imageACEH LON SAYANG, ACEH LON MALANG. Acehku sayang, Acehku malang. Slogan ini menggambarkan situasi Aceh pasca Daerah Operasi Militer (DOM) pada 7 Agustus 1998.

Harapan orang Aceh untuk hidup bebas dari rasa takut dan aksi kekerasan tinggal mimpi. Penculikan dan pembunuhan masih terus terjadi. Bahkan tak lama setelah DOM, Baharuddin Jusuf Habibie alias BJ Habibie, selaku presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saat itu, kembali menambah kemalangan Aceh dengan melanjutkan aksi pendahulunya, mantan presiden Soeharto. Habibie menerapkan operasi militer yang dinamai “Operasi Wibawa” pada awal Januari 1999.

Kondisi ini memicu perlawanan dari gerakan sipil. Puncaknya terjadi saat mahasiswa dan pemuda Aceh menggelar kongres perdananya yang dinamai Kongres Mahasiswa Pemuda Aceh Serantau atau KOMPAS. Pesertanya 386 orang dari 104 organisasi. Mereka terdiri dari mahasiswa, pelajar, santri, dan pemuda. Mereka berasal dari dalam dan luar negeri.

”Kita berkumpul untuk mencari format penyelesaian permasalahan Aceh yang telah berlarut-larut dan telah memakan korban yang sangat banyak,” ujar Said Fadhil kepada saya.

Ia mahasiswa Universitas Pasundan, Bandung, angkatan tahun 1998. Said jadih salah satu utusan  Komite Mahasiswa Pemuda Aceh Nusantara (KMPAN). Organisasi mahasiswa ini dibentuk pada akhir 1997. Anggota KMPAN adalah mahasiswa-mahasiswa Aceh yang berada di Pulau Jawa plus Sumatera. Mereka tersebar di sejumlah kota, seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Medan.

Dalam perjalanannya, KMPAN kemudian bekerja sama dengan Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh atau KARMA yang dipimpin Islamuddin. Dua organisasi ini yang menggagas KOMPAS.

Pada 31 Januari 1999, KOMPAS digelar. Ia diselenggarakan di Gedung Sosial, Banda Aceh. Kongres selama empat hari ini berlangsung alot. Peserta beradu pendapat dan gagasan untuk mengakhiri konflik Aceh.

“Dari kongres itu, satu delegasi memilih otonomi seluas-luasnya, tiga memilih federasi, 23 memilih pisah langsung dari RI (Republik Indonesia) dan selebihnya memilih Referendum untuk kemerdekaan Aceh secara  damai, yuridis dan demokratis,” ujar Tarmizi, salah seorang anggota presidium SIRA, sebagaimana dikutip Siar News pada Februari 1999.

Hasilnya, dua rekomendasi penting disepakati. Yang pertama memilih referendum dengan opsi merdeka atau bergabung dengan NKRI. Rekomendasi ini dinilai sebagai satu-satunya solusi adil, damai, dan demokratis, serta sebagai jalan tengah untuk penyelesaian kasus Aceh secara menyeluruh.

Rekomendasi kedua adalah mendirikan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) sebagai lembaga independen yang bertugas mengorganisasi informasi dan memperjuangkan nasib bangsa Aceh melalui referendum.

Kongres tersebut juga memilih Muhammad Nazar, yang saat itu mewakili Gerakan Intelektual Seluruh Aceh atau GISA, sebagai ketua dewan presidium SIRA.

”SIRA itu awalnya hanya lembaga cair untuk memfasilitasi presidium-presidium keanggotaan dari semua peserta kongres untuk menindaklanjuti aspirasi referendum,” kata Said.

Dalam hitungan hari setelah kongres berakhir, SIRA langsung menjalankan tugasnya. Berbagai sosialisasi, investigasi dan kampanye mulai dilakukan, baik pada tingkat lokal, nasional, bahkan internasional melalui jaringan-jaringannya yang ada di luar negeri, termasuk membangun jaringan dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka atau GAM.

“Diakui atau tidak, suksesnya referendum tidak terlepas dari dukungan pihak GAM sendiri,” kata Muhammad Taufik Abda kepada saya. Dalam kongres itu ia jadi ketua panitia sekaligus anggota dewan presidium SIRA.

“Kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang lebih terbuka seperti aksi demonstrasi dan segala macamnya pada waktu itu juga membuat isu referendum lebih cepat tersampaikan kepada masyarakat,” tambah Said.

Pada 28 Oktober 1999, SIRA menggelar aksi massa di muka Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) tingkat I Aceh. Aksi ini melibatkan 150.000 warga yang berdatangan dari berbagai daerah, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang. Ia diberi nama “Sumpah Bangsa Aceh”.

Acara tadi menghasilkan petisi dan komitmen untuk terus memperjuangkan referendum. Para peserta aksi juga memberikan mandat kepada SIRA untuk mengorganisasi perjuangan di tingkat lokal, nasional, dan internasional.

AKSI  terus berlanjut. Pada 8 November 1999. Sekitar 1,5 juta orang berkumpul menuntut referendum di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Aksi ini dinamai Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum atau disingkat SU MPR. Seluruh aktivitas di kantor pemerintah atau swasta, sekolah, perbankan, perdagangan berhenti total selama perhelatan akbar tersebut berlangsung.

Massa mengenakan ikat kepala bertuliskan "Referendum". Pekikan Allahu Akbar, alunan Shalawat Nabi, hikayat Prang Sabi, ataupun zikir, sebentar-bentar bergema yang dipandu sejumlah orang dari mimbar. Mereka itu antara lain, Akmal Aksal (pemandu acara), Muhammad Nazar (SIRA), Faisal Ridha (ketua panitia), Teungku Nuruzzahri (ulama), Teungku Bulqaini (pemimpin Thaliban), Fajri M Kasim (mahasiswa), Cut Nur Asikin (tokoh perempuan), maupun Muhammad Yus dan Muhammad Nasir Djamil (anggota DPRD Aceh).

“Saya tantang dengan teori mana pun terhadap pendapat yang menyatakan tuntutan referendum itu adalah separatis,” kata Muhammad Nazar, yang dikutip harian Kompas

Untuk pertama kalinya di depan massa, Pemerintah Daerah Istimewa Aceh beserta DPRD mendukung sepenuhnya pelaksanaan referendum.

Muhammad Nasir Djamil, yang saat itu menjabat ketua sementara DPRD I, menandatangani pernyataan dukungan. Tindakan serupa juga dilakukan Teungku Muhammad Yus dan Bustarji Mansur, wakil gubernur Aceh. Ketika itu gubernur Aceh, Sjamsuddin Mahmud, sedang berada di Jakarta.

Pernyataan itu menuntut sebuah referendum damai dan demokratis bagi rakyat Aceh, yang harus ditanggapi secara positif oleh semua pihak di tingkat nasional dan internasional.

Dalam poin selanjutnya, mereka berjanji memperjuangkan terwujudnya pelaksanaan referendum di Aceh secara transparan, damai, dan demokratis.

Pada poin lain juga disebutkan tentang penolakan terhadap segala bentuk militerisme di Aceh. Terakhir, pernyataan itu juga menyebut siapnya para penanda tangan pernyataan untuk menerima hukuman sosial dari rakyat Aceh bila mereka ingkar pada janjinya.

SETELAH sukses memobilisasi aksi-aksi massa, masalah internal mulai muncul di tubuh SIRA. Pemicunya cara pengambilan keputusan yang dilakukan SIRA di KOMPAS II yang berlangsung pada 20 Februari sampai 23 Februari 2000.

Kongres itu dilaksanakan untuk mengevaluasi kerja dan menentukan mekanisme kerja SIRA selanjutnya. Dalam kongres tersebut, organisasi Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh-Jakarta (IMAPA), menganggap SIRA sangat tidak demokratis.

”Mereka menggunakan praktek memaksakan kehendak, yang mereka anggap itu kehendak orang banyak. Padahal orang yang banyak itu kan adalah orang yang belum menentukan sikapnya,” tutur Fajran Zain, salah satu perwakilan IMAPA.

Fajran menambahkan bahwa belum adanya suatu jawaban yang pasti mengenai transparansi keuangan dan juga agenda pertanggungjawaban, makin menambah kekecewaan IMAPA terhadap SIRA.

”Oleh sebab itulah kami perwakilan dari Jakarta memilih walk out dari kongres, dan menyatakan tidak bertanggung jawab apapun lagi terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh SIRA,” lanjut Fajran.

Langkah IMAPA diikuti tiga organisasi lain, yaitu Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR), Forum Darussalam (FORDAS), serta Ikatan Remaja Muhammadiyah.

”Lucunya, SIRA waktu itu sangat membenci pemikiran-pemikiran yang mereka anggap pro otonomi. Dalam bahasa mereka, ‘bahwa hari ini kita harus berteman dengan teman-teman yang pro kemerdekaan atau yang pro referendum’. Yang pro otonomi seperti Jakarta, mereka tidak pakai. Harusnya kelompok-kelompok yang berseberangan pendapat itu mereka rangkul bukan malah disingkirkan. Banyak juga lembaga yang tidak setuju dengan kebijakan SIRA pada waktu itu, tapi mereka tidak punya pilihan, kalau tidak mereka akan disingkirkan,” kata Fajran, panjang lebar.

IMAPA memang dikenal sebagai salah satu organisasi yang vokal menyuarakan opsi otonomi khusus di KOMPAS I dan II.

Taufik Abda tidak mengelak. Namun ia menyesalkan keputusan pengunduran diri empat organisasi itu yang dinilainya terlalu terburu-buru menghadapi dinamika yang terjadi di SIRA.

”Kita semuanya mempunyai tanggung jawab masing-masing. Kalau memang belum ada mekanisme dan aturannya, kita bikin. Jadi jangan malah mengundurkan diri karena menilai SIRA tidak jelas. Jadi tanggung jawab sesudah SU MPR itu bagaimana?” katanya.

”Walaupun kemudian setelah evaluasi tidak benar, tapi di dalam teksnya, itu tidak ada teks yang dilanggar dikarenakan tidak ada aturan main yang diatur secara ketat. Ketika Anda lihat kok jadi seperti ini, karena dari awal kita tidak punya rencana. Tidak ada yang membayangkan SIRA akan besar seperti ini,” lanjut Taufik.

SIRA pun mulai berbenah. Badan Pengawas pun dibentuk pada KOMPAS II. Badan ini bertugas mengevaluasi dan mengontrol kerja SIRA. Tidak hanya itu, aturan hukum dan kode etik kembali disusun, juga Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD RT).

”Karena kalau hal-hal tersebut tidak dimiliki oleh sebuah organisasi, pasti akan bertubrukan. Karena akan main di level persepsi,” kata Taufik.

PERJUANGAN menuntut referendum memang tidak mudah, bahkan harus dibayar dengan nyawa. Situasi genting ini seiring dengan meningkatnya intensitas konflik bersenjata antara pihak militer Indonesia dengan GAM. Ratusan warga sipil meninggal saat itu.

Protes dan aksi demonstrasi meletus di berbagai tempat. Salah satunya adalah tragedi berdarah di bulan November 2000. Saat itu ratusan ribu warga Aceh yang ingin menghadiri pelaksanaan Sidang Raya Rakyat Aceh untuk Kedamaian (SIRA RAKAN) di Banda Aceh, ditahan aparat keamanan.

Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Aceh menyatakan bahwa pada tanggal 7 November sampai 11 November 2000, 30 orang meninggal dunia dan 62 orang lainnya mengalami luka-luka akibat tindakan aparat.

Saya sempat mendengar kesaksian Agus Mirlan, salah seorang warga yang mengikuti aksi tersebut.

Hari itu Kamis, 9 November 2000, pukul sembilan pagi. Agus bersama sekitar 20 orang lainnya berangkat dari Bireuen menuju Banda Aceh dengan naik truk. Sesampainya di Ulee Gle sekitar pukul 12 siang, mereka ditahan aparat Brigade Mobil atau Brimob. Agus bersama ratusan ribu massa yang lain bertahan dan menginap semalam di lokasi itu.

“Saat bentrokan itu, aparat keamanan tidak menembakkan senjatanya ke arah atas, tapi ke arah masyarakat. Teman saya bernama Tengku Hasan Basri juga dipukul belasan aparat hingga harus dirawat di rumah sakit,” kisah Agus.

”Aksi itu semakin memperkuat tekad dan komitmen SIRA untuk terus memperjuangkan referendum,” ujar Faisal Ridha, mantan ketua panitia SU MPR.

Namun tekad dan komitmen SIRA ini tidak dibarengi dengan keharmonisan di dalam struktur organisasinya sendiri.

Pergolakan demi pergolakan kembali terjadi. Bahkan kali ini SIRA dianggap oleh beberapa anggotanya yang berada di luar Aceh ibarat ’kacang lupa akan kulitnya’. Anggapan itu muncul saat SIRA memutuskan menyelenggarakan sidang umum tahunannya tanpa mengundang organisasi peserta KOMPAS, yang dengan kata lain adalah organisasi pembentuk SIRA. Sidang umum itu hanya diikuti perwakilan SIRA yang ada di Aceh.

”Jadi SIRA tidak mengatakan lagi bahwa KOMPAS itu sebagai forum tertinggi organisasinya,” kata Said Fadhil dari KMPAN.

“Saat itu mereka tidak lagi mau dikontrol dan tidak lagi merasa perlu melibatkan organisasi-organisasi pembentuknya,” lanjutnya.

Taufik Abda menepis kritik Said. Ia menyatakan bahwa saat ini hubungan SIRA dengan organisasi pembentuk adalah hubungan historis. Setelah KOMPAS II, SIRA mempunyai mekanisme tersendiri.

Taufik malah mengeritik kerja badan pengawas.

”Mereka tidak pernah melakukan rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan, padahal mereka mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja SIRA, termasuk melakukan pertemuan regular tahunan,” katanya.

Namun, ketegangan ini mereda.

Said kemudian diangkat menjadi anggota Dewan Presidium SIRA pada sidang tahunan SIRA di Jakarta, pada tahun 2002. Sebelumnya ia menjabat konsulat atau wakil SIRA wilayah Bandung.

PERLAWANAN rakyat Aceh itu membuat pemerintah tak tinggal diam. Muhammad Nazar, yang menjabat ketua Dewan Presidium SIRA ditahan pemerintah pada 20 November 2000.

Nazar dituduh melanggar pasal 154, 155, 160 dan 161 KUHP, tentang mengganggu ketertiban umum.

Pemicunya adalah saat SIRA menyerukan mogok massal pada 16 Agustus sampai 17 Agustus 2000.

Sejumlah spanduk bertuliskan ’Neokolonialis Indonesia’ terpampang di jalan-jalan. Pihak kepolisian menuduh SIRA menyebar spanduk bermuatan fitnah dan memicu konflik itu. Namun,  hal itu dibantah salah seorang anggota dewan presidum SIRA, Faisal Ridha.

”Mengenai spanduk, yang menulis itu adalah rakyat,” ujarnya kepada Radio Netherland, yang disiarkan 20 November 2000.

Menurut Faisal, penangkapan Nazar bertendensi politis dan penuh kerancuan hukum.

Semula pemerintah berharap dengan ditangkapnya orang nomor satu di SIRA itu dapat menjadi pukulan keras bagi anggota-anggota yang lain serta melemahkan kekuatan SIRA sendiri.

Penangkapan Nazar sama sekali tidak memperlemah kekuatan SIRA. Di samping karena komunikasi kami dengan Nazar tetap berjalan. Teman-teman di luar juga tetap aktif bekerja,” kata Faisal.

Nazar dibebaskan setelah 10 bulan mendekam di penjara.

Represi terhadap SIRA tak hanya itu. Musliadi, salah seorang aktivis SIRA, diculik di rumahnya pada akhir November 2002. Mayatnya ditemukan di lembah Seulawah, Aceh Besar.

Berbagai upaya pemerintah untuk menghentikan aktivitas SIRA belum juga berakhir. Nazar yang setelah kebebasannya masih terus aktif memperjuangkan referendum untuk Aceh, kembali ditangkap pada 12 Februari 2003.

Nazar dijemput paksa oleh polisi di malam Hari Raya Idul Adha, di rumahnya. Ia dituduh telah membuat keramaian tanpa izin dan melanggar Undang Undang Nomor 9/1998 tentang kemerdekaan menyatakan pendapat. Nazar bersama tahanan politik GAM lainnya kemudian dibuang ke Pulau Jawa. Mereka dipenjarakan di Lembaga Pemasyarakatan Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonisnya 5 tahun penjara.

SIRA kemudian membentuk Ketua Pelaksana Harian (KPH) pascapenangkapan Nazar.

“Nazar masih tetap menjadi ketua Dewan Presidum SIRA, akan tetapi setelah Nazar ditangkap untuk yang kedua kali, kami membentuk KPH,” kata Faisal Ridha.

KPH dijabat para anggota dewan presidium secara bergantian tiap tiga bulan.

Perjuangan itu menjadi kian sulit ketika kekuatan militer semakin besar di Aceh. Pada bulan Mei 2003, presiden Megawati Soekarno menetapkan status Darurat Militer di Aceh. Hal ini membuat SIRA memindahkan aktivitas perjuangannya ke Jakarta dan Medan.

“SIRA dikontrol pada waktu itu, karena di Aceh tidak ada satupun gerakan demokrasi yang bisa bergerak. Semuanya diredam oleh gerakan militer,” ujar Faisal.

SIRA belum menyerah. Aksi tetap dilakukan. Tidak bisa dilakukan di Aceh, di Jakarta pun jadi. Aksi itu diberi nama ‘Aceh Peduli Aceh’ yang digelar di akhir tahun 2003.

Sayangnya persoalan internal kembali menghantam SIRA dan melemahkan organisasi ini. Taufik Abda mengakuinya.

“Perubahan di dewan presidium lebih kepada persoalan pengunduran diri, persoalan kesabaran, dan persoalan persepsi terhadap dinamika yang terjadi di SIRA,” ujarnya.

Langkah konsolidasi dan penyelamatan struktur SIRA pun mulai dilakukan, seperti pelatihan organisasi untuk para anggota yang tersisa.

image

PERDAMAIAN yang telah lama dinanti akhirnya terwujud setelah pemerintah Indonesia dan GAM sepakat berdamai di Helsinki pada 15 Agustus 2005.

Kebebasan berpolitik yang sempat hilang saat konflik kembali didapatkan rakyat Aceh. Salah satunya adalah kebebasan untuk membentuk partai politik lokal seperti dimandatkan dalam Perjanjian Helsinki. Belasan partai lokal pun bermunculan bak cendawan di musim hujan sesudah itu. SIRA ikut memanfaatkan celah politik ini.

Niat awal membentuk partai politik lokal mulai diwacanakan pada Sidang Umum SIRA di Grong-Grong, Pidie, pada November 2005. Saat itu pendukung organisasi ini hanya tinggal segelintir orang saja. Banyak aktivis dan anggota Dewan Presidium SIRA yang tak aktif lagi.

Salah satunya Said Fadhil. Ia mengundurkan diri dari Dewan Presidium SIRA pada 2005. Ia memilih tidak lagi aktif di SIRA, karena telah menjadi Pegawai Negeri Sipil alias PNS. Said ditugaskan di Jakarta.

Dalam sidang itu SIRA mencoba membuat struktur baru, yang dinamakan Badan  Eksekutif SIRA.

Melalui pemilihan langsung, Nurzahri kemudian terpilih menjadi Ketua Badan Eksekutif SIRA yang pertama. Ia mengalahkan dua kandidat lain yaitu, Muhammad MTA dan Dawan Gayo. Padahal saat itu Nurzahri baru saja bergabung di SIRA. Nurzahri merupakan konsul SIRA di Bandung. Ia menjabat Ketua Ikatan Pemuda Aceh-Bandung. Selesai menamatkan kuliahnya di Institut Teknologi Bandung, jurusan Penerbangan, di pertengahan 2005, Nurzahri diajak teman-temannya untuk bergabung di SIRA.

“Pada prinsipnya saya adalah utusan baru dari presidium lama dari Bandung. Karena saat konflik semakin memanas hingga tahun 2005 sebelum MoU Helsinki ditandangani, SIRA praktis hanya tinggal sekitar delapan orang lagi,” kata Nurzahri.

Pengembangan organisasi pun mulai dilakukan Nurzahri. Terobosan pertama yang dilakukannya adalah membentuk sel-sel SIRA di setiap daerah yang menjadi basis GAM.

“Hampir semua daerah GAM itu kita buat sel SIRA. Caranya dengan meminta orang-orang kepercayaan dari GAM untuk menjadi konsul SIRA di wilayah. Dan saat itu SIRA masih mengusung tujuan yang sama, yaitu masih tetap memperjuangkan referendum. Dan memang sudah mulai terwacana mengenai masalah pembentukan partai politik lokal. Namun itu masih sekedar wacana. Dan itu masih pro-kontra,” ujar Nurzahri.

Nurzahri termasuk orang yang tidak sepakat jika SIRA menjadi sebuah partai politik. Pertama, ia beralasan, ada salah satu kesepahaman bersama bahwa ketika SIRA membentuk sel-sel di kantong GAM, itu ditujukan untuk mendukung intelektualitas para personil GAM yang saat itu masih banyak yang menggunakan pola-pola militer dalam menyelesaikan masalah.

Alasan kedua, mendirikan sebuah partai lagi di dalam garis perjuangan akan menyebabkan perpecahan di tingkat lapangan yang bisa berefek buruk terhadap GAM sendiri.

“Dengan mendirikan sebuah partai di jalur yang sama dengan GAM, itu sebenarnya menghancurkan GAM sendiri dan melemahkan nilai tawar Aceh di mata pusat. Karena kita tahu GAM bukan berorientasi kepada politik. Kalau memang dari dulu tujuan GAM hanya gubernur atau ingin duduk sebagai anggota dewan, saya pikir tidak ada orang yang mau berjuang selama puluhan tahun di hutan-hutan meninggalkan keluarganya,” jelas Nurzahri.

Langkah SIRA membentuk partai juga dikritik Fajran Zain dari IMAPA.

“Itu jelas melanggar etika organisasi. Seharusnya jika SIRA ingin membentuk partai, harusnya ada dibuat semacam KOMPAS III, di mana keputusan juga diambil secara kolektif,” ujarnya. Fajran kini menjadi staf ahli di Aceh Institute, sebuah lembaga yang berfokus pada penelitian dan pengkajian sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Namun ketika saya bertanya kepada Taufik Abda apakah Partai SIRA akan memecah dukungan massa bagi GAM yang juga mendirikan partai lokal, ia justru memiliki pandangan berbeda.

“Itu tidak benar. Alasan SIRA membentuk partai karena mandat dari MoU Helsinki. Itu kan sebagai alat perjuangan yang legal, dan juga bisa memberikan pendidikan politik bagi anggota-anggota SIRA yang ada sekarang,” katanya.

Dari perbedaan pandangan itulah Nurzahri kemudian memutuskan mengundurkan diri dari SIRA pada Agustus 2006. Ia tercatat terakhir aktif dalam kegiatan SIRA saat menghadiri rapat pencalonan diri Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar menjadi calon gubernur dan wakil gubernur Aceh melalui jalur independen.

“Ada beberapa konsul yang menanyakan alasan pengunduran diri saya dari SIRA. Namun saya menjawab, pilihan saya ini lebih terhadap pilihan pribadi. Karena pada waktu itu saya tidak berprinsip untuk memecah SIRA,” kata Nurzahri

Pasca Helsinki, SIRA tidak lagi mengkampanyekan referendum tetapi mengawal dan mendukung proses perdamaian berlangsung. Organisasi ini, antara lain, aktif mengawal proses pembuatan Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau populer disingkat UU PA.

Namun, batu sandungan tetap ada. Kali ini persoalan di tubuh SIRA tidak datang dari kalangan internal organisasi, melainkan berasal dari luar struktur SIRA.

Rentetan persoalan tersebut diawali pada 17 Februari 2006. Sekitar 100 orang yang dicurigai dari kalangan milisi (sipil bersenjata yang dilatih, didukung, atau dipersenjatai militer Indonesia) melakukan pengrusakan di kantor perwakilan SIRA wilayah Blang Pidie, Kabupaten Aceh Barat Daya.

Akibat pengrusakan tersebut pintu, jendela, dan satu unit radio tape dilaporkan hancur. Para pelaku juga merampas sebuah mesin ketik dan dua tas yang berisi buku-buku agenda dan dokumen SIRA.

Empat bulan berselang, masalah baru kembali mendatangi organisasi ini. Kali ini SIRA dituduh sebagai organisasi terlarang bersama 16 organisasi lainnya. Menurut Kepala Polisi Daerah Aceh yang menjabat saat itu, Inspektur Jenderal Polisi Bachrumsyah, SIRA merupakan organisasi ilegal karena tidak memiliki izin operasional dari pemerintah.

Pasalnya, empat aktivis SIRA ditangkap pihak kepolisian di dua lokasi terpisah, di Aceh Tamiang dan Aceh Barat Daya. Empat aktivis itu adalah Hanafiah, Samsul Bahri, Remi, dan Saharuddin, yang terakhir ini menjabat sebagai ketua SIRA Konsulat Aceh Barat Daya. Mereka ditangkap saat sedang menempel dan menyebarkan selebaran mogok massal selama setengah hari pada 12 Juli 2006. Ajakan mogok massal ini bertujuan menuntut DPR RI, pemerintah serta pihak lainnya untuk melakukan penyempurnaan UU PA yang ketika itu masih berbentuk rancangan. Agar UU PA itu nanti sesuai dengan butir-butir Perjanjian Helsinki. Tujuh jam kemudian, keempat aktivis ini dibebaskan

MENJELANG pertengahan Desember 2007, SIRA menggelar kongres di Wisma Bintara Pineung, Banda Aceh. Selama empat hari, mereka menggodok pembentukan partai lokal yang bakal ikut berebut suara dalam pemilihan umum 2009. Akronim nama partai itu tetap sama: SIRA. Namun kepanjangannya berubah menjadi Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Pemilihan akronim partai ini sempat berjalan alot di hari kedua kongres.

Sedikitnya ada 21 kepanjangan SIRA yang telah disiapkan Panitia Persiapan Pembentukan Partai Politik Lokal (P5L) SIRA, yaitu Seutot Indatu Rakyat Aceh, Solidaritas Independent Rakyat Aceh, Su Wali Rakyat Aceh, Sahabat Independent Rakyat Aceh, Saboh Ikat Rakyat Aceh, Seluruh Ikatan Rakyat Aceh, Sosialis Islam Rakyat Aceh, Save Islam Raya, Seuramoe Islam Rakyat Aceh, Society Indepent Rakyat Aceh, Solidaritas Insan Rakyat Aceh,  Seuramoe Islam Raja Aceh, Suara Intelektual Rakyat Aceh, Seuramoe Independent Republik Aceh, Seuramoe Jejak Indatu Rakyat Aceh, Sue Intat Rakyat Aceh, Suara Independent Rakyat Aceh,  Serikat Independent Rakyat Aceh, Serap Inspirasi Rakyat Aceh, Sentral Informasi Revoluasi Rakyat Aceh, dan Semua Ini Rakyat Aceh.

Tapi kenapa harus menggunakan nama SIRA?

Menurut Fajran Zain dari IMAPA, keputusan membentuk partai dengan tetap menggunakan nama SIRA, lagi-lagi, merupakan sebuah pelanggaran etika dalam berorganisasi.

“Buatlah apa namanya, tapi bukan SIRA. Itu kan keputusan orang ramai saat KOMPAS,” katanya.

Taufik Abda dari SIRA punya jawaban yang agak diplomatis seperti dikatakannya kepada tabloid mingguan Modus pada Desember 2007 lalu.

“Jika SIRA tidak menggunakan akronim SIRA sebagai nama partai, maka pilihannya nanti akan sangat banyak. Menggunakan akronim SIRA saja, kepanjangannya sudah lebih dari 21 nama,” ujarnya. Ia terpilih menjadi ketua Dewan Umum Pengurus Pusat Partai SIRA.

Pernyataan Ketua Internal Partai SIRA, Muhammad MTA, memperjelasnya.

“Partai SIRA itu merupakan alat politik praktisnya organisasi Sentral Informasi Referendum Aceh,” kata Muhammad MTA, terus-terang.

Sebenarnya, tidak hanya akronim SIRA yang jadi perdebatan alot selama kongres pembentukan partai. Masalah lebih besar justru disebabkan karena ada dua kubu yang setuju dan tidak setuju terhadap Peninjauan Kembali (PK) Anggaran Dasar Partai SIRA pada BAB VIII tentang Wewenang dan Kewajiban Pimpinan Partai yang menyangkut pembagian kekuasaan partai antara Majelis Tinggi Partai (MTP) dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai. Sebagian peserta menganggap kekuasaan MTP terlalu tinggi sehingga DPP akan dikendalikan oleh MTP.

Keributan dimulai ketika Muhammad MTA yang setuju PK merebut mikrofon dari Taufik Abda. Taufik saat itu menjadi ketua Panitia Persiapan Pembentukan Partai Politik Lokal SIRA. Ia hendak mengambil alih sidang ketika situasi sedang memanas. Puncaknya, kedua orang ini nyaris baku hantam.

Masalah itu berhasil diselesaikan lewat pertemuan tertutup yang juga diikuti oleh ketua MTP, Muhammad Nazar, yang saat itu menjabat sebagai wakil gubernur Aceh.

“Tidak ada kericuhan. Yang ada hanya perdebatan alot. Ini biasa dalam sebuah forum,” kilah Nazar, dalam keterangannya kepada pers waktu itu.

Bagaimana dengan nasib organisasi SIRA sendiri?

“Untuk sementara organisasi SIRA masih tetap akan ada. Pada sidang umum nantilah dilihat bagaimana kelanjutannya. Karena saat ini kami sedang berkonsentrasi untuk melengkapi persyaratan verifikasi yang akan kami daftarkan pada Departemen Hukum dan HAM  pada akhir Februari ini,” kata Taufik kepada saya.

Persiapan verifikasi telah hampir final. Ini berkaitan dengan prosedur formal yang harus dijalankan partai untuk menghadapi pemilihan umum di tahun 2009 nanti.

Sampai saat ini Partai SIRA telah memiliki pengurus cabang di 18 kabupaten atau kota.  Tentang kemungkinan berkoalisi dengan partai-partai lain, seperti dengan GAM, Muhammad MTA menyatakan bahwa hal itu sangat mungkin. Alasannya, Partai SIRA adalah partai inklusif.

“Kalau memang visi dan misinya sejalan, kami akan melakukan koalisi dengan siapapun. Asalkan itu memang untuk menguntungkan masyarakat Aceh,” katanya.

Kendala yang mungkin mengganggu adalah urusan dana. Ini masalah klasik yang dialami banyak organisasi non-pemerintah.

Menurut Muhammad, sampai saat ini Partai SIRA belum mempunyai anggaran permanen untuk operasional. Semua dana masih diperoleh dari sumbangan yang diberikan anggota partai.***

*) Rizky Fechrizal adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia juga wartawan majalah AcehPoint


by:Rizky Fechrizal