Marlina
Siti Rahmah
Thu, 31 January 2008
Kisah seorang gadis desa yang direkrut jadi anggota pasukan Inong Balee.
TENGKU Yahya, seorang petinggi Gerakan Aceh Merdeka atau GAM wilayah Pidie, mendatangi rumah Marlina di desa Akinengoh dan meminta perempuan 17 tahun ini untuk menjadi tentara perempuan GAM atau sering disebut Inong Balee. Itu peristiwa tahun 2000. Tengku Yahya juga meminta Kamariani, ibu Marlina, membantu memasak makanan untuk para tentara mereka yang tengah dilatih.
“Negeri kita sudah banyak dijajah oleh para pa’i. Kita harus merebut hak kita,” kata Tengku Yahya.
Pa’i merupakan sebutan orang Aceh terhadap tentara Indonesia.
Marlina menyanggupi permintaan Tengku Yahya tanpa berpikir panjang. Nantinya Tengku Yahya sendiri meninggal ditembak Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat sedang minum kopi di desa Cot Baru, kecamatan Glumpang Tiga, kabupaten Pidie, pada tahun 2002. Sampai hari ini Marlina mengenang Tengku Yahya sebagai pemimpin pasukan yang taat beragama dan dia merasa sangat kehilangan sosok yang dikaguminya itu.
Keesokan harinya Marlina dijemput pasukan GAM untuk berlatih di Krueng Petemunon yang berjarak 10 kilometer dari Akinengoh.
Setiba di tempat tujuan, dia langsung dibawa ke sebuah rumah tradisional Aceh tempat para Inong Balee menginap. Dalam rumah sudah ada sekitar 15 orang.
Pasukan GAM juga mendirikan tenda-tenda, yang masing-masing tenda berisi 8 sampai 10 orang. Jarak tenda-tenda tersebut sekitar 500 meter dari rumah Inong Balee.
Marlina takjub dengan apa yang disaksikannya kemudian. Ribuan orang mengikuti latihan itu! Mereka berasal dari seluruh kabupaten di Aceh.
Keesokan harinya, setelah sholat subuh, Marlina segera mengenakan seragam loreng, lengkap dengan sepatu larsa, dan selanjutnya berlatih kemiliteran hingga pukul lima sore hari.
Tiga bulan lamanya dia mengikuti latihan ini. Pelatihnya adalah para mu’alim, panggilan untuk pelatih perang. Marlina bergabung dengan kelompok yang dipimpin Nasir, seorang mu’alim yang pernah mengikuti latihan perang di Libya.
Setiap kelompok terdiri dari 27 sampai 30 orang. Ada 100 kelompok yang terdiri dari perempuan dan 300 kelompok laki-laki.
Latihan yang diberikan adalah baris-berbaris, panjat tebing, loncat mobil, loncat ranjau, cara membersihkan senjata, merakit senjata, cara tiarap di bawah kawat berduri, terjun ke sungai dan menembak.
Suatu hari mu’alim meminta mereka melompat ke sungai dari titian setinggi kira-kira lima meter dari permukaan sungai. Teman-teman Marlina ada yang mengucap Allahu Akbar, membaca yasin, membaca ayat kursi dan lain-lain sebelum mereka melompat ke sungai. Dan giliran Marlina pun tiba.
”Mamaaak!” teriak Marlina, sambil melompat ke sungai. Dia malah memanggil ibunya.
Ternyata Marlina juga tak bisa berenang. Para mu’alim yang sudah menunggu di pinggir sungai buru-buru menyelamatkannya.
”Saya takut sekali ketika turun ke sungai saat itu. Namun mu’alim kami, Nasir, bilang kalau saya tidak turun, dia akan menyepakku untuk turun,” kisahnya.
Selain itu, Marlina terkenal keras kepala dan sering bolos latihan untuk tidur. Dia sengaja bersembunyi di atas pohon sawo, menunggu sampai teman-temannya pergi untuk senam dan lari pagi, setelah itu dia turun dari pohon dan tidur.
“Waktu itu saya naik di atas pohon, saya melihat mu’alim ada di bawah pohon sawo yang saya naiki. Saya berdoa agar dia tidak melihat saya,” tuturnya.
Dua bulan setelah latihan berjalan, TNI mengepung tempat itu. Marlina dan teman-temannya telah diajarkan oleh para mu’alim untuk mengemasi barang mereka masing-masing dan tidak boleh ada yang tertinggal di rumah yang mereka tumpangi. Bila ada barang yang tertinggal akan membahayakan pemilik rumah.
Tengah malam itu mu’alim membangunkan para peserta latihan untuk bersiap-siap pergi. Jarak pasukan TNI dengan tempat latihan mereka sekitar satu kilometer lagi. Tak seorang pun bersuara. Jalan setapak mereka lewati dalam gelap-gulita.
Rombongan murid dan pelatih ini tiba di desa Blang Krueng pada pukul tiga dini hari. Mereka tidak tidur lagi, melainkan bersiap-siap menghadapi TNI yang barangkali akan sampai ke tempat mereka.
Setelah sholat subuh berjamaah, terdengar informasi dari para anggota GAM yang berjaga di bawah gunung, bahwa pasukan TNI tidak jadi naik ke tempat tersebut. Pasukan GAM dan Inong Balee pun kembali diperintahkan mu’alim untuk turun kembali ke tempat latihan semula.
Ketika Marlina tengah makan, dia mendengar suara ribut-ribut. Rupanya ada peserta latihan yang hilang. Mu’alim datang ke barak mereka untuk memeriksa kebenarannya. Tiga orang memang hilang.
Para mu’alim memerintahkan Marlina, Zubaidah dan lima orang dari pasukan GAM untuk mencari teman mereka yang hilang. Tim pencari pun berpencar agar dapat menyisir berbagai lokasi.
Sekitar 300 meter dari sebuah lapangan di dekat situ, Marlina melihat sesosok laki-laki terbaring. Setelah didekati ternyata tidak hanya satu, tapi ada tiga orang yang tergeletak di depan sebatang pohon besar. Dada mereka luka parah dan mengeluarkan banyak darah.
Marlina pun meminta pertolongan untuk membawa mereka yang pingsan itu.
”Ketika bertemu dengan mereka, saya tertawa besar-besar. Karena ada kelucuan, ternyata mereka pingsan karena menabrak pohon yang sangat besar dengan kekuatan yang luar biasa, dikarenakan mereka tak sengaja berpisah dengan yang lain. Ketakutan ini diakibatkan karena mereka bukan orang asli Pidie. Mereka berasal dari kabupaten lain. Belum lagi saat saya membayangkan seandainya mereka tertangkap oleh TNI,” kenang Marlina.
Selain latihan fisik dan ketangkasan, para anggota pasukan perang ini diberi petuah oleh mu’alim: tidak boleh memiliki sifat dendam.
Para mu’alim menyelenggarakan perpisahan untuk mereka, sebelum masing-masing kembali ke kampung. Para mu’alim berpidato tentang bagaimana Belanda dan pemerintah Indonesia menjajah Aceh. Marlina dan teman-temannya juga diajak mengucap sumpah pasukan bersama-sama, yaitu berjuang untuk merebut Tanah Rencong dari tangan Indonesia.
Kelompok-kelompok gerilyawan dan Inong Balee tadi kemudian dibagi dua: pasukan baret merah dan pasukan baret hijau. Baret merah dijuluki pembunuh berdarah dingin, sedangkan baret hijau disebut pasukan berani mati. Marlina masuk kelompok baret merah.
Sepulang dari latihan itu, desa Akinengoh sudah tak aman lagi. Marlina dan ibunya memutuskan pindah ke desa lain, bahkan sempat mengungsi ke Banda Aceh. Mereka baru kembali ke Akinengoh setelah Perjanjian Helsinki ditandatangani.***
*) Siti Rahmah adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh. Dia bekerja di World Bank, Banda Aceh.