Sebuah Ironi di Ladang Gas

Hairul Anwar

Sun, 27 January 2008

Meski Aceh kaya akan gas alam, tak menjamin industri di Aceh tetap hidup. Setelah pabrik pupuk AAF, industri lain yang mengandalkan gas tinggal menunggu waktunya tutup.

SALAHUDDIN AL FATTAH baru saja menjejakkan kaki di bandara Soekarno-Hatta Jakarta ketika mendengar kabar itu. Nada suaranya seperti tercekat ketika berbicara kepada saya.

“O yaa..Waah…kok makin mundur saja penyelesaiannya,” katanya lewat telepon seluler, pada Jumat malam, tanggal 25 Januari 2008 lalu.

Dia baru saja menerima kabar yang tak mengenakkan, yang datang dari para anggota Komisi Bidang Perdagangan, Industri dan Investasi Departemen Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat di Jakarta. Mereka sepakat menolak rencana pemerintah menjual bekas pabrik pupuk Asean Aceh Fertilizer (AAF).

“Kalau sampai terjadi akan mengancam ketahanan pangan kita,” kata Hasto Kristiyanto, salah seorang anggota Komisi tersebut kepada detik.com

Masih menurut detik.com,  Sofyan Djalil, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mengatakan tidak ada jalan lagi selain menjual aset-aset dan membayar utang AAF ketimbang membuatnya jadi besi tua.

Saya tanya Salahuddin, apa upaya pemerintah Aceh selanjutnya setelah ada penolakan Komisi itu.

“Saya akan konsultasi dulu ke gubernur. Nanti saya kasih kabar lagi,” kata Salahuddin. Dia kemudian mematikan telepon selulernya.

Salahuddin adalah salah seorang staf ahli Badan Pengelolaan Kawasan Sabang dan Direktur Utama Seulawah, perusahaan penerbangan milik daerah Aceh. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengangkat dia jadi anggota Tim Penyelesaian AAF. Tim ini berjumlah tujuh orang dan diketuai Sofyan Dawood, mantan juru bicara Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Belakangan mereka kerap disebut Tim Tujuh.

Sehari sebelum Salahuddin pergi ke Jakarta, saya sempat menemui dia di Hotel Sultan. Siang itu dia juga baru pulang dari Jakarta, tapi katanya, “Jumat petang saya ke Jakarta lagi. He… he… he….”

Salahuddin yakin penjualan AAF akan sukses. Sudah ada pembeli dari Cina yang bersedia menghidupkan kembali pabrik pupuk yang berlokasi di Aceh Utara itu.

“Kalau AAF berhasil dijual, merekalah investor pertama yang kongkrit berusaha dengan modal besar pascakonflik di Aceh,” katanya.

Konsorsium juga membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk ikut menanam saham.

“Pemerintah Aceh diberi kesempatan memiliki saham 10 persen setelah dua tahun pabrik berjalan,” kata Salahuddin.

CEROBONG-CEROBONG berbentuk tabung itu menjulang ke langit. Asap pabrik biasanya rutin mengepul dari ujungnya. Tapi, asap sudah lama tak mengepul. Cerobong-cerobong ini berwarna kusam. Pipa-pipa berbagai ukuran yang mengitarinya juga terlihat sama. Sebagian besar malah sudah berkarat. Ada beberapa bagian yang patah dan menjuntai ke bawah.

Tulisan “PT ASEAN Aceh Fertilizer. Gunakan Helm Pengaman” di pintu masuk itu sudah pudar. Huruf-hurufnya sudah mengelupas. Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya hamparan rumput liar setinggi pinggang orang dewasa.

Namun, sebuah gedung di situ terlihat cukup terawat dibanding gedung-gedung lain yang ada di situ. Alat pendingin ruang masih menyala di seluruh ruangan. Di dalamnya, tombol-tombol mesin masih aktif. Ruangan inilah tempat mengendalikan seluruh aktivitas mesin pabrik.

Saya mengunjungi pabrik yang biasa disebut PT AAF itu pada 11 Agustus 2007. Ia terletak di desa Krueng Geukuh, kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Azhari Mohra, Khairil Fadri, dan Abdul Adid menemani saya mengelilingi tempat tersebut sekitar setengah jam. Ketiganya adalah mantan karyawan pabrik AAF. Rasa-rasanya tak ada orang selain kami di tempat itu. Suasana kawasan pabrik seperti kota mati.

“Kalau pabrik ini sedang aktif mungkin kita tidak bisa keluar masuk sebebas ini,” canda Fadri. 

PT AAF dinyatakan mati sejak 2003 karena ketiadaaan gas alam cair sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin. Kontrak pasokan gas dengan PT ExxonMobil Oil Indonesia tidak diperpanjang. Alasannya gas alam cair sudah habis untuk memenuhi quota ekspor ke Jepang dan Korea.

ExxonMobil merupakan gabungan dua perusahaan raksasa penambangan gas alam, Exxon dan Mobil Oil. Kantor pusatnya di Texas, Amerika Serikat.

“Jadi sebelum memperpanjang kontrak gas alam cair ke AAF, mereka sudah bikin kontrak ke Jepang dan Korea. Dengan kata lain, gas dalam tanah itu sudah dijual sampai 2014,” kata Azhari.

Sejak itu perusahaan mulai mencatat kerugian karena tidak mampu beroperasi. Gaji karyawan terpaksa dibayar setengah agar cukup uang untuk merawat mesin. Puncaknya, manajemen resmi memutus hubungan kerja seluruh karyawan pada Februari 2006.

Sesuai namanya, PT AAF didirikan oleh lima negara anggota Asosiation of South East Asian Nation (ASEAN) yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Saham terbesar dimiliki Indonesia, yaitu sebanyak 60 persen.

Menurut buku Aceh Utara: Dari Kerajaan Samudera Pasai Menuju Era Industrialisasi, PT AAF dibangun pada 12 April 1979 oleh Toyo Enginering Corporation, perusahaan asal Jepang. Ia menghabiskan lahan seluas 307 hektare, masing-masing pabrik dan pelabuhan seluas 130 hektare, perumahan karyawan 88 hektare, jalur hijau 60 hektare, dan jalur pipa 29 hektare.

Kini, PT AAF hanya menyisakan kenangan. Pada masa jayanya perusahaan ini dikenal sebagai pabrik pupuk ekspor terbaik di Asia Tenggara.

“Kami berharap pabrik ini secepatnya dihidupkan. Tak masalah siapapun yang kelola daripada nanti jadi besi tua,” kata Azhari.

SEHARI sebelum melihat kondisi pabrik, saya menemui Marwan Yahya. Dia mantan ketua serikat pekerja PT AAF. Sebelum pabrik tutup, dia menjabat manajer umum.

Waktu pabrik AAF baru dibangun pada 1982, Marwan melamar jadi karyawan dan diterima. Dia pun meninggalkan pekerjaannya sebagai guru. Di antara koleganya di serikat itu, Marwan paling senior. Marwan terpilih sebagai ketua serikat pekerja sebanyak dua kali. Anggota serikatnya terdiri dari 1400 pekerja.

Sepanjang saya tanya, Marwan antusias menceritakan bagaimana repotnya kalau bahan bakar gas dikuasai asing.

“Gas di Aceh melimpah tapi yang dipakai untuk ekonomi daerah tak seberapa,” katanya kesal.

“Sebenarnya dari total produksi gas Exxon, jumlah gas alam cair yang dipakai untuk bahan baku pupuk hanya empat persen. Ada tiga pabrik di Aceh yang pakai gas ini, berarti totalnya 12 persen. Jadi kecil sekali,” kata Marwan.

Selain AAF, perusahaan yang menggunakan gas Exxon adalah pabrik Kertas Kraft Aceh  (KKA) dan pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM). Ketiganya sama-sama berdiri di kecamatan Dewantara, Aceh Utara.

Aktivitas produksi pupuk sebuah pabrik sangat tergantung pada ketersediaan gas. Kalau pasokan kurang lancar, maka pabrik itu tinggal menunggu waktu untuk tutup.

“Liat saja pabrik Pupuk Iskandar Muda, sekarang produksinya 50 persen. Kondisinya antara hidup dan mati. Kalau mau jujur, secara bisnis PIM harus tutup,” kata Marwan.

“Bagaimana Anda tahu?” tanya saya.

“Letak kami ini kan berdekatan. Kadang PIM sering pinjam alat-alat pabrik kepada kami. Jadi kalau soal informasi kondisi pabrik pasti tahulah,” jawab Marwan.  “Kenapa tidak ditutup? Nah, di situ (ada) mainan orang politik,” lanjutnya.

Saya coba merunut latar belakang dua pabrik ini. Meski memproduksi barang yang sama, AAF memprioritaskan penjualan pupuk ke luar negeri, sedangkan PIM memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri.

Kalaupun yang dimaksud “orang politik” itu pemerintah, agaknya wajar jika gas terus dipasok kepada PIM. Itupun, pasokan gas tidak selalu lancar. Dua pabrik pupuk milik PIM sempat berhenti operasi pada 2005. Pemerintah membantu menghidupkan satu pabrik dengan memasok gas alam cari dari Bontang, Kalimantan Timur sampai Oktober 2007.

Jika pemerintah ingin menghidupkan kedua pabrik sekaligus, persediaan gas tidak cukup.

“Pasokan gas terpaksa dipasok dari luar Indonesia,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro seperti dikutip harian Kompas, 13 Agustus 2007.

“Kalau pemerintah memakai persediaan gas di Arun belum tentu Exxon mau. Karena itu artinya pasokan gas untuk pembeli luar negeri akan berkurang. Mereka sudah meneken kontrak pembelian sampai 2014,” kata Marwan.

Pemerintah melalui Perusahaan Pertambangan Minyak Negara (Pertamina) mengikat kerja sama dengan ExxonMobil untuk mengeksplorasi ladang gas di Arun, Lhokseumawe, Aceh Utara. Gas itu kemudian diolah menjadi gas alam cair di kilang PT Arun Liquefied Natural Gas. Perusahaan patungan ini sahamnya dimiliki Pertamina 55 persen, ExxonMobil 35 persen dan Japan Indonesia Arun NGL Co. sebesar 10 persen.

“Exxon itu tidak mau dengar pihak lain selain Pertamina. Kalau Pertamina bilang kasih (gas), Exxon akan kasih. Tapi dengan catatan, berapapun gas yang diberikan kepada siapapun, harganya harus sesuai dengan standar internasional,” ujar Marwan.

“Lantas mengapa AAF tidak menerima tawaran harga gas dari Exxon ketika kontrak pembelian tahap pertama habis?” tanya saya.

“Saat negosiasi untuk kontrak kedua pada 2003, Exxon meminta harga US 1,5 dollar per MMBTU (million metric british thermal unit). Naik lima dollar dari harga kontrak pertama. Tapi tanpa ada alasan yang jelas, mereka bilang quota gas sudah habis untuk ekspor,” kata Marwan.

Sisi lain, harapan agar pemerintah membantu pasokan gas tetap lancar juga kandas.

“Jawaban pemerintah pusat waktu itu berputar-putar. Ini menyakitkan kita sebagai orang daerah,” ujar Marwan.

PENGALAMAN berbulan-bulan tinggal di Jakarta tak dilupakan Khairil Fadri. Bersama belasan anggota serikat pekerja PT AAF, dia harus terbiasa berpindah-pindah tempat mengikuti persediaan uang.

“Kadang kami tinggal di kantor perwakilan Aceh, pernah menyewa satu rumah di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Kalau lagi genting kami menginap di kantor DPR Pusat di Senayan,” katanya.

“Sebulan sekali kami bergiliran pulang ke Aceh,” sambung Azhari.

Pertengahan 2006, serikat pekerja PT AAF mendesak pemerintah dan DPR Pusat di Jakarta untuk mencari jalan keluar terhadap hak ribuan pekerja pabrik yang belum tuntas dibayar. Gaji dan pesangon pekerja baru dibayar setengah mulai 2004. Pesangon menjadi hak karyawan yang terendah Rp 80 juta, kelas supervisor Rp 200 juta, dan manajer Rp 400 juta.

“Agenda lain adalah meminta kejelasan tentang nasib perusahaan,” kata Azhari.

“Mulai 2004 kondisi kami terombang-ambing. Pemerintah tidak mengambil sikap, ditutup tidak, dijalankan (pun) tidak. Kami melakukan negosiasi hampir setahun,”kata Marwan kepada saya.

Setelah pemerintah tidak bisa menjamin ketersediaan gas, pabrik dinyatakan tutup dalam sebuah rapat umum pemegang saham, September 2005. Pemegang saham selanjutnya membentuk tim likuidator (penjualan) aset-aset pabrik.

“Ketika tender penjualan dibuka ada dua peminat serius ingin beli, yakni Medco Energi dan sebuah perusahaan konsorsium dari Cina,” kata Marwan.

Medco Energi perusahaan pertambangan minyak dan gas milik pengusaha Jakarta Arifin Panigoro. Sedang konsorsium Cina diwakili PT Bumi Persada Lestari, sebuah perusahaan Jakarta yang bergerak di bidang penjualan pupuk.

Tender dimenangkan PT Bumi Persada karena berani membeli dengan harga Rp 509 miliar, jauh di atas tawaran Medco Energi yang hanya sebesar Rp 94 miliar. Rencananya uang hasil penjualan akan digunakan untuk membayar sisa pesangon dan gaji pekerja yang belum lunas.

Awalnya Marwan berharap Medco bisa mengambil alih pabrik AAF karena statusnya sebagai industri minyak dan gas nasional yang sudah berpengalaman. Tapi harga tawarannya terlalu rendah.

“Saya menduga Medco menawar murah karena berharap pasokan gas dari Blok A,” katanya.

Medco Energi menguasai konsesi eksplorasi sumur gas di Blok A, tak jauh dari Lhoksukon, Aceh Utara. Konsesi ini dimiliki Medco bersama Conoco Philips dan sebuah perusaahaan Jepang.

Cadangan gas di Blok A dikabarkan mencapai 0,7 triliun kaki kubik. Cadangan gas sebesar ini memang tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sumur gas Blok Arun yang dikuasai Exxon Mobile.

Belum lagi pemenang tender diumumkan secara resmi, tak disangka Menteri Negara BUMN kala itu, Sugiharto, mengeluarkan surat penundaan proses penjualan. Rupanya anggota Komisi Perdagangan, Industri dan Investasi di DPR Pusat menganggapnya catat hukum.

“Di situ terlihat menteri tidak konsekuen. Mau cari selamat. Kenapa dia tidak menceritakan kronologis penutupan AAF kepada DPR,” kata Marwan, heran.

Anggota Komisi keberatan AAF dijual dan mengusulkan agar pabrik lebih baik dihidupkan oleh daerah. Tapi setelah dihitung-hitung, pemerintah Aceh menyatakan tidak sanggup.

“Saat itu perlu Rp 500 miliar untuk menghidupkan AAF. Ini dinilai memberatkan keuangan daerah. Waktu rapat berkali-kali dengan pejabat gubernur Aceh Mustafa Abubakar, dia bilang, saya menyerah, Aceh tidak sanggup menghidupi AAF,” kata Marwan.

Setelah Irwandi Yusuf terpilih sebagai gubernur Aceh pada pemilihan 2006, harapan pun kembali muncul. Marwan mencoba mendekati beberapa tokoh GAM yang dekat dengan Irwandi.

“Saya ingin orang-orang itu memberitahu Irwandi agar mendorong penyelesaian pabrik AAF,” kata dia.

Irwandi memberi lampu hijau. Marwan diminta jadi salah satu anggota tim penyelesaian masalah AAF. Beberapa kali dia terlihat menemani Johan Unggul, direktur utama Bumi Persada Lestari, meninjau kondisi pabrik AAF.

“Konsorsium Cina itu akan menggunakan batu bara sebagai bahan bakar pabrik, menggantikan gas alam cair. Mereka siap merombak beberapa bagian mesin pabrik yang cocok dengan tenaga batu bara,” kata Marwan.

“Kalau AAF mau menggantikan sumber bahan bakunya dengan batu bara, maka ini yang pertama di Asia Tenggara. Rencananya empat tahun lagi pabrik pupuk di Vietnam juga menggunakan teknologi serupa,” kata Johan seperti dikutip harian Kompas, 14 Desember 2006.

Kepada Kompas, Johan menyayangkan langkah investor asing membeli PT AAF harus terganjal di DPR, padahal pemerintah sudah memberikan insentif potongan pajak penghasilan sampai dengan 30 persen jika menggunakan batu bara.***

*) Hairul Anwar adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh.

kembali keatas

by:Hairul Anwar