Melarang Bulan Sabit Terbit

Samiaji Bintang

Tue, 19 February 2008

Pemerintah di Jakarta melarang lambang bulan sabit yang digunakan Partai GAM. Gubernur Irwandi Yusuf mendesak agar aturan ini segera dicabut.

KEBENCIAN Aceh terhadap Jakarta seakan bangkit lagi. Kali ini muncul dalam diskusi yang diadakan di ruang utama D’ Rodya Café, sebuah rumah makan di Banda Aceh, menjelang pertengahan Februari 2008 lalu.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Sayed Fuad Zakaria, Sekretaris Jenderal Partai GAM Yahya Mu’az, dan beberapa praktisi hukum serta tokoh masyarakat hadir di situ. Mereka yang hadir ternyata satu suara mendesak  pemerintah Aceh ‘melawan’ kebijakan Jakarta.

Perlawanan ini dipicu oleh penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah yang diterbitkan pada bulan Desember 2007. Isi aturan ini menjelaskan jenis lambang daerah, kedudukan dan fungsi, desain, hingga rincian aturan penempatan lambang dan logo daerah.

Yang jadi titik perlawanan adalah bunyi pasal 6 pada Bab Desain Lambang Daerah. Ayat 4 dalam pasal ini menyebutkan bahwa “Desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain dan logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Apa itu logo dan bendera organisasi terlarang maupun gerakan separatis, ditegaskan dalam bagian penjelasan peraturan pemerintah ini.

“Yang dimaksud dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam ketentuan ini, misalnya logo dan bendera bulan sabit yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Aceh, logo burung mambruk dan bintang kejora yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Papua, serta bendera benang raja yang digunakan oleh gerakan separatis di Provinsi Maluku.”

Irwandi kontan berang dengan isi penjelasan ini. Ia pun merasa perlu menyampaikan kepada peserta diskusi di dalam kafe, terutama soal keganjilan beleid tersebut. Apalagi di situ disebut-sebut soal bendera bulan sabit yang kini menjadi lambang Partai GAM, dan masih adanya gerakan separatis di Aceh. Padahal setelah dua tahun perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan GAM ditandatangani di Helsinki, dia menegaskan, tidak ada lagi gerakan separatis di Aceh.

“Karena GAM telah mengintegrasikan dirinya dengan masyarakat dalam wadah NKRI,” katanya.

“Sepanjang amatan kita, sampai hari ini pemerintah pusat belum pernah mengeluarkan satu peraturan perundang-undangan yang menyatakan GAM adalah partai atau gerakan terlarang di Aceh. Karena itu sangat tidak logis bila dalam penjelasan pasal 6 ayat 4, PP Nomor 77 tahun 2007 masih dikatakan ada gerakan separatis yang menggunakan logo dan bendera bulan sabit di Aceh,” lanjut Irwandi.

Isu organisasi terlarang memang pernah merebak pada Juni 2006. Tanggal 21 Juni, gubernur Aceh Mustafa Abubakar yang kini menjadi Kepala Badan Urusan Logistik, saat itu mengirim surat kepada Mayor Jenderal Bambang Dharmono yang kala itu menjabat wakil senior pemerintah RI di AMM. Isinya adalah daftar organisasi ilegal yang ada di Aceh. Organisasi itu antara lain Sentra Informasi Referendum Aceh (SIRA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh,  Ikatan Pemuda Karya, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, Solidaritas Mahasiswa untuk Rakyat, Koalisi Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh, Cordova, Asosiasi Pedagang Kakilima Seluruh Indonesia, Front Perlawanan Separatis GAM, Front Benteng Rakyat Anti Separatis, dan Front Pembela Tanah Air. Namun di situ tak disebut soal organisasi GAM.

SESUAI isi poin 1.1.5 perjanjian damai Helsinki, Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, seperti bendera, lambang dan hymne. Ini kembali ditegaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006. Khususnya pasal 246 ayat 2 dan 3 serta bunyi pasal 247.

Hamid Zein, Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, menerangkan bahwa lambang daerah adalah panji kebesaran dan simbol budaya masyarakat yang mencerminkan ciri khas daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jenis lambang terdiri dari empat, logo, bendera, bendera jabatan kepala daerah, hymne.

Lambang daerah, kata Hamid, memiliki kedudukan sebagai identitas daerah yang berfungsi untuk mengikat kesatuan sosial budaya masyarakat. Lambang daerah, dia menegaskan, bukan simbol kedaulatan daerah. Lambang daerah Aceh yang saat ini disebut Panca Cita. Gambarnya berisi timbangan, kubah mesjid, padi, lada, kapas, cerobong pabrik, rencong, buku dan pena. Lambang daerah ini tidak permanen.

“Terserah nanti setelah (pemilihan umum) 2009,” kata Hamid.

Namun Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 seakan sengaja diterbitkan semata-mata untuk mengantisipasi dan mencegah keberadaan Partai GAM. Partai ini menggunakan lambang bendera dan singkatan yang sama dengan GAM. Lambang bendera yang digunakan adalah bulan sabit dan bintang putih yang diapit garis hitam dan putih pada bagian atas dan bawah. Selebihnya warna merah darah.

“Tidak pada tempatnya,” ujar Irwandi, “bila lambang daerah yang dimaksudkan dalam PP Nomor 77 tahun 2007 disangkutpautkan dengan lambang salah satu partai lokal di Aceh, yaitu Partai GAM.”

Terlebih lagi, menurut Irwandi, aturan yang menyangkut partai lokal sudah dipaparkan lebih rinci dalam peraturan pemerintah yang lain. Tepatnya, Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.

Sebagai kepala pemerintahan di Aceh, Irwandi juga tidak dilibatkan ataupun dimintai pertimbangan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007. Semestinya, berdasar pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006, “Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan pemerintah Aceh yang akan dibuat oleh pemerintah, dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh.”

Anehnya, prosedur penyusunan berdasar undang-undang yang disahkan oleh legislator di parlemen Senayan ini justru dilanggar sendiri oleh pemerintah pusat di Jakarta. Itu sebabnya pemerintah Aceh menilai wajar untuk menyatakan keberatan terhadap diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007. Ini, kata Irwandi, demi mematuhi undang-undang yang sudah dibuat. Terlebih lagi, dalam hirarki peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah berada satu level di bawah undang-undang.

“Saya mengimbau pemerintah pusat agar bijaksana mengeluarkan kebijakan, harus bijaksana, harus berdasarkan undang-undang. Undang-Undang Pemerintah Aceh itu bukan undang-undang negara lain, tapi ini undang-undang N-K-R-I,” katanya.

Irwandi tak sesumbar. Sebulan setelah berlakunya peraturan pemerintah tentang lambang daerah itu, tanggal 4 Januari 2008 pemerintah Aceh telah mengirim surat ke pemerintah pusat di Jakarta. Surat itu bersifat ‘amat segera’.

“Dalam upaya penegakan hukum dan menjaga keberlangsungan perdamaian di Aceh serta sebagai wujud komitmen terhadap MoU Helsinki, Pemerintah Aceh dengan surat nomor 188.31/545 telah meminta agar pemerintah pusat agar mencabut dan meninjau ulang Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007, serta akan diatur kembali setelah adanya proses konsultasi dan mendapat pertimbangan gubernur Aceh,” ujar Irwandi menegaskan.

Soal ini, Sayed Fuad Zakaria, selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, mendukung upaya Irwandi.

“Kalau gubernur merasa belum pernah dimintakan pertimbangan, saya setuju, mari kita surati pemerintah pusat bahwa ini belum sesuai dengan isi Undang-Undang Pemerintahan Aceh,” katanya.

KECEMASAN Jakarta terhadap GAM belum hilang, meski perdamaian sudah berlangsung lebih dari dua tahun. Apalagi setelah mayoritas pasangan kandidat GAM menang dalam ajang pemilihan kepala daerah lewat jalur independen, termasuk pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar yang kini berkuasa di Aceh. Bukan mustahil, bila Partai GAM menggunakan simbol dan bendera yang sudah amat dikenal di Aceh akan menang dalam pemilihan umum 2009. Kursi parlemen lokal bakal menjadi ambisi partai yang anggota dan simpatisannya adalah bekas kombatan ini.

Tak heran jika Sekretaris Jenderal Partai GAM, Yahya Mu’adz, mendukung langkah Irwandi. Tapi Partai GAM, kata dalam diskusi itu, berbeda dengan GAM. GAM pada nama Partai GAM bukan singkatan dari Gerakan Aceh Merdeka. Lantas?

“Ya GAM saja,” ujarnya, singkat.

Yahya menyatakan bahwa Jakarta belum ikhlas dalam menjaga dan menjalankan amanah Perjanjian Helsinki.

“Kalau keikhlasan ini tidak ada, (Aceh) akan kembali kepada kericuhan, akan kembali kepada hal-hal yang tidak diinginkan yang terjadi di Aceh di masa yang akan datang,” tegas Mu’az.

Sedangkan Irwandi yang baru setahun menjabat sebagai gubernur Aceh, menyatakan agar persoalan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 ini tak menjadi perdebatan yang malah memperburuk perdamaian di Aceh saat ini.

“Disadari atau tidak, semakin banyak kebijakan dan regulasi absurd seperti itu yang dibuat pusat (pemerintah Jakarta), maka di waktu bersamaan akan terjadi proses reduksi secara sistematis terhadap upaya damai di Aceh. Dan tentu kita semua tidak menginginkan itu,” tandasnya.

*) Samiaji Bintang adalah kontributor Pantau Aceh Feature Service di Aceh.

kembali keatas

by:Samiaji Bintang