Empat Skenario Aceh

Basilius Triharyanto

Fri, 21 March 2008

Sebuah skenario dirancang guna menghadapi kemungkinan buruk. Dokumen tersebut, yang berjudul Aceh Meniti Transisi: Skenario Aceh Masa Depan (2007-2017), diluncurkan di Jakarta Maret ini.

imageKRITIK ACEH KEPADA Jakarta makin meruncing. Puluhan orang Aceh, plus sejumlah aktivis Jakarta, berancang-ancang mencegatnya. Sebuah skenario dirancang guna menghadapi kemungkinan buruk. Dokumen tersebut, yang berjudul Aceh Meniti Transisi: Skenario Aceh Masa Depan (2007-2017), diluncurkan di Jakarta Maret ini.

Sekitar tiga jam, di ruang dingin Hotel Hyatt Aryaduta yang luasnya seperti lapangan sepakbola, pertemuan itu dipenuhi oleh suara ketidakpercayaan Aceh terhadap Jakarta. Tindakan Jakarta, yang dicurigai berupaya mengulang Aceh lama, menggelinding amat deras. Isu pemecahan Aceh jadi dua provinsi, dipandang kuat sebagai upaya Jakarta untuk kembali merusak Aceh.

Deretan tokoh sipil Aceh hadir, baik yang ada di Jakarta maupun di Aceh, seperti Imam Syuja’ (politikus dari Muhammadiyah, kini anggota DPR), Rusjdi Ali Muhammad dari IAIN Ar Raniry Aceh, kolumnis Otto Syamsuddin Ishak, Amiruddin al Rahab dari Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia. Sponsor pembuatan skenario ini adalah Yayasan Tifa, sebuah lembaga donor dari Open Society Institute pimpinan milyarder George Soros dari New York.

“Isu Ala-Abas di Aceh pun berkembang, yang dipercaya sebagian kalangan, isu ini untuk memecah Aceh. Apakah benar atau tidak, tentu ada beberapa respon. Bagi initiative maker akan membantah, ini katanya dari rakyat. Tapi sebagian kalangan masih percaya, ini usaha pemerintah pusat untuk mencoba menaklukkan Aceh, yang keseluruhan tidak bisa, memecahkan Aceh,” kata Rusjdi.

Mengapa Jakarta hendak memecah Aceh? Rusjdi punya teori sederhana. Logikanya, kursi-kursi eksekutif, termasuk gubernur dan sebagian besar bupati serta walikota di seluruh Aceh, kini diduduki oleh orang-orang GAM atau SIRA. Dua organisasi ini dulu yang paling terdepan mengupayakan kemerdekaan Aceh dari Indonesia hingga perjanjian Helsinki diteken Agustus 2005.

Mereka ikut pemilihan umum sebagai “calon independen.” Dan mereka menang telak pada pemilihan umum 2007. Irwandy Yusuf, mantan kepala intel GAM, memenangi suara terbanyak untuk kursi gubernur.

Tahun depan, dimana partai-partai lokal bakal bertarung, kemungkinan besar kursi-kursi legislatif juga akan dimenangkan oleh orang-orang GAM dan SIRA.

“Jadi kalau eksekutif sudah jatuh, legislatif sudah jatuh, skenario sebagian kalangan, ‘Bagaimana lagi caranya ya pecahkan Aceh?’ Sekali lagi, saya pikir, apakah benar atau tidak, tentu masing-masing aktor beda,” kata Rusjdi, menjelaskan teorinya.

Selwa, aktivis dari komunitas Taman Medan, juga menuturkan kekecewaan terhadap masuknya kepentingan Jakarta ke Aceh. “Aceh akan maju dan berkembang, kalau semua tempat Kodam, Kodim di Aceh dibubarkan. Komisi pengadilan, jaksa, di bawah gubernur.”

“Seharusnya dikuatkan partai lokal. Tidak ada partai pusat. Partai pusat, saya lihat, di Aceh itu mengganggu. Dia membawa agenda dari Jakarta demi kepentingan kekuasaan. Saya lihat pemerintahan di situ, dengan berbagai cara, tidak memberikan Irwandy bekerja dengan baik,” kata Selwa, geram.

“Jakarta tidak rela memberikan otonomi Aceh. Jakarta masih mengotak-atik Aceh dengan berbagai masalah. Kalau orang Medan bilang, kalau main itu cantiklah, jangan jelek seperti ini,” kata Selwa.

image

TIGA TAHUN PASCA Helsinki, Aceh masih dirundung persoalan maha sulit. Aceh masih dibalut trauma masa lalu. Aceh masih dalam bayang-bayang perang. “Aceh punya waktu yang amat panjang mengalami konflik,” kata Imam Syuja’.

Pembunuhan lima orang GAM di Batulintang, Takengon, masih jadi penanda bagi Aceh lama. Sesungguhnya, kata Imam, kita inginkan perdamaian, bagaimana membebaskan Aceh dari ketakutan, memberikan kesempatan orang Aceh untuk berbuat, melakukan kegiatan-kegiatan sosial, budaya, ekonomi, politiknya.

“Tidak ada lagi provokator antara Jakarta dan Aceh,” kata Imam.

“Saya kira peran provokator membuat jurang pemisah antara Jakarta dan Aceh. Jadi saya harap sekali lagi, kita ingin Aceh Baru dari Indonesia Baru. Kita tidak ingin Aceh dan Indonesia itu menjadi kembali ke Aceh Lama dan Indonesia Lama.”

Dokumen itu sendiri disusun oleh Amirrudin al Rahab, Andi Achdian, dan Otto Syamsuddin Ishak. Mereka memperkirakan ada empat skenario untuk Aceh selama sepuluh tahun ke depan. Skenario ideal adalah apa yang disebut “Aceh Baru” dimana orang-orang Aceh bisa memiliki kemerdekaan mengatur diri mereka sendiri, dari bidang politik hingga kebudayaan, namun tetap bernaung di bawah negara Indonesia.

Skenario kedua adalah “Aceh Lama I” dimana Aceh kembali ke masa lalu, dimana kondisi ekonomi baik tapi situasi keamanan buruk, seperti pada masa awal 1970an.

Skenario ketiga, “Aceh Lama II” dimana Aceh kembali ke masa lalu dengan kondisi ekonomi buruk dan keamanan stabil, seperti masa perang. Lalu, “Aceh Hancur” dimana Aceh memasuki babak perang baru.

Keempat skenario itu mengacu pada kemungkinan-kemungkinan hasil pemilihan umum, baik tingkat Aceh maupun nasional tahun depan. Misalnya, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla kalah tahun depan –pasangan ini yang berperan pada kesepahaman Helsinki—apa yang akan terjadi pada Aceh?

Bila tahun 2009, pemilihan berlangsung demokratis, kemungkinan besar partai-partai lokal akan menduduki kursi mayoritas di DPR Aceh. Partai-partai nasional, macam Golkar, PPP, PAN dan lainnya, akan mendapat kursi minoritas di Aceh.

Idealnya, Presiden Indonesia yang baru juga mendukung perdamaian di Aceh. Idealnya lagi, apa yang disebut “Komisi Kebenaran” juga dibentuk oleh gubernur Aceh bersama DPR Aceh serta didukung DPR Indonesia dan Presiden Indonesia.

Selanjutnya, pada pemilihan daerah tahun 2012, juga berlangsung demokratis, dan dihasilkan gubernur baru dengan partai-partai lokal, yang sudah memiliki suara mayoritas di DPRA. Lalu, semua program reintegrasi eks gerilyawan GAM, yang dikelola Badan Reintegrasi Aceh, berhasil menyelesaikan tugasnya pada 2013.

Pada 2014, pemilihan anggota baru DPR Aceh dan Presiden Indonesia baru. Partai-partai lokal tetap menang mayoritas kuat di Aceh. Idealnya, presiden terpilih di Jakarta, tidak fasis dan militeristik. Dan anggota-anggota baru DPR Indonesia juga berpandangan terbuka  tentang hubungan Aceh dengan Jakarta. Mereka tidak lagi curiga Aceh hendak keluar dari Indonesia.

Sembilan tahun lagi, pada pemilihan 2017, gubernur, walikota-walikota dan bupati-bupati Aceh terpilih dari generasi baru. Dan, “Aceh Baru” menjadi nyata terwujud dalam sistem ekonomi, sosial dan politik yang terbuka. Kekuatan pembaharu Aceh berhasil meminimalkan pengaruh kekuatan-kekuatan konservatif Aceh dan mampu mengolah potensi Aceh tanpa banyak campur tangan Jakarta.

Menurut Otto Syamsuddin Ishak, ini skenario versi masyarakat sipil. “Nah, dalam masyarakat sipil itu ada berbagai macam kelompok sosial juga. Jadi nanti kalau dikeluarkan versi HUDA, silahkan itu. Ada masyarakat Pasai, silahkan keluarkan itu,” kata Otto, mengacu pada Himpunan Ulama Dayah Aceh, organisasi Islam yang berpengaruh, serta masyarakat Pasai di Aceh Utara.

“Artinya, kita mulai meletakkan kartu-kartu kita di atas meja, yang bisa dilihat oleh Indonesia. Mari kita perdebatkan. Mari kita perjuangkan untuk Aceh ke depan,” kata Otto.

“Kalau diletakkan keindonesiaan, bagaimana membangun keacehan dalam konteks Indonesia? Kita tantang Jakarta. Bagaimana membangun Indonesia dalam konteks keacehan harus dirumuskan. Bagi Jakarta, bagaimana membangun Indonesia di dalam Aceh?” kata Otto.

“Itu yang kita inginkan ke depan. Jadi ini betul-betul keluar dari struktur membaca NKRI. Kalau NKRI, kita sudah mengalami yang begitu buruk. Nation building-nya tidak pernah terbentuk. Nation state-nya selalu ribut,” kata Otto.

imageSKENARIO-SKENARIO INI cukup pedas ditanggapi beberapa peserta diskusi. Alfian Effendi dari Greenomics, menilai naskah skenario itu datar dan kering. Mereka seakan-akan hanya hasil diskusi tanpa memperhatikan metode penelitian yang sahih.

“Hati-hati menggunakan istilah skenario, apalagi untuk Aceh yang serba ketat, baik proses perdamaian, good governance,” kata Alfian. Dia mempertanyakan soal peranan Badan Rekontruksi & Rehabilitasi Aceh Nias dan keberadaan Peraturan Pemerintah, buatan Presiden Indonesia, yang tak dianggap sebagai indikator dalam skenario ini.

“Mungkin bagi Irwandy (Yusuf) pas baca ini, saya pikir, senyam-senyum, karena substansialnya sangat lemah,” kata Alfian.

“Sebagai salah satu warga Aceh, saya minta kepada Tifa untuk menunda publikasi laporan ini, sebelum ada indicative measures yang betul-betul diuji,” kata Alfian.

Salah seorang fasilitator diskusi, yang diadakan guna menyaring skenario ini, M.M. Billah, menerangkan, “Biasanya scenario planning itu dirumuskan cukup waktu. Nah yang disediakan panitia itu hanya tiga bulan, maaf tiga hari.”

M.M. Billah aktivis hak asasi manusia asal Salatiga, yang bekerja sebagai peneliti dan advokat hak-hak sipil, sejak 1980an. Dia pernah mendapatkan pelatihan advokasi dari School of International Training di Vermont, Amerika Serikat. Juga anggota Komnas Ham di Jakarta.

“Ketika saya memfasilitasi scenario planning Komnas Ham itu hampir dua tahun, di seluruh Indonesia, berjalan dari satu tempat ke tempat lain. Ketika dengan Yappika, mungkin sekitar 5-6 hari, waktunya lebih padat,” kata Billah.

“Sekali lagi saya hanya mendeskripsikan tidak membela diri,” kata Billah.

Miriam Nanggolan, wakil Yayasan Tifa, menanggapi, “Saya tidak malu mengakui sebagai orang Tifa bahwa ini masih harus dilengkapi lagi. Jadi, nggak apa-apa disini adu argumentasi. Buat saya juga seneng lihat orang Aceh itu di Hotel Aryaduta. Seru juga!”

Bagi Otto Syamsuddin Ishak, mengeluarkan empat skenario ini butuh keberanian politik dan intelektual yang luar biasa. “Satu ukuran yang luar biasa bagi saya. Apalagi tidak ada qanun yang mengharapkan skenario ini. Jadi jangan takut,” kata Otto.

Diskusi mulai dari, Rusjdi Ali Muhammad dari IAIN Ar Raniry Aceh mengatakan, “Beda Aceh Baru dan Aceh Bau itu selisihnya sedikit.” Disambut gelak tawa peserta diskusi.

“Kita menghindari jangan sampai Aceh menjadi bau. Aceh Hancur, Aceh Lama I, Aceh Lama II. Upaya kita mencegah kemungkinan itu, bersama menghimpun rakyat, menghimpun motivasi, menuju Aceh Baru,” kata Rusjdi.

“Mungkin akan shock sebagian orang. Eksekutif di Aceh sudah dikuasai oleh orang-orang yang duduk di hutan. Jangan-jangan legislatif, dengan partai lokal, akan dikuasai oleh orang-orang yang ada di hutan juga,” kata Rusjdi, lagi.

“Ha, ini Aceh dikuasai oleh orang-orang hutan … ha … ha …,” lanjut Rusjdi, yang disambut tawa lagi.

*) Basilius Triharyanto adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Jakarta. Salah satu donor Pantau adalah Open Society Institute. Kebijakan editorial Pantau Aceh independen dari semua lembaga donornya.

kembali keatas

by:Basilius Triharyanto