Di Bawah Pohon Waru

Feri Kusuma

Fri, 13 June 2008

Jenazah dua warga yang ditembak TNI di masa konflik, ditemukan tiga tahun setelah kejadian oleh keluarga mereka. Pelakunya tak terjerat hukum.

KONFLIK di Aceh tergambar dalam adagium ini: lage ta pajok boh  simalakama, meunyo ta pajok matee mak, meunyo han tapa jok matee yah (seperti makan buah simalakama. Kalau dimakan mati ibu, kalau tidak dimakan mati ayah).

Buah simalakama hanya kiasan. Ia penyebutan untuk pilihan-pilihan yang sulit.

Seperti halnya yang dirasakan lelaki ini. Namanya Iskandar Muda. Umurnya sekitar  21 tahun. Ia dikenal rajin dan ulet bekerja. Pagi hari Iskandar  sudah membuka warung kopinya.

”Ya, hanya sekedar warung biasa di kampung,” kisah Muslim Alamsyah, paman Iskandar, kepada saya.

Pada masa itu kondisi Aceh masih panas, masih berstatus Darurat Militer (DM). Aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) sering menyisir ke desa-desa mencari anggota GAM.

Jualan Iskandar tergolong laris. Biasanya hingga malam hari warung tersebut masih ramai dikunjungi orang yang rata-rata lelaki warga setempat. Bahkan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mampir untuk minum kopi di warungnya.

Iskandar merasa tidak tenang kalau GAM ngopi di warungnya,  meskipun jarang-jarang. Iskandar cemas mereka kepergok oleh aparat. Kalau Aparat TNI tahu, bukan hanya anggota GAM saja yang disiksa melainkan nyawanya pun akan terancam.

Akibat diteror rasa takut itu, ia berniat menutup warung kopinya.

Iskandar pun sempat mengungkapkan rasa takut serta niatnya tersebut kepada Muslim.

Namun, sang paman menyarankan Iskandar untuk tetap membuka warung.

”Saya sudah bilang, masalah kamu jualan kopi di warung tidak apa-apa, kalau ada orang GAM yang minum kopi tidak ada kaitannya dengan kamu. Tetapi dia tidak berani juga. Akhirnya minta pergi cari kerja tempat lain,”  tutur Muslim, mengenang saat itu.

Letak warung kopi yang dikelola Iskandar tak seberapa jauh dari rumahnya di desa Kurumbok, kecamatan Kuta Blang, kabupaten Bireuen.

PAGI 6 Agustus 2003,  pukul 08.00, Iskandar pamit pada Muslim. Hari itu ia berencana mencari tempat kerja di daerah lain. Ia berangkat dengan menumpang ojek. Setiba di desa Cot Mee, Iskandar berhenti untuk istirahat dan minum kopi di sebuah warung.

Pada saat ia sedang menikmati kesendiriannya ditemani secangkir kopi, segerombolan aparat TNI datang memeriksa Kartu Tanda Pengenal (KTP) warga yang berada di warung tersebut. Iskandar ikut diperiksa. Ternyata Iskandar tidak membawa KTP. Ia hanya mengantongi Surat Izin Mengemudi atau SIM.

Iskandar kemudian digiring keluar warung oleh tentara-tentara tadi. Tanpa banyak kata Iskandar dibawa dengan truk reo.

Menurut warga yang melihat kejadian tersebut, truk reo yang membawa Iskandar milik Marinir 612 Pos Samuti Rayeuk.

Truk menuju dusun Monjambe, yang merupakan salah satu dusun di wilayah desa Monkeulayu, di kecamatan Gandapura.

Deru truk memecah kesunyian dusun. Namun, warga tidak terlalu peduli dengan kehadiran sekelompok pasukan berbaju loreng ini. Pemandangan seperti ini sudah lazim mereka lihat.

Beberapa jam kemudian warga sekitar mendengar tembakan senjata yang beberapa kali menyalak dari areal tambak ikan yang berhimpitan dengan laut lepas.

Tidak ada yang berani mencari tahu alasan letusan senjata tersebut. Semua warga sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Sekitar pukul 12.00, berita penembakan di desa Monkeulayu telah tersebar ke seluruh pelosok desa hingga sampai ke telinga Muslim. Tapi Muslim tidak ambil pusing, karena kejadian seperti itu sudah sering terjadi di masa DM. Kalau bukan anggota GAM yang mati, ya warga biasa yang menjadi korbannya.

”Waktu itu saya tidak menduga yang kena tembak itu Iskandar. Saya hanya mendengar kabar penembakan dari ngomong-ngomong di warung kopi tapi tidak jelas siapa orangnya,” ujar Muslim.

Meski demikian ia tetap mencari Iskandar, keponakannya. Ia coba menanyakan kepada kerabat-kerabat dekatnya, tapi tidak seorang pun yang tahu di mana Iskandar.

”Setelah pergi pagi itu, Iskandar tidak ada berita lagi,” katanya.

IA menadahkan tangannya, memohon keselamatan anaknya kepada Yang Maha Kuasa. Ia tak bisa menyembunyikan kerinduan hatinya pada sang anak di wajah keriputnya. Namanya, Ti Hasanah. Usianya sekitar 50 tahun.

Anaknya, Sofyan, menghilang pada tahun 2003.

Sofyan, yang usianya 25 tahun saat itu, berkali-kali diburu aparat TNI. Entah ada sangkut paut dengan GAM, entah tidak. Abang Sofyan, Maisa, memang anggota GAM. Tapi pada tahun 1990, Maisa tewas dalam sebuah pertempuran di Sawang, Aceh Utara.

”Setelah kejadian itulah Sofyan dicari sama TNI, bahkan aparat beberapa kali datang ke rumah menanyakan Sofyan,” kata Hasanah.

Karena takut, akhirnya Sofyan memutuskan pergi ke dayah (pesantren) di Bireun. Beberapa hari ia di sana, rumahnya didatangi lagi oleh TNI.

”Karena abang Maisa anggota GAM yang sudah meninggal, jadi dicari adiknya pula. Saya tidak tahu kenapa. Apakah ada dendam atau ada informasi bahwa dia juga GAM, saya tidak tahu,” kata Saifuddin, adik kandung Sofyan.

Sejak ia dicari, Sofyan mulai berpindah-pindah dari dayah ke dayah di Bireun, bersembunyi dari incaran tentara.

”Hampir tiap hari aparat menanyakan Sofyan kepada saya. Kalau tentara datang ke rumah yang ditanya dia juga, itulah sebabnya foto Sofyan tidak ada satu lembar pun, habis semuanya saya bakar,” kata Saifuddin, yang diamini ibunya.

Sudah sekian lama bersembunyi, keberadaan Sofyan pun diketahui TNI pada tahun 2003. Sofyan mendengar informasi ini dari kawan mengajinya.

Ia mulai resah. Dalam keadaan takut ia pun pulang ke kampungnya di desa Lhok Bayeu, kecamatan Sawang, Aceh Utara. Di rumah ia menceritakan keadaannya kepada ibu dan adiknya. Seakan ia juga mengisyaratkan akan pergi untuk selamanya.

”Mungkin dia mau bertemu yang terakhir kalinya,” kata Hasanah, mengenang peristiwa itu.

”Dia sempat menceritakan ketakutannya kepada saya,” kata Saifuddin.

”Bagaimana ini ke mana-mana saya pergi diketahui oleh aparat. Saya harus pergi ke mana lagi,” kata Sofyan kala itu kepada Saifuddin.

Sejak itulah Sofyan tidak berkabar lagi.

Ti Hasanah dan Saifuddin pernah mencari Sofyan ke dayah tempat ia pernah mengaji. Tapi tak ada yang tahu keberadaanya.

HARI itu cerah. Beberapa nelayan yang baru pulang melaut melintasi areal tambak ikan. Tiba-tiba pandangan mereka membentur sosok manusia yang tergeletak di pantai.

Mereka segera memberitahu warga sekitar.

Berita itu langsung menggemparkan desa Monkeulayu.

Said Yunus, salah seorang warga, ikut mendengar kabar tersebut.

Setelah itu beberapa warga mengajak orang-orang tua gampong (kampung) bermusyawarah.

”Hasilnya, masyarakat sepakat mayat itu dilaporkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI),” kisah Said kepada saya.

Tiga puluh menit kemudian PMI tiba di desa Monkeulayu dengan mobil  ambulan.

Pada saat hendak mereka hendak memasuki ke areal tempat mayat tersebut ditemukan, relawan PMI dicegat aparat yang mendiami pos darurat di daerah itu. Mereka tak diizinkan masuk.

Lama-kelamaan, entah apa alasannya, TNI kemudian menemui warga dan menyuruh mereka menguburkan mayat tersebut. Tak hanya satu mayat, melainkan dua. Imam masjid dan warga datang mengambil kedua jenazah tadi.

”Secara hukum Islam, setiap ada orang meninggal harus segera dikuburkan,” kata Teungku Asnawi, teungku imeum (imam) Masjid Monkeulayu.

”Kondisi kedua mayat sudah mulai mengeluarkan bau busuk, kira-kira sudah satu minggu kejadian baru disuruh kebumikan oleh aparat pada warga,” kata Said.

Di tubuh kedua jenazah itu terdapat luka tembak.. Mayat yang satu kena peluru di bagian dada, sedang mayat yang lain tembus di bagian kepala. Selain luka peluru, di tubuh keduanya ada luka-luka penyiksaan.

Warga membawa jenazah itu ke masjid, dimandikan, lalu disemayam di bawah pohon siren (waru), yang berjarak sekitar 500 meter dari areal tambak ikan. Keduanya dimakamkan oleh warga dalam satu liang.

Said Yunus sukar mengusir wajah rusak kedua anak manusia itu dari benaknya, terus membayang.

”Setelah kejadian itu pihak keluarga kedua korban tersebut tidak ada yang mengetahui. Kami juga tidak tahu siapa keluarganya,” ujar Teungku Asnawi.

Sementara itu, Saifuddin di desa Lhok Bayeu masih setia menunggu kepulangan abangnya, Sofyan.

PADA 10 Agustus 2006, hampir dua tahun rakyat Aceh menjalani masa damai, tapi hati Saifuddin belum damai.

Ia sedang minum kopi bersama kawannya di sebuah warung. Seorang lelaki yang sudah lanjut usia duduk di hadapan mereka.

Lelaki itu bercerita tentang penembakan yang dilakukan TNI di desa Monkeulayu. Kejadiannya tiga tahun yang lalu. Ia menyebutkan ciri-ciri orang yang kena tembak.

“Orangnya besar, tinggi putih, ada geutuat (kutil) di kakinya,” katanya kepada Saifuddin.

Saifuddin merasa yakin bahwa itu abangnya. Sepulang dari kedai, ia menceritakan kisah bapak tua tadi kepada ibunya di rumah.

Pada 19 Agustus 2006, Saifuddin bersama ibunya pergi ke desa Monkeulayu. Mereka mencari orang yang mengebumikan jenazah korban penembakan di tahun 2003.

Setelah bermusyawarah dengan warga, Ti Hasanah dan keluarganya meminta kuburan itu dibongkar.

Pembongkaran kuburan ini juga dihadiri pihak Aceh Monitoring Mission, lembaga yang memonitor pelaksanaan perdamaian di Aceh, dan disaksikan perwakilan dari GAM wilayah Pase dan Lhokseumawe, Aceh Utara yang bernama Sabri Ismail.

Mendengar adanya pembongkaran kuburan korban konflik di desa Monkeulayu, tepatnya di dusun Monjambe, membuat Muslim Alamsyah tergerak datang di hari itu juga.

“Dari keterangan warga yang pernah mengebumikan jenazah tersebut, saya yakin kerangka satu lagi adalah kerangka Iskandar Muda yang dikuburkan satu liang sama Sofyan oleh warga pada saat itu,” kata paman Iskandar ini kepada saya.

“Meski tinggal kerangka, saya ingin jenazah Sofyan dikebumikan dengan baik di kampung di samping abangnya. Nanti kalau kami mau menziarahi tidak jauh-jauh pergi,” kata Ti Hasanah, ibu Sofyan.

Namun, jenazah Iskandar tak ikut dipindahkan keluarganya.

“Itu kan sebagai bukti sejarah kekerasan di Aceh,” kata Muslim.

”Meskipun sudah menjadi kerangka, yang penting kami tahu di mana kuburannya. Agar kami tidak penasaran lagi. Biarkan di tempat semula, di bawah pohon waru. Soal hukum itu tanggung jawab pemerintah,” lanjutnya.

Ia ingin pihak yang berwenang mengusut kasus ini dan menindak pelakunya secara hukum.***

*) Feri Kusuma adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh. Ia adalah staf Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh.

kembali keatas

by:Feri Kusuma