Menguras Krueng Aceh

Junaidi Mulieng

Tue, 17 June 2008

Penambangan pasir besar-besaran membuat tanah dan sawah warga terancam lenyap. Sumur kering dan ikan sungai punah. Kebutuhan pasir pembangunan Aceh pascatsunami juga memicu maraknya penambangan pasir di Aceh.

CUT Nila kecewa. Sepanjang daerah aliran sungai di Montasik dan Indrapuri, Aceh Besar, terlihat kerusakan yang semakin parah. Airnya kuning dan keruh. Hampir sepanjang pinggiran sungai longsor karena terjadinya abrasi. Penyebabnya: penambangan pasir yang semakin menjadi-jadi di sepanjang Krueng Aceh.

“Dulu, sungai di sini tidak seperti ini. Masih banyak batu dan airnya masih jernih,” ujar Cut Nila.

Dia tinggal di desa Lamsie, Indrapuri, Aceh Besar. Rumahnya hanya berjarak 50 meter dari sungai. Di sungai itu terdapat sebuah jembatan yang sudah ambruk, patah menjadi tiga bagian.

“Jembatan itu rusak karena banjir beberapa waktu lalu. Pada waktu itu, warga di sini dan desa sebelah, harus memilih jalan dengan lintasan yang sangat jauh untuk pergi ke pasar Indrapuri,” ujarnya.

Jembatan di desa Lamsie merupakan salah satu jembatan yang ambruk akibat banjir terjadi pada akhir Desember 2007, yang sempat menelan korban jiwa. Selain itu, jembatan gantung di desa Lamtui, kecamatan Cot Glie, juga ikut terbawa arus sungai. Akibatnya, aktivitas masyarakat setempat ikut tersendat. Bahkan anak-anak terpaksa tak masuk sekolah, karena jarak tempuh jalur alternatif cukup menyita waktu.

Walaupun saat ini sudah dibangun jembatan sementara, namun jarak tempuh yang harus dilalui warga masih terlalu jauh jika dibandingkan dengan ketika masih ada jembatan yang lama.

“Menurut pengetahuan kami orang awam, hal ini disebabkan karena penambangan pasir yang dilakukan di dalam sungai. Padahal dulu-dulu tidak pernah seperti ini,” katanya.

Penambangan Golongan C (galian-C) jenis pasir dan batu (sirtu), semakin marak di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Krueng Aceh. Dampak terhadap lingkungan semakin nyata. Menurut pengamatan dan data di lapangan, aliran sungai yang dulunya dipenuhi batuan, kini hanya tinggal tanah kuning yang menyebabkan air makin keruh dan kotor. Tidak hanya itu, pinggiran sungai juga kian membesar karena terjadinya erosi.

Warga yang dulunya melakukan pengambilan batu dan pasir menggunakan cara tradisonal dengan menyelam ke dasar sungai, kini sudah beralih keperalatan canggih sejenis alat berat yang langsung masuk ke dalam sungai. Truk-truk bak terbuka bermuatan besar silih-berganti merapat ke pinggiran sungai. Akibatnya, dari hari ke hari pinggiran sungai hancur dan tanah melesak ke dalam air.

“Setelah sebulan berselang dilakukan penambangan dengan alat berat, jembatan ini langsung ambruk. Padahal waktu tsunami, gempanya sangat kuat, tapi jembatan tidak apa-apa,” kata Nila.

Persis di tengah-tengah Krueng Aceh, di desa Lampaku, kecamatan  Indrapuri, Aceh Besar, sebuah alat berat sudah menunggu, satu persatu truk-truk merapat ke alat berat. Selanjutnya, ”isi perut” sungai pun dikuras dan berpindah ke dalam bak mobil pengangkut pasir. Ini merupakan aktivitas rutin eksploitasi di sebuah lokasi penambangan Golongan C di Aceh Besar. Selain itu, hal serupa juga terjadi di sepanjang sungai di Montasik, Aceh Besar. Tak heran jika melihat erosi luar biasa di dinding kiri dan kanan sepanjang sungai yang membelah desa di sana. Hal itu sudah menjadi pemandangan biasa bagi warga sekitar.

“Kita masyarakat tidak bisa berbuat banyak, karena yang lakukan penambangan orang punya kuasa. Kayaknya mereka disuruh pemerintah juga, kalau tidak mana mungkin ada pengawal dengan senjata. Mana ada yang berani cegah, salah-salah kami yang kena,” katanya, lagi.

Menurut keterangan warga setempat, eksploitasi galian C jenis batu pasir di Lamsie, kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan pemerintahan. Bahkan setiap kali memlakukan penambangan, sejumlah aparat keamanan ikut melakukan pengawalan.

“Tidak hanya aparat keamanan, tapi mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) juga ada. Walaupun masyarakat melarang, mereka cuma berhenti sebentar, kami jadi serba salah,” ujar Abdullah, salah seorang warga Lamsie.

“Kerusakan infrastruktur dan lingkungan hidup yang terjadi di Aceh Besar tampaknya belum disadari secara luas. Sekalipun resiko dan kerugian akibat eksploitasi tambang galian C di kabupaten itu sebenarnya sangat besar,” kata M. Oki Kurniawan salah seorang staf Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh. Hal ini diungkapkannya dalam laporannya tentang kerusakan lingkungan akibat galian C.

Menurut Oki Kurniawan, lebih dari Rp 13 miliar anggaran harus dipersiapkan untuk memperbaiki jembatan yang rusak akibat pengerukan galian C. Hal tersebut belum termasuk pencegahan-pencegahan abrasi bantaran DAS Krueng Aceh yang saat ini sedang mengancam pemukiman warga sekitar.

Sedangkan pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2007, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar hanya menganggarkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 5 miliar. Lima puluh persen di antaranya diharapkan akan didapat dari sektor pajak pengambilan bahan galian golongan C.

“Ternyata harapan ini kandas. Pada APBD perubahan 2007, harapan PAD menurun sebesar Rp 3,68 miliar atau sekitar 26 persen. Ironinya, pajak pengambilan bahan galian C pun merosot tajam sebesar Rp 1,318 miliar atau sebesar 47 persen,” ujar Oki.

“Sebenarnya, pajak tersebut mampu merehabilitasi wilayah-wilayah yang rusak akibat dari galian C. Namun pemerintah Kabupaten Aceh Besar dan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias) selaku penanggung jawab proses rehabilitasi dan rekonstruksi tidak transparan terhadap pajak yang harusnya disetorkan kepada pendapatan kabupaten Aceh Besar,” lanjutnya.

Kepala Dinas Pendapatan (Dispenda) Aceh Besar, Bakhtiar IS, mengakui kalau PAD Aceh Besar dari hasil galian C jauh dari yang diharapkan. Untuk tahun 2008, berdasarkan laporan yang sudah masuk ke Dispenda, PAD Aceh besar dari hasil galian C sebesar Rp 500 juta. Minimnya jumlah yang masuk ke PAD ini, karena banyaknya para penambang galian C yang enggan membayar pajak kepada pemerintah daerah setempat.

Padahal, pemerintah Aceh Besar telah menetapkan harga untuk tiap jenis galian C. Harga yang ditetapkan tersebut antara lain, galian C jenis pasir jagung Rp 42.500 per meter kubik (M³), pasir urug (sirtu) Rp 20.000 per M³, pasir batu mangga Rp 20.000 per M³, pasir ayak Rp 37.500 per M³, pasir kerikil Rp 17.500 per M³, tanah timbun Rp 7.500 per M³, batu gunung kotor Rp 17.500 per M³, batu gunung pondasi Rp 32.500 per M³, batu gunung pasng Rp 17.500 per M³, batu gunung es lilin Rp 12.500 per M³, pozzolond Rp 20.000 per ton, magnesite Rp 42.500 per ton dan phosphate Rp 32.500 per ton.

Harga yang ditetapkan tersebut belum termasuk ongkos angkut dengan tarif pajak 20 persen. Hal tersebut seseuai dengan pasal 4 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Aceh Besar Nomor 19 Tahun 2003.

“Kami akan mengupayakan semaksimal mungkin agar PAD dari galian C bisa meningkat. Sejauh ini kami telah melakukan tagih pajak kepada setiap penambang galian C, baik itu dengan cara datang secara langsung ketempat penambangan, maupun dengan cara pemanggilan ke kantor,” ujar Bakhtiar.

Tahun ini pemerintah kabupaten Aceh Besar menargetkan PAD galian C bisa mencapai Rp 6 miliar. Dari data yang dimiliki kabupaten ini tercatat 129 penambang galian C yang telah memiliki izin operasi di Aceh Besar.  Keseluruhannya merupakan wajib pajak.

“Itu jumlah yang kita data dalam tahun ini. Tapi tidak dapat dipungkiri memang, yang tidak memiliki izin juga tidak sedikit. Yang sudah ada izin juga sering bermasalah pada urusan pajak,” katanya.

Sementara itu, untuk masalah perizinan, setiap penambang galian C harus melengkapi segala dokumen yang dibutuhkan. Termasuk mendapat rekomendasi kepala desa dan camat setempat yang dijadikan lokasi penambangan.

“Izin dari kepala desa dan pihak kecamatan sangat penting bagi kami, karena mereka yang tahu persis kondisi di daerah mereka,” ujar Mustafa, Kepala Bagian Tata Usaha, Dinas Pertambangan dan Energi, Aceh Besar.

Sebelum mengeluarkan izin, pemerintah daerah Aceh Besar terlebih dahulu melakukan peninjauan langsung ke lapangan untuk melihat kondisi lokasi yang akan dijadikan tempat penambangan galian C. Untuk setiap penambang galian C jenis pasir ini mendapatkan izin selama setahun.

“Selain peninjauan awal, kita juga melakukan peninjauan setiap tiga bulan sekali untuk melihat aktivitas penambangan. Hal ini untuk mengetahui apa mereka melakukan penambangan dengan benar atau tidak. Karena dalam surat izin, penambangan juga dibatasi pada lokasi-lokasi tertentu. Seperti berdekatan dengan jembatan, bendungan atau perkampungan penduduk,” kata Mustafa.

“Setelah setahun kita akan evaluasi kembali, apa mereka layak mendapatkan perpanjangan izin atau tidak. Kalau mereka terbukti merusak lingkungan, maka akan ditindak,” kata Mustafa.

“Tapi masalahnya sekarang, ada yang tidak memiliki izin. Mereka bebas beroperasi mengambil pasir di mana mereka suka. Waktu kita tinjau ke lapangan, mereka tidak beroperasi,” lanjutnya.

Dampak lingkungan tetap saja ada, meski penambangan itu memiliki izin. Warga desa Reukhi Dayah, di kecamatan Indrapuri, merasakan imbasnya. Pinggiran sungai hancur dan makin meluas menyerobot tanah penduduk akibat penggunaan alat berat untuk mengeduk pasir. Air sungai menguning dan keruh.

”Sekarang mana bisa kita cari ikan lagi di sini, kalau dulu sebelum dikerok masih banyak batu-batu tempat ikan bersarang. Airnya pun jernih,” ujar seorang pemuda, warga desa tersebut.

Asnah, salah seorang penambang di desa itu, menolak dianggap merusak lingkungan.

“Saya memiliki izin sah dari pemerintah. Kalau dikatakan merusak lingkungan, lihat dulu bagaimana kondisi penambangannya. Tempat saya inikan jauh dari perkampungan dan jembatan,” ujarnya.

Lokasi penambangan Asnah memang tergolong jauh dari perkampungan penduduk, tapi jalan ke sana hancur dan becek. Jalan ini sering dilindas truk-truk berat pengangkut pasir. Ia juga  jalur umum yang digunakan warga desa untuk bepergian.

“Usaha saya ini juga ada izin dari kepala desa untuk melakukan penambangan di sini. Kalau kepala desanya tidak mengizinkan, mana berani saya. Selain itu, saya juga membayar kepada pemilik tanah yang tanahnya saya gunakan untuk menimbul pasir, dengan harga Rp 20.000,” katanya.

Data dari Dinas Pertambangan dan Energi menunjukkan nama Asnah sebagai salah seorang penambang galian C di desa Reukih Dayah, Indrapuri. Data tersebut menyebutkan bahwa Asnah memiliki izin untuk melakukan eksploitasi, dengan nomor 545.02/18-EKL/2007, pengolahan dan pemurnian, dengan nomor 545.03/03-PG/2007, serta pengangkutan dan penjualan, dengan nomor 545.04/08-PP/2007, masa berlaku izin sejak 5 Juni 2007 sampai 5 Juni 2008.

Pada tanggal 11 Maret 2008, pemerintah Aceh Besar telah melayangkan surat pemberitahuan kepada Gubernur Aceh, Walikota Banda Aceh dan BRR untuk mengawasi setiap pemakaian galian C di daerah kerja masing-masing.

Dalam surat yang ditandatangi langsung Bupati Aceh Besar, Bukhari Daud, dengan nomor 530/214/2008 menyebutkan bahwa pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami khususnya di Banda Aceh, berdampak pada penggunaan bahan galian C dalam jumlah yang cukup besar dan semuanya bersumber dari penambangan bahan galian C di wilayah Aceh Besar.

Akibatnya, jalan dan jembatan hancur di sekitar lokasi penambangan. Di sepanjang Kreung Aceh, air sumur warga mengalami kekeringan. Ironisnya lagi, penerimaan pajak bahan galian golongan C tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penambangan galian C itu sendiri.

DI tengah-tengah sungai itu terlihat tiga perahu berjejer. Laki-laki berbadan kekar dan berkulit hitam terbakar matahari berdiri mengelilingi perahu.

Setiap perahu berawak tiga orang. Satu orang berdiri di atas perahu, duanya lagi di dalam air, sambil sesekali menyelam seperti mencari sesuatu. Mereka adalah para penambang pasir. Namun cara mereka berbeda dengan yang dilakukan para penambang seperti Asnah. Mereka tidak menggunakan alat berat.

Para penambang pasir ini harus menyelam untuk mengambil pasir di dasar sungai dengan menggunakan pengeruk yang terbuat dari besi, berbentuk kerucut. Hasil penambangannya pun jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan alat berat.

”Dalam satu hari paling-paling kami cuma mendapatkan dua kubik pasir. Lebih dari itu mana sanggup lagi kita angkat,” kata Suwaidi, salah seorang penambang.

”Yang penting cukup untuk makan seharilah. Itupun kalau ada yang pesan hari itu juga, kalau tidak, ya terpaksa harus nunggu dulu,” sambungnya.

Menurutnya, penggunaan alat berat secara besar-besaran terjadi pascatsunami, karena pasir yang dibutuhkan untuk melakukan pembangunan kembali Aceh terus meningkat.

”Kalau sebelum tsunami ada juga yang memakai alat berat, tapi masih sedikit. Sekarang hampir rata-rata sudah pakai alat berat. Itu karena kebutuhan pasir di Banda Aceh sangat tinggi. Kalau tidak ada mereka (pengguna alat berat), kita juga kewalahan untuk menyediakan pasir,” katanya.

Tak jauh dari pemuda tersebut, terlihat ibu-ibu dan beberapa wanita muda sedang mencuci pakaian. Di sebelah mereka, anak-anak sedang asyik bermain air seolah tak menghiraukan dengan warna air sungai di hadapan mereka. Selain untuk mencuci pakaian, air tersebut juga digunakan sebagian warga untuk mandi, karena kebanyakan sumur mereka telah kering.

Pengaruh eksploitasi galian C secara besar-besaran membuat tanah dan sawah warga yang ada di pinggiran sungai lama-kelamaan hilang terbawa air.

“Jika hal ini terus berlangsung dan tidak ada larangan dari pemerintah, saya bisa bilang kalau ke depan tidak hanya jembatan yang akan roboh, mungkin kami masyarakat juga,” cetus Cut Nila.***

*) Junaidi Mulieng adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service. Ia mahasiswa Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry.

 

kembali keatas

by:Junaidi Mulieng