Merevisi Kebebasan Pers

Agus Sudibyo

Mon, 4 February 2002

DJOKO Susilo, dari Partai Amanat Nasional dan pernah jadi wartawan Jawa Pos, mengatakan mood kebanyakan anggota parlemen kini sedang jelek-jeleknya terhadap semua gagasan yang berbau kebebasan dan keterbukaan.

BEBERAPA bulan lalu sebuah diskusi berlangsung di Teater Utan Kayu, Jakarta. Seorang anggota parlemen, Djoko Susilo, dari Partai Amanat Nasional dan pernah jadi wartawan Jawa Pos, mengatakan mood kebanyakan anggota parlemen kini sedang jelek-jeleknya terhadap semua gagasan yang berbau kebebasan dan keterbukaan. Banyak anggota parlemen berpandangan, kebebasan harus segera dibatasi, karena telah kebablasan.

Djoko tampaknya benar. Sekitar tiga bulan berikutnya, tepatnya pada 6 Desember 2001, ada sebuah rapat kerja parlemen dengan Menteri Negara Informasi dan Komunikasi Syamsul Muarif di mana tiba-tiba muncul gagasan merevisi Undang-undang Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999 –undang-undang yang diakui secara internasional menjamin kebebasan pers di Indonesia.

Aisyah Aminy dari Partai Persatuan Pembangunan melontarkan ide itu. Menurut Aisah, undang-undang itu gagal mengantisipasi ekses-ekses negatif kebebasan pers: pornografi, penyebaran berita provokatif, character assasination, wartawan gadungan, dan wartawan bodrex.

Hebatnya, ide ini langsung disambut Syamsul Muarif. Dia menyatakan kementeriannya telah merangkum 37 aturan yang berkaitan dengan delik pers, yang diharapkannya dapat dicangkokkan ke dalam revisi UU Pers.

Gagasan itu menyulut reaksi keras dari beberapa organisasi. Pornografi memang masalah. Tapi ide melakukan revisi sebuah undang-undang yang relatif baik, bisa menimbulkan kecurigaan bahwa dampaknya bisa dikenakan terhadap semua media, yang buruk maupun yang baik. Kegaduhan pun tak bisa dihindari.

Reaksi datang antara lain dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sekretaris Jendral AJI Solahudin mengeluarkan siaran pers yang menegaskan 37 aturan itu diambil begitu saja dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sarat dengan pasal-pasal penyebaran kebencian warisan kolonialisme Belanda. “Sungguh lucu pasal-pasal yang seharusnya dihapus karena tidak relevan lagi, justru hendak dimasukkan dalam UU Pers,” kata Solahudin.

Menurut Solahudin, kunci mencegah ekses buruk kebebasan pers adalah membuat KUHP lebih bertaji. “Karena yang dimaksud sebagai delik pers itu semua telah diatur dalam KUHP. Jadi ada kesalahan logika yang berbahaya di kalangan anggota dewan dalam hal ini,” kata Solahudin.

Penolakan juga datang dari Serikat Penerbitan Surat Kabar. “Menurut kami, UU Pers yang ada sekarang ini telah cukup menjamin pertumbuhan industri pers yang sehat dan kondusif bagi implementasi kebebasan pers,” kata direktur eksekutif Suryana. Organisasi ini bahkan bergerak lebih maju dengan ide mengadakan pelatihan buat polisi agar lebih siap menjaring wartawan atau redaktur yang nakal. Jeratnya? Ya hukum pidana dan peraturan yang sudah cukup banyak jumlahnya. Tinggal melatih polisi saja.

Benarkah undang-undang itu perlu direvisi?

Kalau dicari-cari, mana ada sih gading tak retak? R.H. Siregar dari Dewan Pers berpendapat UU Pers ini menjadikan kode etik pers sebagai hukum positif. Ini bisa jadi merugikan wartawan, karena pelanggaran etik bisa dihukum secara pidana. Kesimpulannya, pasal-pasal UU Pers yang mengatur kode etik pers harus direvisi.

“Pasal 6 dinyatakan pers harus bersifat akurat. Kenapa klausul ini masuk UU Pers? Bukankah ini masalah profesionalisme. Demikian juga dengan pasal hak jawab yang mengatur sanksi denda dan pidana bagi pelanggarnya. Hak jawab adalah ketentuan normatif, jika pun ada sanksi, seharusnya sekedar sanksi moral dong,” kata Siregar.

Logika Siregar, bahwa perbaikan perlu untuk lebih menguntungkan wartawan, tentu saja, bukan logika yang sama dengan kebanyakan anggota parlemen atau Syamsul Muarif. Buat Syamsul dan rombongan, pers sudah kebablasan dan perlu dibatasi.

Djoko Susilo punya ide lain. Menurutnya undang-undang ini hanya melindungi independensi pers dari cengkeraman dan intervensi pemerintah, tapi tak menjamin independensi dari pemilik modal. Masalah kepemilikan silang atas dua jenis media yang berbeda, intervensi pemilik saham terhadap kebijakan redaksional, dan semacamnya, belum terakomodasi dalam UU Pers. Masalah ini menurut Djoko harus diatur dalam undang-undang.

Isu ini acapkali dilontarkan Djoko karena dia tak setuju misalnya Surya Paloh memiliki harian Media Indonesia sekaligus Metro TV atau Kelompok Kompas Gramedia yang juga memiliki TV7.

“Jika tidak, kebebasan hanya akan dimiliki oleh para pemilik media,” kata Djoko mengutip A.J. Liebling, wartawan majalah The New Yorker, yang sering menulis isu jurnalisme dan media di Amerika Serikat.

Tapi Solahudin, Suryana, R.H. Siregar, dan Djoko Susilo punya pendapat yang sama: saat ini bukan saat tepat untuk merevisi UU Pers. Mereka khawatir, mood anggota dewan yang sedang buruk, bisa jadi bencana jika revisi dilakukan sekarang. Revisi bisa jadi justru memangkas kebebasan pers yang baru muncul pertama kalinya dalam sejarah kepulauan ini sejak 1998 –tahun runtuhnya kekuasaan Presiden Soeharto.

“Anggota parlemen yang menganggap UU Pers itu terlalu liberal, pasti akan berusaha untuk memasukkan pasal-pasal delik pers, yang jelas-jelas sangat kontraproduktif bagi kebebasan pers,” kata Siregar.

“Aisyah Aminy memang konservatif terhadap gagasan kebebasan pers, namun anggota parlemen yang lain juga banyak sekali yang begitu,” kata Djoko.

Djoko menambahkan sesungguhnya belum ada pembicaraan resmi di parlemen tentang ide revisi UU Pers. Ide ini baru dilontarkan orang per orang, dan parlemen tetap membuka diri terhadap masukan-masukan dari berbagai pihak. “Jadi masih ada waktu untuk merumuskan dulu secara gamblang, point-point apa yang harus direvisi dalam UU Pers, dan bagaimana strategi memperjuangkannya,” kata Djoko.

Harian The Jakarta Post menurunkan editorial yang cerdas. Rapat kerja parlemen dan Syamsul itu, menurut mereka, diadakan dalam ruangan yang persis sama di mana selama lebih dari 30 tahun para menteri dan jendral-jendralnya Soeharto “mengintimidasi para redaktur agar tunduk” terhadap kekuasaan.

Ucapan Syamsul Muarif ini seakan-akan membenarkan kekhawatiran banyak orang bahwa maksud Presiden Megawati Soekarnoputri menghidupkan Departemen Penerangan –yang reputasinya gelap pada zaman Soeharto dan dibubarkan pemerintahan Abdurrahman Wahid pada 1999, dan oleh Megawati namanya diubah jadi Kementerian Negara Informasi dan Komunikasi– tak lain tak bukan untuk mengontrol media.

Megawati sebenarnya bukan politisi yang tak suka dengan media walau dia suka pilih-pilih wartawan –sesuatu yang wajar buat kebanyakan orang. Ketika Megawati jadi tokoh oposisi, dia sering merasa lebih nyaman dengan wartawan asing ketimbang wartawan lokal. Pernah satu hari pada pertengahan 1996, Megawati membiarkan seorang wartawan televisi lokal terkatung-katung di depan pagar rumahnya di Kebagusan sementara lebih dari satu lusin wartawan lain, termasuk wartawan asing, dibiarkan mewawancarai Megawati di halaman rumahnya.

Ada pesan dari The Jakarta Post buat politisi macam Syamsul dan Aisyah. “Dalam sebuah rezim yang bebas, Anda bakal mendapatkan baik pers yang baik, maupun yang buruk. Tapi dalam sebuah rezim yang penuh dengan kontrol, Anda hanya akan mendapatkan pers buruk, pers yang terlibat dalam kebohongan, atau kebenaran yang setengah-setengah, karena ia dilarang menceritakan kebenaran seutuhnya.”

Negara ini baru tiga tahun menikmati kebebasan pers. Banyak media yang buruk tapi rasanya terlalu awal buat segera memberikan penilaian. *

kembali keatas

by:Agus Sudibyo