BANGKOK, 7 Desember 2007. Setelah menempuh perjalanan sekitar 3,5 jam, akhirnya pesawat Air Asia yang saya tumpangi mendarat di Bandara Suvarnabumi atau New Bangkok International Airport. Pesawat sempat transit sebentar di International Airport Low Cost Carrier, Kuala Lumpur, sebelum melanjutkan penerbangan selama dua jam ke Bangkok.

Saya berada di Thailand dari tanggal 8 Desember sampai 27 Desember 2007 atas undangan organisasi Asian Network For Free Election (ANFREL). Organisasi ini berbasis di Bangkok dan fokus pada proses demokrasi di Asia, salah satunya pemantauan pemilihan umum (Pemilu). Perkenalan saya dengan ANFREL terjadi ketika mereka melakukan pemantauan dalam proses Pemilihan Kepala Daerah Langsung atau Pilkada di Aceh pada Desember 2006 lalu.

Seharusnya, secara normal, Pemilu di Thailand akan dilaksanakan pada 2009. Namun rezim militer yang berkuasa mempercepat waktunya untuk melaksanakan suksesi pada 23 Desember 2007. Kebijakan itu dikeluarkan setelah Jenderal Sondhi Boonyaratkalin mengkudeta Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.

Thaksin terpilih kali kedua pada Pemilu tahun 2005. Namun, ia dikudeta pada 19 September 2006. Kudeta damai ini mendapat dukungan sebagian rakyat Thailand. Mereka memberi bunga kepada tentara dan banyak yang melakukan foto bersama tentara dengan latar belakang tank atau humvee, sejenis jip.

Pada Pemilu kali ini ada beberapa perubahan dalam peraturan, seperti penerapan sistem proporsional dan sistem partai. Kalau sistem proporsional dikaitkan dengan jumlah pemilih di satu daerah dan sistem partai dikaitkan dengan keikutsertaan partai di zona pemilihan. Thailand membagi 76 provinsinya ke dalam delapan zona pemilihan.

Partai politik yang mengikuti pemilu pada saat ini berjumlah 18. Namun tidak semua partai ikut bersaing di seluruh zona. Beberapa partai hanya ikut di zona tertentu. Partai-partai itu, antara lain Partai Kekuatan Rakyat (People’s Power Party- PPP), Partai Demokrat, Partai Chart Thai, Partai Ibu Pertiwi (Peu Pandin Party), Partai Rum Jai Chart Pattana, Partai Machima dan Partai Pracharaj.

Jumlah kursi yang diperebutkan adalah 480 kursi, dengan komposisi 400 dari calon wakil dan 80 dari partai. Dari setiap zona akan dipilih 10 orang yang mewakili partai. Kursi minimal untuk dapat membentuk pemerintahan adalah 241. Jadi, sangat memungkinkan terjadinya koalisi partai.

Basis dukungan atau massa partai dapat dibagi dalam tiga daerah. Daerah utara, daerah tengah, dan daerah selatan. Secara tradisional, bagian selatan Thailand yang terdiri dari tiga provinsi yaitu Patani, Yalla dan Narathiwat, merupakan basis pendukung Partai Demokrat. Partai ini merupakan partai tertua di Thailand. Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, partai ini menjadi partai oposisi.

Sedangkan daerah utara merupakan basis massa untuk partai yang dipimpin Thaksin, seperti Thai Rak Thai Party. Partai ini kemudian dianggap partai terlarang oleh rezim militer setelah mengkudeta Thaksin. Anggota Thai Rak Thai Party kemudian membentuk People’s Power Party. Partai ini diketuai Samak Sundaravej. Samak juga pernah menjadi perdana menteri di negara ini.

Bagian tengah merupakan basis Partai Chart Thai yang dipimpin Banharn Silpa-archa. Ia pernah menjadi perdana menteri Thailand yang ke 21, dari 13 Juli 1995 hingga 1996. Partai ini merupakan partai tertua kedua setelah Partai Demokrat.

SEBENARNYA ada dua pesta yang digelar di Thailand pada bulan Desember 2007. Selain pesta demokrasi, pada saat yang sama Thailand menjadi tuan rumah pesta olahraga se-Asia Tenggara ke-24. Ribuan atlet di kawasan Asia Tenggara berdatangan ke negara ini, termasuk dari Indonesia. Mereka bertanding mulai 6 Desember sampai 15 Desember. Tapi sayang, saya tak sempat menyaksikan mereka berlaga, terlebih lagi memberi dukungan bagi atlet Indonesia.

Sesuai undangan dari ANFREL, saya bertugas sebagai observer atau pengamat. Organisasi ini menempatkan saya di bagian selatan Thailand. Tepatnya di Narathiwat. Wilayah ini merupakan salah satu dari 76 Provinsi yang ada di Thailand. Narathiwat berbatasan langsung dengan Negara Bagian Kelantan, Malaysia, dan berstatus daerah darurat militer. Ada tiga provinsi di sini, antara lain Provinsi Narathiwat, Patani dan Yala. Secara umum lebih dikenal sebagai Patani. Wilayah kerja saya di zona delapan mencakup wilayah Narathiwat, Patani, Yala, Songkla dan Satun.

Orang Aceh sangat akrab dengan Patani ini karena konflik di Aceh selalu dikaitkan dan dianggap mempunyai hubungan dengan konflik di Patani. Sebelum menuju Narathiwat, Somsri Hananuntasuk, direktur eksekutif ANFREL, mengingatkan saya untuk tidak mengatakan secara langsung saya berasal dari Aceh. Ia juga menyarankan supaya saya mengatakan berasal dari Indonesia ketika saya melakukan pemantauan.

“Kalau kamu mengaku berasal dari Aceh kemungkinan banyak yang ingin tahu tentang kegiatan kamu (di Thailand) dan ini tidak efektif untuk melakukan pemantauan,” kata Somsri. Ia pernah memimpin misi pemantauan ANFREL ketika Pilkada di Aceh.

Saya pun mengikuti saran Somsri. Selama saya menjalankan misi pemantauan, saya tidak pernah menyebutkan asal saya dari Aceh tapi dari Jakarta, Indonesia.

Saya berangkat dari Suvarnabumi Airport menuju Narathiwat pada 18 Desember 2007. Di bandara internasional ini saya dikejutkan dengan pemeriksaan ketat petugas bandara. Pemeriksaan tidak cukup dengan scanner dan metal detector di pintu masuk bandara, tetapi ditambah dengan scanner dan membuka isi bagasi tas jinjing di pintu sebelum boarding untuk barang yang akan dibawa ke dalam kabin pesawat. Akibatnya odol dan sampo yang saya bawa harus ditinggal di keranjang sampah karena tidak diizinkan untuk dibawa. Alasan mereka, kandungan odol dan sampo yang saya bawa masing-masing melebih 100 mililiter.

Menurut peraturan baru penerbangan yang akan mulai berlaku efektif pada bulan Januari 2008 untuk seluruh penerbangan di Thailand, penumpang dilarang membawa cairan dalam kemasan yang melebihi 100 mililiter kecuali makanan bayi dan itu pun harus di pisahkan dari bawaan lain.

Perjalanan dari Bangkok ke Narathiwat memakan waktu dua jam. Begitu kaki saya menyentuh Bandara Narathiwat, saya tidak lupa memotret. Terminal bandara di sini relatif kecil. Daerah ini mengesankan sebagai daerah yang jarang dikunjungi. Saya ingin mengabadikannya.

Di pintu keluar bandara, saya dijemput oleh sopir bernama Vicent. Lelaki ini berkewarganegaraan Malaysia keturunan India. Ia mempunyai izin permit berbisnis di Sungai Kolok, salah satu kabupaten di Narathiwat. Kemampuan berbahasanya sangat baik. Ia menguasai bahasa Thai, Melayu, China dan Inggris.

Ketika kami keluar dari Bandara Narathiwat, cuaca agak mendung. Desember merupakan bulan musim monsoon , musim hujan deras, di daerah ini. Perjalanan dari bandara ke pusat kota Narathiwat memakan waktu 45 menit dengan mobil.

Selama perjalanan ke pusat kota sudah terlihat pos pemeriksaan polisi dan militer. Saya teringat pos-pos pemeriksaan serupa di Aceh pada masa darurat militer. Namun, di sini sedikit berbeda dengan di Aceh. Kalau di Aceh, pos pemeriksaan biasanya ditandai dengan segitiga kayu yang dipasangi kawat dan juga drum-drum bekas. Di Narathiwat, tak ada drum-drum bekas di pos pemeriksaan, melainkan segitiga kayu yang dililiti kawat berduri dan tingginya sekitar dua meter. Segitiga-segitiga kayu berkawat duri ini dipasang secara zig zag di jalan. Tak ayal, kendaraan yang kami tumpangi juga mesti zig zag saat melewati pos-pos ini.

Jalan nasional di Thailand, yang menghubungkan satu kabupaten atau provinsi dengan kabupaten atau provinsi lainnya, sangat bagus. Kualitas aspalnya mungkin lebih baik dari jalan tol di Jakarta. Lebar jalan 20 meter dan dibagi dua arah. Selama melakukan pemantauan saya juga mencoba mengendarai mobil, baru di Thailand ini saya dapat memacu kendaraan dengan menggunakan persneling kelima dengan kecepatan rata-rata 130 kilometer per jam dengan jarak tempuh lebih dari 100 kilometer!

Misi pemantauan Pemilu di Thailand ini terutama difokuskan pada tiga kegiatan utama, pertama pemahaman pemilih tentang peraturan-peraturan Pemilu, waktu pemilihan dan jual beli suara. Kedua, Pemilu awal dan ketika Pemilu dan penghitungan suara. Dan ketiga, kondisi Pemilu di wilayah operasi militer.

Di Thailand, memilih merupakan suatu kewajiban. Rata-rata warga datang ke tempat-tempat pemungutan suara karena kewajiban ini. Mereka tahu risikonya kalau tidak datang memilih. Salah satunya adalah tidak dapat memilih dan dipilih untuk tahun pemilihan berikutnya. Dan pemilih harus memilih di alamat yang tertera di kartu penduduknya.

Thailand menggunakan sistem Pemilu awal yang dilaksanakan pada 15 dan 16 Desember 2007. Waktu pemilihan dari pukul 8 pagi sampai pukul 5 sore. Ini untuk pemilih yang tidak bisa memilih pada tanggal 23 Desember 2007 dengan berbagai alasan, misalnya karena melakukan tugas dan tidak berada di tempat. Berdasarkan pemantauan saya, pemilih di Pemilu awal ini umumnya tentara, polisi, pegawai pemerintah dan warga yang tidak bisa pulang ke kampung halamannya untuk memilih. Metode pemilihan awal seperti yang dilaksanakan di Thailand ini mungkin satunya-satunya di Asia.

Jika pemilih tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk memilih, mereka harus membuat laporan dengan alasan yang dapat diterima sehingga hak-hak mereka tidak dihilangkan pada Pemilu berikutnya.

Kertas suara ada dua jenis. Satu untuk memilih partai dan satu lagi untuk memilih wakil. Dalam setiap kertas suara terdapat kolom untuk tidak memilih partai atau kandidat (vote for no vote). Dalam kertas suara untuk memilih partai, pemilih hanya dapat memilih satu partai atau memilih untuk tidak memilih. Pemilih tinggal membubuhkan tanda silang di kolom yang telah disediakan. Untuk memilih wakil, mereka bisa memilih satu, dua atau tiga wakil. Tergantung jumlah wakil yang tersedia dari daerah tersebut. Dalam sistem proporsionalitas jumlah pemilih sangat menentukan. Jadi ada beberapa daerah yang hanya boleh memilih maksimal dua dan ada yang boleh memilih maksimal tiga wakil.

DI HARI pertama pemantauan, hal yang harus saya lakukan adalah menemui calon pemilih dan mewawancarai mereka. Selain melakukan pemantauan Pemilu, saya punya misi sendiri di sini. Saya ingin mengetahui kondisi masyarakat di wilayah konflik ini.

Di wilayah ini mayoritas penduduknya beragama Islam dan berbahasa Melayu Thai. Cara bertutur bahasa Melayu Thai hampir sama dengan bahasa Melayu dengan dialek Kelantan Malaysia.

Saat saya memasuki wilayah pedalaman Narathiwat, di kiri kanan jalan terlihat deretan pohon karet. Penduduk di sini kebanyakan bekerja sebagai petani karet. Sebagian lagi, karena wilayah ini berbatasan dengan Malaysia, bekerja sebagai buruh migran di Malaysia.

Saya tak menemui kesulitan ketika mewawancarai beberapa warga setempat seputar Pemilu. Mereka menjawab pertanyaan saya dengan lancar. Namun wajah mereka segera berubah saat pertanyaan saya arahkan ke persoalan dan kondisi keamanan di wilayah mereka. Mereka mulai merasa tak nyaman.

Reaksi warga yang tidak terbuka dan takut membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kondisi keamanan mengingatkan saya akan situasi di Aceh di masa Daerah Operasi Militer (DOM). Hal ini dapat dimaklumi. Karena tidak ada yang bisa menjamin keselamatan mereka, jika mereka berani berbicara secara terbuka.

Suatu hari saya sempat melihat koran lokal berbahasa Thai. Halaman depannya memuat foto sebuah mobil di tengah jalan beraspal. Di belakang mobil itu terlihat tiga mayat. Salah satu mayat, kepalanya terpisah dari badan.

“Siapa yang menjadi korban ini?” Saya bertanya kepada Faisal. Ia adalah penerjemah yang menemani saya selama di Narathiwat. Ia warga Patani dan pandai berbahasa Melayu.

“Korban yang kepalanya terpisah dari badannya itu adalah kepala desa,” jawab Faisal. Namun, ia melanjutkan, di koran itu tidak dijelaskan siapa pelakunya.

Kejadian seperti ini, menurut Faisal, sering terjadi di daerah Patani. Kasus yang lain adalah pengeboman. Metode pengeboman bermacam-macam. Bisa dengan menanam bom di sisi jalan, bom sepeda motor maupun bom mobil.

Itu sebabnya warga yang memarkir sepeda motor di tempat keramaian harus membuka jok belakang. Pasalnya bom sering diletakkan di ceruk di bawah jok ini. Sedangkan untuk menghindari bom dari sisi jalan, setiap hari terlihat patroli tentara yang berjalan kaki menyusuri tepi jalan untuk memastikan jalanan aman dari bom. Kebanyakan bom yang digunakan adalah bom yang diaktifkan dengan menggunakan telepon seluler.

SEPERTI JUGA DI ACEH, kekerasan di selatan Thailand, menurut sejarahnya, telah terjadi sejak beberapa dekade lalu. Ini berkaitan dengan gerakan kemerdekaan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok perlawanan. Gerakan ini berawal dari aneksasi Kerajaan Patani oleh Kerajaan Siam pada tahun1902. Perlawanan secara sporadis mulai terjadi selama kurun waktu 1910 sampai 1923. Penentangan dari kelompok perlawanan semakin kuat di masa pemerintahan Pibul Songgram (1939-1944) yang menerapkan kebijakan asimilasi kebudayaan. Semua budaya etnis minoritas harus berasimiliasi dengan kebudayaan Thai, yang merupakan penduduk mayoritas. Namun, kata “asimilasi” di sini pengertian politiknya kurang lebih sama dengan “tunduk” atau “takluk”.

Thailand merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beretnis Thai dan beragama Budha. Sedangkan etnis minoritas terdiri dari Cina, Mon, Cambodia, Laos, Viatnam, suku pegunungan dan Melayu. Seperti halnya Indonesia, agama di sini bermacam-macam, antara lain Budha, Islam, Kristen, dan Hindu.

Beberapa etnis minoritas ini pada awalnya berimigrasi dari tanah leluhurnya. Sebagian lagi merupakan etnis yang telah ada di wilayah Thailand sejak dahulu kala. Beberapa suku telah berbaur dengan budaya Thai. Meski begitu ada juga yang masih memegang teguh budaya leluhurnya.

Di masa awal pembangunan negara, kebijakan asimiliasi ini berhasil untuk beberapa etnis. Tetapi ada kelompok-kelompok yang menolak kebijakan tersebut. Kelompok yang melakukan perlawanan terhadap asimiliasi ini adalah kelompok Muslim-Melayu di bagian selatan Thailand.

Perlawanan besar terhadap kebijakan pemerintah berawal di Kampung Belukar Semak pada bulan Januari 1923. Kampung ini terletak di daerah Rakak, Narathiwat. Pemicunya adalah tindakan Kerajaan Siam yang berniat menyatukan warga minoritas Melayu ke dalam warga mayoritas Siam lewat sistem pendidikan.

Tahun 1921, pemerintahan Thailand mewajibkan semua siswa harus menempuh pendidikan di sekolah pemerintah yang menggunakan bahasa Thai sebagai bahasa pengantar dan menggunakan etika-etika agama Budha.

Untuk mensukseskan kebijakan ini, pusat-pusat pengajian seperti pondok dan masjid di selatan Thailand diarahkan untuk mengubah dan menyesuaikan kurikulum pendidikan mereka dengan ketetapan pemerintah. Sementara biaya operasional sekolah-sekolah tersebut diambil dari pajak per kepala yang dipungut secara paksa oleh kerajaan Thai. Kebijakan ini menimbulkan perlawanan dari para guru-guru pondok pesantren yang disebut Tok Guru.

Untuk menyalurkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah, para Tok Guru membentuk organisasi pembebasan yang dikenal dengan nama Pakatan Mempertahankan Agama Islam (PMAI). Dalam bahasa Indonesia, pakatan semacam perhimpunan. Orang-orang Melayu di wilayah ini diminta agar tidak membayar pajak kepada pemerintah. Sebaliknya, mereka dihimbau memberi sumbangan kepada organisasi ini. PMAI dipimpin Tengku Abdul Kadir Kamaruddin. Ia adalah bekas raja Patani yang hak-hak istimewanya sebagai raja telah dilucuti pemerintah Kerajaan Siam.

Di antara tahun 1950 sampai 1995 berbagai organisasi perlawanan muncul, seperti Barisan Nasional Patani Melayu yang disingkat BRN. Organisasi ini dibentuk pada 1960. Pendirinya, seorang ustadz bernama Haji Abdul Karim Hassan, seorang Tok Guru di Reuso, Narathiwat. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok Islam kiri.

Lalu ada Barisan Nasional Pembebasan Patani (BNPP). Kelompok ini dianggap sebagai kelompok perlawanan bersenjata. BNPP aktif pada tahun 1970 dan awal 1980, tapi kemudian tidak terdengar lagi kiprahnya.

Kemudian muncul The Patani United Liberation Organization (Organisasi Persatuan Pembebasan Patani) dan disingkat PULO. Ia didirikan tahun 1968 oleh Tengku Bira Kotantila alias Kabir Abdul Rahman. PULO aktif antara tahun 1970-an dan 1980-an. Kini PULO dikendalikan Tengku Bira dari pengasingannya di Syiria, dan Swedia jadi negara tempat bekerja departemen hubungan luar negeri organisasi ini.

Kelompok perlawanan lainnya adalah Gerakan Mujahidin Islam Patani atau GMIP. Kelompok ini dibentuk tahun 1995 oleh Nasoree Saesaen, seorang veteran perang Afghanistan. Semula GMIP bernama Gerakan Mujahidin Patani (GMP). Kini GMIP ini tidak aktif lagi. Meski begitu, ia diyakini punya hubungan dengan Kumpulan Mujahiddin Malaysia atau populer disebut KMM.

Organisasi-organisasi perlawanan tersebut mengalami masa pasang surut dan amat bergantung kepada pemimpin mereka. Kemunduran organisasi umumnya disebabkan sang pemimpin meninggal dunia, melarikan diri atau ditangkap. Sebab lain adalah konflik internal yang menyebabkan munculnya organisasi-organisasi baru yang kadang-kadang masih menggunakan nama yang sama.

Sekarang ini muncul satu kelompok perlawanan yang bernama Runda Kumpulan Kecil (RKK). Kelompok ini mempunyai anggota lima sampai enam orang dalam satu kolektif. Mereka sangat terlatih dan efektif ketika melakukan penyerangan. RKK dianggap bertanggung jawab terhadap penyerangan pasukan keamanan. Mereka juga melakukan pengeboman di selatan Thailand akhir-akhir ini.

Menurut laporan intelijen Thai, RKK tersebar di 5.000 kampung di wilayah selatan Thailand. Mereka diyakini mempunyai hubungan dengan Barisan Revolusi Nasional Koordinasi, organisasi perlawanan yang lebih besar. Di harian Bangkok Post edisi 28 November 2005, disebutkan bahwa ada beberapa anggota kelompok ini yang dilatih di Bandung, Indonesia!

imagePADA 21 DESEMBER 2007, saya mengunjungi masjid Kru Se di sela tugas memantau proses Pemilu di Patani. Masjid ini menjadi salah satu bukti kekerasan militer. Bekas tembakan dari tiga tahun silam masih tampak jelas.

Jejak peluru tertinggal di dinding luar dan dalam masjid. Lubang-lubang peluru ini ditutupi dengan semen dan dicat sewarna bata. Dinding masjid memang tak diplester atau dicat, terdiri dari susunan bata merah. Kubah kosong-melompong dan rusak.

Kru Se dianggap masjid paling bersejarah di Patani. Dibanding masjid-masjid di Aceh, Kru Se memang kecil. Bagian dalam yang digunakan sebagai tempat sembahyang hanya berukuran sekitar 6 x 6 meter persegi. Tapi, masjid ini tidak digunakan untuk salat Jumat. Pada papan informasi di depan masjid terlihat bekas lubang peluru. Di situ tertulis riwayat masjid ini. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira berbunyi begini:

“Masjid ini dibangun pada masa Sultan Muzuffar Shah. Masjid ini merupakan masjid pertama di Patani yang berarsitektur Timur Tengah. Masjid ini mengalami kerusakan oleh berbagai perang dan dibiarkan seperti reruntuhan sejak tahun 1786. Masjid ini dijadikan monumen purbakala pada tahun 1935. Kemudian mengalami dua kali perbaikan pada tahun 1957 dan 1982.”

Sebelum tahun 2004, tindak kekerasan di selatan Thailand tidak separah sekarang. Tingkat kekerasan meningkat mulai awal tahun 2004.

Pada 4 Januari 2004, misalnya, lebih dari 100 orang bersenjata menyerang pos Rachanakarin milik Tentara Kerajaan Thailand di distrik Cho Airon, Narathiwat. Empat tentara penjaga gudang yang beragama Budha tewas dibunuh, sedangkan yang beragama Islam dibiarkan hidup.

Sehari setelah penyerangan ini, Perdana Menteri Thaksin Shinawatra memberlakukan darurat militer. Pada awalnya hanya di tiga kabupaten dan kemudian penerapannya berlaku di tiga provinsi, yaitu Yala, Narathiwat dan Patani.

Pada 28 April 2004, pukul empat pagi, sebanyak 32 jamaah salat subuh di masjid Kru Se di desa Kru Se, distrik Muang Patani, tewas setelah tentara menyerang desa ini. Pemerintah menuduh mereka yang tewas adalah anggota gerilyawan.

Menurut laporan Global Terrorism Analysis, yang dirilis Jamestown Foundation pada 6 Mei 2005, dua dari 32 orang yang tewas itu adalah warga negara Indonesia. Keduanya bekerja untuk organisasi Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C). Namun tidak dijelaskan dalam rangka apa mereka berada di masjid tersebut. Mer-C merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan. Kantornya di Jalan Kramat Lontar No. J-157, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Lembaga ini pernah mengirim relawan ketika terjadi kerusuhan agama di Maluku pada tahun 1999 sampai 2000. Semasa pemberlakukan darurat militer di Aceh, Mer-C juga banyak membantu perawatan warga Aceh yang terpaksa dievakuasi dan berobat ke Jakarta.

Peristiwa pembantaian lain yang amat dikenal adalah peristiwa Tak Bai. Tak Bai merupakan salah satu distrik yang juga menjadi nama ibukota distrik di Narathiwat. Pembantaian ini terjadi pada 25 Oktober 2004, bertepatan dengan bulan Ramadhan. Saat itu anggota tentara pemerintah dari berbagai divisi dikerahkan untuk memecah konsentrasi warga muslim yang sedang melakukan protes. Warga menuntut pembebasan enam orang penjaga keamanan kampung yang dituduh memberi senjata kepada gerilyawan. Sebagai informasi, di kampung-kampung di wilayah selatan Thailand penjaga kampung dipersenjatai dengan senjata laras panjang, seperti jenis Heckler Koch G3 (HK G3).

Sebanyak 78 orang ditangkap dan tewas di atas truk dalam perjalanan ke markas militer. Mereka tewas karena kehabisan oksigen. Saat dibawa, tangan mereka diikat ke belakang satu sama lain dan ditempatkan seperti tumpukan karung dengan lima hingga enam lapis. Ini menyebabkan para korban tidak bisa bernapas.

SELAMA 21 HARI melakukan pemantauan, hanya tiga kali kendaraan yang saya tumpangi diberhentikan polisi dan tentara. Di pos pemeriksaan itu, kami ditanyai soal tujuan. Namun, kami tak harus keluar dari mobil. Saya jadi teringat pemeriksaan-pemeriksaan yang terjadi di Aceh pada masa darurat militer. Bedanya, pos pemeriksaan di Aceh mengharuskan semua orang turun dari kendaraan.

Ada yang unik tentang pos pemeriksaan di bagian selatan Thailand ini. Bila kita naik kendaraan dan melewati pos pemeriksaan, sebaiknya jangan sekali-kali berhenti jika tidak disuruh. Tips ini saya ketahui pada hari terakhir ketika kami berjalan dengan salah seorang rekan observer bernama Abdullah. Ia berasal dari Yaman dan telah 15 tahun tinggal di Bangkok. Ia selalu mengingatkan untuk perlahan-lahan ketika melewati pos. Ia akan berkata ‘sya sya kab’. Artinya kurang lebih, pelan-pelan.

“Kalau di selatan ini, kita harus berkendaraan secara normal. Kalau kita tiba-tiba mengurangi kecepatan karena ada pos pemeriksaan, ini bisa menimbulkan kecurigaan penjaga pos,” kata Abdullah.

Rekan dari Yaman ini ternyata sedikit trauma dengan berita seputar perang Iraq, di mana tentara Amerika menembak pengendara mobil dengan alasan mobil itu tidak mau berhenti dan pengendara menambah kecepatan ketika melewati pos pemeriksaan. Setelah melakukan penembakan, tentara Amerika mendapati yang menjadi korban adalah perempuan dan anaknya yang masih kecil.

Suatu kali, saat melakukan pemantauan, saya melewati daerah banjir yang terletak di antara kota Waeng dan Sungai Kolok. Saya menyuruh sopir untuk lebih cepat menyetir karena saya ingin memotret dengan efek air yang membasahi kaca akibat semprotan air yang terciprat dari ban. Kami tidak melihat kalau ternyata dari arah depan melaju sebuah truk terbuka berisi tentara. Cipratan air kontan mengenai tentara-tentara ini. Untungnya mereka tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap kami. Saya tidak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi jika peristiwa ini terjadi di Aceh. Tentara-tentara Indonesia itu akan langsung turun, memukul saya, dan mungkin membunuh saya di tempat.

Namun, perang tetaplah perang. Menurut Sunai Phasuk, staf Human Rights Watch divisi Asia yang berkedudukan di Bangkok, rata-rata lima orang meninggal di wilayah ini setiap hari sejak 2004.

WARGA di selatan berharap banyak terhadap Pemilu Desember 2007. Umumnya terkait soal keamanan dan penegakan hukum. Warga menuntut proses hukum atas tragedi pembantaian Tak Bai dan masjid Kru Se semasa pemerintahan Thaksin.

Namun perubahan politik yang diinginkan warga selatan sangat tidak mudah. Seperti juga di Indonesia, bahaya jual-beli suara selalu mengancam proses Pemilu yang jujur dan adil di Thailand. Partai yang masih di bawah bayang-bayang Thaksin, People’s Power Party, pun melakukannya.

Menurut Cek Din, salah seorang pendukung People’s Power Party, jual-beli suara terjadi di mana-mana. Ia pernah bekerja sebagai penasehat Thaksin.

“Proses jual-beli suara telah dilakukan sejak dimulainya tahapan proses pemilihan umum,” ujarnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Thailand menetapkan kebijakan untuk mencegah praktik jual-beli suara ini dengan memberi hukuman tegas kepada yang menerima dan memberi suap untuk memperoleh suara. KPU juga memberlakukan hukuman kartu merah dan kartu kuning. Kartu merah bisa berarti menganulir kemenangan kandidat atau partai jika ditemukan kecurangan dalam proses Pemilu.

Walaupun begitu besarnya sanksi KPU untuk para pelanggar, tapi praktik jual-beli suara tetap saja terjadi. Menurut Arifin Cek Mad, salah seorang warga yang saya temui, jual-beli suara tidak dilakukan secara tunai dan dibagi-bagikan ketika kampanye. Tetapi lewat cara yang lebih canggih.

“Caranya seperti membayar rekening telepon si pemilih, rekening listrik atau membayar uang minum di warung-warung,” kata Cek Mad.

Suasana kampanye tidak terlalu semarak di daerah selatan. Kampanye dengan mengumpulkan orang di lapangan hanya ada di kota Narathiwat. Sedangkan kampanye lewat konvoi kendaraan dengan membawa poster kandidat dan partai dilakukan tanpa menggunakan pengeras suara. Warga seakan ketakutan untuk ikut kampanye atau mengungkapkan aspirasi politik mereka. Situasi ini jauh berbeda dengan di Bangkok. Pemilu di ibukota Thailand itu jauh lebih meriah.

Di Narathiwat saya jarang menemukan poster-poster kandidat dan partai. Poster-poster ini hanya ditemukan di tempat tertentu, dan terkadang kandidat hanya memberikan stiker seukuran kartu nama sebagai atribut kampanye. Sebaliknya, foto raja malah bertebaran di rumah dan warung-warung.

“Kenapa hanya ada sedikit poster sebagai bahan kampanye dan mengapa tidak melakukan kampanye dengan mengumpulkan massa di lapangan?” tanya saya kepada Cek Anwar. Ia pendukung Partai Demokrat. Waktu itu saya mengunjungi kantor partai ini di Narathiwat.

“Dalam pemilu kali ini raja mengingatkan masyarakat untuk tetap hidup sederhana dan ini merupakan salah satu bentuk hormat kami kepada raja,” jawab Cek Anwar.

“Kami tidak mau mengambil risiko jika ingin mengumpulkan massa di lapangan, karena daerah ini merupakan daerah operasi militer dan daerah rawan, bisa saja terjadi pengeboman,” tambahnya.

Raja Bhumibool Adulyadej dengan gelar Raja Rama IX sekarang berumur 80 tahun. Hari kelahirannya pada 5 Desember selalu diperingati warga dengan sangat meriah. Pada ulang tahunnya yang ke-60, ia memberi tempat air seperti guci besar untuk setiap rumah di daerah Patani. Raja ini sangat dicintai oleh rakyatnya. Tidak mengherankan kalau hampir di seluruh jalan di Thailand banyak poster atau foto raja dalam ukuran raksasa. Bukan hanya itu, rakyat Thailand amat hormat terhadapnya. Apapun yang dikatakan raja akan diikuti oleh rakyatnya. Seperti juga kesederhanaan dalam pelaksanaan Pemilu.

SAYA semakin melihat banyaknya kemiripan antara wilayah selatan Thailand dengan Aceh yang berada di ujung barat Indonesia. Seperti juga di Aceh, saya membayangkan perdamaian bakal terjadi di sini. Namun selama melakukan pemantauan, saya tidak membaca adanya kebijakan khusus yang akan diterapkan oleh partai atau kandidat peserta Pemilu Thailand untuk menyelesaikan konflik berdarah yang terjadi di sini selama puluhan tahun.

Saya mewawancarai Professor Abullah Abroe untuk mengetahui lebih jauh soal ini. Abroe adalah dosen khusus bidang Pemerintahan Islam dan Demokrasi di Prince of Songkla University, Patani.

Sewaktu saya bertanya apakah ada program partai atau kandidat untuk penyelesaian konflik wilayah selatan Thailand, ia menggelengkan kepala.

“Tidak ada. Semua sangat umum. Apa yang partai dan kandidat putuskan di Bangkok dan berlaku untuk seluruh Thailand dan itu juga yang akan berlaku di wilayah selatan,” katanya, kecewa.

Keluarga Abroe adalah salah satu korban konflik di Patani. Dua bulan sebelum saya melakukan wawancara, adiknya tewas ditembak.

“Sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari kasus ini,” katanya.

Untuk mengatasi permasalahan di selatan Thailand, Abroe berpendapat, “Adalah dengan melakukan dialog.”

Abroe mungkin benar. Paling tidak, cara ini pernah dilakukan di Aceh.***

*) Mustawalad adalah Kepala Bagian Internal Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) Aceh.

by:Mustawalad