Ketika Gempa Datang Petang

Jimi Piter

Wed, 26 September 2007

GEMPA besar mengguncang Bengkulu. Isu tsunami terdengar. Tetapi pemerintah setempat masih gagap melakukan tahap-tahap penanganan bencana.

AHLAN sedang mecabuti bulu ayam jago yang baru saja ia sembelih, ketika tiba-tiba seperti ada gerakan halus dari perut bumi. Ia mulai merasakan gerakan yang tidak biasa, lalu makin keras.  "Gempa…!" teriaknya.

"Idup gale…idup gale…!" teriaknya, berkali-kali, dan dan keras.

Ayam yang sedang dipegang ia tinggalkan begitu saja, lalu berlari ke dalam rumah dan langsung menyambar anaknya yang tertua yang sedang terlelap di kasur yang digelar di ruang tengah rumah sederhana itu. Sedangkan istrinya yang dari tadi mempersiapkan bumbu gulai untuk menu sahur di dapur, juga secara spontan menyambar anak mereka yang bungsu, menggendongnya dan kemudian berlari ke luar rumah.

Malam itu, Rabu 12 September 2007. Keluarga kecil itu masih dalam keadaan kalut, takut dan was-was. Gempa yang terjadi sore tadi membuat mereka waspada.

Selepas sholat maghrib,  Ahlan mendapat kabar dari saudaranya di Jakarta bahwa gempa yang baru saja terjadi memiliki kekuatan 7,9 skala Richter. Perasaan was-was terus menggelayut sebab ia juga mendapat berita akan ada tsunami.

"Gempanya lebih keras dari yang tahun 2000. Tapi kalau sekarang ayunannya hanya ke kiri ke kanan, kalau dulu hentakannya juga ke atas." Ia memulai kisahnya kepadaku

sambil menidurkan buah hatinya di tenda yang baru saja didirikannya. Wajah anak-anaknya terlihat begitu damai, seperti tak peduli dengan keadaan yang begitu rusuh di sekitar.

"Sekitar pukul enam kurang, tadi aku sedang duduk di teras depan, tahu-tahu ada gempa. Kami semua berhamburan ke lapangan ini. Untung ada tanah lapang yang cukup luas ini, dan untung juga hari masih belum gelap, sehingga kami tidak terlalu panik jadinya."

Di tanah lapang selebar hampir seperempat hektare kini menginap tiga keluarga yang mendiami perumahan kecil ini, gang Panti Asuhan 4, kelurahan Sumur Dewa,

kecamatan Selebar, Bengkulu. Masing-masing keluarga memiliki anak-anak yang paling tua duduk di kelas tiga sekolah dasar.

Malam itu Agung mengistirahatkan anak dan istrinya dalam mobil. Sedang Tulus lebih berani membiarkan keluarganya tidur di teras rumah yang memang agak luas dan menghadap ke arah lapangan terbuka tersebut.

"Aku kira tadi sudah mau kiamat, mobilku jalan sendiri. Tapi yang paling kukhawatirkan rumah ini," kata Tulus. Ia meneruskan bercerita sambil memasukkan kayu bakar ke api unggun yang mereka buat sebagai satu-satunya penerangan malam itu.

Ia memang pantas khawatir sebab rumah itu baru mereka tinggali belum setahun ini, rumah baru.

Tiba-tiba suara dering telepon seluler memecah suasana malam yang lengang.

"Walaikum salam…" jawab Ahlah.

"Alhamdulillah kami semua selamat, rumah juga tidak apa-apa. Cuma kami di sini tidur di luar rumah semua, belum berani ke dalam. Kebetulan di sini ada tanah lapang…." lanjutnya.

"Oh.. ndak, kami nggak mengungsi. Malah banyak masyarakat yang di sekitar Pantai Panjang, Lempuing itu yang ke sini. Daerah kami ini memang direkomendasikan oleh pemda (pemerintah daerah) sebagai tempat evakuasi kalau ada isu tsunami. Tadi saya keluar sebentar jalanan sudah penuh oleh kendaraan yang mengarah ke sini semua,"

"Ya, ya, terima kasih, kami aman-aman saja. Eh, minta tolong kalau ada informasi dari tivi kabari kami, sebab, sebab di sini listrik mati, jadi kami tidak tahu apa-apa kalau ada perkembangan dari gempa ini."

Telepon itu datang dari saudaranya di Bekasi, Jawa Barat, yang mengetahui kalau telah terjadi gempa di Bengkulu lewat televisi.

Malam begitu tenang. Bintang berkedip-kedip di langit yang jauh. Semilir angin begitu halus, tapi begitu menjadi perhatian bagi ketiga keluarga yang sedang berjaga-jaga. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Istri Ahlan sudah berani kembali ke dapur, menyiapkan diri untuk memasak ayam yang sudah dibersihkan.

"Mau gempa atau tidak, tsunami atau tidak, besok kita tetap jadi puasa kan?" katanya.

Ayam jago yang tadi sudah dikuliti Ahlan dipotong-potongnya. Ia akan masak semur ayam. Bumbu-bumbu disiapkannya. Cabai giling, bawang putih juga bawang merah, kunyit dihaluskan, lengkuas dikeprok dan dua batang serai ditumbuk kasar. Santan kental pun sudah ada. Potongan ayam dimasukkan terlebih dahulu ke panci, kemudian bumbu dan terakhir santan kelapa.

Tapi belum lama santan itu mendidih, tiba-tiba bumi kembali bergoyang. Perempuan yang tengah memasak langsung menghambur keluar rumah.

Semua orang dewasa terlihat kembali berjaga dan siaga. Ibu-ibu langsung mendekap anak-anak mereka. Gempa sesaat telah menambah kadar ketakutan mereka. Suasana hening. Telepon seluler kembali berbunyi.

"Walaikum salam, oh ndak, ndak apo-apo. kami sekeluargo ndak apo-apo. barusan ado lagi goncangan. Oh, iyo berarti yang tadi sumbernyo dekek Enggano yo, yang barusan dari pantai Lais. Oh iyo…iyo. Apo…. potensi tsunami. Oh iyo…iyo. Kito ndak bisa tidur ni  caknyo. Makasih yo.” Ahlan berbicara dengan kerabatnya di Curup.

Ada berita bahwa gempa terakhir berpotensi tsunami. Kekhawatiran di wajah mereka tambah kentara.

"Astagfirullah, kompor belum dimatikan…" Terdengar seruan seseorang.

Rasa was-was ditambah dengan isu-isu akan adanya gelombang tsunami yang akan menerpa Bengkulu membuat seluruh keluarga ini tidak bisa tidur. Berita simpang-siur dan anjuran dari yang berwenang sama sekali mati. Tak terdengar himbauan untuk melakukan sesuatu atau saran yang menenangkan hati. Sepertinya, semua orang panik.

Yang ada hanyalah suara-suara sirene yang meraung-raung di kejauhan, sepanjang malam. Entah itu suara sirene dari mobil pemadam kebakaran, entah dari mobil patroli, entah memang dari sirene alat pendeteksi tsunami.

Ketenangan satu-satunya hanya mereka dapatkan dari diri-sendiri. Daerah ini relatif lebih tinggi dari permukaan laut dan konturnya berbukit-bukit. Jaraknya hampir empat kilometer dari bibir pantai kota Bengkulu.

PADA Jumat, 14 September 2007 itu terlihat tenda-tenda tentara berjejer di halaman kantor gubernur. Di bagian paling depan ada yang sudah dibongkar. Beberapa pengungsi duduk di bawah pohon rindang di halaman. Sebagian dari mereka sudah kembali ke rumah masing-masing. Rata-rata pengungsi di halaman kantor gubernur ini adalah keluarga yang datang dari Lempuing.

Di tenda utama yang berwarna putih, banyak orang yang duduk melingkar. Dari kejauhan mereka nampak seperti sedang rapat atau semacamnya. Tapi ternyata tidak, mereka bekerja sendiri-sendiri. Dua orang pria kulit putih, yang di bagian depan kausnya tertulis “Unicef”, sibuk menekan-nekan tuts pada keyboard  laptop. Pejabat-pejabat daerah setempat juga berkumpul di situ.

Seorang pria terlihat sibuk menyambut para tamu yang berdatangan menyampaikan simpati dan sumbangan.

Dari papan pengumuman yang terpampang tertera sumber-sumber penyumbang. ProXL, PT Telkom, dari pusat ada dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Sosial, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan, juga dari lembaga internasional Medicines Sans Frontiers, Belgia.

Fokus pemberian bantuan diarahkan ke Bengkulu bagian Utara, yang mencakup kecamatan Lais, kecamatan Pondok Kelapa, Arga Makmur, Batik Nau, dan kabupaten Muko-Muko. Di kota diarahkan hanya ke Lempuing.

Selain itu dicantumkan juga data-data korban, yang meninggal, luka-luka, bangunan yang rusak baik berat maupun ringan. Namun, data-data itu selalu berubah.

Penanganan bencana ini dipimpin wakil gubernur M. Syamlan yang sedang berada di

kecamatan Batik Nau, arah utara kecamatan Lais. Batik Nau mengalami kerusakan terparah akibat gempa Rabu petang lalu.

Di papan pengumuman tertera pula jadwal rapat. Rapat  komando pukul 08.00 dan rapat koordinasi pukul 21.00 atau setelah sholat tarawih.

Entah itu jadwal betulan atau hanya sekedar pengisi papan kosong, karena protes lantang terdengar dari lelaki yang duduk di sisi saya.

"Bagaimana ini, saya dari jam delapan tadi duduk di

tenda ini. Kapan rapatnya?"

Saat itu sudah lewat dari pukul sebelas siang.

MASJID Baitul Izzah terletak di kompleks kantor gubernur. Sholat Jumat di situ berlangsung seperti biasa. Khatib memberi wejangan tentang bagaimana bersikap dalam menghadapi bencana: kita adalah makhluk, yang setiap saat harus siap dalam menghadapi keputusan yang dikeluarkan oleh Tuhan, Sang Khalik, Sang Maha Pencipta….

Sholat usai. Saya duduk menghadap dinding bagian depan masjid yang terlihat retak-retak. Dari samping kanan saya, tiba-tiba seseorang berjalan ke depan dan berdiri tepat di depan saya. Tubuh lelaki ini tak seberapa tinggi. Rambutnya lurus. Ia memakai jaket yang kancingnya dibiarkan terbuka. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket itu.

Sebagian jamaah yang mengenal orang ini segera maju dan menjabat erat tanganya. Ada juga yang memeluknya.

"Kapan nyampai, pak?" tanya mereka.

Lelaki itu gubernur Bengkulu, Agusrin M. Nadjamudin. Ia baru saja tiba dari lawatannya ke Los Angeles, Amerika Serikat, tepat dua hari setelah gempa dahsyat itu berlalu.***

*) Jimi Piter adalah kontributor sindikasi Pantau di Bengkulu.

kembali keatas

by:Jimi Piter