Meretas Jalan ke Helsinki

Widiyanto

Thu, 26 June 2008

Farid Husain, seorang dokter bedah, yang ikut mengupayakan perdamaian di Aceh. Dia belajar tentang konflik Aceh dari buku-buku dan warung nasi.

HUBUNGAN Jakarta dan Aceh memanas pada tahun 2003. Pemicunya adalah penangkapan lima perunding Gerakan Aceh Merdeka atau GAM di bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Kelima orang ini hendak terbang ke Tokyo untuk ikut dalam perundingan Cessation of Hostilities Agreement atau CoHA di minggu kedua Mei tahun itu. Setelah ditangkap, Nashiruddin bin Ahmed, Amni bin Ahmad Marzuki, Muhammad Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzzaman, dan Sofyan Ibrahim Tiba pun diadili dan dihukum dengan tuduhan makar dan melakukan tindak pidana terorisme oleh negara Indonesia.

Perundingan yang prosesnya telah dimulai sejak tahun 2002 itu gagal. Presiden Megawati Soekarno meminta GAM memenuhi tiga tuntutan Indonesia, yaitu Aceh tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), GAM harus menerima otonomi khusus, dan GAM harus meletakkan senjata.

GAM menolak. Seminggu pasca penangkapan para juru runding GAM, tepatnya 19 Mei 2003, pemerintah Megawati mengumumkan status Darurat Militer (DM) di Aceh.

Di masa ini pula dikenal istilah ‘KTP Merah-Putih’. Berbeda dengan kartu identitas penduduk pada umumnya, ‘KTP Merah-Putih’ ini berukuran lebih besar dan menggunakan lambang negara Pancasila sebagai logo. Sesuai dengan sebutannya, kartu ini berwarna merah dan putih. Tujuannya untuk mempolitisasi identitas orang Aceh sebagai bukti setia kepada NKRI.

Aceh kembali tertutup. Wartawan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dilarang meliput di Aceh kecuali atas izin komandan operasi DM yang waktu itu dijabat Mayor Jenderal Bambang Darmono.

Tapi dalam kabinet Megawati tak semua mendukung cara keras ini. Jusuf Kalla yang kala itu menjabat Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat memerintahkan Farid Husain agar tetap memelihara hubungan dengan pihak GAM.

Husain memang orang kepercayaan Kalla. Profesi resminya, dokter bedah. Tapi dia banyak terlibat dalam urusan konflik di Indonesia dan perundingan-perundingannya. Dia menerima tugas itu sebulan setelah DM berlaku di Aceh.

“Persisnya tanggal enam bulan enam tahun 2003,” kata Husain yang saya temui di kantornya di Departemen Kesehatan, di kawasan Kuningan, Jakarta.

“Saya ingat betul. Itu hari Jumat.”

Jusuf Kalla dan Husain sama-sama orang Bugis, Sulawesi, dan Sulawesi juga punya sejarah memberontak terhadap Jawa. Pemberontakan yang paling terkenal ialah ”Pemberontakan Kahar Muzakkar”.

Pada awal 1950-an Kahar Muzakkar mencopot pangkat letnan kolonelnya dan memimpin pasukannya melawan kebijakan Jakarta. Muzzakar protes terhadap rasionalisasi tentara yang mengharuskan anggota pasukannya diseleksi untuk masuk dalam tubuh tentara nasional Indonesia.. Muzzakar ingin pasukannya jadi bagian penuh tentara Indonesia tanpa syarat, karena mereka telah berjuang membebaskan negara Indonesia dari penjajah.

Pada 7 Agustus 1953, Muzzakar yang kecewa bergabung dalam Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan menjadi bagian dari empat poros wilayah gerakan ini, dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan, dan Daud Beureuh di Aceh.

Menurut Andi F Bakti dalam buku Collective Memories of Qahhar Movement, pada 15 Desember 1963 Muzzakar telah memerintahkan menteri luar negerinya, Kaso Abdul Gani, untuk memutus seluruh jaringan politik dengan Jawa yang diartikannya sebagai upaya menyelamatkan Sulawesi atas dominasi Jawa.

Motto yang mereka pakai pada waktu itu adalah Selamatkan Sulawesi!

Keduanya, Muzakkar dan Gani, membentuk negara Republik Persatuan Sulawesi (RPS) dengan Gani sebagai presiden atau pemegang kuasa organisasi.

Setelah Kahar Muzakkar tewas pada awal Februari 1965, sebagaimana yang ditulis Bakti, Gani mengkonsolidasikan kekuatan gerakannya bersama Hasan Muhammad Di Tiro atau populer dengan sebutan Hasan Tiro, yang ketika itu menjabat duta besar dan menteri luar negeri RPS sekaligus memimpin perlawanan Aceh terhadap Jawa. Tiro nantinya mendeklarasikan Negara Aceh Sumatra pada 1976 dan memimpin Front Pembebasan Aceh Sumatra, yang dijuluki pemerintah Indonesia sebagai GAM.

Inilah yang membuat sejarah Sulawesi punya kaitan dengan Aceh atau GAM. Dari sejarah ini pula, Kalla tahu bahwa orang Aceh membenci Jawa.

Kelak, ketika hendak mengupayakan perundingan damai antara Indonesia dan GAM di Helsinki pada tahun 2005, Kalla memilih orang non Jawa sebagai tim perunding dari pihak Indonesia. Husain termasuk di dalamnya.

”Pak Jusuf memilih saya karena saya dianggap familier, friendly dengan GAM. Jadi saya sebenarnya sudah GAM tapi hanya tidak melebur ke dalam GAM,” ujar Husain.

Di meja perundingan, Husain bukan tipe orang yang banyak bicara. Namun gayanya yang santai memberi efek tersendiri dalam ruang perundingan.

”Dia datang dan mengobrol ke rombongan kami. Dia ini lebih berat pada jalinan hubungan pribadi,” tutur perwakilan GAM, Nur Djuli, kepada saya.

Sementara juru runding di pihak GAM dipimpin oleh Malik Mahmud (perdana menteri GAM) dan Zaini Abdullah (menteri luar negeri merangkap menteri kesehatan GAM) dengan anggota Bakhtiar Abdullah (juru bicara GAM), Nurdin Abdul Rahman, dan Nur Djuli (intelektual GAM).

Pihak GAM ini masih diperkuat dengan sejumlah tokoh GAM luar negeri yang datang khusus untuk mendukung mereka dalam negosiasi, di antaranya Tengku Hadi dari Jerman dan Munawarliza dari Aceh Center di Washington, Amerika Serikat. GAM juga didampingi penasehat politiknya, Damien Kingsbury, seorang doktor ilmu politik dari Deakin University, Australia.

Juru runding pemerintah Indonesia terdiri dari ketua delegasi Hamid Awaluddin (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), dengan anggota yang terdiri dari Sofyan Djalil (Menteri Komunikasi dan Penyiaran), Usman Basjah (Deputi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan), I Gusti Wesaka Pudja (Direktur Bidang Hak Asasi Manusia dan Keamanan di Departemen Luar Negeri) dan Farid Husain. Dua anggota delegasi berasal dari Sulawesi Selatan yakni Hamid Awaluddin dan Farid Husain, dan seorang dari Aceh, yaitu Sofyan Djalil.

Dominannya juru runding dari Aceh dan Sulawesi Selatan di meja perundingan memunculkan sebuah gurauan bahwa perundingan Helsinki ini adalah perundingan GAM dengan GAM. Ya, antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Gerombolan Anak Makassar. Namun, Husain menampik hal ini, ”Pak Hamid dipilih karena dia tahu hukum, Usman Basjah bidang politik, dan Pak Agung Wesaka Pudja itu seorang diplomat.”

Perundingan pemerintah Indonesia dan GAM ini berjalan lima ronde, antara Januari hingga Agustus 2005. Ronde pertama dimulai 27 Januari 2005, sebulan sesudah bencana tsunami melanda Aceh. Perundingan pada ronde pertama berlangsung selama tiga hari di ruang perpustakaan di Konigstedt Mansion, sekitar 25 kilometer dari Helsinki. Di luar gedung salju turun menutupi jalanan dan juga halaman Mansion.

”Ini adalah hari bersejarah. Sebab, itu adalah awal dari tercapainya perdamaian di Aceh setelah konflik berkepanjangan,” kata Husain.

FARID Husain tergolong orang yang gemar berolahraga. Walau hanya sehari dalam seminggu, dia kerap melakukan aktivitas itu pada Minggu pagi. Biasanya Husain mengajak istrinya, Ratna Soedarinan alias Nana, untuk sekadar jogging di kawasan Senayan. Namun pada suatu Minggu pagi di pertengahan 2003 ada hal yang berbeda. Berangkat dari rumah dinasnya di perumahan pejabat tinggi sekretariat negara di daerah Slipi, suami-istri itu tidak langsung meluncur ke Senayan, namun berbelok arah menuju daerah Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Mobil Toyota Soluna yang dikemudikan Husain berhenti dekat sebuah warung makan.

“Ngapain kita ke sini?” tanya sang istri.

“Kita mampir dulu sebentar,” jawab Husain, sembari mengambil botol air minum di dekat joknya. Dia lantas membasahi handuk kecilnya agar terkesan basah oleh keringat. Kaos oblong yang dia kenakan pun dicipratinya dengan air secukupnya.

Keduanya lantas keluar dari mobil, menuju warung masakan Aceh itu. Husain menyebut warung tersebut warung ’pagi-sore’. Istilah ini dia pakai untuk merujuk jadwal operasi warung. Siang hari warung tutup. Julukan Husain yang lain untuk warung ini adalah warung ’kentaki’.

“Maksudnya kalau makan di situ, kentaki alias kelihatan kakinya,” ujarnya terkekeh.

Dia jadi sering datang ke warung ‘pagi-sore’ itu, sekadar untuk makan dan menghimpun informasi tentang Aceh. Di sela-sela tugasnya, Husain memperoleh informasi penting dari Sutejo Juwono, sekretaris Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat waktu itu. Juwono meminta agar dia menemui seseorang bernama Mahyuddin yang dikesankan Juwono sebagai orang yang punya banyak kenalan di kalangan GAM. Mahyuddin berbisnis dengan tentara.

”Dia memasok banyak peralatan tentara dan polisi,” kata Husain.

Husain meminta Juwono untuk mengatur pertemuannya dengan Mahyuddin. Dia dan Mahyuddin menginap di hotel yang sama: Hotel Sahid Makassar. Sesampainya di hotel setelah perjalanan dari Jakarta, Husain kemudian mendatangi resepsionis, menanyakan Mahyuddin sudah datang atau belum. Saat itu seorang pria berbadan kekar berdiri di belakangnya. Ketika resepsionis menjawab pertanyaannya, pria misterius itu terus saja memandanginya.

“Pak Mahyuddin?” tanya Husain, setengah menerka.

“Iya,” jawab pria tegap itu singkat.

Segera saja Husain mengajak Mahyuddin makan malam menyantap ikan bakar. Keduanya makan dengan santai, tak menggunakan sendok tapi dengan tangan langsung.

“Kebetulan cara makan orang Aceh dan Bugis sama. Jadi dari kebiasaan, kami berdua, relatif nyambung,” kata Husain. Meski baru pertama kali bertemu, keduanya merasa seperti sudah kenal lama.

Keesokan hari dia membawa Mahyuddin menemui Jusuf Kalla di rumah pribadi Kalla di Jalan Haji Bau, Makassar.

Mahyuddin bicara meledak-ledak di hadapan Kalla. Keras dan bersemangat.

“Farid, dia itu bukan GAM. Tapi dia lebih GAM daripada GAM,” kata Kalla kepada Husain, dalam bahasa Bugis. Husain mengamininya.

Setelah pertemuan itu, Husain makin sering menghubungi Mahyuddin. Biasanya mereka bertemu di Hotel Hilton Jakarta yang sekarang berubah nama menjadi Hotel Sultan di Jalan Gatot Soebroto, Jakarta.

Intensitas pertemuannya dengan Mahyuddin dimanfaatkan Husain untuk mencari informasi mengenai akses dengan pemimpin GAM di Swedia. Rupanya dia salah sasaran. Mahyuddin tidak punya koneksi bagus dengan Swedia.

“Mahyuddin disangka mata-mata karena dia terlalu sering berhubungan dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Tapi dengan GAM di lapangan dia dekat, dengan yang muda-muda,” kisah Husain kepada saya.

Mahyuddin orang yang menyuplai kartu telepon seluler untuk GAM di lapangan. Dia yang menjamin kelancaran komunikasi Husain ke orang-orang GAM di Aceh. Bahkan tak jarang Husain berbicara langsung dengan Panglima GAM, Muzakkir Manaf, lewat telpon seluler Mahyuddin. Saking seringnya menelepon, sampai-sampai Muzakkir Manaf hafal suaranya. Dari Mahyuddin pula, Husain mengetahui bahwa sifat kepemimpinan GAM itu sangat kolektif. Artinya, kita tidak bisa bertemu dengan satu orang saja tanpa yang lainnya tahu.

Mengetahui relasi Mahyuddin yang buruk dengan GAM Swedia, Husain mencari cara lain untuk berhubungan dengan Swedia.

Muncullah sosok yang di luar dugaan ke hadapannya.

Orang itu adalah Juha Christensen, peneliti bahasa asal Finlandia. Husain mengenal Christensen sekitar 20 tahun lalu, ketika Christensen melakukan pendataan 100 bahasa yang berkembang di Sulawesi.

Namun, proses mencari hubungan dengan Swedia tak semudah yang dibayangkan.

Pada Februari 2004, Husain berangkat ke Stockholm, Swedia. Seperti dijanjikan Christensen, dia akan dipertemukan dengan pemimpin tertinggi GAM. Ternyata pertemuan itu urung, karena Malik Mahmud dan Zaini Abdullah tak mau menemuinya meski mereka sempat berpapasan di lobi hotel.

Husain marah besar kepada Christensen, yang saat itu berprofesi sebagai pedagang speed boat

Telaso kau Juha, kau pembohong!!” umpat Husain kepada Juha. “Orang bule pembohong!”

“Maaf Farid, maaf Farid. Saya tidak tahu kalau sifat pemimpin GAM seperti itu,” sahut Christensen.

Relasi keduanya menjadi agak tegang. Saat itu juga, Christensen berjanji akan mengatur kembali pertemuan Husain dengan GAM Swedia. Dia lantas menghubungi koleganya, pemimpin redaksi majalah Suomen Kuvalehti, Tapani Ruokanen, guna menghubungkannya dengan mantan presiden negaranya Martti Ahtisaari yang juga direktur Crisis Management Initiative atau CMI, yang dikenal memiliki banyak pengalaman sebagai penengah konflik di beberapa negara.

Husain pun menemui Ahtisaari dengan didampingi Christensen dan Ruokanen. Mister president—sebutan Ahtisaari—hanya mengenal Ruokanen, yang kemudian mengenalkan Husain dan Christensen kepadanya. Setelah itu Husain berbicara 10 sampai15 menit tentang masalah Aceh, dan konflik-konflik di mana dirinya ikut ambil bagian dalam proses pendamaian. Setelah mendengar cerita Husain, Ahtisaari tertarik dan bersedia jadi penengah perundingan Indonesia dengan GAM.

LELAKI itu mondar-mandir. Sesekali dia melempar senyum, menyalami para hadirin. Sesekali pula dia berbisik-bisik pada koleganya. Badannya tambun. Rambut memutih. Raut mukanya menunjukkan dia sedang berbahagia. Bertempat di ballroom Hotel Four Season, Jakarta, awal Mei 2008 lalu, Husain seperti sedang menyelenggarakan reuni dengan pemimpin GAM. Sejatinya, acara pagi itu seminar Peace Processes in Indonesia. Penyelenggaranya adalah Indonesia Peace Institute-Interpeace Aceh Programme, sebuah konsorsium lembaga perdamaian yang bertujuan mengawal kesepakatan Helsinki.

Husain menjabat ketua panitia seminar. Pagi itu dia mengenakan tuxedo. Jas hitamnya dibiarkan terbuka, tidak dikancingkan.

Saya melihat Malik Mahmud dan Zaini Abdullah, dua mantan juru runding GAM di Helsinki. Mereka berada di meja barisan depan. Keduanya duduk semeja dengan penengah perundingan Helsinki yang juga mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari, dan wakil presiden Jusuf Kalla. Ada juga wakil gubernur Aceh, Muhammad Nazar. Mantan panglima tentara GAM, Muzakkir Manaf, duduk di kursi paling belakang, di pojok ruangan. Selain dari GAM, seminar juga dihadiri para praktisi perdamaian dari Poso dan Ambon.

“Memang tidak mungkin kita dapat menghilangkan konflik sama sekali. Karena dari sejarah peradaban manusia, konflik atau peperangan telah muncul sejak dulu, sejak Putra Adam, Qabil dan Habil yang bertikai karena kepentingan kekuasaan dan cinta,” kata Husain, saat memberi sambutan.

“Walau demikian, sejarah juga mencatat terdapat sejumlah konflik yang bisa diselesaikan dengan damai,” lanjutnya. Dia mencontohkan pengalaman Indonesia yang beberapa kali dilanda konflik, seperti di Poso, Ambon, Kalimantan, dan Aceh.

Masih dalam sambutannya, Husain mengatakan bahwa Indonesia tidaklah sendirian menghadapi konflik. Mengutip catatan sebuah lembaga riset, KOSIMO, dia menyebutkan sejak 1945 hingga 1999 ada 143 negara di dunia yang diguncang bermacam konflik. Dilihat dari upaya penyelesaiannya, konflik internal cenderung tidak menghasilkan suatu resolusi.

“Angkanya mencapai sekitar 73,5 persen,” tegas Husain.

Dan ada 51,2 persen konflik yang cenderung menyebabkan keruntuhan rezim yang berkuasa.

Memperhatikan data yang terakhir, kita bisa mengingat ambruknya Uni Soviet pada akhir dekade 1980-an sampai awal 1990-an. Negara komunis terbesar itu pecah berkeping-keping menjadi beberapa negara kecil baru dan satu negara besar hingga sekarang, yakni Rusia. Gejala bubar dan berkeping-kepingnya Uni Soviet ini terkenal dengan sebutan fenomena Balkanisasi, merujuk pada nama geopolitik kawasan Eropa Timur itu.

Elit politik Jakarta sangat cemas terhadap Balkanisasi ini, terutama sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto pada 1998. Saat itu beberapa provinsi mengajukan referendum terhadap Jakarta, seperti Riau, Papua, Aceh, dan juga Timor Leste yang akhirnya jadi negara merdeka pada 1999.

“Mengacu pada riset KOSIMO tadi, tentunya Indonesia boleh berbangga hati bahwa di tengah sejumlah negara tidak mampu menghasilkan resolusi, Indonesia mampu dan berhasil tanpa ada pihak yang merasa kehilangan muka,” kata Husain.

Resolusi yang dia maksud tak lain dari Kesepakatan Helsinki yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan GAM di ibukota Finlandia itu.

Husain membutuhkan waktu tak kurang dari dua tahun untuk menelusuri informasi, jaringan, dan mencari hubungan dengan para pimpinan GAM. Dia keluar-masuk hutan Aceh, terbang ke Singapura, Belanda, Swedia, hingga mencari saudara-saudara para pemimpin GAM Swedia yang tinggal di pinggiran Jakarta.

Husain saat itu benar-benar memposisikan dirinya sebagai penghubung pemerintah, baik dengan GAM di lapangan maupun GAM di Swedia. Dalam bayangannya, apa yang sedang dilakukannya semata-mata demi urusan kemanusiaan. Dia menyimak keluhan atau lebih tepatnya cacian elit maupun pemimpin GAM terhadap sentralisme pemerintahan Jakarta, kebrutalan tentara alias ‘baju hijau’ saat bertugas di Aceh. Buku-buku sejarah konflik Aceh dia baca agar mendapat gambaran dan latar belakang masalah.

Hasilnya, seperti yang dia tulis di bukunya yang berjudul To See the Unseen; Kisah di Balik Damai di Aceh. Husain menyimpulkan ada lima kelompok dalam GAM. Pertama, kelompok GAM Swedia.

“Mereka ini adalah tokoh-tokoh senior, sesepuh yang tinggal di Swedia,” katanya. Yang jelas bisa dimasukkan dalam kategori ini tentu pejuang GAM generasi pertama yang ikut mendeklarasikan berdirinya GAM pada 4 Desember 1976 seperti Hasan di Tiro, Zaini Abdullah, atau Malik Mahmud. Sedang kelompok kedua, menurut Husain, yakni pentolan GAM di hutan yang merupakan sayap militer dari gerakan ini.

Kelompok ketiga diidentifikasikannya sebagai GAM civil society, yakni mereka yang bergerak di kota. Sementara keempat adalah yang berperan sebagai think-tank GAM, para pemikir-pemikir dan pemasok informasi. Dan kelima, adalah mereka yang berperan sebagai perwakilan-perwakilan GAM di berbagai negara yang dapat disebut sebagai duta besar mereka.

Kategori ini berdasarkan perbedaan kerja, bukan berdasarkan faksi-faksi di tubuh GAM yang belakangan mulai terlihat ke permukaan.

Apakah perdamaian di Aceh akan langgeng? Apa pun jawabannya, Husain adalah salah seorang yang terlibat dalam mengupayakan perdamaian yang terjadi di Aceh hari ini.***

*) Widiyanto adalah Kontributor Pantau Aceh Feature Service di Jakarta.

kembali keatas

by:Widiyanto