar atau saya keluar.” Begitu Aries Tanjung melukiskan reaksi Wendo.

Dihadapkan dengan tantangan itu, para redaktur Monitor memilih jalan untuk melawan. “Seven Samurai” mereka adaptasi. Terbentuklah “Tujuh Samurai” yang beranggotakan Veven Sp. Wardhana, Aries Tanjung, Mayong Suryo Laksono, Hans Miller Banureah, Gunawan Wibisono, Bujang Praktiko, ditambah fotografer Sondjaya Arifin.

Para ‘pemberontak’ itu lantas membuat petisi lisan tidak percaya pada kepemimpinan Wendo, utamanya pada keputusannya mengangkat Riyanto sebagai bos baru mereka. Lobi-lobi dilakukan. Rapat-rapat tak resmi digelar. Tak hanya di kantor, mereka membawa masalah ini keluar. Puncaknya, mereka menggelar rapat di sebuah restoran di kawasan Tomang.

“O ya, saya yang membawa mereka,” kata Aries Tanjung menerangkan, “saya ngajak teman-teman ke rumah Mas Wendo untuk nanya baik-baik.”

Apa yang terjadi?

Tanjung bilang, Wendo tidak segarang ketika di kantor. Petisi mereka mendapat perhatian serius. “Sudah nanti dilihat lagi,” kata Wendo, sebagaimana diucapkan Tanjung.

Walau tak memperoleh jawaban optimal, mereka kembali ke kantor. Syamsudin Noer Moenadi, yang sebelumnya berada di garis politik Tujuh Samurai, namun menghilang tak jelas rimbanya begitu datang niat mendemo rumah Wendo, jadi sasaran pelampiasan sisa-sisa kekesalan mereka. Moenadi dicap pengkhianat. Di kantor, seperti dituturkan Wardhana, dengan berang Bujang Praktiko menudingkan telunjuknya ke wajah Moenadi, “Judas kamu!”

Perpecahan tak terhindarkan lagi. Suasana harmonis mulai terkebiri.

“Saya kira situasinya emosional sekali. Kadang-kadang kalau ingat malu juga. Rupanya dia (Wendo) punya rencana lain, jangka panjang. Dia akan berikan SIUPP-SIUPP itu,” tutur Tanjung.

Penuturan Tanjung ada benarnya. Hanya beberapa waktu setelah keributan itu, Laksono dipanggil. Dia diminta mengurus penerbitan Monitor Minggu setelah diterbangkan ke luar negeri memperdalam pengetahuan jurnalistiknya. Lalu Irene Suliana, ditugasi menangani Monitor Anak. Wardhana tak ketinggalan. Setelah mengajukan konsep tabloid kriminal karena memang Gramedia tak memilikinya, ia diserahi SIUPP Saksi, selain Bintang Indonesia. Yang disebut terakhir diperoleh Wendo dari ‘bandar SIUPP’ Noor Slamet Asmaprawira, adik Harmoko.

Anggota Tujuh Samurai lain juga mendapat bagian. Banureah, misalnya, diserahi SIUPP Citra Musik. Sedang Moenadi, yang hampir tak pernah akur dengan Wendo, diberi SIUPP Film dan Artis.

Untuk lebih mendinginkan situasi, dengan mengambil latar berkomunikasi pada publiknya, Wendo memerlukan diri menulis di kolom Telop yang intinya menekankan, bahwa perubahan struktural dan fungsional yang dilakukannya semata untuk lebih sadar akan tanggung jawab. Lebih jauhnya, sadar akan perlunya pendekatan di sana-sini sesuai dengan target pembaca. “Walau wartawan baru kalau menunjukkan kemampuan memimpin dan mengkoordinasikan tugas-tugas, bisa menduduki jabatan ‘satgas’—yang menyatukan tugas dalam satu nomor penerbitan,” tulis Wendo.

“Soalnya bukan soal yunior atau senior, dia (Riyanto) nggak mampu aja. Nggak punya perspektif,” komentar Wardhana pada saya. Ia kemudian menuturkan oplah Monitor yang terus merosot hingga mencapai titik 400 ribu atau malah 300 ribu eksemplar memasuki paruh kedua 1990-an.

Mungkin faktor individu bukan satu-satunya penyebab kemerosotan Monitor.

Sebuah lembaga pers, yang berada di dalam dan di antara sistem sosial, bukanlah institusi terasing dan harus mengasingkan diri. Ia harus selalu berhubungan dengan publiknya untuk dapat terus bertahan. Perhatian, sekaligus kepercayaan publik, menjadi penentu akhir apakah sebuah lembaga pers dapat bertahan atau habis sama sekali. Pertanyaan yang bisa dikedepankan adalah seberapa lama jurnalisme ‘ser dan lher’ ala Monitor dapat mengikat perhatian sekaligus memelihara kepercayaan publiknya?

BERKARUNG-KARUNG kartu pos datang ke Jalan Palmerah Barat, markas besar Monitor. Djoko Supriyadi menyortirnya dengan tekun. Ia dibantu tiga pesuruh: Miseri, Jumiyo, dan Ngateno.

“Yang saya sortir tak kurang dari lima karung,” kata Supriyadi.

Tiap seratus lembar kartu yang sudah tersortir, mereka ikat dengan karet gelang. Tuntas menyeleksi dan mengarsipkannya, Supriyadi memproses seluruh data sortiran ke dalam komputer dengan menggunakan perangkat Lotus. Ia kemudian membuat salinannya dalam bentuk hard copy untuk diantarkan ke ruang kerja Wendo. Ia taruh begitu saja di meja karena Wendo kebetulan sedang sibuk.

Selang beberapa waktu, Wendo memeriksa print-out itu. Tangannya mulai bekerja untuk memberi pengantar sekaligus penjelasan terhadap data-data tadi. Naskah yang baru saja diketiknya dijuduli “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita.” Baik naskah maupun tabel nama tokoh-tokoh yang diurut segera dikirim ke Supriyadi untuk ditata dalam komputer Macintosh. Wendo sama sekali tak membayangkan naskahnya akan membuat dia tidak dikagumi publik, kelak. “Tak terpikir sekelebat pun, bahwa ini sebuah kesalahan fatal,” tutur Wendo.

Dalam Monitor edisi 255 yang terbit pada 15 Oktober 1990, naskah Wendo ditaruh di halaman satu, berdampingan dengan foto sampul Nia Zulkarnain dalam balutan kaos putih ketat sehingga lekuk-lekuk dadanya terlihat jelas. Tulisan itu hasil akhir dari kuis “Kagum 5 Juta.”

Seperti diungkap pledoi Wendo di pengadilan negeri, kuis tersebut dari bermula dari isian untuk mengetahui tokoh yang dikagumi pembaca Monitor dan alasan mengaguminya. Demi kuis “Kagum 5 Juta” Wendo mengorbankan kuis Teka-Teki Televisi, galib disingkat TTT, yang dimuat sejak pertama kali Monitor terbit. “Sesungguhnyalah tak ada istimewanya dengan TTT rutin yang selama ini diadakan. Tidak juga jumlah rupiahnya, karena merupakan kumpulan sekian jumlah yang biasa diberikan,” tandasnya. Kuis TTT biasa memberikan hadiah Rp 500 ribu untuk 10 pemenang. Sedangkan “Kagum 5 Juta” memberi hadiah untuk 100 pemenang.

“Kagum 5 Juta” pertama kali diumumkan pada Monitor Minggu edisi 2 September 1990. “Nomor ini tebakannya mudah, hadiahnya gagah,” demikian antara lain Wendo memberi pengantar.

Tak ada batasan apapun untuk kandidat tokoh yang dipilih. Kuis terkesan gado-gado jadinya. Ada politisi, negarawan, penyanyi, olahragawan, pelukis, pengusaha, sultan, bahkan nabi. Sebagian dari mereka sudah meninggal, sebagian lagi masih hidup. Ada tokoh dalam negeri, ada tokoh luar negeri. Maksud Wendo memang hanya iseng-iseng. Kesan lebih iseng mungkin akan makin terasa kalau saja Wendo tidak membatasi sampai 50 tokoh. Simak saja, dari 33.963 lembar kartu pos yang masuk, sebanyak 1.721 suara di antaranya memilih ibu kandung, pacar, tetangga, malahan dirinya sendiri.

Dalam ranking 50, jumlah pemilih terbanyak jatuh kepada Soeharto, presiden Indonesia waktu itu, dengan 5.003 pemilih. Di bawahnya, terdapat nama B.J. Habibie (2.975), disusul Soekarno (2.662). Iwan Fals satu-satunya artis yang nyelip di antara peringkat 10 besar. Ia menempati urutan ke-4 dengan 2.431 pemilih. Wendo sendiri rupanya beken juga. Ia berada di peringkat ke-10, dengan 797 suara. Di bawah Wendo tercantum Nabi Muhammad.

Tak ada tanda-tanda langit bakal mendung, tak ada sinyal-sinyal Monitor bakal kena pentung. Tapi apa yang terjadi hari berikutnya sungguh di luar dugaan: telepon yang datang ke redaksi bukannya dari orang yang menanyakan hadiah, tapi dari mereka yang marah. Ada yang mengatasnamakan tukang becaklah, gurulah, atau aktivis masjid. Pada 17 Oktober 1990 atau dua hari setelah terbit edisi “Kagum 5 Juta,” massa datang secara sporadis. Sama sekali tak ada kekaguman pada wajah-wajah mereka.

Di beberapa wilayah, demikian pula di luar Jakarta, Monitor sudah mulai jadi bahan perbincangan. Udara pengap mulai terasa di dalam kantor.

Sehari kemudian, Subrata dari Departemen Penerangan melayangkan peringatan keras. Hampir seluruh suratkabar yang punya perhatian terhadap masalah Monitor mengutip pernyataan Subrata, “Diharapkan agar di waktu yang akan datang SKM Monitor lebih berhati-hati lagi dalam menyeleksi berita atau tulisan-tulisan yang akan dimuat dan mengindahkan peringatan keras ini untuk mencegah jangan sampai pemerintah mengambil tindakan yang tidak kita inginkan bersama.”

Kantor agaknya makin pengap buat Wendo. Ditemani wakil pemimpin umum Suyanto, Wendo memilih tinggal di hotel dan membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk mendinginkan situasi, sekaligus meloloskan diri dari malapetaka yang mungkin menerkamnya. Ia pun mengetikkan pernyataan maaf untuk dimuat Monitor pada 22 Oktober 1990, sekaligus menyusun draf pidato di televisi. Orang-orangnya sibuk mem-booking kavling iklan di berbagai suratkabar, baik yang terbit di ibukota maupun daerah. Jumat 19 Oktober 1990, Wendo tampil di televisi. Dalam wajah serius, ia bersungguh-sungguh meminta maaf.

Keadaan bukannya tambah tenang. Hampir seluruh kota besar di Indonesia, terutama Jakarta dan Bandung, berguncang di hari berikutnya. Permintaan maaf Wendo langsung ditafsirkan sebagai pernyataan telah berbuat salah. “Gantung Arswendo!” “Bakar Arswendo!” “Cincang!” “Rajam!” Begitulah kira-kira hujatan buat pria yang doyan canda itu.

Ricke R. Senduk, salah seorang wartawan lepas, merasakan kemarahan itu. Ia, yang sudah merasa Monitor sebagai tempatnya menyandarkan hidup, segera mengamankan sejumlah inventaris kantor yang dianggap vital, terutama dokumentasi foto, biodata artis, kartu-kartu nama. Ia bekerja cepat sejak Minggu malam, 21 Oktober 1990. Bersama kawan-kawannya, seluruh lemari kabinet ia buka dan isinya ia tumpahkan ke kardus, karung, atau apa saja. “Saya bawa ke Taman Ratu,” kata Senduk, mengacu tempat tinggalnya.

Esoknya, Monitor terbit tanpa tenaga. Tak ada paha yang mengangkang, tak ada dada yang menantang. Halaman satu melulu berisi pernyataan maaf. Bukan dari Wendo pribadi, tapi dari seluruh karyawan Monitor. Ia mencabut tulisan “Ini Dia: 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita,” dengan alasan tulisan tersebut dapat menimbulkan penafsiran keliru dan dapat menyinggung perasaan, khususnya umat Islam. Iklan dikunci dengan kalimat, “Mohon maaf atas kekhilafan kami.”

Ini dia antara lain hasilnya: 23 Oktober 1990, SIUPP nomor 194/1984 untuk Monitor dicabut. Langsung diteken oleh Menteri Penerangan Harmoko, pemilik saham 30 persen itu.

Harmoko tak beraksi sendirian. Keputusannya mendapat dukungan wartawan-wartawan tua yang tergabung dalam Dewan Pers, organ boneka penguasa Orde Baru. “Kalau tindakan itu tak diambil dampaknya akan luas,” kata pengurus harian Atang Ruswita, bos Pikiran Rakyat, Bandung.

Situasinya memang terbalik-balik saat itu. Wartawan merasa harus menjaga stabilitas politik dan keamanan, sementara menteri koordinator politik dan keamanan justru asyik ngurus judi. Judi SDSB.

HATI-HATI bikin angket. Saya tidak bermaksud memperingati Anda. Klausa itu saya sambil dari judul laporan Tempo edisi 27 Oktober 1990.

Terpaparkan di sana, betapa angket bisa menjadi sumber masalah bagi pembuatnya. Simak umpamanya kasus yang menimpa PT Suburi—sebuah perusahaan asing di Jakarta yang bergerak di bidang survei dan riset. Direktur John M. di Gregorio, asal Amerika, pada 1972 sempat dituduh melakukan kegiatan subversif oleh Amir Machmud, yang ketika itu menjabat menteri dalam negeri.

Kisah kasus Suburi dimulai dari dua mahasiswa Universitas Diponegoro yang melapor pada intelijen Komando Daerah Militer Diponegoro. Mereka merasa curiga melihat kerangka survei PT Suburi, yang antara lain meminta pendapat masyarakat tentang delapan tokoh nasional, dan di situ tercantum nama Presiden Soeharto di urutan ketiga. Padahal, seperti kata Harijadi S. Hartowardojo, salah seorang pendiri perusahaan itu, “Presiden Soeharto dicantumkan dalam urutan ketiga, karena dalam metodologi riset, pertanyaan itu haruslah objektif dan tidak memberikan sugesti kepada responden,” ujarnya.

Namanya juga tentara. Dikasih tahu, yang keluar “pokoknya.” Pokoknya ini membahayakan negara, kira-kira begitu militer memberi tanggapan. Masih ada ekornya: Suburi dituding melakukan kegiatan spionase. Maka, izin operasi Suburi pun dicabut.

“Angket Monitor tidak bisa dipertanggungjawabkan secara metodologis,” kata Enceng Sobirin pada saya, tempo hari. Sobirin sehari-harinya bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, organisasi nirlaba yang didirikan sejumlah intelektual Indonesia pada 1971, di bawah sokongan institusi penyandang dana Friedrich Niemann Stiftung.

Sobirin tak tahu apakah yang dilakukan Wendo sekadar suatu trik jurnalistik untuk mendongkrak sirkulasi, atau menjual sensasi, sebagaimana dikatakan berulang-ulang si empunya angket bahwa ia hanya bermaksud iseng. “Secara jurnalistik sah-sah saja asal jangan diklaim survei,” kata Sobirin, seraya buru-buru menambahkan, “saya kira jurnalistik tidak bebas nilai. Harusnya kepekaan ini dipegang.”

Trik jurnalistik atau bukan, dua tahun sebelum kasus Monitor meruyak, Matra pernah jadi pusat perhatian publik gara-gara memuat hasil angket yang menyimpulkan dua pertiga pria di Jakarta pernah berselingkuh, bahkan berhubungan seksual di luar nikah. Banyak yang mempertanyakan metodologi pengumpulan datanya setelah tahu bahwa respondennya cuma 499 orang. Tentu, ini sulit merepresentasikan 3,5 juta pria Jakarta.

Tak ada bredel yang menimpa Matra. Tak ada jaring hukum menjerat pemimpin redaksinya. Tapi Monitor adalah soal lain. Wendo adalah hal berbeda. Massa boleh jadi tak tahu dan tak pernah mau berurusan dengan tetek-bengek metodologi angket, kriteria, sampel, responden, kategorisasi-kategorisasi. Mereka lebih tertarik isu besar, sebuah isu yang berkenaan dengan agama yang diyakininya; nabi yang menjadi panutannya. Mereka merasa terhina, terlukai.

Majalah Sastra pernah kesandung soal beginian ketika memuat cerita pendek Langit Makin Mendung karangan Ki Panji Kusmin pada edisi Agustus 1968. Cerita fiksi sepanjang enam halaman itu antara lain menceritakan Nabi Muhammad, yang memohon izin kepada Tuhan, cuti ke bumi untuk melakukan riset, karena “akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.” Kantor majalah Sastra tak urung dirusak. Penanggung jawab majalah, H.B. Jassin, diseret ke pengadilan pada Februari 1970, walau dirinya sudah minta maaf dan mencabut karya fiksi tadi.

Umat Islam pun marah besar ketika Salman Rushdie merilis novelnya, Ayat-Ayat Setan (The Satanic Verses) pada awal 1990. Novel ini dianggap menghina Nabi Muhammad. Di negara-negara mayoritas Muslim, novel itu dibakar. Rushdie dihujat, diburu. Ayatollah Khomeini, mullah tertinggi di negara Iran, bahkan menjatuhkan hukuman mati pada novelis asal Inggris itu.

Wendo barangkali tak sebego yang ia katakan. Mungkin ia tahu kasus-kasus semacam itu. Tapi tak tertutup pula kemungkinan lain: ia mengetahui adanya perkara sejenis, yang justru luput dari tatapan publik, khususnya umat Islam. Anda benar, Wendo memang tidak benar-benar bego.

Di depan sidang pengadilan waktu itu, Wendo mengajukan kasus yang nyaris sama persis. Yakni, kasus buku Perbedaan Antara Pemimpin dan Aktivis Gerakan Protes Mahasiswa buah karya Sarlito Wirawan Sarwono. Buku ini dibuat Sarwono dari disertasinya untuk meraih gelar doktor di bawah pembimbing Fuad Hassan dan S. Sadli, dengan promotor Slamet Imam Santosa, J.M.F. Jaspar, I.R. Poedjawijatna. Kecuali S. Sadli, mereka bergelar profesor semuanya.

Dalam buku tersebut, di bawah topik “Tokoh Ideal” tercantum nama Nabi Muhammad, setelah Soekarno di urutan pertama dan J.F. Kennedy di urutan kedua. Berikutnya, ada nama Soeharto, Henry Kissinger, R.A. Kartini, Napoleon Bonaparte, pun Ali Sadikin. Jumlahnya mencapai 13 tokoh, diikuti tokoh-tokoh lain. Metode yang dilakukan Sarwono, ya angket juga.

Hasil angket tersebut, demikian Wendo, dikutip dengan urutan dan persentasenya oleh majalah berita mingguan Tempo, terbitan 3 Juni 1978 dalam laporan utamanya di bawah judul “Dan Ia Pun Kita Bicarakan Lagi.”

Soal membandingkan nabi, Wendo pun menunjuk buku lainnya. Buku itu, The 100: a Ranking of the Most Influential Persons in History karya Michael H. Hart, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah oleh Mahbub Djunaedi.

Buku-buku tersebut, begitu pula majalah Tempo yang mengutip detail, hemat Wendo adalah media massa seperti halnya Monitor. “Sama-sama dicetak dan dijualbelikan untuk umum, sama-sama membandingkan Nabi Muhammad S.A.W,” ujarnya. “Saya mengemukakan ini bukan untuk mengajak rekan-rekan berada dalam sidang pengadilan, dan menjadi terdakwa. Jauh dari niatan itu. Saya kemukakan sebagai bahan pertimbangan, sebagai bahan perbandingan.”

Wendo tidak bisa terus bersikukuh dengan pendapatnya. Ia akhirnya mengikuti opini massa, bahwa memang dia bersalah dan menyesali perbuatannya. “Bahwa Nabi Muhammad S.A.W. tak bisa dibandingkan dengan manusia biasa, atau tak boleh dimasukkan ke dalam tokoh yang dikagumi dan dibandingkan, saya berani mengorbankan kejujuran saya dan tidak memuatnya,” katanya kemudian.

Sayup-sayup di Yogyakarta, Djarnawi Hadikusumo dari Muhammadiyah, berujar dan direkam Tempo, “Bila Monitor meletakkan Nabi Muhammad S.A.W. pada peringkat ke-11 di bawah Arswendo, itu versi Monitor. Ukuran yang digunakan Monitor adalah tokoh yang paling banyak penggemar. Biar saja. Saya tidak perlu memprotes. Saya malah baru merasa heran kalau Nabi Muhammad menjadi tokoh nomor satu di Monitor. Soalnya, pembacanya adalah orang yang suka dansa-dansi, hura-hura, bukan kaum agama.”

“Nabi tidak berkurang kebesarannya karena angket Monitor,” timpal Abdurrahman Wahid.

Baik suara Hadikusumo maupun Gus Dur tenggelam di antara gelora massa. Kalau pun terdengar, belum tentu jaksa dan hakim mengikuti garis pendapat macam itu.

BANDUNG, Oktober 1990. Saya memutuskan berhenti dulu dari kegiatan jurnalistik sebagai koresponden koran harian Pelita dan kembali ke kampus untuk membereskan kuliah yang selama ini terbengkalai. Di sela-sela ini, kawan-kawan di kampus pusat Universitas Padjadjaran minta saya berpartisipasi mengirim massa untuk mendemo Monitor. Kampus Universitas Padjadjaran saat itu masih berceceran di berbagai tempat, antara lain di Jalan Dago Atas, Jalan Bagusrangin, Jalan Pasirkaliki serta di kompleks perkampungan Sekeloa.

“Ini aksi spontan, Bung,” kata seorang kawan, yang saya sudah lupa namanya. Demi aksi “spontan” ini, saya dan kawan-kawan berangkat dari Sekeloa ke Jalan Dipatiukur, Bandung, tempat massa dikonsentrasikan.

Di sana, tepatnya di lapangan parkir utara kampus pusat, massa sudah menyemut. Saya yang tak tahu masalah karena memang bukan pembaca Monitor, memilih duduk di bawah pohon rindang di depan aula. Namanya juga partisipasi, saya lebih banyak nonton demo, persisnya nonton penonton demo yang menurut saya, beberapa di antaranya cantik-cantik. “Bakar Arswendo!” teriak seorang pengunjuk rasa lewat megaphone. Dan patung happening art terbuat dari kertas tabloid Monitor itu, yang mempersonifikasikan Wendo itu, dilalap api. Teriakan “Allahu Akbar” mengiringinya.

Menjelang bubaran, laksana pahlawan saya berlari ke tengah massa mencoba mengamankan Jalaluddin Rakhmat dari kerumunan massa yang berebut menyalami dan menciumi tangannya. Saya punya ikatan emosional padanya. Jalaluddin Rakhmat dosen favorit kami di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang ketika itu menjadi simbol perlawanan atas kebobrokan rezim Orde Baru. Kini, setelah dipecat dari kampus dan menyelesaikan studi doktoralnya di Australia, Rakhmat cenderung memilih jadi seorang sufis Islam.

Aksi-aksi yang melibatkan Rakhmat nyaris selalu besar. Saya baca di koran-koran, di kota-kota lain pun aksi masa besar-besar, melibatkan ratusan sampai ribuan orang. Namun, saya kira, aksi-aksi itu tidak semassif dan sedramatis di kota saya. Di Bandung, seingat saya, unjuk rasa menghujat Monitor meletus di hampir semua perguruan tinggi papan atas, sejak di Institut Teknologi Bandung, Institut Agama Islam Negeri, Universitas Islam Bandung, hingga Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bandung. Di tempat ibadat pun, mulai pusat aktivisme Islam Masjid Salman dan Istiqomah sampai Masjid Agung, kutukan terhadap Monitor nyaring terdengar di selang-seling shalawat badar.

Akan tetapi, segalak-galaknya aksi di Bandung, massa tak sampai merusak simbol-simbol kerajaan Kelompok Kompas Gramedia seperti kantor perwakilan Kompas di Jalan Martadinata, atau kantor redaksi tabloid Mandala di Jalan Gatot Subroto waktu itu.

Di Jakarta situasinya berbeda. Selain berduyun-duyun ke Jalan Palmerah Selatan, ibukota kerajaan Gramedia, massa menyatroni kantor Monitor di Jalan Palmerah Barat yang kini jadi Toko Bola.

Massa datang dari pelbagai penjuru kota mengepung kantor Monitor pada Senin, 22 Oktober 1990. Dari hanya bergerombol dan adu urat leher dengan petugas pengamanan, sekitar pukul 11.00, kaca jendela ditimpa sebuah batu. Praaak! Bak sebuah komando, mereka sontak melempari jendela-jendela kantor. Sebagian di antaranya menerobos ruang redaksi, mengaduk-aduk arsip yang belum terselamatkan, menghantam komputer, menjungkir-balikkan kursi dan meja. Sejumlah foto artis yang menempel di dinding tak urung mereka robek-robek dengan murka sejak pertama kali mereka datang menyerbu. Ijazah sekolah menengah dan buku tabungan Mayong Suryo Laksono ikut-ikutan kena sasaran anarkisme ini.

“Salah saya sendiri. Saya membiarkan barang-barang geletakan begitu saja,” ucap Laksono, yang kala itu sedang berada di Yogyakarta menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya Suryadi Ari, kakaknya.

Jeritan histeris karyawan-karyawan perempuan sejak massa datang, seolah bagai sebuah lagu mars bagi pengunjuk rasa untuk tambah bersemangat meluluhlantakkan isi kantor. “Apa saja dirusak massa,” Ricke R. Senduk mencoba melukiskan.

Sadar situasi tak lagi bisa dikendalikan, Wendo diseret sejumlah karyawan dan diloloskan lewat jalan belakang. Di sana, sekitar sepuluh karyawati bergerombol dengan wajah-wajah pucat. Sebagian menangis histeris, sebagian lagi hanya bisa gemetaran, terkulai tanpa daya.

Wendo diberi helm dan dinaikkan ke dalam pick up, kendaraan yang biasa digunakan untuk mendistribusikan Monitor. “Saya satu-satunya cowok di antara cewek-cewek,” ujar Wendo. Dalam kebingungan, kendaraan dilarikan ke Jalan Bangka, ke rumah Kristina Ermin, salah seorang fotografer magang yang membuat gambar sampul Nia Zulkarnaen pada Monitor bermasalah itu.

Hanya sebentar di sana. Sempat terpikir oleh Wendo untuk mencari hotel atau segera pulang ke rumahnya di Jalan Damai, Kompleks Kompas. “Saya ke Kramat akhirnya,” ujar Wendo merujuk markas kepolisian di Jalan Kramat, tempat ia meminta perlindungan, yang kemudian “dinaikkan” statusnya menjadi ditahan.

Ia tak sempat mengontak ke rumah, memberi kabar keluarganya. Di Jalan Damai, Agnes Sri Hartiningsih, istri Wendo dan anak-anaknya, dilanda kecemasan luar biasa. Mereka tak berani keluar rumah.

“Saya malah mengunci diri di dalam kamar,” ungkap Cecilia Tiara, si bungsu, yang kini bekerja sebagai reporter RCTI membidangi masalah ekonomi dan keuangan. Tiara dicatat Wendo sebagai penyambung semangat di kala sedang benar-benar down. Wendo belum lupa sebuah surat yang ditulis Tiara, “Papa nggak salah, seperti Yesus yang disalib itu.”

SEBELUM kantor Monitor diporak-porandakan aksi massa, Wendo sempat menghubungi Emha Ainun Nadjib. Wendo tak berhasil mendapat bantuan Cak Nun, panggilan akrab Nadjib. Kolumnis yang dekat dengan sejumlah aktivis Islam dan kalangan santri ini merasa tak sanggup meredakannya. Alasan Cak Nun—sebagaimana dikemukakan Wendo dan beberapa awak Monitor lain—massa bukan hanya datang dari basisnya di Jawa Timur, tapi juga dari tempat-tempat lain.

Untuk alasannya, Cak Nun tidak salah. Massa yang menghujat Monitor memang tersebar di pelbagai penjuru Nusantara. Bahkan, bisa dikatakan, reaksi pertama justru datang dari seberang Pulau Jawa. Adalah Hasrul Azwar—seorang tokoh Partai Persatuan Pembangunan dari Sumatra Utara—merasa tersinggung oleh “Kagum 5 Juta.” Angket itu dianggap Azwar menghina Islam. Ia menyatakan soal ini hanya terpaut sehari setelah Monitor edisi 255 meluncur ke pasar sana. Dan Waspada, suratkabar harian setempat beroplah 85 ribu eksemplar saat itu, melahap pernyataan Azwar untuk dimuntahkan pada edisi 17 Oktober 1990. Medan pun gempar.

Tuduhan menghina Islam yang mengendap dalam tatar sosial dengan cepat masuk ke dalam etalase politik nasional. Monitor pun tak ayal lagi dicap sebagai pengganggu kerukunan antarumat beragama yang selama ini sedang direparasi habis-habisan oleh pemerintah bersama elemen-elemen masyarakat dari berbagai latar agama. Pemutakhiran upaya tersebut sekurang-kurangnya dimulai sejak meletusnya huru-hara Tanjung Priok pada 1984 yang menyisakan percikan-percikan api dendam berbasis agama.

“You pull the carpet from under my table,” kata Nurcholis Madjid kepada Jakob Oetama. Nurcholis Madjid, yang biasa disapa Cak Nur, adalah pendiri sekaligus pimpinan Yayasan Paramadina, lembaga pengajian untuk berbagai lintas disiplin mulai filsafat hingga sains.

Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Cak Nur mengemukakan, bahwa kemarahannya tidak didasarkan pada sikapnya untuk mengakomodasi umat yang gusar sehubungan munculnya “Kagum 5 Juta.” Reaksi Cak Nur lebih sebagai ungkapan keprihatinan dirinya karena selama ini ia merasa ikut bersusah-payah untuk memberi lem perekat pada upaya membangun toleransi antarumat beragama. “Tiba-tiba Arswendo mengganggu dengan guyon begitu saja. Saya merasa disepelekan betul. Sebab, teman-teman saya, yang selama ini tidak setuju dengan istilah toleransi dan sebagainya itu, akan dengan gampang mengatakan: ‘Nah, betul kan, Cak Nur, bahwa mereka kayak gitu itu. Masa begitu kok ditolerir.’ Jadi, itu namanya menarik karpet dari bawah meja,” tandasnya.

Selama aksi-aksi massa berlangsung, nama Cak Nur nyaring terdengar. Ia bukan saja menyarankan agar Monitor dibredel mutlak, tapi juga meminta pemerintah untuk tidak menutup-nutupi kalau-kalau ada mekanisme yang sedang bekerja di belakang kasus tersebut.

Reaksi senada meluncur dari sejumlah tokoh-tokoh organisasi massa Islam, tak terkecuali dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). “Angket yang dimuat Monitor kemarin telah menjurus ke hal SARA,” kata Kiai Haji Hasan Basri, ketua MUI, “kalau pun pengelola Monitor menganggap angket itu sebagai suatu gurauan, harusnya mereka tahu diri, mana yang boleh diguraukan dan mana yang tidak. Keyakinan adalah hal yang sangat hakiki, tidak boleh dibuat suatu gurauan.”

Daftar kemarahan masih bisa diperpanjang oleh reaksi Amien Rais. Dosen Univesitas Gadjah Mada yang kini menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu memandang, apa yang dilakukan Monitor merupakan suatu pukulan telak yang sangat menghina umat Islam, sekaligus menghancurkan seluruh usaha pemerintah selama ini untuk membangun kerukunan antarumat beragama.

Upaya membangun kerukunan antarumat beragama di Indonesia memang tidak semudah memecah kulit telor. Ini lantaran, akar-akar permasalahan telah sedemikian tertanam kuat dalam sejarah sejak zaman kolonialisme Belanda.

Dalam kasus Monitor, Kelompok Kompas Gramedia yang kebetulan banyak dihuni oleh penganut Kristiani, setidaknya di pucuk manajemen, berada di posisi yang sangat tidak menguntungkan dan amat mudah menjadi sasaran caci-maki begitu mereka ditenggarai berbuat salah.

“Misi mereka macam-macam,” kata Zainuddin M.Z. sebagaimana dikutip Tempo, “Bisa berjalan lewat media massa milik mereka, lewat diakonia, layanan-layanan sosial, atau lewat pendidikan. Saya sendiri berusaha mengarahkan umat Islam untuk jaga gawang. Dalam arti menganjurkan mereka agar tidak beli media massa yang berorientasi non-Islam.” Mubaligh itu seolah mengafirmasi realitas semacam tadi. “Adanya kasus Monitor dan Senang ini tampaknya sedikit mengganggu kerukunan beragama yang selama ini terbina.”

Kasus Senang yang disebut-sebut Zainuddin M.Z. adalah sebuah peristiwa susulan setelah Monitor memuat angket. Majalah Senang, yang berada di bawah payung Gramedia—yang notabene dalam supervisi Wendo—dinilai memuat gambar yang memvisualkan Nabi Muhammad dalam rubriknya, Ketok Magic. Sebelum reaksi membesar, Jakob Oetama buru-buru menutup Senang. Apa boleh buat, telunjuk-telunjuk marah tak serta merta melipat, malah justru makin diacung-acungkan ke Gramedia. Tak sebatas dimaki. Gramedia pun dituding telah melakukan konspirasi ideologis untuk menghina Islam. “Apa yang dilakukan dua media massa itu seperti mengaduk air yang sudah jernih menjadi keruh,” begitu Amien Rais berkomentar.

Tidak semua komentar seserius itu. Arief Budiman, saat itu masih menjadi dosen di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, menulis kolom di majalah Tempo. Ia mendeskripsikan siapa Wendo, bagaimana gaya hidupnya, sekaligus melukiskan ekspresi wajah Wendo, yang menurut Arief Budiman, bertampang ‘kampungan’ dengan nyengir kuda yang siap pakai.

Buat Budiman, seperti pahlawan, pendosa lahir karena adanya kebutuhan sejarah. Wendo adalah hasil proses sosial ketika sejarah membutuhkan seorang pendosa.

Ia punya banyak argumen untuk itu. Dalam pandangannya, Wendo dibutuhkan sebagai korban karena proses sosial sedang membutuhkan kambing hitam. Kelompok Islam, yang meskipun merupakan mayoritas bangsa ini kurang berarti peran politiknya. Adanya kasus Monitor memungkinkan mereka menunjukkan bahwa golongan ini perlu diperhitungkan. Menteri Penerangan Harmoko membutuhkan sebuah kasus untuk menunjukkan bahwa pembredelan masih diperlukan.

Munculnya persoalan Monitor ibarat pucuk dicinta kasus tiba. Persaingan bisnis yang ketat di kalangan usaha pers juga membuat kasus ini tampil sebagai anugerah bagi pesaing-pesaing Monitor karena terciptanya sebuah peluang bisnis baru yang perlu disyukuri. Saya gunting sampai di sini pendapat Arief Budiman. Pertanyaan bisa disampaikan kepadanya, apakah betul Monitor melahirkan peluang bisnis baru?

Sejarah memperlihatkan jejaknya dengan jelas. Sebelum Monitor benar-benar tewas, walau tak sampai menyukuri kematiannya, Bintang Indonesia sudah memperlihatkan dirinya. Tabloid yang diasuh Veven Sp. Wardhana ini terbit dengan menu yang nyaris sama persis dengan Monitor. Bedanya, Bintang Indonesia mencurahkan perhatian pada acara-acara televisi swasta. “Belum apa-apa angka PA-nya sudah mencapai 250 ribu eksemplar. Belum promosi,” kata Wardhana. Angka PA yang dimaksud adalah “pesanan agen.”

Bintang Indonesia hanya terbit satu edisi. Tak berarti setelah itu kalangan lainnya ikut-ikutan menahan diri. Kata-kata Arief Budiman makin menjadi kenyataan beberapa waktu kemudian, menyusul terbitnya Bintang Indonesia versi Kelompok Subentra, Wanita Indonesia di bawah kucuran dana pengusaha Cendana Siti Hardijanti Rukmana serta Dharma Nyata yang diambil-alih manajemennya oleh Jawa Pos News Network. Citra Musik “Tabloid Penuh Gebyar” milik Gramedia, yang semula terfokus pada hiburan musik, pun tak urung mempermak diri dengan logotif baru Citra “Pedoman Pasti Penonton Televisi.”

Keadaan tersebut tidak saja dapat diterjemahkan sebagai fenomena perburuan harta karun Monitor, tapi yang esensial juga: ide memang selalu berkaki. Terlepas apakah kaki itu kuat atau lemah, media-media penerus semangat Monitor tak pernah dicurigai sebagai bahaya laten yang akan mengganggu kerukunan beragama. Sejarah, agaknya Arief Budiman benar: ia memerlukan korban untuk memunculkan pahlawan, atau pendosa.

KEMARAHAN massa sedikit mereda setelah Wendo diberitakan media resmi ditahan polisi terhitung sejak 26 Oktober 1990, atau selang empat hari setelah penyerahan dirinya demi meminta pengamanan. “Padahal enggak. Kita masih bisa bebas main kartu dan canda-canda dengan petugas kok,” Wendo nyengir, “saya dijebloskan ke sel cuma sehari saat wartawan mau wawancara.” Itu pun, ia menambahkan, cuma sebentar. Artinya, begitu para wartawan pulang, Wendo bisa wara-wiri lagi.

Wendo baru benar-benar masuk sel ketika dipindahkan ke Rumah Tahanan Salemba untuk keperluan pemeriksaan jaksa guna keperluan persidangan. Di sini Wendo mulai main mata dengan jaksa penuntut Soeryadi W.S. Uang senilai Rp 70 juta direlakan Wendo sekadar untuk memperoleh keringanan hukuman. Si jaksa setuju, Wendo agak tenang.

Untuk sebuah kasus pelik, persidangan Wendo tergolong cepat. Akhir Januari 1991 ia mulai menginjakkan kaki di pengadilan, pertengahan April tahun yang sama Wendo sudah dibekali vonis untuk masuk hotel prodeo. Semuanya seperti sudah diatur, tak ubahnya kereta api yang menggelinding di atas relnya.

Barangkali yang di luar skenario adalah membludaknya pengunjung. Tempo memberitakan, jumlah petugas yang dikerahkan untuk mengamankan jalannya sidang mencapai sekitar 1.000 personel. Sebanyak 200 personel di antaranya dibon dari markas Komando Daerah Militer Jaya, Jakarta. Ditilik dari jumlah aparat, Wendo sudah bikin rekor —jauh lebih ketat dari persidangan H.R. Dharsono dalam kasus subversif pada 1985 atau Agus Nasser dalam kasus mayat potong tujuh pada 1989.

Soal rekor-rekoran, masih ada yang lain. Dari sisi jumlah saksi, umpamanya, sidang Wendo luar biasa banyaknya. Ada tokoh keagamaan, tokoh organisasi pemuda Islam, tokoh pers, pihak perusahaan tempat Wendo terakhir bekerja, ahli hukum, aparat kepolisian dan macam-macam lagi. Pendeknya, sidang Wendo benar-benar seperti sebuah seminar maraton, tempat orang pamer pengetahuan. Jangan lupa pula, Soeharto, presiden Indonesia saat itu, secara terbuka memerintahkan agar pihak berwenang segera menyeret Wendo ke pengadilan. Siapa yang bisa mengabaikan imbauan dari seorang yang paling berkuasa ini, yang setiap kata-katanya menjadi semacam sabda pandhita ratu.

Rekor lain mungkin dalam tuntutan jaksa. Berlapis-lapis pasal ditebar untuk menjerat Wendo, mulai pasal 156 a huruf a KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang penghinaan agama, pasal 157 (1) KUHP tentang penyebaran penghinaan terhadap golongan penduduk, sampai pasal 19 UUPP (Undang-Undang Pokok Pers) tahun 1982 tentang pelanggaran fungsi dan kewajiban pers. Belum lagi ayat suci Al-Quran seperti Surat An Nissa ayat 59 dan 80 atau Al Maidah 32 hampir dapat dipastikan akan menjadi pertimbangan hakim untuk tidak goyah pada putusannya.

Alhasil, seluruh rekor dalam persidangan tadi, buat Wendo, artinya cuma satu: ia tak akan bisa menyelamatkan diri dari vonis bersalah. Persoalannya, berapa tahun ia harus mendekam di penjara. Ia tak bisa mempercayai uangnya begitu saja, yang telah ditebar ke pihak-pihak yang berkepentingan. Ia dipaksa keadaan untuk berjuang, memberi sedikit tenaga pada penasihat hukumnya, Oemar Senoadji, yang sudah jungkir balik membelanya.

Permintaan maaf secara terbuka di depan persidangan, sebagaimana tradisi hukum Eropa-Kontinental, adalah salah satu cara untuk mendapatkan keringanan hukuman, pikir Wendo barangkali. Maka, pledoi Wendo yang setebal 16 halaman—11 halaman lebih tipis dari tuntutan jaksa yang 27 halaman—memberi titik kuat pada kata yang tiba-tiba bernilai mahal itu. Maaf itu.

“Saya mohon maaf,” kata Wendo. Permohonan ini, yang dituliskan di bab pendahuluan, ditujukan kepada masyarakat, khususnya pemeluk Islam. Kepada para bosnya di Gramedia. Kepada para anak buahnya —baik di Monitor atau di media lain, termasuk mereka yang bekerja membuat sinetron dengan Wendo.

“Sedikit pun saya tidak bermaksud menyengsarakan saudara-saudara semua,” tandas Wendo diikuti sebuah pengandaian yang ia kutip dari kata-kata ibunya: kesandung ing dalan rata, kebentur ing awang-awang (tersandung di jalan datar, terjedot di langit). Peribahasa itu segera saja menjadi makanan empuk media massa. Tempo menerjemahkannya “tersandung di jalan datar, terbentur di langit.”

Dalam pledoi berjudul “Sebagai Pribadi Atau Kelompok Kita Ini Lemah dan Mudah Cemas Sebagai Bangsa Kita ini Kuat, Liat dan Selalu Mayoritas,” Wendo juga menyatakan penyesalannya, sebelum antara lain menguraikan kronologis pembikinan angket “Kagum 5 Juta” itu. “Harusnya saya sudah tahu. Tanpa ada yang memberi tahu pun, harusnya sudah tahu. Nyatanya saya bego. Sangat bego. Jahilun,” kata Wendo.

Di bagian lain, Wendo mengungkapkan ketidak-berdayaannya saat harus menghadapi kasus Monitor—seperti halnya ia tak berdaya ketika menghadapi anaknya yang diserang penyakit paru-paru. “Kalau saja saat itu kami sekeluarga cukup punya duit dan tahu untuk segera mengobati paru-paru si kecil, kepedihan batin ini sedikit banyak terhibur.” Wendo pada intinya tak pernah membayangkan kalau angket yang kelihatannya remeh-temeh itu akan punya efek dahsyat hingga seisi negeri berguncang hebat.

Pledoi itu tak menghasilkan apa-apa. Juga uangnya. Wendo tetap terkena hukuman maksimal. Lima tahun penjara.

Wendo terhenyak.

Dalam suatu kesempatan menjelang banding, Wendo sempat bertemu jaksa Soeryadi W.S. Dari mulutnya meluncur sebuah pertanyaan retoris, “Pak ini bagaimana?”

“Saya hanya menjalankan tugas,” jawab Soeryadi singkat.

Mulut Wendo terkunci. Kemudian seluruh tubuhnya. Di sebuah sel.

AWAL November 2001 menjelang senja di sebuah rumah, di kawasan Cempaka Putih, Jakarta. Ini tempat tinggal Gideon Tengker, pemusik jazz. Istrinya, Rita Amelia, berbaik hati meminjami Wendo ruangan kerja hari itu. Rita Amelia dikenal sebagai artis sinetron dan pernah dikontrak PT Atmochademas Persada, rumah produksi milik Wendo, untuk Satu Kakak Tujuh Ponakan, yang ditayangkan RCTI beberapa waktu lalu.

Ruang kerja itu terletak tepat di depan di kamar studio milik Tengker, yang mulanya mungkin dimaksudkan sebagai paviliun atau kamar tamu. Ukurannya kecil saja, paling-paling seluas 3 x 5 meter persegi dan hanya muat sebuah meja tulis. Di situ Wendo didapati sedang memeloti sebuah notebook keluaran terbaru, yang antar mukanya hampir setipis ketebalan sandal jepit. “Ini katanya paling top sekarang,” ujar Wendo.

“Memang betul,” saya mengafirmasi, “ini di atas 20.” Maksud saya Rp 20 juta.

Di ruang sebelah, Rita Amelia dan Cut Mini, juga artis sinetron, terlihat sedang kongko-kongko. Kelihatannya mereka belum mandi. Beberapa awak Atmochademas hilir-mudik ke ruang tersebut.

“Pernah affair dengan artis?” iseng-iseng saya tanya Wendo, di lain waktu.

“O, nggak. Saya dikenal produser rada bener.”

Kehadiran Wendo di Cempaka Putih bukan semata mengikuti mata kaki dan janji ngobrol dengan saya. Ia sedang memonitor aktivitas syuting sinetron Doa Itu Nyawa Kedua, juga sinetron bikinan rumah produksinya. Wendo memang sedang keranjingan bikin sinetron kini. Selain judul tadi, yang akan ditayangkan RCTI, pada tahun 2001 saja sekurang-kurangnya ia mesti menggeber empat sinetron anyar lainnya: Juragan Sinetron untuk SCTV, Auk (RCTI), Panggung Jakarta Mall (TPI), serta Jika Bukan Oma Pastilah Opa (RCTI).

Praktis, aktivitas menulisnya lebih banyak ditumpahkan ke pembikinan naskah skenario. Sesekali memang ia bikin novel atau nongol di media melalui kolomnya. Toh dua yang disebut terakhir tidak seluar-biasa yang dikerjakan tahun 1980-an silam.

Ia tidak membuat naskah skenario untuk dirinya sendiri. Ia melayani juga pihak lain di luar rumah produksinya, seperti Rano Karno atau Dede Yusuf.

“Sekarang tidak miskin lagi, kan?” tanya saya sekadar menyambung-nyambung perbincangan.

“Enggaklah.”

“Selepas penjara itu, persisnya Mas ke mana?”

Pembicaraan terpotong. Seorang pembantu membawa baki minuman. Sebuah botol kecil berisi tablet terdapat di atasnya. “Rita … Rita, obat apaan ini?” seru Wendo.

“Obat perangsang,” Rita Amelia keluar dari ruang sebelah, mendekati meja tempat kami ngobrol.

Wendo menelan beberapa Calcusol, obat untuk mengurangi kadar kolesterol.

“Wuih, waktu itu saya benar-benar susah. Duit nggak ada, kerjaan nggak punya. Orang nggak berani kasih kerjaan,” tutur Wendo.

Nasib akhirnya mempertemukan Wendo dengan Sudwikatmono, seorang konglomerat penguasa lini bisnis perfilman dan bioskop, selain terjun ke sejumlah media cetak di bawah payung Kelompok Subentra. Sudwikatmono bercerita kepada Wendo, bahwa dirinya sudah menghabiskan Rp 2 miliar untuk membangun Bintang Indonesia. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Bintang Indonesia sempat berada dalam genggaman Wendo. “Waktu aksi massa pertama itu, malamnya saya sedang ngerjain layout Bintang Indonesia,” kata Aris Tanjung, bekas redaktur artistik Monitor.

Dalam bernegosiasi dengan Sudwikatmono, Wendo masih bisa memperlihatkan taringnya. “Bayaran saya mahal Pak,” kata Wendo kepada Sudwikatmono, “kasih saya waktu setahun, kembali itu.” Yang dimaksud Wendo adalah mengembalikan kerugian Rp 2 miliar yang diderita Bintang Indonesia dan lainnya. Kesepakatan tercapai. Wendo diberi gaji Rp 15 juta untuk jabatan direktur—pihak luar mengenalnya konsultan. “Saya ambil BMW,” kata Wendo membicarakan fasilitas kerja yang diterimanya.

“Tahun pertama saja sudah untung,” kata Wendo, bangga. Hanya tiga tahun di situ. Pada 1998, Wendo bercerai dengan Subentra dan mendirikan PT Atmo Bismo Sangotrah, perusahaan yang memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak Bianglala, Ina (kemudian jadi Ino), serta tabloid Pro-TV. Cuma Ino yang relatif punya nafas panjang. Dua lainnya ditutup karena Wendo tak lagi sejalan dengan mitranya, Agus Lasmono, anak Sudwikatmono, yang belakangan membikin rumah produksi Indika.

“Jadi setelah penjara itu Mas nggak sempat mampir ke Gramedia dulu?” tanya saya.

“Apa? Saya sudah dipecat kok. Saya pikir, waktu di dalam, saya cuma dipecat boong-boongan, eh tahunya asem, saya dipecat betulan.”

“Gede dong duit PHK-nya?”

“Nggak seperak pun.”

Saya mencoba mengkonsentrasikan daun telinga, khawatir saya salah dengar. “Padahal Noorca itu, dulu, dikasih Rp 100 juta,” katanya lagi.

Noorca yang dimaksud adalah seniman Noorca M. Massardi, yang kini mengemudikan majalah Forum Keadilan. Ia sempat memimpin Jakarta-Jakarta, majalah milik Gramedia yang ditutup pada tahun 2000. Massardi diminta mundur oleh Gramedia dengan mendapat kompensasi Rp 100 juta, menyusul rentetan kekisruhan di tubuh redaksi yang mengakibatkan oplah Jakarta-Jakarta sempoyongan. Tangan dingin Wendo sempat memberi sentuhan hingga Jakarta-Jakarta kembali membiakkan oplahnya di bawah pupuk jurnalisme, lagi-lagi, ”ser dan lher.”

“Tidak mendapat seperak pun,” saya ingin penegasan.

“Tak seperak pun,” Wendo menegaskan.*

by: