Teringat Cut Abang

Linda Christanty

Fri, 25 January 2008

Hasan Tiro tak akan pulang ke Aceh. Begitulah keyakinan adik kandungnya, Aisyah binti Muhammad Hasan.

MAIMUN, mantan anggota pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Pidie, menemani saya mencari rumah Aisyah binti Muhammad Hasan di desa Mali. Beberapa kali kami salah jalan, karena Maimun tak hapal rute ke rumah Aisyah kalau melewati jalankotaatau jalan umum. Maimun biasa menggunakan “jalur gerilyawan”, melewati jalan setapak, desa, hutan dan gunung, dengan berjalan kaki.

Maimun berusia 26 tahun. Tutur katanya sopan dan suaranya lembut. Tujuh tahun dia bergabung dengan GAM sampai Perjanjian Helsinki ditandatangani.

Rumah Aisyah hanya berjarak 10 meter dari jembatan gantung Mali. Panjang jembatan itu sekitar 20 meter dengan tinggi 10 meter. Tepat di bawahnya mengalir sebatang sungai, berbatu-batu.

Jembatan Mali jadi tempat bersejarah bagi Maimun. Pada tahun 2003, dia dan empat temannya dikepung tentara Indonesiadari dua arah di situ. Maimun dan seorang temannya selamat, karena langsung terjun ke sungai dan berlari menjauh ke arah desa sebisa-bisanya. Namun, dua teman yang lain meninggal di tempat.

Setelah pemerintah Indonesiadan GAM sepakat damai, Maimun menganggur.

“Ada beberapa teman yang sudah tak sabar dan berkata, ‘ya sudah kita ambil senjata saja.’ Ya, untuk berbuat apa saja, untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mereka sudah tidak tahan lagi. Saya menyabarkan mereka dan diri saya. Tengku Hasan (Tiro) dulu berjuang dan berkorban untuk merdeka dari Indon (Indonesia) dengan tujuan mulia. Saya tidak mau mengotori perjuangan kami,” tuturnya.

Dia juga tak sepeser pun menerima dana reintegrasi. “Dikorupsi panglima sagoe kami. Tapi biarlah,” katanya, pelan. Sagoe merupakan wilayah setingkat kecamatan.

Setelah setengah jam mencari jalan yang benar, akhirnya kami sampai di muka rumah Aisyah. Dia adalah adik kandung Hasan Tiro, pemimpin tertinggi GAM yang sampai hari ini masih berada di Swedia.

Pintu gerbang rumah terbuat dari besi. Rumah gayamodern dengan sentuhan tradisional di bagian tertentu itu tampak sunyi. Anak-anak tangga di beranda depan ditutupi sebuah pintu untuk menghindari tamu tak diundang atau kucing dan ayam naik ke atas. Beranda rumah lumayan luas, berlantai semen. Bermacam pokok bunga dengan kelopak-kelopak merah-kuning bermekaran menghias halaman.

Tak berapa lama pintu samping terbuka. Dua perempuan muncul di ambang pintu. Ibu dan anak. Aisyah mengenakan jilbab putih, berbaju panjang biru motif bunga-bunga kuning dan berkain batik. Putri bungsunya, Hilmi, masih mengenakan seragam guru warna coklat kekuningan dan berjilbab kuning.

Aisyah kini berusia 80 tahun.

“Cut Abang lebih tua dua atau tiga tahun dari saya. Tidak lebih dari itu,” katanya, dalam bahasa Aceh.

“Cut Abang” adalah panggilannya untuk Hasan Tiro. Artinya, kalau Aisyah lahir pada tahun 1927, maka Tiro lahir pada tahun 1924 atau 1925.

Tahun lahir Tiro jadi perdebatan sejarawan dan peneliti, karena banyak versi. Dalam buku karangannya, The Price of Freedom, Tiro mencantumkan tahun 1930 sebagai tahun lahirnya. Di paspor Swedianya tertera tahun 1925. Sementara dalam buku pertama yang ditulisnya, Demokrasi untukIndonesia, Tiro menyebut 1923. Adapula yang mengatakan Tiro lahir pada tahun 1928. Jawaban Aisyah telah mempersempit spekulasi ini.

Aisyah dan Tiro saudara seayah, lain ibu. Tengku Muhammad Hasan menikah dua kali. Dari pernikahannya dengan Tengku Pocut Fatimah, dia memperoleh dua anak laki-laki, yaitu Tengku Zainal bin Muhammad Hasan dan Tengku Hasan Muhammad Ditiro atau populer sebagai Hasan Tiro. Setelah sang istri meninggal dunia, Muhammad Hasan menikah lagi dan memperoleh seorang anak perempuan yang dinamainya Aisyah.

“Ayah meninggal ditabrak kereta. Waktu itu umur saya baru dua tahun. Kereta api sedang disambung gerbong-gerbongnya. Ayah sedang jalan dan tidak melihat lok kereta datang, lalu ditabrak,” kisah Aisyah.

Namun, berbicara dengan Aisyah tak mudah. Pertanyaan-pertanyaan harus diucapkan dengan suara keras dekat telinganya, agar dia bisa menyimaknya dengan baik.

“Telinga bisa mendengar suara, tapi berdengung. Dokter di Medan bilang, penyakit ini sudah naik ke otak,” kata Aisyah.

Semula dia tak menyadari bahwa perjuangan abangnya penuh risiko.

“Belakangan saya bertanya-tanya, mengapa orang ditangkap, rumah dibakar,” ujarnya.

“Tentara datang, marah-marah. Mi (Umi, panggilan untuk ibu) dimarahi,” tukas Hilmi.

“Cut Abang tidak pernah cerita perjuangan. Kalau ketemu dia menanyakan kabar kampung saja, menanyakan tentang saudara-saudara, sudah mulai berkebun atau belum. Soal biasa,” tutur Aisyah.

Aisyah tak ingat kapan terakhir kali bertemu Tiro. Dia hanya ingat peristiwanya saja.

“Cut Abang ndak pernah pulang setelah pengibaran bendera GAM itu. Nggak ada kirim apa pun. Sedikit pun nggak pernah kirim apa-apa untuk adiknya ini. Kabar tidak ada. Surat tidak ada, telepon pun tidak. Tapi waktu kecil, Cut Abang selalu menyisakan jajanannya untuk saya. Sepulang sekolah, kalau dia beli kue, pasti dibawanya pulang untuk saya. Kami sekolah di SRI (Sekolah Rakyat Indonesia). Waktu kecil kami main sama-sama. Cut Abang pintar di sekolah. Bagus sekali akhlaknya. Dari kecil, dia sudah rapi (cara berpakaiannya),” tutur Aisyah.

Dia juga mendengar dari orang lain bahwa Tiro sudah berkeluarga di Amerika.

“Dengan orang Amerika dan punya anak satu. Tapi saya tidak pernah kenal,” katanya, tertawa.

Tiba-tiba Aisyah terdiam, kemudian memandangi saya dan bertanya, “Teringat saya, tidak kembali orang (Hasan Tiro) di luar itu. Tapi yang lain-lain sudah kembali. Mengapa dia tidak pulang? Mengapa? Apakabar dia sekarang? Apakah sakit, apakah sehat?”

Adanada sedih dan rindu.

“Saya tahu Cut Abang di sana (Swedia), tapi tidak tahu apa kerjanya di sana. Kalaupun saya rindu kepadanya, sia-sia, dia tidak akan pulang. Mungkin Cut Abang takut pulang, karena ada dendam-dendam lama dari masa lalu,” lanjutnya, lagi.

Apakah teman-teman Tiro dari Swedia pernah mengunjunginya? Dia menyebut Zaini Abdullah baru saja mengunjunginya beberapa hari lalu.

“Katanya Cut Abang sehat-sehat di sana. Tapi rupanya sakit dan sakitnya lebih parah dari saya. Saya kira, dia sakit-sakit biasa seperti saya.” Aisyah lalu tercenung. Dia baru tahu Tiro pernah terkena stroke dari berita majalah yang kami sampaikan kepadanya.

Bagaimana dengan teman-teman Tiro di Aceh?

“Muhammad (Usman Lampoh Awe) pernah datang, tapi macam siblit (kilat; hanya sebentar),” katanya.

Kami bercakap-cakap di ruang tamu pada 27 Desember 2007 itu, duduk di mebel abu-abu. Tiang-tiang di ruang tamu tampak bengkok. Saya mengira tiang-tiang jadi bengkok karena menahan beban berat dan itu berarti malapetaka. Ternyata batang kayu mane memang tak ada yang lurus, tapi kuat dan tahan rayap.

Putri Aisyah, Hilmi, mengajar di Madrasah Istidayah Negeri Tanjung Bungong. Enam tahun lagi dia pensiun. Usianya 55 tahun.

Selain mengajar di sekolah, Hilmi juga mengajar membaca Alquran untuk anak-anak. Sejak kecil Hilmi sudah mengajar mengaji. “Keturunan Mi,” katanya, tertawa, mengingat Aisyah dulu juga mengajar anak-anak mengaji.

Tempat belajar di beranda depan. Tak dipungut bayaran. Tetapi baru-baru ini Departemen Agama memberi honor untuk guru mengaji seperti Hilmi.

“Enam bulan, Rp 300 ribu,” katanya, tertawa.

Suaminya telah 15 tahun tak pulang dan menetap di Malaysia. Selama 15 tahun sang suami pun tak pernah berkabar.

“Dia trauma,” kata Hilmi, merujuk kepada situasi Aceh di masa konflik.

Ketika saya berpamitan, Aisyah malah menyuruh saya makan. Dia dan putrinya kemudian mengantar saya sampai ke tempat mobil diparkir, ke tanah kosong di muka rumahnya.

“Kalau Hari Raya tahun ini sudah kemari, Hari Raya tahun depan harus mampir ke sini. Doakan biar telinga Mi sembuh,” kata Aisyah kepada saya. Dia masih berdiri di tanah lapang itu hingga mobil kami melaju.***

*) Linda Christanty adalah editor Sindikasi Pantau di Aceh

kembali keatas

by:Linda Christanty