“MAAF, bapak-bapak sudah lama menunggu. Saya baru datang dari Bener Meriah. Ada urusan sedikit,” kata Iwan Gayo, ramah menyambut tamunya.

Lima lelaki itu sudah sejam menunggu. Mereka sengaja diundang Iwan datang ke rumahnya di Paya Tumpi, Takengon, Aceh Tengah. Iwan mengajak saya menemui mereka pada 7 Februari lalu.

Iwan menjelaskan maksud undangannya secara panjang lebar. Intonasi suaranya naik turun mirip juru hotbah di gereja atau masjid. Sebentar-sebentar dia berdiri, lalu duduk lagi.

“Aspirasi pemekaran ALA ini merupakan kehendak orangtua kita dulu termasuk ayah saya, Abubakar Bintang, ketua PNI (Partai Nasional Indonesia). Sejak 1945 mereka berjuang. Tapi belum sempat diurus karena Aceh perang terus, mulai Belanda sampai Gerakan Aceh Merdeka,” tutur Iwan.

Lima lelaki itu terdiam mendengar penjelasan Iwan. Tak sepatah katapun mereka menyela.

“Sebagai kepala desa tolong katakan kepada rakyat bapak. Katakan kepada mereka bahwa rakyat Aceh pedalaman yang berkumpul di lima kabupaten menghendaki satu provinsi. Supaya kita bisa urus rakyat ini. Kalau ada dukungan, yuk kita ramai-ramai ke Jakarta. Kita beri dukungan kepada komisi II DPR RI supaya cepat tandatangani UU pemerintahan ALA,” lanjutnya.

Iwan memperlihatkan secarik surat seorang kepala desa lain kepada tamunya. Surat itu menjadi tanda kesediaan kepala desa itu untuk ikut ke Jakarta. Dia juga setuju mematuhi sejumlah syarat yang tertera di akhir surat antara lain; dilarang membawa senjata tajam, harus tertib, dan… yang paling penting, bersedia tidur di gedung DPR untuk memperjuangkan tuntutan tersebut.

“Saya mau ikut pak. Saya siap,” kata salah seorang tamu.

“Yaa… saya bersedia,” sambung lelaki di sebelahnya.

“Saya usul seluruh kepala desa berkumpul dulu sebelum ke Jakarta. Masih banyak yang belum tahu proses perjuangan ALA. Mereka harus diberi pemahaman dulu,” kata kepala desa lain, menyela.

Pergi ke Jakarta bukan perkara mudah, apalagi jarak Aceh ke  Jakarta cukup jauh. Butuh biaya besar ke sana.

“Kita tarik sumbangan, minimal lima ribu rupiah.” kata Iwan kepada tamunya.

Menurut rencana, para pendukung pemekaran provinsi akan pergi ke Jakarta April 2008 nanti. Artinya masih ada waktu dua bulan untuk mengumpulkan sumbangan. Iwan lantas menyodorkan formulir sumbangan kepada para tamunya.

“Jumlah sumbangan ditulis beserta identitas jelas,” kata Iwan, lagi.

Iwan Gayo merupakan salah satu anggota Komite Percepatan Pembentukan Provinsi ALA (KP3 ALA). Dia ditunjuk sebagai juru bicara.

Aktivitas baru ini mengharuskan Iwan kembali ke kampung halamannya. Sebelumnya, dia menghabiskan hidup di Jakarta selama 40 tahun sebagai wartawan lepas dan membuka usaha percetakan. Dia juga penulis Buku Pintar yang populer di kalangan murid-murid sekolah.

Sejak menjadi juru bicara, kesibukan Iwan meningkat. Hampir tiap hari dia pergi ke kampung-kampung untuk menjelaskan tujuan pembentukan ALA dan mencari dukungan.

Rumahnya tak pernah sepi dari tamu. Mereka yang datang terdiri dari wartawan, mahasiswa, pejabat sampai mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mungkin itu sebabnya beberapa lelaki berseragam polisi sesekali terlihat berjaga di dekat rumahnya. 

“Kami harus meyakinkan bahwa pemekaran ini didukung oleh seluruh rakyat ALA,” katanya kepada saya.

ACEH Leuser Antara atau biasa disingkat ALA meliputi kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Singkil, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara.

Selain ALA, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)mengusulkan rencana pembentukan provinsi Aceh Barat Selatan atau dikenal dengan ABAS. Wilayah ABAS mencakup kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue.

Meski spanduk-spanduk tuntutan pemekaran provinsi selalu menulis nama ALA-ABAS, ide pembentukan provinsi ALA punya sejarah lebih panjang. Gaungnya juga terdengar lebih nyaring. Para penggagas ALA melakukan kampanye dengan pagelaran budaya atau demonstrasi.

Penamaan Aceh Leuser Antara pun mengandung tiga makna. ‘Aceh’ mewakili posisi geografis, ‘Leuser’ mewakili daerah yang berada dalam kawsan Taman Nasional Gunung Leuser, dan ‘Antara’ mewakili entitas kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

“Usulan nama provinsi sudah berkali-kali berubah, sebelum akhirnya bernama ALA. Awalnya bernama Galaksi, akronim dari Gayo Alas Kuala Simpang  Singkil. Kemudian GATS dengan akronim yang sama dengan Galaksi. Belakangan Kuala Simpang atau Aceh Tamiang batal ikut gabung,” kata Iwan kepada saya.

Harian Kompas, pada 7 Oktober 2005, menulis aspirasi pembentukan provinsi ALA dibahas serius di Brastagi, Sumatera Utara, pada Mei 2001. Pertemuan itu dihadiri para tokoh pemekaran, anggota Komisi Pemerintahan DPR RI, dan pejabat Departemen Dalam Negeri. Pertemuan diadakan secara rahasia karena saat itu isu pemekaran sedang sensitif.  Tiga tahun kemudian, aspirasi itu disahkan DPR RI menjadi rancangan undang-undang inisiatif DPR. Penggagas pemekaran di lima kabupaten menggelar kongres pembentukan provinsi ALA pada Mei 2005. Saat itu dana untuk mewujudkan provinsi baru telah terkumpul Rp 20 miliar.

Pada Oktober 2005, mereka melakukan demonstrasi di Jakarta. Sekitar 500 peserta, kebanyakan dari penduduk Aceh perantauan, mendesak pemerintah melakukan pemekaran provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

“Usulan pembentukan provinsi ALA sudah lama didiskusikan di era Presiden Aburrahman Wahid, dibahas di era Megawati Soekarno Putri dan diharapkan lahir pada awal era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” kata ketua harian KP3 ALA Rahmat Salam, kepada harian Kompas, ketika itu.

Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma’ruf, saat itu mengatakan permintaan pemekaran provinsi dianggap wajar. Namun, dia  menilai usulan pemekaran belum prioritas karena pemerintah sedang disibukkan oleh perjanjian damai dengan GAM. Apalagi kondisi Aceh waktu itu tengah di masa pemulihan pascatsunami.

Pengurus KP3 ALA akhirnya mengalah setelah mendengar penjelasan pemerintah.

“Waktu pertemuan di rumah saya di Jakarta, pengurus komite sepakat mengendapkan sementara aspirasi pemekaran. Kita tidak mau ganggu konsentrasi pemerintah terhadap MoU dan penanganan Aceh pascabencana,” kata Iwan.

Setelah situasi Aceh aman dan dipimpin oleh gubernur baru, desakan pembentukan provinsi ALA kembali mencuat. Seperti diberitakan harian Serambi Indonesia, 23 Januari lalu, pemekaran provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diusulkan anggota DPR saat menggelar rapat paripurna. Ia akan dibahas bersama 21 usulan pemekaran wilayah di Indonesia.

“Anggota komite kemudian kembali merapatkan barisan setelah. Kita akan mengawal DPR supaya tetap membahas usulan pemekaran Aceh,” kata Iwan, lagi.

MUHAMMAD Yusuf masih mengenang semarak kota Takengon pada September 2006. Waktu itu Takengon kedatangan para tamu dari berbagai kota. Pejabat, ulama, mahasiswa dan warga berkumpul menyemuti pusat kota. Umbul-umbul dan spanduk berkibar di sudut-sudut kota. Takengon sedang ada hajatan besar. Selama empat hari kota disuguhi aneka pentas budaya dan diskusi dalam rangka deklarasi provinsi ALA.

“Seluruh kamar hotel di kota ini penuh (disewa),” kenang Yusuf.

Dia bekerja paruh waktu di hotel Gayo Land, tempat saya menginap ketika mengunjungi Takengon, awal Februari lalu. Pagi hari dia menggarap kebun peninggalan orangtuanya, siang sampai menjelang isya dia berada di Gayo Land. Ini hotel kecil sehingga Yusuf bertugas sebagai pelayan sekaligus penjaga hotel.

Yusuf seperti penduduk lain juga larut dalam perbincangan tentang pemekaran. Di sela-sela melayani tamu, dia tak pernah absen baca koran agar tak ketinggalan informasi. Sesekali dia mencuri dengar obrolan pejabat-pejabat yang menginap di hotel. Topiknya tak jauh-jauh:  peluang pemekaran hingga jabatan politik.

“Kira-kira bisa nggak ALA terbentuk,” tanya Yusuf, lirih kepada saya.

“Saya tidak bisa jawab pertanyaan Abang.”

Yusuf terdiam mendengar jawaban saya. Matanya menerawang ke langit-langit. Disedotnya rokok dalam-dalam.

“Apapun cerita, selama masih bergabung dalam satu provinsi dengan orang-orang pesisir, kita  yang di pedalaman ini susah jadi pemimpin di Banda Aceh. Hubungan kami seperti air dengan minyak,” kata Yusuf.

Istilah “pesisir” ini dipakai orang Gayo dan sekitarnya untuk menyebut “orang Aceh” atau orang yang tinggalnya dekat dengan laut, untuk membedakannya dengan mereka yang tinggal di pedalaman.  Pengertian “pesisir” dan “pedalaman” tak lagi semata-mata geografis, tapi kini jadi politis.

Yusuf mengenang bagaimana orang-orang pesisir memblokade Jalan Takengon-Bireuen karena orang-orang pedalaman tidak mendukung referendum agar Aceh lepas dari Indonesia, pada 1999. Akibatnya, orang-orang pedalaman susah mencari penghidupan di Banda Aceh karena jalan itu merupakan penghubung satu-satunya menuju ibukota Aceh tersebut. Barang-barang  kebutuhan terpaksa dipasok dari Medan.

“Waktu itu harga barang-barang jadi mahal. Harga bensin sampai di atas Rp 10 ribu.”

Yusuf  lahir dan besar di Simpang Tritit, sebuah desa di kabupaten Bener Meriah. Di sana banyak orang Aceh. Mereka perantauan. Dalam bergaul, Yusuf biasa menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Gayo. Tapi, untuk mengakrabkan diri dengan orang Aceh dia terpaksa belajar bahasa Aceh. Karena menurutnya, orang Aceh jarang mau berbahasa Indonesia.

Itu sebabnya dia berkesimpulan pemekaran adalah jawaban. Dia mengumpamakan pemekaran ini seperti sebuah keluarga.

“Kalau ada lima atau lebih anak tinggal dalam satu rumah, perhatian orangtua pasti terbagi. Orangtua akan bekerja keras agar anak-anaknya bisa mendapat nafkah. Nah, bila seorang anak memilih pisah, mungkin dia ingin merantau, beban orangtua kan setidaknya berkurang. Si anak juga akan lapang dada, bisa mandiri dan tidak menjadi beban orangtua.”

Subur, pemilik kedai kopi di samping hotel Gayo Land, menganggap pembangunan yang berat sebelah memicu lahirnya tuntutan pemekaran. Terlebih lagi birokrasi di provinsi Aceh banyak dikuasai orang-orang pesisir atau orang Aceh.

“Mestinya provinsi NAD itu seperti Taman Mini Indonesia Indah. Semua suku ditampung pada satu tempat. Dirangkul. Birokrasi itu kan setidaknya begitu,” kata Subur kepada saya.

GUBERNUR Irwandi Yusuf  protes keras terhadap DPR RI yang mengusulkan pemekaran daerah di Aceh. Komentarnya menghiasi halaman muka media lokal Aceh. Dia menganggap itu dagelan politisi Senayan. Dia bertekad tak akan ada pemekaran selama dia jadi gubernur. Tak cuma itu, dia juga mengirim surat penolakan pemekaran kepada presiden, pimpinan DPR RI, dan ditembuskan ke semua kepala daerah di Aceh.

Menurut Kesepakatan Helsinki poin 1.1.4, wilayah Aceh merujuk pada bunyi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Atjeh dan dipertegas di pasal 3 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Batasnya meliputi; sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan berbatasan dengan provinsi Sumatera Utara, timur berbatasan dengan Selat Malaka dan sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia.

Undang-Undang Pemerintahan Aceh pasal 8 ayat 2 menyebutkan bahwa DPR RI juga tak bisa sembarangan dalam membuat undang-undang. Segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan Aceh harus dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan atas pertimbangan dewan daerah itu.

Bila DPR RI tetap membahas usulan pemekaran daerah di Aceh, itu artinya merusak perdamaian Aceh. GAM mengancam akan melaporkan hal tersebut kepada negara-negara Uni Eropa dan pihak-pihak yang terlibatan dalam kesepakatan Helsinki.

Saya menelepon Nasir Jamil, salah satu anggota DPR RI  yang bergabung di Komisi Pemerintahan, tempat pembahasan pemekaran provinsi Aceh ini terjadi. Nasir adalah politisi Partai Keadilan Sejahtera asal Aceh.

“Pemekaran itu kan sebuah aspirasi juga. DPR harus mendengar keinginan itu,” kata Nasir Jamil kepada saya pada 12 Februari lalu.

“Peluangnya terbuka asal ada surat dari presiden,” kata Nasir, lagi.

Sesuai aturan tata tertib DPR RI, pembahasan undang-undang yang diusulkan anggota tidak bisa dibahas sebelum ada keputusan presiden bernama amanat presiden. Amanat inilah yang akan menjadi acuan para menteri membahas undang-undang bersama DPR RI.

Nasir tak sepakat kalau pemekaran daerah Aceh dianggap melanggar Kesepakatan Helsinki.

“Kesepakatan itu hanya antara GAM dengan pemerintah. Ia bukan perjanjian internasional karena tidak ada persetujuan DPR. Jadi, tidak bisa menjadi acuan hukum untuk mengatur masalah domestik Indonesia, termasuk Aceh.”

Namun, Nasir tidak memberikan jawaban tegas apakah dia setuju terhadap wacana pemekaran di daerah Aceh.

Dia lalu menjawab seperti ini, “Pemekaran hanya isu elit. Aroma uang dan kepentingan sangat kental. Kalau sudah mekar akan ada kepala daerah baru, anggota dewan baru dan jabatan birokrasi baru. Jawaban yang baik adalah mempercepat pemerataan pembangunan di Aceh. Rakyat hanya peduli bagaimana ekonomi bisa baik.”

Ketua DPR Aceh Sayed Fuad Zakaria juga menolak menjawab pertanyaan saya soal pemekaran Aceh. Padahal, rekomendasi lembaga yang dipimpinnya akan mempengaruhi apakah pemekaran provinsi bisa terjadi atau tidak.

“Saya lebih baik diam. Isu (pemekaran) ini sangat sensitif untuk dikomentari,” katanya kepada saya, tanpa menjelaskan apa maksudnya dengan sensitif tadi. Dia lantas menutup pembicaraan telepon kami.

TUMPUKAN gambar peta ALA ukuran poster menambah sesak ruang kerja Iwan Gayo. Di dalamnya juga memuat informasi kalender tahun 2008. Peta itu diberikan sebagai ucapan terima kasih kepada orang-orang yang menyumbang dana untuk perjuangan membentuk provinsi ALA.

“Sekalian jadi alat sosialisasi. Kita tempel di rumah-rumah, kantor kepala desa supaya anak-cucu lebih mengenal wilayah ALA,” ujarnya sambil membentang peta itu.

“Benar-benar tepat di jantung Aceh,” komentar Muhammad Yusuf, pelayan Hotel Gayo Land tadi, kepada saya setelah melihat peta ALA.

Posisi geografis calon provinsi ALA berada di tengah-tengah wilayah Aceh dan luasnya sekitar sepertiga wilayah itu. Ia membentang mulai kabupaten Aceh Tengah di utara sampai kabupaten Aceh Tenggara di selatan. Pemisahnya ditandai oleh garis tebal putus-putus warna biru.

Lambang dan slogannya tercetak di pojok kanan atas peta. Kalau Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah, maka ALA memakai slogan Serambi Madinah. Lambang tersebut  menggabungkan ciri khas masing-masing wilayah: ukiran seni “Kerawang” dari Gayo, gambar “segi lima” dari Gayo Luwes, gambar “ikan” dari Aceh Tenggara dan Aceh Singkil, dan menara “rimba raya” dari Bener Meriah,

“Saya yang bikin peta ini. Selama 1,5 tahun saya keliling Aceh memetakan wilayah ALA secara digital dengan sistem GPS, yah meski tidak tiap hari,” kata Iwan kepada saya.

GPS atau global positioning system adalah sistem navigasi yang terhubung dengan satelit. Militer biasanya memakai sistem ini untuk mengetahui wilayah musuh saat perang. Satelit akan mengirim data akurat untuk menentukan titik koordinat, derajat lintang, bujur, dan ketinggian suatu wilayah. Ia juga dapat merekam keadaan suhu suatu tempat bahkan jarak dalam skala kecil. Pembuatan peta dengan GPS mengganti sistem lama berupa sketsa karena hasil pemetaannya tidak akurat menggambarkan keadaan di lapangan.

Saya lihat lekat-lekat tapal batas peta ALA. Ternyata ada tujuh wilayah yang bersisian di kabupaten Aceh Timur diklaim sebagai bagian ALA. Wilayah itu meliputi Tanah Merah, Sejudu, Penarun, Bunih, Rampah, dan Lokop Serbejadi. Loh, bukankah Aceh Timur semula tidak masuk dalam provinsi yang diusulkan itu?

“Apa acuan Anda membuat peta ALA,” tanya saya, penasaran.

“Selain geografis kelima kabupaten, acuan saya adalah etnografi. Gayo jadi acuan utama. Di mana ada wilayah yang dihuni mayoritas orang Gayo masuk wilayah ALA,” balas Iwan.

“Kalau ada yang keberatan silahkan tuntut. Saya siap dituntut,” sambungnya, dengan nada tinggi.

Selain untuk menandai batas geografis, peta itu menyiratkan persamaan identitas dan nasib antaranggota ALA.

“Suku-suku yang tinggal di wilayah ALA sama-sama minoritas di Aceh. Kami ini juga sama-sama hidup di pedalaman dan dataran tinggi,” kata Iwan, lagi.

Buku Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis karangan M.H. Gayo yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1983, menyebut etnis Gayo merupakan satu etnis dari beragam etnis yang mendiami provinsi Aceh. Penduduk etnis ini mayoritas hidup di dataran tinggi gugusan pegunungan Bukit Barisan di bagian ujung pulau Sumatera. Secara administratif, etnis ini terdapat di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues. Sebagian kecil berada di Aceh Timur.

Kabupaten Aceh Tenggara mayoritas dihuni penduduk etnis Alas. Ia memiliki kedekatan garis keturunan dengan etnis Karo dan Batak. Kemudian, penduduk kabupaten Aceh Singkil mayoritas dihuni etnis Singkil dan orang-orang Batak Phak-Phak.

Sedang penduduk Aceh di pesisir, kalau dirunut sejarahnya merupakan para pendatang dari berbagai kelompok etnis di dunia. Ada dari Arab, Persia, Cina, Portugis, India sampai Tamil. Jejak-jejak kedatangan mereka masih terlihat di kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara.

Etnis di pedalaman punya perbedaan bahasa, fisik, dan budaya dengan etnis pesisir. Persamaan keduanya hanya pada agama, yakni Islam.

“Jadi kalau ditanya siapa suku asli di Aceh ini, ya, kami. Kami seperti suku Aborigin di Australia. Nasib kami terpinggirkan,” kata Iwan.

Jika memakai sarana jalan dan lampu sebagai ukuran, wajah daerah pesisir dengan daerah pedalaman ibarat langit dengan bumi. Pesisir Aceh lebih punya banyak jalan beraspal dan lampu penerangan di malam hari.

“Setahun Irwandi Yusuf jadi gubernur Aceh kondisi jalan-jalan umum masih belum berubah,” kata Iwan.

Menurut saya, itu kurang adil. Irwandi baru setahun memerintah. Dan bukankah pemerintah kabupaten juga harus bertanggung jawab atas kondisi di daerahnya?

“Tapi coba, berapa kali Irwandi melihat kondisi pedalaman. Lebih-lebih kami yang di pegunungan ini. Karena Aceh sangat luas makanya kami minta mekar,” ujar Iwan, lagi.

“Tolong tunjukan pada saya mana pasal-pasal yang bilang ‘Aceh tidak boleh ada pemekaran’. UU PA itu harus tunduk juga pada undang-undang yang lebih tinggi di RI ini. Kedudukan UU PA itu sejajar dengan undang-undang lain. Misalnya, undang-undang tentang pemerintahan daerah yang mengatur pemekaran.” Nada suaranya tinggi.

Tiba-tiba raut wajahnya terlihat tegang.

“Ingat ya…NAD itu belum menjadi sebuah negara merdeka! Kita ini sedang ber-NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ketika kami minta pemekaran itu sah dan hak!”

Kesepakatan Helsinki, menurut Iwan, juga bukan representasi suara seluruh rakyat Aceh. Itu hanya berlaku bagi orang-orang pesisir yang umumnya mendukung GAM.

“Lalu kenapa kami yang benar-benar ber-NKRI, tidak pernah memberontak, tidak boleh minta mandiri,” katanya.

Iwan kecewa ketika pemerintahan Aceh hanya dikuasai orang-orang pesisir.

“Di sana itu dominasi orang Arab, India, Campa, Kling, Tamil. Coba periksa berapa orang Gayo di kantor gubernur. Apa karena kami tidak mampu jadi pemimpin. Di Jawa, banyak orang Gayo jadi pemimpin. Maaf ya, nenek moyang kami dulu juga jadi pemimpin di pesisir.”

Penasehat pemerintah kolonial Belanda C. Snouck Hurgronje dalam bukunya, Het Gajoland en zijine Bewoners yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20, menulis nenek moyang orang Gayo dikenal dengan sebutan muyang siwah  datu pitu artinya “moyang sembilan datu tujuh”. Dua orang datu yang terkenal adalah Merah Mege dan Merah Silu, keturunan Raja Linge yang memerintah di Tanah Gayo. Dalam bahasa Aceh, ‘Merah’ ditulis ‘Meurah’. Merah Silu cemburu karena ayahnya lebih menyayangi Merah Mege. Setelah rencana pembunuhan Merah Mege tidak berhasil, Merah Silu lari ke wilayah Pase, Aceh Utara. Merah Silu inilah yang menjadi raja di Kerajaan Islam Pase bergelar Sultan Malikussaleh.

“Kami dulu memberi makan orang-orang pesisir ketika perang dengan Belanda. Ketika Panglima Polim dan Cut Nyak Dien kepepet ke Tanah Gayo, dia berlindung.”

Dalam buku Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda juga ditulis, selain ikut berperang, orang Gayo juga mengumpulkan uang untuk membeli senjata. Daerah Gayo dan Alas yang berbukit-bukit dijadikan benteng terakhir bagi para pejuang Perang Aceh. Sultan Aceh Tuanku Muhammad Daud mengundurkan diri ke daerah Gayo pada 1901. Panglima Polim mengundurkan diri ke daerah Ketol Gayo Laut pada 1901-1902, setelah terdesak tentara Belanda di Aceh Utara. Sementara Cut Nyak Dien lebih dulu mundur ke kampung Celala, Takengon pada 1900-1901, ketika Teuku Umar, suaminya tewas di Meulaboh, Aceh Barat.

Saya membaca artikel menarik di harian Serambi Indonesia yang diterbitkan awal Februari 2008 lalu. Hubungan orang Gayo dengan orang Aceh disimbolkan oleh dua kuntum bunga. Bunga Renggali sebagai simbol orang Gayo, bunga Seulanga sebagai simbol orang Aceh. Renggali bisa tumbuh berkembang di tanah Aceh, begitu juga sebaliknya. Simbol ini lalu dijadikan lirik nyanyian rakyat di Tanah Gayo, …Renggali megah i Bireuen, i Takengon bunge Seulanga, artinya Renggali megah di Bireun, di Takengon (begitu juga) bunga Seulanga.

Aaahhh…saya jadi penasaran ingin lihat bagaimana wujud dua bunga itu!

HUSNI Jalil paham benar bunyi pepatah, ‘bagaimana kepala begitu juga ekor” ketika Gubernur Irwandi Yusuf meminta pendapatnya tentang aspirasi pembentukan provinsi ALA.

“Bagaimana menurutmu soal pemekaran itu,” kata Irwandi.

“Menurut Abang bagaimana,” kata Husni balik bertanya.

“Aku dulu seniormu di AMM. Kau dulu anak buahku di kabupaten. Apa yang tertera dalam MoU itu saja yang kau pegang. Jangan banyak komentar,” jawab Irwandi.

Husni Jalil orang Gayo. Waktu konflik Aceh, dia menjabat panglima GAM wilayah Linge atau Aceh Tengah dan Bener Meriah. Ketika Ksepakatan Helsinki ditandatangani pemerintah Indonesia, dia menjadi anggota Aceh Monitoring Mission (AMM), memantau pelaksanaan kesepakatan tersebut di Aceh. Dia juga menjadi tim sukses Irwandi pada pemilihan gubernur Aceh pada 2006 lalu.

“Sampai sekarang Bang Irwandi tetap telepon. Kadang saya diminta bertemu ke Banda. Setiap dia tanya kondisi di Aceh Tengah, saya tetap beri masukan,” kata Husni kepada saya.

Hubungan dekat itu membawa keduanya pada satu pikiran tentang pemekaran provinsi di Aceh.

“Usulan pemekaran itu tidak masalah. Itu sifatnya hak demokrasi. Tapi kita komit dengan MoU. Jadi elit-elit yang mengusulkan mekar itu artinya tidak senang dengan MoU. Inilah provokator yang ingin menghancurkan perdamaian di Aceh,” kata Husni, panjang-lebar.

Pemekaran provinsi, menurut Husni, bukan fokus pemerintah Aceh. Lebih penting bekerja bagaimana memperbaiki ekonomi masyarakat, korban konflik dan korban bencana.

“Soal provinsi, GAM sendiri sudah ada provinsi. Saya gubernur GAM wilayah Linge. Cuma kantornya belum ada,” katanya, sambil menyeringai senyum.

Husni masih menafsir jabatan “gubernur” seperti dijanjikan pendiri GAM Tengku Hasan Muhammad di Tiro atau Hasan Tiro. Seluruh Aceh memiliki gubernur yang dipimpin Tiro sebagai ‘wali nanggroe’ atau pemimpin politik tertinggi.

Menurut Husni, pelaksanaan Kesepakatan Helsinki disebut selesai bila pemilihan umum yang diikuti partai-partai lokal telah dilaksanakan di Aceh. Setelah itu, katanya, baru memikirkan provinsi. Bila pemerintah pusat tetap meloloskan keinginan pemekaran ALA, itu sama saja telah memecah Aceh.

“Kalau proses MoU sudah selesai baru kita minta ke elit-elit Aceh. Mana nih provinsi seperti sudah dijanjikan ‘wali nanggroe’ (Hasan Tiro). GAM dari gunung sudah ikut berjuang. Jadi, ndak ada urusan dengan pemerintah pusat. Kalau sekarang gencar ingin mekar itu sama saja mereka tidak senang dengan perjuangan GAM, ” kata Husni merujuk kepada para penggagas provinsi ALA.

Loyalitas Husni terhadap perjuangan GAM masih tebal. Dia mengkoordinasi anak-anak buahnya memantau sosialisasi pembentukan provinsi ALA yang gencar di desa-desa.

“Kami kan belum bergerak. Sementara ini diam aja sementara. Kalau kami, orang KPA (Komite Peralihan Aceh; organisasi mantan anggota GAM) seluruh Aceh (berdemontrasi) ke Banda Aceh kan lain cerita,” katanya.

“Kalau mereka berkeras agar ALA berdiri, hilangkan dulu GAM di wilayah Aceh Tengah, dan Bener Meriah ini. Bunuh dulu kami, supaya tidak dianggap melanggar MoU. Tapi karena kami sudah mengikat diri dalam MoU, mestinya libatkan kamilah,” ujar Husni, dengan nada tinggi.

Dia menjelaskan sikapnya itu ketika bertemu para penggagas provinsi ALA, seperti Iwan Gayo dan Bupati Bener Meriah Tagore Abubakar.

“Kalau ALA disahkan oleh pemerintah pusat, akan terjadi kekacauan. Kita akan perang lagi. Lebih kacau perang ini daripada yang kemarin!” katanya.

by:Hairul Anwar