Surat-surat Mingguan tentang Persahabatan

Fahri Salam

Thu, 11 September 2014

Buku Email dari Amerika adalah kumpulan surat mingguan yang ditulis Janet untuk harian Surya di Surabaya, dari 2007 hingga 2011, yang idenya muncul dari pertemanan antara ia dan Dhimam Abror, pemimpin redaksi Surya. Abror sudah tak lagi di Surya namun pertemanan mereka kekal. Sejatinya buku ini mengisahkan suatu ikatan, antara manusia dan manusia, antara manusia dan hewan kesayangan, antara dua benua dan kadang-kadang dua dunia.

JANET STEELE orang Amerika yang jatuh cinta pada Indonesia. Pada titik karier akademisnya di tahun yang menentukan Indonesia, ia berada di tengah gelombang psikologi politik kelas menengah di Jakarta yang menolak perpanjangan kekuasaan Soeharto. Saat itu ia mendapat beasiswa sebagai pengajar di Universitas Indonesia, berteman dengan kalangan intelektual yang ikut dalam gerakan penggulingan rezim yang bercokol sejak 1965. Ia juga meneliti Majalah Tempo, yang dibredel pada 1994. Ia menolak pulang kendati ada peringatan negara Indonesia tak lagi aman. Semangatnya sebagai peneliti, keyakinannya pada peristiwa besar akan terjadi di Jakarta – sepenuhnya benar. Ia salah satu dari burung rantau yang menyaksikan presiden Soeharto yang tua itu mengundurkan diri. Beberapa tahun kemudian, bukunya tentang Tempo terbit: kisah sejarah mengenai pasang-surut sebuah mingguan yang sepenuhnya tak cacat.

Buku Email dari Amerika mengisahkan pengalaman Janet tentang fragmen di atas. Ia adalah kumpulan surat mingguan yang ditulis Janet untuk harian Surya di Surabaya, dari 2007 hingga 2011, yang idenya muncul dari pertemanan antara ia dan Dhimam Abror, pemimpin redaksi Surya kala harian itu dalam perubahan besar-besaran. Abror sudah tak lagi di Surya namun pertemanan mereka kekal. Sejatinya buku ini mengisahkan suatu ikatan, antara manusia dan manusia, antara manusia dan hewan kesayangan, antara dua benua dan kadang-kadang dua dunia.

Macam-macam kesan, pengalaman, selipan pemikiran, perenungan ditulis rutin, berselang di tengah aktivitas Janet sebagai pengajar di George Washington University dan saat sabbatical musim panas sebagai periset di Asia Tenggara. Ia bertumpu pada karier Janet sebagai akademisi dan sejarawan media. Maka banyak nama wartawan yang muncul, sahabat-sahabatnya, yang menjadikan dua negara itu sebagai tumpuan pulang. Janet juga rutin mengajar kursus ‘jurnalisme sastrawi’ untuk Yayasan Pantau di Jakarta sejak 2001 di mana saya pernah jadi muridnya. Ia memang guru bagi banyak wartawan dan penulis. Pendeknya, 150 surat dalam buku ini memuat personal herstory

Tak diragukan, kisah singkat Janet dan burung beo miliknya bernama Conrad—diambil dari nama pengarang Joseph Conrad—menjadi bagian favorit. Conrad telah menemani Janet selama 20 tahun dan meninggal karena kanker. Ada satu bagian yang menjelaskan hubungan mereka sangat istimewa: Conrad adalah beo pencemburu, yang “kenal semua pacar saya …. Jika saya ditanya mengapa saya tidak menikah, mungkin salah satu jawaban yang jujur adalah Conrad tidak suka satu pun calon suami saya, dan tidak memberi izin.” Satu kali pacar Janet berkata, “Kau harus memilih antara saya dan Conrad.” Jelas sekali pilihan saya, tulis Janet, pacarnya telah hilang, “tetapi Conrad masih ada.”

Tetapi ada juga keprihatinan, bagian yang bagi saya menarik, saat Janet membandingkan pekerjaan sebagai dosen di negaranya dan kolega dosen di Indonesia. Kaum dosen di Indonesia tak diberi gaji yang cukup, tulis Janet. Waktu untuk melakukan riset dan menulis juga kurang. Padahal, kata Janet, mereka adalah salah satu sumber daya manusia yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Di surat lain, Janet membandingakan kemudahan-kemudahan hidup di Indonesia dan di Amerika, persamaan dan perbedaan antara tempat dan negara yang ia singgahi,  dan kesulitan-kesulitan yang menghambat gerak seorang individu dengan profesinya maupun suatu negara.

Dari sudut pandang seorang yang kaya akan pengalaman, memiliki pengetahuan luas— kumpulan surat mingguan ini dapat juga disimpulkan mengartikulasikan sosok Janet yang kosmpolitan. Ia diiringi nada kerendahan-hati, ditopang dari kualitas dan nilai persahabatan serta kisah-kisah keluarga, yang sepenuhnya terasa hangat bak mendengar kabar dari seorang teman lama. Janet juga menulis dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik, ditujukan untuk pembaca Jawa Timur—yang memiliki arti khusus di mana bahasa itu menjembatani dua dunia. Ia menghargai dengan tulus orang-orang yang pernah ia jumpai, negara yang ia singgahi, dan perasaan tempat khusus yang bikin ia berjejak.

Bila ada yang kurang dari buku ini, saya kira tidak adanya komentar dari pembaca surat-surat Janet untuk harian Surya. Saya duga ada pembaca setia yang rutin menunggu kolom terbaru dari “Ibu Janet.” Dan ketika surat ini berhenti pada awal tahun 2011, saya duga pula ada sejumlah pembaca yang bertanya-tanya, kendati Janet sungkan untuk mengungkapkannya mengingat ia adalah pribadi yang berhati-hati dalam mengkritik. Kekurangan teknis lain, karena buku ini tak diedarkan di tokobuku, saya kira Yayasan Pantau perlu mencantumkan nomor telepon kantor maupun kontak person bagi peminat-pembaca di halaman penerbitan.

Saya beruntung pernah diampu Ibu Janet. Saat itu ia hanya bisa bicara bahasa Indonesia dengan lancar tak lebih dari 30 menit. Kini durasinya sudah lebih lama. Dan, meski mulanya surat ini muncul dari satu kebetulan dan persahabatan, ia rupanya bernafas lebih panjang dan lebih kekal lagi sesudah dibukukan.

Buku ini bentuk cinta Janet Steele pada Indonesia.[]

——–

Kontak pemesanan buku Email dari Amerika, sila ke:

  • Yayasan Pantau: 021-7221031/7221055
  • Khoiruddien (Mas Udin): 0815-84419200

kembali keatas

by:Fahri Salam