Raung Gergaji di Ulu Masen

Hairul Anwar

Tue, 25 September 2007

PEMERINTAH Aceh berusaha melindungi hutan di wilayahnya dari penebangan liar. Dulu komunitas adat punya cara menjaga kelestarian hutan serta alam mereka. Di masa Soeharto peran mereka diabaikan dan diganti dengan lembaga resmi yang tak paham keadaan setempat.

JALAN setapak itu dihiasi lubang-lubang selebar loyang. Semakin jauh dari pintu masuk hutan, lubang itu semakin banyak dan letaknya tak beraturan.

“Bekas jejak kaki gajah. Kemarin pagi saya melihat belasan ekor keluar hutan,” kata seorang lelaki pencari kayu, memberi tahu saya.

Di sela-sela lubang teronggok kotoran bintang tersebut, hijau, seukuran bola kaki.

Siang itu, 16 Juli 2007. Saya bergabung dengan 25 orang pemuka adat Aceh menyusuri hutan Ulu Masen di kabupaten Pidie. Meski berusia rata-rata di atas 50 tahun, para tetua adat ini cukup tangguh menyusuri hutan. Seringkali kami harus mendaki atau menuruni jalan yang terjal dan licin. Mereka pun dengan sigap berpegangan pada dahan atau akar-akar pohon. 

Baru setengah jam masuk hutan, terlihat balok-balok kayu berserakan. Sebagian sudah jadi papan. Kami bertemu tiga orang lelaki di sini. Dua orang sedang membelah batang pohon dan seorang lagi memanggul papan keluar hutan. Dari kejauhan terdengar suara mesin penebang pohon meraung-raung.

Muhammad Sabi Basyah menghampiri mereka. Tak lama kemudian, dia menegur tiga lelaki itu. Raut wajah mereka tegang.

“Kenapa masih menebang kayu hutan, padahal itu sudah dilarang pemerintah?” tanya Sabi.

“Kami tahu ini salah, tapi kami belum punya modal untuk menggarap lahan,” jawab salah seorang dari tiga lelaki tersebut.

“Tapi perbuatan bapak-bapak ini bisa mengundang bencana di daerah hilir,” kata Sabi.

“Kami memilih pohon yang akan ditebang, tidak dirusak semua,” sahut yang lain.

“Kami mau berkebun, pak. Tapi tidak punya biaya. Tolong sampaikan ke pak gubernur agar kami diberi modal. Gimanalah caranya biar kami tidak tebang pohon lagi,” sambung lelaki di sebelah Sabi.

“Dapat upah berapa?” tanya Sabi.

“Tiap kubik kayu yang kami angkut sampai tepi jalan dapat Rp 400 ribu. Kalau tukang tebang kayu mendapat Rp 350 ribu.”

Satu kubik kayu bisa menghasilkan 40 keping papan. Kayu-kayu yang sudah ditumpuk di tepi jalan kemudian diambil tauke untuk dijual ke kota.

Sabi kemudian terdiam. Kami melanjutkan perjalanan menyusul yang lain.

Sabi adalah imeum (kepala) mukim Bangkeh, kecamatan Geumpang, Pidie, tempat kegiatan ini berlangsung. Imeum mukim merupakan ketua kelembagaan adat di atas geuchik atau kepala kampung. Kalau di Jawa, mukim sama dengan kecamatan.

“Inilah salah satu kendala kebijakan moratorium logging. Mungkin pemerintah harus memberi bantuan (kepada) penduduk untuk membuka kebun,” kata Sabi.

Agar hutan Aceh tidak terus gundul, gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengeluarkan instruksi jeda sementara penebangan hutan Aceh atau dikenal dengan moratorium logging, pada Juni 2007. Isinya tegas: segala jenis kayu hutan dilarang dibabat.

Pemerintah juga menutup pemberian izin hak pengelolaan hutan (atau populer disingkat HPH) kepada pengusaha kayu. Tapi pengawasan di lapangan kurang tegas. Penebangan kayu liar masih terus terjadi. Indikasinya, belakangan ini satwa seperti gajah makin sering keluar hutan dan menyerang pemukiman penduduk karena hutan tempat tinggal mereka dirusak.

Dalam laporan akhir tahun 2006, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Aceh menyebutkan luas hutan Aceh yang rusak mencapai 266 ribu hektare atau setara empat kali luas Singapura! Praktek illegal logging atau penebangan liar ini dipicu kebutuhan kayu untuk membangun rumah-rumah dan gedung-gedung yang porak-poranda akibat gempa dan tsunami. Ada 120.209 meter kubik kayu yang disita aparat selama tahun 2006, sedang kebutuhan kayu tiap tahun di Aceh rata-rata mencapai 215 ribu kubik.

Perjalanan kami berakhir di sebuah danau. Masyarakat setempat menamakan danau ini Danau Tang Tang. Letaknya di tengah hutan Ulu Masen. Danau seluas 15 hektare ini belum terjamah manusia. Pohon-pohon mengelilingi danau itu. Semak menjalar sampai ke tepinya.

Keinginan menggebu-gebu saya untuk berenang sedari tadi, seketika lenyap. Jangankan berenang, mau mencari pijakan kaki saja sulit. Tidak ada bebatuan. Kami harus hati-hati melangkah agar tidak terjerembab ke dalam rawa. Air danau terlihat keruh oleh rontokan daun-daun.

“Bisa dibayangkan kalau penebangan pohon terus terjadi, maka air danau ini akan menenggelamkan daerah sekitar,” kata Sabi, tegas.

ANWAR Ibrahim hanya tertawa kalau rekan-rekannya menyindir pengalamannya menerima uang dari pengusaha kayu.

“Pak mukim, setelah HPH keluar, ndak dapat honor lagi dong.” Atau, “Pendapatan udah hilang dong.”

Sindiran itu terulang ketika Ibrahim mengikuti pertemuan para pemuka adat di desa Bangkeh, kecamatan Geumpang, Pidie, 16 Juli lalu. Pertemuan berlangsung di sebuah rumah tradisional Aceh milik seorang penduduk desa Bangkeh. Rumah ini berbentuk panggung dengan atap rumbia. 

Mereka membahas tata cara pengelolaan hutan Ulu Masen secara adat setelah perusahaan pemegang HPH tidak lagi beroperasi. Kawasan hutan Ulu Masen mencakup kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Pidie. Luasnya mencapai 738 ribu hektare. Ini hutan penting setelah kawasan Leuser.

“Saya tidak anggap uang itu pendapatan. Tapi itu memang hak yang harus diberikan perusahaan karena mereka berusaha di wilayah kami,” kata Ibrahim  mengenai uang yang diterimanya itu.

“Kalau ditanya ‘merasa rugi ndak’, saya bilang ndak. Saya juga senang HPH tidak masuk lagi. Karena kenyataannya, HPH berdampak buruk pada masyarakat. Saya sadar.”

Penduduk sekitar hutan menyebut perusahaan yang mendapat izin menebang kayu hutan dengan HPH.

Anwar Ibrahim ketua mukim Rigah, kecamatan Setia Bakti, Aceh Jaya. Dia membawahi empat desa. Tiap bulan dia mendapat honor khusus dari perusahaan HPH.

“Dulu saya dapat honor Rp 1 juta dari masing-masing HPH sebulan. Paling senang kalau saya ada acara ke luar Aceh Jaya, saya cepat lapor ke mereka. Dapat untuk ongkos, untuk nginap juga dapat. Kalau lebaran orang-orang perusahaan mengantar hadiah ke rumah. Hahaha….”

“Selain bapak, siapa lagi yang dapat uang?” tanya saya.

“Kalau kepala desa dan camat pasti dapat. Saya saja dapat. Tapi saya tidak tahu jumlahnya berapa,” kata Ibrahim.

Mengapa HPH punya perhatian lebih pada Ibrahim?

“Terus-terang saya bilang, kalau ada masalah penduduk dengan perusahaan, saya yang turun tangan. Ketua adat kan sangat didengar penduduk. Sebaliknya, kalau ada pembangunan di desa atau kecamatan, saya yang langsung minta (dana) ke perusahaan,” katanya.

PT Lamori Timber dan PT Aceh Inti Timber adalah perusahaan yang kebetulan berkantor di wilayah Ibrahim. Masing-masing menebang hutan sejak 1976 dan 1983 sampai berhenti operasi karena konflik pada 1999.

“Wilayah konsesinya ribuan hektar. Untuk menumpuk kayu mereka habiskan lahan sampai 3 hektar. Kendaraan pengangkut kayu bolak-balik tiap hari. Satu minggu mereka datang membawa pergi satu tongkang kayu. Terus dibawa ke luar daerah, seperti ke Sibolga. Pokoknya ke Medan,” tutur Ibrahim.

Menurut Ibrahim, keberadaan perusahaan tersebut sebetulnya tidak memberi kesejahteraan bagi masyarakat sekitar hutan. Misalnya, perusahaan hanya mengambil orang-orang luar sebagai karyawan. Penduduk setempat hanya dipekerjakan sebagai sopir, tukang kupas kulit kayu, dan petugas keamanan.

“Sampai humas (hubungan masyarakat) sendiri orang luar. Saya sendiri sarjana dakwah jurusan bimbingan penyuluhan masyarakat tidak bisa masuk. Saya melamar jadi humas, dibilang tidak ada lowongan,“ kisahnya. 

Belakangan, penduduk yang tinggal di daerah hutan merasakan dampak lain dari aktivitas perusahaan-perusahaan itu, yakni bencana banjir dan longsor.

“Daerah kami sering banjir dan longsor mulai 1995. Asal hujan pasti banjir,” kata Ibrahim.

Itu sebabnya ketika PT Lamori Timber dan PT Aceh Inti Timber hendak kembali menebang hutan, Ibrahim termasuk paling tegas menolak.

“Kalau kelak pemerintah memberikan peluang HPH beroperasi lagi, jangan salahkan kalau kelak masyarakat merusak base camp HPH itu dengan brutal.”

Penolakan itu juga telah disampaikan Ibrahim bersama tetua adat dari daerah lain kepada dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Aceh. Ibrahim dan rekan-rekannya juga meminta pengelolaan hutan diserahkan kepada masyarakat.

“Anggota DPR tanya ‘kenapa tidak boleh masuk, pak. Kan sama saja itu karena masyarakat merambah hutan juga’. Saya bilang ke mereka, ‘saya bandingkan kalau masyarakat yang menebang satu pohon itu perlu tenaga yang banyak. Dia belah itu satu pohon 15 hari baru selesai, ditariknya pakai kerbau. Kalau HPH sehari nebang bisa ratusan batang.”

Penanaman pohon kembali pun tidak berjalan baik. Pihak perusahaan menjadikan jalanan rusak di musim hujan sebagai alasan.

“Apalagi waktu itu tidak ada pengawasan. Kalau misalnya nanti masyarakat diberi peluang, penanaman kembali kan bisa diawasi oleh masyarakat sendiri. Kami punya hukum adat yang mengatur,” kata Ibrahim.

Namun, pelaksanaan hukum adat hanya berlaku di wilayah hutan adat saja. Setiap mukim di wilayah hutan mendapat hutan adat sepanjang enam kilometer.

“Masalahnya, tata letak hutan adat dengan hutan yang dikelola perusahaan HPH tidak jelas. Kayu yang ditebang tidak jelas apakah itu kayu di areal milik perusahaan atau milik adat,” kata Ibrahim.

Itulah salah satu contoh pangkal konflik kehutanan yang sering terjadi selama ini.

Masyarakat adat di kawasan hutan mempunyai cara sendiri bagaimana mengelola hutan. Ada pawang uteun  yang bertugas menjaga kelestarian hutan. Ada juga peutua seuneubok, artinya tetua adat yang mengatur pembukaan ladang perkebunan di hutan. Kelembagaan adat ini dibawah koordinasi ketua mukim.

 “Penduduk di daerah hutan memiliki hari rebu abee atau pantangan masuk hutan. Karena hari ini harimau sedang istirahat. Penduduk baru boleh masuk hutan setelah harimau selesai istirahat. Selain itu kayu hanya boleh ditebang untuk keperluan membuat rumah, bukan untuk dijual,” kata Ibrahim.

Dalam buku Bergerak Menuju Mukim dan Gampong yang ditulis Sutoro Eko, Riawan Tjandra dan Muhammad Umar disebutkan bahwa kelembagaan adat Aceh sudah ada sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam di masa Sultan Iskandar Muda. Buku ini diterbitkan Institute for Research and Empowerment Yogyakarta bersama Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh pada Juni 2007.

Di masa Soeharto lembaga adat ini diabaikan. Pemerintah kemudian membentuk lembaga baru seperti Dinas Kehutanan dengan Jagawana sebagai petugas penjaga hutan.

“Sekarang kami menuntut pemerintah melibatkan masyarakat adat dalam mengelola hutan, memperjelas tata letak dan batas hutan adat. Karena kami menganggap itu hak kami,” kata Ibrahim dengan tegas.

Saya meninggalkan desa Bangkeh menjelang tengah malam. Di perjalanan saya melihat dua mobil truk penuh kayu, melaju tepat di muka mobil yang saya tumpangi.

“Biasanya kalau tengah malam sering ada truk bawa kayu lewat sini,” kata pak sopir.

 

PULUHAN laki-laki berbadan tegap berebut mengerubungi papan pengumuman di salah satu sudut kantor itu. Tangan mereka mengempit map aneka warna. Makin lama jumlah mereka makin banyak.

“Mereka itu para pelamar calon polisi hutan,” kata Husaini Syamaun.

Pemerintah Aceh hanya menerima 1000 orang polisi hutan, tetapi yang memasukkan lamaran lebih dari itu. Polisi ini nanti akan bertugas menjaga hutan-hutan Aceh dari para pencuri kayu.

“Ini tindak lanjut dari kebijakan moratorium logging hutan Aceh,” kata Husaini.

Husaini adalah wakil kepala dinas kehutanan Aceh. Untuk sementara dia menjadi penjabat sementara kepala dinas karena kepala dinas yang sesungguhnya sedang tugas pendidikan di Jakarta.

Pagi 18 Juli lalu, saya menemui dia di kantornya. Saya ingin tahu bagaimana pemerintah memandang komunitas adat yang ingin berperan mengelola hutan-hutan Aceh.

“Kita sih oke-oke saja ada komunitas adat yang ingin mengelola hutan. Tapi kan belum tentu semua mau. Apalagi keberadaan mereka sudah dipolitisir,”  kata Husaini.

Ucapan Husaini merujuk kepada para kepala mukim di daerah hutan Ulu Masen. Menurutnya, tugas mukim atau kepala gampong (kampung) hanya mengurus masyarakat, bukan mengurus hutan.

“Keberadaan perusahaan HPH juga untuk membantu memperbaiki harga kayu agar bisa lebih bagus. Selama ini harga kayu rusak gara-gara kayu ilegal yang dijual murah,” ujarnya

Menurut Husaini, pemerintahan daerah Aceh akan membuka kembali izin pengelolaan hutan setelah kebijakan jeda penebangan hutan dicabut.

Namun, pemerintah tidak menetapkan batas akhir jeda penebangan hutan. Pemerintah juga hendak menata ulang peruntukan hutan Aceh. Mana yang bisa dikelola pengusaha, mana hutan yang bisa dikelola penduduk, dan mana hutan yang tidak boleh disentuh sama sekali. Tetapi, lagi-lagi, batas waktu penataan itu pun belum jelas.

Menurut Husaini, penebangan kayu liar dilakukan para penganggur, yaitu mereka yang masuk dalam kategori usia produktif, tetapi tak terserap lapangan kerja.

 

“Itupun tidak menggunakan alat berat seperti di daerah lain. Masalahnya pencurian terhitung sering karena jumlah yang menganggur banyak,” kata Husaini.

Situasi Aceh pascatsunami dan pascakonflik meningkatkan jumlah pengangguran. Ada yang perusahaan tempatnya bekerja tutup akibat bencana, ada pula mantan gerilyawan yang belum memperoleh biaya untuk memulai usaha di masa damai.

Tiba-tiba telepon seluler Husaini berbunyi.

 “Maaf pak bupati, saya harus melapor dulu ke gubernur… Aduh, saya tidak berani, pak… Tapi, setahu saya kayu illegal logging tidak harus semua dibawa ke pengadilan. Cukup bawa sebagian sebagai alat bukti saja….” Husaini berbicara kepada seseorang di telepon.

Wajah Husaini terlihat tegang. Beberapa kali dia mengucap kata “maaf” dalam pembicaraan sepuluh menitan itu. Dia menolak menyebutkan nama bupati yang berbicara dengannya dan apa persisnya topik pembicaraan mereka kepada saya.***

*) Hairul Anwar adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh.

kembali keatas

by:Hairul Anwar