Islam dan Jurnalisme

Yayasan Pantau

Thu, 11 September 2014

Ringkasan laporan survey "Persepsi Wartawan Indonesia Terhadap Islam dan Jurnalisme," yang digelar di 16 provinsi dan mewawancarai 600 wartawan pada 2012. Temuan-temuan menariknya, antara lain: media dan wartawan bekerja dengan lebih bebas dan menjalankan fungsinya dengan baik. Kelemahan justru ditemukan dalam diri wartawan sendiri: kurangnya profesionalitas, korupsi di kalangan wartawan atau “budaya amplop”, dan rendahnya etika.

Indonesia dikenal sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kondisi ini membuat posisi dan kedudukan agama Islam menjadi penting dalam aspek kehidupan masyarakatnya maupun negara. Sejak agama Islam masuk ke Indonesia, sulit membedakan batas antara agama sebagai urusan privat dan publik. Keduanya sudah menyatu begitu lamanya, dan menjadi kenyataan hingga kini.

Setelah Orde Baru tumbang, yang sebelumnya sempat merepresi gerakan Islam radikal, representasi Islam dalam kehidupan sosial dan politik mulai mendapat tempat. Partai politik berbasis agama (Islam) menapak jalur parlemen, dan wakil-wakilnya menduduki jabatan-jabatan strategis pemerintahan. Wacana hukum syariat Islam muncul ke permukaan, bahkan diterapkan di sejumlah daerah seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Tangerang, dan Banten.

Di luar parlemen, organisasi massa Islam hadir dengan citra yang keras dan radikal. Jemaah Islamiyah diduga berada di balik serangkaian aksi terorisme di kota-kota besar di Indonesia: Maluku, Jakarta, Bali. Front Pembela Islam merusak klab-klab malam, kantor majalah Playboy edisi Indonesia, pemeluk Ahmadiyah, juga demonstrasi damai kebebasan berekspresi di Monumen Nasional, Jakarta. Di sejumlah kota besar di Indonesia, demonstrasi sering terjadi terkait isu-isu luar negeri seperti Palestina, Iraq, penghinaan agama (dalam bentuk kartun, buku, atau film), dan sebagainya. Di daerah, buah dari kebijakan otonomi daerah, syariat Islam diberlakukan.

Kekerasan-kekerasan terhadap minoritas yang banyak terjadi di berbagai daerah dan bagaimana berita-berita tentang kekerasan ini yang cenderung menghakimi menggugah rasa ingin tahu: Bagaimana wartawan di Indonesia mempersepsikan agama Islam? Seberapa penting nilai-nilai agama dalam persepsi mereka? Dan bagaimana mereka melihat isu-isu yang berhubungan dengan Islam, yang mungkin sering menjadi bahan liputan rutin mereka?

Untuk mendapatkan jawabannya, maka dilakukanlah survei wartawan di 16 provinsi, yakni Nangroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Pertanyaan diajukan terkait beberapa aspek yang berkaitan dengan jurnalisme dan agama.

Hasilnya menunjukkan bahwa jurnalisme Indonesia masih ada kekurangan dan kelebihannya. Media dan wartawan bisa bekerja dengan lebih bebas dan menjalankan fungsinya dengan baik. Kelemahan justru ditemukan dalam diri wartawan sendiri: kurangnya profesionalitas, korupsi di kalangan wartawan atau “budaya amplop”, dan rendahnya etika. Tantangan lainnya muncul dari media-media baru: televisi, media online, blog, dan mobile news

Mengenai agama, sebagian besar responden menganggap nilai-nilai Islam sangat penting bagi semua aspek kehidupan, baik privat maupun publik (sosial). Nilai-nilai Islam juga perlu dalam pembuatan kebijakan pemerintah. Sebagian responden sejalan dengan pandangan mainstream atas sejumlah isu yang berhubungan dengan Islam: pelarangan Ahmadiyah, Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi, dan fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia. Implikasinya, dukungan terhadap hal ini tercermin dalam tulisan-tulisan mereka terhadap isu ini yang cenderung bias. Misalnya, penggunaan kata “sesat” untuk menjelaskan Ahmadiyah dan sering menyamarkan pelaku kekerasan terhadap Ahmadiyah dengan “kelompok masa.”

Tapi di sisi lain, responden berpandangan syariat Islam belum perlu diterapkan di Indonesia. Sejumlah kebijakan yang berhubungan syariat Islam dan sudah diterapkan di beberapa daerah juga tidak disetujui responden, seperti kewajiban mengenakan jilbab dan hukum cambuk. Soal jilbab dan hukum cambuk ini sering mendapat kritik pada pemberitaan-pemberitaan.

Dari hasil survey tersebut, tampak ada kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas wartawan dan perlu ada semacam worksop penulis dan buku panduan bagi wartawan yang berisi bagaimana meliput Islam, dari isu terorisme hingga Iraq. Dengan begitu diharapkan ada perbaikan kualitas dan mutu wartawan dan jurnalisme di Indonesia.[]

Laporan lengkap hubungi: bung.imam@gmail.com

kembali keatas

by:Yayasan Pantau