VIHARA Dharma Bhakti tampak berbeda pagi itu. Tempat yang biasa terlihat sepi itu dipenuhi banyak warga Aceh keturunan Tionghoa.

Lampion merah telah dipasang. Wadah dupa berukuran raksasa dengan bentuk kepala naga dipajang berjejer di depan pintu masuk vihara. Asap tebal membubung dari pembakaran dupa, beraroma khas dan mencipta debu yang bertebaran seperti salju di mana-mana. Lilin merah besar berukiran naga ditaruh di depan patung-patung dewa.

Tiba-tiba seorang ibu tua berkaus oblong merah muda dengan paduan rok coklat gelap dan dilengkapi tas selempang kecil di bahu keluar tergesa-gesa dari pintu masuk. Tangannya memegang beberapa helai kertas warna-warni yang didominasi warna merah dan… sedang terbakar.

Ia bergegas menuju tungku yang menyerupai rumah merah dengan atap berbentuk prisma itu. Bagi saya, tungku itu mirip tempat penyimpanan air jika tidak ada lubang berbentuk segi empat di bawahnya.

Keringat mengucur deras di wajah Lelly Fajar.

“Hari ini Tahun Baru Imlek, tanggal satu buat kami keturunan Tionghoa, kalau Indonesia tanggal tujuh ya,” kata Lelly, sembari tersenyum lembut. Kalender hari itu menunjuk tanggal 7 Februari 2008.

“Semalam kami sembahyang sudah ucap terimakasih pada Tuhan Pe Kong dan Quan Im. Hari ini di permulaan tahun, kami kembali berdoa minta pertolongan dari Tuhan untuk lindungi kami, jauhkan kami dari tsunami atau segala-gala yang tidak baik,” katanya, seraya mengelap butiran keringat di wajahnya.

Tahun Baru Imlek adalah salah satu hari raya tradisional Tionghoa, yang dirayakan pada hari pertama dalam bulan pertama kalender mereka, yang jatuh pada hari terjadinya bulan baru kedua setelah hari terjadinya hari terpendek musim dingin di Tiongkok. Kalender tersebut dibuat dengan menggabungkan kalender bulan dan kalender matahari.

“Tadi yang dibakar kertas apa, bu?” tanya saya, penuh rasa ingin tahu.

“Kertas ini terdiri dari atas nama kami yang berniat, sedikit syarat sembahyang. Ini untuk tahu bahwa kami datang,” jawabnya, tersenyum.

“Seperti ini adalah membawa (memberitahu) kepada Tuhan bahwa kami yang datang. Kalau kami tidak bawa ini, Dia tidak tahu kami yang datang,” katanya, menunjuk sehelai kertas yang telah dibakarnya.

“Jadi kalau kita tidak panggil atau tidak buat apa-apa (membakar kertas sembahyang), Tuhan tidak tahu. Ini siapa gitu ya,” lanjutnya, tertawa kecil.

“Setelah sembahyang kami mengunjungi orang tua atau yang kami tuakan, kemudian kami mengunjung ke tetangga,” katanya.

Lelly mengibas-ngibaskan abu dari pembakaran dupa yang betebangan ke wajahnya.

Perayaan Imlek di Aceh berlangsung sangat sederhana. Tak ada bunyi petasan dan atraksi Barongsai. Hanya satu dua ruko (rumah toko) warga Aceh keturunan Tionghoa yang menggantungkan lampion di depan tempat usahanya itu.

Perayaan berpusat di vihara. Salah satunya di Vihara Dharma Bakti, yang merupakan klenteng terbesar di Banda Aceh. Letaknya sangat strategis, masuk dalam area pusat perdagangan Peunayong.

Setidaknya ada lima ribuan keturunan Tionghoa yang tinggal di kawasan Peunayong dan Pasar Aceh. Sebagian besar mereka berdagang di situ pula.

Tiga ribu dari mereka beragama Budha, sedang sisanya beragama Katolik, Kristen Methodis dan ada juga yang memeluk Islam.

“Di sini kita rayakan pergantian tahun Imlek dengan cara sederhana. Rumah saja tidak banyak yang pakai aksesoris Tionghoa,” ujar Lelly, lalu diam sejenak. “Itu karena kita tidak ingin terbentur, di sini kita Aceh ya. Kita masih menghormati Aceh juga.” Ia kembali tersenyum.

“Termasuk syukur kita di sini, mereka boleh izinkan kami sembahyang. Jadi kita hormat-menghormati, jaga-menjaga.”

“Tidak pernah ada larangan-larangan. Termasuk Aceh ini kasih izin segala aktifitas agama kami, seperti sembahyang, semua diizin,” tandasnya.

”Saya sejak lahir di sini, dari sejak ibu saya lahir di sini. Sudah termasuk seratus tahun. Tidak akan ke mana-mana lagi,” lanjutnya, tertawa.

Seusai berbincang, kami masuk ke dalam vihara. Sebelum meneruskan ritual agamanya, Lelly memberikan kertas yang bertuliskan namanya, Lelly Fajar, dan sederet aksara Cina.

“Ini nama Chinese ibu ya?” tanya saya sambil mengambil kertas tersebut. “Tapi saya tidak bisa baca ini bu, bisa ditulis dalam huruf latin,” pinta saya.

Lelly menuliskan nama Tionghoanya untuk saya: Lay Jek Sin.

“Sesudah WNI (warganegara Indonesia), kami tidak boleh lagi pakai nama Chinese, harus pakai ini.” Ia menunjuk nama Indonesianya.

“Saya tidak ingat lagi tahun berapa itu. Kalau tidak salah, waktu saya sekolah SKKA (Sekolah Keterampilan dan Kejuruan Atas), tahun ‘65 kalau tidak salah,” jawabnya sambil mengingat-ingat kembali tahun pastinya peraturan pemerintah itu diterapkan.

Orde Baru melarang segala yang berbau Tionghoa. Salah satunya soal ganti nama. Hal ini merupakan keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/ 12/1966. Kebijakan ini mencerminkan watak pemerintahan yang militeristik, yaitu ingin menyeragamkan semua hal, menghilangkan identitas tiap bangsa dan budaya yang ada di Indonesia, dan mengobarkan rasa benci pada perbedaan.

Belum puas dengan menerapkan peraturan ganti nama, pada tanggal 6 Desember 1967 Soeharto yang ketika itu menjabat presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina. Isinya semua upacara agama, kepercayaan dan adat-istiadat Cina hanya boleh dilakukan di lingkungan keluarga atau di dalam ruangan tertutup. Maka lenyaplah kemeriahan perayaan Tahun Baru Imlek sejak saat itu. Cap Go Meh, lomba perahu naga, bahkan tarian Barongsai hilang.

“Dulu saat pelarangan itu, bagi kami yang berniat tidak kami dengar juga. Kami punya agama Budha. Seharusnya kami punya hati sendiri. Walau ada perintah dari siapa pun, kami jalani terus (ibadah agama). Walau hari itu dilarang, sembahyang tetap. Walau di sini, walau di rumah,” kata Lelly, lirih.

Mimik wajahnya segera berubah. Keceriaan mulai lenyap di wajahnya.

“Terakhir saya lihat Barongsai itu waktu saya kecil. Saya lupa juga tahun berapa itu, sudah lama sekali,” kenang Lelly.

“Ini karena kami di Banda Aceh, kalau di Medan agak terbuka kalau di sini agak……belum. Mungkin kami suatu waktu ada (akan dilaksanakan).”

“Apa karena takut?”

“Oh tidak, pemerintah di sini bagus mau memberi izin kami, mungkin kami belum mampu sampai ke sana. Sebab Barongsai mesti dilatih dan diapa-apain. Karena itu (Barongsai) bukan sembarangan bisa pakai, mesti dilatih bagaimana gerakannya,” jawabnya.

“Tepatnya karena kita belum sanggup, bukan tidak kepingin. Bila kami minta, pasti dikasih. Karena pemerintah di sini baik, ya cukup baik meladeni orang Tionghoa di sini,” lanjutnya, panjang lebar.

Tarian Barongsai diawali dengan atraksi di depan vihara kemudian diteruskan ke setiap rumah penduduk untuk meminta keselamatan penghuni rumah yang didatanginya. Terkadang penduduk setempat memasang “ang pau” (uang dalam amplop) di depan pintu rumahnya untuk si Barongsai.

Kendala lain adalah untuk menyelenggarakan tarian Barongsai dibutuhkan dana tak sedikit.

“Pernah kita tanya waktu tahun 2005, dari Medan kita pingin undang ke Aceh tapi dengan harga 60 juta. Dengan harga segitu besar, kita pikir buang-buang duit saja,” kata Hasan, yang saya temui di vihara yang sama keesokan harinya.

“Akhirnya kita batalkan,” lanjutnya.

Hasan adalah salah satu pengurus Vihara Dharma Bhakti. Ia menjabat Sekretaris Yayasan Dharma Bhakti.

“Kalau di Aceh setiap ada Imlek kami tidak merayakan secara besar-besaran, tetap biasa saja. Tidak perlu seperti di Medan dan di Jakarta. Cukup datang sembahyang dari umat untuk minta rezeki dan kesehatan,” katanya.

Uang kas yayasan pun tidak terpakai banyak.

“Memang ada saat perayaan pergantian tahun, jam 12 malam itu, kita sediakan buah dan kue untuk persembahan dan dupa untuk sembahyang. Tapi itu tidak besar (nilainya), lagian dupa kan dijual,” ujar Hasan, seraya beranjak dari tempat duduknya.

“Dupa ini bagian dari adat sembahyang,” katanya, seraya menunjukkan seikat dupa yang dibalut plastik transparan.

“Besar kecilnya tergantung pada kemampuan. Kalau yang mampu beli besar, mana tahu dagangnya sukses tahun ini, ya mereka beli dupa besar,” tuturnya.

“Biasanya datang kita hormat pada yang tengah ini (wakil Tuhan),” kata Hasan. menunjuk satu patung yang letaknya di tengah patung dewa-dewi. “Kalau Tuhan langsung di luar (beri hormatnya),” lanjutnya.

“Yang terakhir pada Tuhan Tanah di sudut samping altar utama.”

Biasanya di tiap altar dewa ditancapkan tiga dupa atau kelipatannya dalam wadah yang terbuat dari kuningan, kemudian disusul dengan membakar kertas sembahyang di luar vihara.

“Dupa itu mereka ambil dengan membayarkan uang pengganti. Tapi kita tidak patokkan harganya,” katanya, tersenyum.

“Seperti minyak ini, kadang yang dimasukkan (ke kotak amal) lima ribu padahal harganya Rp 10 ribu, tapi juga ada yang masukkan Rp 50 ribu.” Ia tertawa.

“Ini minyak malinda, untuk menghidupkan terus lampu penerangan. Jadi lampu itu bisa hidup terus siang dan malam.” Hasan menunjukkan lampu itu kepada saya.

“Supaya mudah dapat rezeki, harus terang. Karena kalau kita tidak terang, apa yang kita cari semua tidak dapat dan tidak berhasil,” tuturnya.

Lampu penerangan terdiri dari mangkuk kuningan yang diisi dengan minyak malinda sebagai bahan bakar sumbunya.

Ada tujuh lampu di vihara itu. Lima di altar utama di bagian depan. Satu di altar Dewa atau Tuhan Tanah yang terdapat di sudut kiri ruang dalam vihara, dan satu lagi di altar luar. Pemuja yang datang akan membagi isi botol minyak malinda ke setiap lampu.

“Kemarin (saat Imlek), kami berkumpul bersama keluarga. Mengunjungi orang yang dituakan, kemudian tetangga, kawan. Seperti kalianlah,” kata Hasan merujuk kepada perayaan Lebaran dalam agama saya, Islam.

“Kalau Imlek, anak-anak umumnya berpakaian baru. Memang Imlek tidak seharusnya pakai baju baru, tapi banyak yang menganggap tahun baru itu lembaran baru, jadi harus pakai yang baru biar tahun yang akan datang lebih lancar lagi usahanya.” Tawanya kembali pecah.

“Panganan khas Imlek itu, Kue Keranjang. Setiap rumah pasti ada kue itu di samping kue lainnya. Tapi biasanya kita beli, tidak buat lagi soalnya repot buatnya. Butuh satu hari untuk mengukus kue keranjang. Repotkan?” Ia menatap saya, kemudian tersenyum, dan berkata, “Mending beli saja di toko.”

Hari itu Hasan berkaus hitam dengan tulisan “Thailand” di bagian dada. Tubuhnya gempal. Kulitnya hitam, berbeda dengan keturunan Tionghoa yang umumnya berkulit kuning atau lebih terang.

“Yang unik di Imlek, biasanya orang tua kasih ang pau bagi anak atau famili. Maknanya untuk mengucapkan terima kasih biar kesehatan dan usahanya lebih bagus,” katanya.

Menurut Hasan, besar ang pau tergantung kemampuan si pemberi. Nilainya tak terletak pada jumlah uang, tapi pada maknanya. Warna merah amplopnya merupakan warna kesuksesan. Orang tua memberikannya kepada anaknya agar sang anak sukses.

“Ibaratnya itu doa orang tua,” lanjut Hasan.

“Gong xi fat cay kalau kata orang. Gong Xi, kan salam. Fat Cay itu maksudnya berkembang, sukses.” Ia menyebut arti nama lain hari raya Imlek.

Hasan tertawa ketika saya menanyakan jumlah ang pau yang diterimanya. Ia memberinya kepada orang lain. Ia juga memberi ang pau untuk anaknya, teman yang lebih muda, dan tetangga.

Pengunjung Vihara Dharma Bakti rata-rata orang tua. Di Vihara Sakyamoni, yang berjarak dua kilometer dari sini, lebih banyak muda-mudi dan mereka belajar doa tiap Jumat malam. Di Dharma Bakti yang datang kebanyakan pedagang.

Dana vihara berasal dari sumbangan umat yang sembahyang sebulan dua kali. Dalam sebulan jumlah yang terkumpul sekitar Rp 3 jutaan.

Dana itu kemudian disimpan di bank untuk dipergunakan di hari-hari tertentu atau keperluan tertentu, misalnya untuk perbaikan atau membuat kuburan warga Tionghoa.

“Paling keperluan bulanannya, listrik, air. Gaji satu orang pegawai. Kayak saya, bantu-bantu, jadi mana ada gaji,” ujar Hasan, tertawa.

“Terkadang orang sembahyang membawa beras dan minyak, terutama dekat Imlek, banyak yang bawa begituan. Kemaren saja ada satu orang menyumbangkan sepuluh goni,” katanya bangga. “Sumbangan itu serta sedikit uang dari kotak amal kita serahkan ke Rumah Jumbo. Itu rumah sosialnya kita. Jadi mereka yang membagikan sumbangan tersebut ke fakir miskin.”

“Bagi kami kalau punya famili menderita berarti hidup kita itu di atas penderitaan orang lain. Kan famili tu dari orang tua kita, kalau tidak ada mereka kan, kita hari ini tidak bisa senang,” katanya tegas, sambil mendelikkan mata.

Hasan sudah 20 tahun di Vihara Dharma Bhakti. Ketika remaja ia aktif di Vihara Sakiyamoni.

“Pindah dari Sakiyamoni karena ortu (orang tua) saya yang jadi pengurus vihara ini meninggal, kemudian saya dipilih sebagai wakil ketua tahunan. Sekarang saya jadi sekretaris yayasan,” katanya bangga.

Perayaan Imlek yang paling meriah tahun berapa?

“Saya pikir sesudah tsunami ini perayaan Imlek lebih meriah. Itu karena sesudah tsunami semua manusia di Aceh ini kesadarannya lebih bagus, lebih percaya kepada Tuhan. Apalagi korban yang mencari uang sampai 40 sampai 50 tahun, tapi dalam sekejap habis.”

Kawasan Peunayong, tempat tinggal sekaligus usaha warga keturunan Tionghoa Aceh, tak luput dari tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Tinggi air yang diperkirakan satu setengah meter itu menggenangi dan bahkan merusak tempat usaha mereka.

Pagar tembok yang mengelilingi Vihara Dharma Bhakti ikut rusak.

“Tiga puluh juta habis untuk perbaikan pagar sekeliling vihara. Untuk pembersihan lumpur dilakukan suka rela oleh masyarakat. Ya, ada sekitar 10 orang datang bersih-bersihkan tempat ini. Sukarela kita,” kata Hasan, mengibas-ngibas kertas sebagai kipas, karena kepanasan.

Dharma Bhakti dibangun tahun 1936 dengan nama Ta Pek Kong, nama salah satu dewa. Saat itu bentuknya sederhana: rumah kayu beratap seng. Setelah tahun 1960, baru didirikan dengan bahan beton. Pendirinya, Fung Chung Ming dan sudah almarhum.

“Dulu ada vihara lainnya di Ulee Lheue yang dibangun di tahun yang sama,” kisah Hasan. Ketika tentara pendudukan Jepang mendarat di Aceh, vihara itu dibom hingga hancur.

Nama Vihara Dharma Bakti menggantikan Ta Pe Kong, karena pemerintah Orde Baru mengharuskan nama tempat ibadah Tionghoa menggunakan kata “vihara”. Salah seorang pengurus, pemilik toko Bima di Peunayong, berinisiatif memberi tempat ibadah ini nama: Vihara Dharma Bakti.

Vihara sebesar rumah bertipe 3×6 meter persegi ini didominasi warna merah. Namun, letaknya tidak sesuai dengan feng shui yang lazim dipakai orang Tionghoa sebagai untuk pedoman letak bangunan.

“Kalau kita untuk tempat sembahyang tidak pakai feng shui. Itu cuma kita gunakan untuk bangunan rumah dan tempat usaha bukan kepada Dewa,” kata Hasan.

Percakapan panjang kami terhenti ketika seorang pria setengah baya datang. Setelannya rapi, kemeja biru dan celana hitam.

“Itu ketua yayasan kami, Kemarin dia yang jadi ketua Pemuda Pancasila di kota Banda Aceh. Lihatkan karangan bunga ucapan selamatnya untuk Yuswar,” kata Hasan, bersemangat.

Hasan pun mendatangi pria tersebut dan bercakap dalam bahasa Mandarin. Sesekali pria itu melirik ke arah saya.

Yuswar menjabat Ketua MPC (Majelis Pimpinan Cabang) Pemuda Pancasila sekota Banda Aceh periode 2007 hingga 2011. Selain itu, ia juga aktif di berbagai organisasi seperti Persatuan Basket Seluruh Indonesia (PERBASI) dan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

“Dulu saya Ketua II Palang Merah Banda Aceh, tapi saat tsunami saya jadi korban jadi harus berobat. Telinga kanan saya hingga saat ini sulit mendengar,” katanya. Tapi tak ada lagi kesedihan yang tergurat di wajah itu.

“Saat tsunami, saya di toko sendiri, Fajar Studio. (Saya) Terbawa air, kemudian nyangkut di penjara Keudah. Istri sama anak dua hilang. Tapi anak saya yang hidup juga dua, besok mau married (menikah) lagi,” lanjutnya.

“Saya di yayasan baru setahun lebih. Beberapa hari lagi ada pemilihan ketua harian vihara. Saat ini saya ketua di yayasan juga merangkap wakil ketua pengurus klenteng. Kalau Pak Hasan sekretaris yayasan tapi juga pengurus vihara ini. Kalau istilahnya ketua markasnya lah. Hahahahahaha….”

Yuswar dan Hasan pun tertawa serentak.

Menurut Yuswar, semua hal berbau Cina dilarang pada tahun 1968. Barongsai tak boleh ada di Banda Aceh. Pasca Soeharto peraturan itu tak lagi dijalankan.

“Terus- terang kami merasa senang, sudah bebas tidak ada lagi diskriminasi. Memang satu dua masih ada yang harus diperjuangkan, tapi secara umumnya kami sekarang ini sudah cukup puaslah. Karena kepres-kepres (keputusan presiden) yang mengatakan nama Tionghoa tidak boleh dipakai sekarang sudah boleh. Kemudian bahasa, sekolah , majalah, tulisan sudah boleh digunakan. Imlek contohnya, sudah jadi libur nasional. Dulu jangan kan untuk libur, perayaan saja tidak boleh. Hehehehehe….”

Warga keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan Tahun Baru Imlek pada tahun 2000, ketika presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian presiden Megawati Soekarno menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002, yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

“Kalau imlek itu sebenarnya lima belas hari dari tanggal satu Imlek sampai tanggal 15. Jadi dulu-dulunya, waktu masih ada Barongsai tanggal 15 itu lah namanya hari Cap Go Meh. Cap Go Meh itulah untuk merayakan dengan Barongsai,” tutur Yuswar.

Istilah “cap go meh” ini berasal dari dialek Hokkian dan secara harafiah berarti hari kelima belas dari bulan pertama.

“Sebenarnya saya sangat ingin dan merencanakan supaya Barongsai itu didatangkan ke Banda Aceh. Ya, kita hidupkan kembali. Paling tidak sebagai hiburanlah,” katanya, optimistis.

“Bayangkan, ‘68 sampai sekarang 2008. Empat puluh tahun anak-anak saya, mungkin adik saya pun belum tahu Barongsai itu seperti apa. Paling kita tahu di tivi atau kalau kita ke luar daerah,” katanya, lantang.

“Sebenarnya ada kendala lain lagi untuk mengadakan Barongsai di Aceh. Pemain lama di Aceh sudah habis, meninggal semua, tidak ada lagi. Dulu waktu mereka main Barongsai saja, saat saya masih kecil, umur mereka 30 tahunan. Tambah 40 tahun kan 70 tahun. Umur segitu umumnya kan sudah meninggal.”

Keputusan di masa Soeharto membuat kaderisasi penari Barongsai terhenti.

Yuswar mengatakan bahwa dalam waktu dekat dia akan mendekati klab Barongsai yang ada di Sumatra Utara.

“Jadi kita dekati dulu mereka dan kita lihat apa tanggapan mereka. Kalau sudah ada, baru kita bicarakan di Banda Aceh dengan kawan pengurus bagaimana untuk mendatangkan, dana dan sebagainya. Kita kan harus mengurus izin dan sebagainya. Ya, pokoknya kita lihat waktunya.” Ia kemudian terkekeh-kekeh lagi.

“Jangan kita anggaplah itu budaya Tionghoa atau Cina, tapi kita anggap itu budaya sebagai khasanah penambahan bendahara budaya kita. Karena etnis Cina itu bukan baru di Aceh. Iya kan? Udah dari abad berapa di Aceh? Misalnya Cheng Ho, malahan dia bawa agama Islam. Jadi orang Tionghoa itu bukan baru. Kenapa tidak terima budaya orang ini sebagai salah satu etnis di Indonesia? Kita ada etnis Jawa, Batak, kenapa salah satunya bukan etnis Tionghoa dengan budayanya itu,” katanya.

Ia juga menyebut bahwa atraksi barongsai di Aceh bisa menarik wisatawan.

Berdasarkan catatan sejarah, hubungan Aceh dan negeri Tiongkok sudah lama terjalin sejak abad ke-13. Pedagang-pedagang Cina datang dan bahkan menetap, mendirikan kampong Cina di pinggiran pelabuhan yang sekarang diperkirakan letaknya di Peunayong.

“Tahun 2002 sempat mau diundang Barongsai. Kita sudah punya dana, tapi orang Medan tidak berani datang karena takut dengan keadaan Aceh saat itu,” kata Yuswar, lirih.

Yang ia maksud adalah situasi konflik di Aceh saat pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) belum berdamai. Meski selama 30 tahun konflik itu tidak terjadi kekerasan fisik terhadap orang-orang Tionghoa, tetap saja dalam urusan perdagangan menjadi hambatan besar.

“Yang namanya konflik, di mana-mana saja pasti ada terganggu. Terutama keamanan. Kan kalau keamanan terganggu, susah cari makan. Kemudian saat konflik di Aceh tu, jalan diblokir dan sebagainya. Ya, terjadi juga penghambatan pasokan barang dari Medan, terhambat juga dong usaha kita.”

“Kita di sini walaupun konflik, etnis Cina itu termasuk aman. Saya rasa dari pihak yang bertikai menganggap yang dihadapi pemerintah Indonesia, bukan masyarakatnya. Bukan etnis tionghoa dan masyarakat lainnya. Kalau harapan saya sama dengan masyarakat umumnya, gimana damai itu abadi. Kalau sudah damai kan aman, jadi segala bidang tu bisa maju. Hahahahahahha….” Tawa Yuswar kembali lagi.

Baruzzaman Ismail, Kepala Majelis Adat dan Aceh (MAA) Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, mengatakan bahwa selama ratusan tahun orang Aceh telah hidup berdampingan dengan warga keturunan Tionghoa di Aceh tanpa mengalami pergesekkan.

“Tidak pernah ada benturan seingat saya dan dalam cacatan sejarah juga tidak ada,” kata Baruzzaman.

“Jika saya analisis, semangat ekonomi mereka yang memandang lingkungannya sebagai mitranya adalah kunci mereka bisa berbaur di mana saja,” lanjutnya.

“Memang tahun ‘60-an, saat negara kita sangat panceklik. Hampir semua kehidupan kita antri. Antri rokok, antri beras, antri gula, sementara sebagian turunan Cina, hidupnya senang. Kemudian diperparah isu komunisme pada masa Orde Baru sehingga ada sedikit benturan. Tapi itu karena dampak politik. Itu pun karena ada pancingan orang. Tapi dari segi Aceh yang katanya sangat fanatik dengan agama itu, tidak pernah ada benturan,” kata Baruzzaman, lagi.

Menurut Baruzzaman, warga Tionghoa tidak punya misi agama di Aceh dan hanya kepentingan ekonomi. Hal itu membuat mereka bisa bertahan di Serambi Mekkah ini. Mereka juga menghargai tata cara Islam. Menjelang shalat Jumat, malah toko-toko Cina yang lebih dulu tutup. Syariat Islam di Aceh yang diberlakukan sejak 2001 mengharuskan semua kegiatan berhenti saat shalat Jumat.

“Saya kadang-kadang merenung, kalau hidup kita seperti Cina maka amanlah bumi ini. Ke mana pergi, dia tidak mengganggu agama. Kalau kita kan macam-macam. Ada bujukan beras, bujukan kain. Dia tidak pernah masuk ruang itu. Dia ke tepekong, tapi tidak ganggu orang,” tutur Baruzzaman.

Jam menunjuk pukul 13.30. Vihara Dharma Bhakti yang semula ramai dikunjungi para pemuja telah kosong. Tinggal debu dupa berserak di lantai.

Seorang perempuan tua tampak mengesik lelehan lilin yang mengeras di lantai. Dua lelaki, seorang Tionghoa dan seorang Aceh, duduk beristirahat di ruang belakang vihara.

Lelaki Tionghoa itu terkulai lemas di bangku. “Dari semalam (jam 12) saya bantu-bantu di sini. Capek,” katanya, bernada kesal.

Lon Sabirin (Nama saya Sabirin),” jawabnya, agak ketus, saat saya menanyakan namanya.

“Sabirin Lamno!” teriak teman Aceh-nya, lalu tertawa. Lamno adalah nama sebuah kecamatan di Aceh Besar.

“Tidak ada semangat apa pun. Bagaimana semangat? Kita sudah tua. Kita syukuran buat apa? Saya tidak semangat,” jawab Sabirin, ogah-ogahan, ketika saya menanyakan makna Imlek baginya.

“Ya, kalau ada uang saya beli Honda, kayak gini apa semangat. Kayak situ semangat, uang banyak.” Ia mencandai saya.

Nyoe Jawa heh? (kamu orang Jawa?),” tanya Sabirin, mencoba menerka asal saya. Maklumlah, banyak pekerja lembaga bantuan yang datang ke Aceh pascatsunami kebanyakan dari Pulau Jawa.

Hanjeut bahasa Aceh leubeh geut matee mantong, Keupe cit tinggal bak Aceh (tidak bisa bahasa Aceh lebih baik mati lah, untuk apa tinggal di Aceh),” katanya.

Ureung pungo (orang gila)! Bahasa sendiri ndak bisa, payah pajoh asam sunti (harus makan asam sunti, sejenis belimbing sayur yang dikeringkan),” cetusnya, setelah mengetahui saya orang Aceh, namun tidak berbicara dalam bahasa Aceh. ***

*) Novia Liza adalahkontributor Pantau Aceh Feature Service di Banda Aceh. Ia mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry

by:Novia Liza