Citra Niaga

Sahrudin

Fri, 13 July 2007

RIWAYAT pertokoan yang pernah meraih The Aga Khan Award for Architecture dan kemudian terbakar.

SELASA, 31 Oktober 2006, kompleks pertokoan Citra Niaga di Samarinda terbakar. Dalam waktu sekitar satu jam, sejak kira-kira pukul tiga pagi, 28 bangunan berupa petak dan kios berubah menjadi arang. Sebagian besar petak dan kios yang terbakar itu berada di blok F, salah satu blok yang berisi barang-barang kerajinan.

“Ada kalau 50 juta saya rugi,” kata Wibowo.

Wibowo adalah pemilik petak di blok F Nomor 28. Ia menamai petaknya “Wibowo Souvenir”. Lelaki kelahiran Madiun, Jawa Timur, itu memang berjualan aneka souvenir dan kerajinan khas Kalimantan, seperti rangkaian manik-manik, mandau atau parang berikut perisai, ukir-ukiran Dayak, sarung Samarinda dan batu mulia dari Martapura, Kalimantan Selatan.

“Kami waktu itu masih tidur. Kan masih pagi sekali waktu kejadian kebakaran itu,” kata Sumarni, isteri Wibowo. “Yang memberitahu kalau Citra Niaga terbakar kakak saya. Dia menelepon kami.”

Wibowo dan Sumarni cemas kalau-kalau petak mereka ikut terbakar. Dengan sepeda motor, suami-isteri itu pun bergegas menuju Citra Niaga. Butuh waktu kira-kira 15 menit untuk mencapai lokasi usaha mereka dari tempat tinggal di Jalan Gerilya, Samarinda.

“Pas kami sampai sini, petak kami sudah jadi arang,” kenang Sumarni, memelas.

Namun demikian, Wibowo menganggap kerugian yang dideritanya “belum” seberapa.

“Perkiraan saya, ada pemilik petak dan kios yang rugi sampai tiga miliar. Ada yang tidak diasuransikan malah,” tuturnya.

Nasib yang diderita Wibowo dan Sumarni tidak dialami “Dhian Souvenir”. Petak yang juga menjual beragam souvenir dan kerajinan khas Kalimantan ini luput dari amukan api.

“Tapi imbasnya tetap ada juga. Omzet kami menurun drastis,” kata Malvida, pramuniaga “Dhian Souvenir”.

“Sebelum kebakaran, bisa sampai lima juta (rupiah) sehari. Sekarang rata-rata hanya satu juta (rupiah) saja,” lanjut Malvida.

KOMPLEKS pertokoan Citra Niaga berdiri di atas tanah seluas 27.922 meter persegi. Tanah tersebut milik negara, dikuasai pemerintah provinsi Kalimantan Timur, dan diserahkan kepada pemerintah kota Samarinda. Mekanisme ini berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 12 Tahun 1985, yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juni 1985. Dari pemerintah pusat, turun surat persetujuan dari menteri dalam negeri, gubernur Bank Indonesia dan menteri keuangan di masa itu.

Secara keseluruhan, petak di Citra Niaga menempati lahan seluas 1.800 meter persegi, sedangkan kios dan ruko masing-masing 1.443 meter persegi dan 16.870 meter persegi. Seluruh petak, kios dan ruko itu ditempatkan dalam enam blok: A, B, C, D, E dan F. Tiap-tiap blok berisi barang dagangan yang berbeda-beda, mulai pakaian, kerajinan dan cindera mata, makanan dan minuman, toko elektronik sampai usaha salon.

Saat ini, di Citra Niaga terdapat 350 petak, 25 kios dan 137 ruko (rumah-toko). Angka-angka ini berbeda dengan ketika ia baru saja diresmikan pada tahun 1987 oleh Abdul Waris Husain−walikota keenam Samarinda−yaitu 141 ruko, 79 kios dan 24 petak. Yang disebut petak adalah tempat usaha berukuran 2 x 3 meter persegi, berkerangka kayu dan beratap sirap kayu ulin, sedangkan kios tak lain bangunan berukuran 3 x 3 meter persegi, berkerangka kayu dan beton, beratap genteng. Bentuk atap, baik untuk petak maupun kios, menyerupai piramida, yaitu ciri khas bangunan tradisional Kutai, salah satu suku di Kalimantan Timur.

Sementara itu sisa lahan 7.809 meter persegi dimanfaatkan untuk ruang terbuka, panggung pertunjukan atau bale-bale, fasilitas bagi pejalan kaki, toilet umum, mushola, areal parkir dan kantor Unit Swadana Daerah (USD) Citra Niaga.

“Tentu selama 20 tahun perjalanan Citra Niaga kan diwarnai dinamika pertambahan dan penurunan jumlah pengguna tempat usaha,” kata Mufidal, kepala seksi administrasi USD Citra Niaga.

Semula, USD Citra Niaga bernama Badan Manajemen Citra Niaga, yang secara struktural berada dalam pengawasan Dinas Pasar Kota Samarinda. Sejak 1992 ia resmi menjadi USD Citra Niaga. Secara fungsional, USD berada di bawah pemerintah kota Samarinda. Namun, status para pekerjanya bukan pegawai negeri, bukan pula pegawai honorer.

“Kami tidak digaji pemerintah, tetapi dari hasil retribusi dan pendapatan Citra Niaga,” kata Mufidal.

“Seragamnya saja yang mirip pegawai negeri. Pakai safari, pakai sepatu hitam,” seloroh Hasmaudin, satpam Citra Niaga.

Pada peristiwa kebakaran itu, kantor USD Citra Niaga turut terbakar. Banyak arsip dan foto Citra Niaga tempo dulu yang musnah.

Kepada pihak USD inilah para penyewa petak dan kios membayar retribusi harian. Sebuah petak dikenai pungutan Rp. 2.000 dan kios Rp. 2.300 per hari.

“Petak tidak dibebani pungutan tambahan apapun,” kata Mufidal.

Kios dan ruko diwajibkan membayar iuran bulanan, Rp. 14.000 untuk kios dan Rp. 27.500 untuk ruko.

“Biaya-biaya itu di luar biaya kontrak petak. Saya bayar kontrak Rp 10 juta setahun,” kata Sumarni. “Kalau yang punya duit, ya beli hak pakai. Saya bayar kontrakan petak ke pemilik hak pakai.”

Menurut Sumarni, dana yang mesti dikeluarkan seorang pembeli hak pakai petak dan kios di Citra Niaga sekitar Rp. 50 juta. Dengan uang sebesar itu, mereka bisa mendapatkan beberapa petak maupun kios, kemudian disewakan lagi kepada para pedagang kecil.

PENDIRIAN Citra Niaga dirintis sejak tahun 1983. Pengembangnya, PT. Pandurata Indah. Direktur Pandurata, Didik Soewandi, adalah anak gubernur keenam Kalimantan Timur, Soewandi. Dan Citra Niaga, merupakan buah gagasan Soewandi.

“Supaya menjadi citranya Samarinda dan Kalimantan Timur,” kata Soewandi, sebagaimana dikutip Romi Khosla, dalam Technical Review Summary of Citra Niaga Urban Development (1989).

Kala itu, Soewandi sering mengkhawatirkan beberapa lokasi strategis di Samarinda yang makin dipenuhi bangunan-bangunan kumuh. Ia kemudian bicara dengan Didik yang baru saja menyelesaikan pendidikan arsitekturnya di Universitas California, Berkeley , Amerika Serikat.

“Apa kamu bisa cari teman untuk membuat skema dan mengembangkannya jadi pusat bisnis yang bagus?” tanya Soewandi kepada sang anak.

Gayung bersambut. Didik lalu menghubungi kawannya yang juga seorang arsitek lulusan Berkeley , Antonio Ismael Risianto.

“Saya waktu itu masih bekerja di Meksiko,” kata Antonio dalam surat elektroniknya kepada saya.

Kedua orang ini lantas bekerja sama dengan Adi Sasono dari Lembaga Studi Pembangunan atau populer disingkat LSP. Adi Sasono pernah menjabat menteri koperasi di era pemerintahan presiden ketiga , BJ. Habibie. Tahun 1983 sampai 1985, Adi Sasono dan LSP sedang punya aktivitas di Samarinda.

Proyek pembangunan Citra Niaga pun dimulai.

Didik Soewandi membawa nama PT. Pandurata Indah sebagai pengembang, Antonio Ismael Risianto dibantu beberapa arsitek lainnya di bawah bendera PT. Griyantara Architects dan PT. Triaco Widya Cipta sebagai arsitek, dan Adi Sasono mengusung panji LSP selaku sponsor.

“Mas Adi adalah tokoh terpenting saat itu dalam menerobos rintangan-rintangan di (birokrasi pemerintahan) pusat. Pasukan LSP juga sangat mapan dalam urusan kaki lima,” tulis Antonio, mengenang peran Adi Sasono dan LSP.

Desain Citra Niaga dikerjakan mulai tahun 1984 sampai 1985. Selain detail bangunan, Antonio juga melakukan pekerjaan nonarsitektur, seperti sistem manajemen, pola keuangan proyek, pendekatan partisipatif, organisasi, strategi proyek, serta proses-proses lobi dengan banyak pihak yang terlibat.

“Seingat saya, lamanya 12 sampai 16 bulanan,” kisah Antonio dalam surat elektroniknya.

“Sebenarnya desain dasarnya hanya empat bulan, tetapi karena proses partisipatif yang panjang antar banyak stake holder, menjadi proses cukup panjang,” tutur pria yang lahir di Amsterdam, Belanda, 5 April 1951 ini.

Proses tarik ulur, pengambilan keputusan yang tidak lancar antara pihak pemerintah lokal, pemerintah pusat, pengembang dan masyarakat sebagai stake holder, menurut Antonio, lebih memakan waktu ketimbang proses-proses teknis pembangunan Citra Niaga.

“Di developer saja terjadi banyak proses negosiasi internal. Satu ingin profit lebih tinggi, yang satu masih rela memberi kepada rakyat kecil,” ungkap Antonio, arsitek yang oleh koleganya dijuluki “arsitek kampung” dan “konsultan rakyat jelata” ini.

Citra Niaga dikerjakan dalam tiga tahap. Konstruksinya selesai di tahun 1986.

Pada tahap pertama, Pandurata berkonsentrasi pada pembangunan sarana fisik yang sepenuhnya bersifat komersial. Targetnya adalah pelaku usaha berkocek tebal yang potensial mau “menjajal” Citra Niaga sebagai arena bisnis yang baru. Maka, didirikanlah terlebih dulu 58 ruko.

Hasilnya, uang yang didapat dari penjualan ruko-ruko itu dipakai untuk membiayai pembangunan fisik Citra Niaga tahap kedua dan tahap ketiga. Di tahap-tahap ini, pengembang mulai membagi perhatian pada sektor informal, yaitu pembangunan tempat usaha bagi para pedagang kelas menengah dan kaki lima.

Pada tahap kedua dan ketiga itu, masing-masing dibangun sebanyak 27 dan 56 buah ruko. Kios untuk pedagang menengah juga didirikan di tahap-tahap ini, yaitu 25 dan 54 buah. Dan petak yang ditujukan untuk pedagang kaki lima dibuat di tahap kedua, yaitu sebanyak 224 buah.

Proyek pembangunan Citra Niaga sebenarnya bertabur idealisme.

Pusat bisnis ini tidak dipenuhi petak, kios dan ruko saja. Selain tempat-tempat usaha, pelaksana proyek juga membangun menara burung enggang, simbol budaya etnis Dayak Kenyah. Letaknya di pintu utama Citra Niaga.

Joglo atau bale-bale dengan gaya arsitektur Jawa dibuat untuk panggung pertunjukan dan tarian-tarian tradisional. Ia juga bisa dipakai sebagai tempat pertemuan pengelola Citra Niaga dan para pedagang serta pemilik usaha.

Ruang terbuka berlantai paving-block yang terhampar di samping bale-bale, digunakan untuk pertunjukan kesenian dengan jumlah personel lebih banyak.

Pembangunan Citra Niaga tidak membebani keuangan pemerintah daerah, tidak juga pusat. Pandurata tidak pula mengajukan permohonan dana kepada lembaga donor asing.

Biaya pembangunan sepenuhnya ditanggung Pandurata dan unsur-unsur nonpemerintah yang terlibat di dalamnya. Pemerintah−yang diwakili Soewandi sebagai gubernur Kalimantan Timur, Abdul Waris Husain sebagai walikota Samarinda dan Soedarsono Sukardi sebagai kepala Badan Perencanaan Daerah Kalimantan Timur−cukup berperan sebagai fasilitator dan regulator.

Citra Niaga disepakati tidak akan menjadikan pedagang kaki lima dan pengusaha kecil sebagai objek laksana sapi perah. Ia memperlakukan mereka sebagai bagian integral, sebagai mitra dalam sebuah tata pengembangan kota. Konsep subsidi silang pun diterapkan. Pengusaha menengah ke atas, melalui sebuah mekanisme keuangan yang telah ditentukan oleh pengembang, secara tak langsung membantu kelanjutan usaha pedagang kecil.

Dalam proyek Citra Niaga, bentuk partisipasi Pandurata sebagai pengembang memang sudah “aman” sejak permulaan. Transfer hak pemerintah atas tanah kepada pengembang, merupakan titik awalnya. Bersama dengan perwakilan pedagang besar dan kecil, pemerintah serta LSP, Pandurata merumuskan strategi, perencanaan berikut implementasi proyek ini.

“Sebagai tim kita sangat kompak, seperti tidak usah banyak argue tetapi saling mengisi,” ujar Antonio, yang pernah mendapatkan penghargaan Ikatan Arsitektur Indonesia Award pada 1992 dan Albert Bemis Award dari Massachuset Institute of Technology, Harvard di tahun 1978 ini.

Oleh pemerintah daerah, Pandurata diberi keleluasaan untuk menyewakan lahan dan properti. Ia juga dapat mencari dana secara independen. Berbekal kapasitas ini, pihak Pandurata mampu melakukan negosiasi terbuka dengan para calon pengguna tempat usaha di Citra Niaga dan masyarakat. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat diuntungkan dengan adanya Citra Niaga. Dengan demikian, aspek finansial proyek ini pun menjadi transparan.

“Dalam setiap tahap, keterlibatan semua pihak sangat penting, meski tentu tak selalu dalam porsi yang sama, “ tutur Dani Setiadi kepada saya.

Ia mantan manajer proyek Citra Niaga. Kini Dani menjabat direktur Mitra Nata Tulada, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Samarinda dan bergerak di bidang pengembangan dan penataan kota (urban development).

“Peran sektor publik lebih ditekankan pada kebijakan mengenai pemilihan lokasi proyek, distribusi fasilitas, tipe dan stándar konstruksi bangunan, dan siapa saja yang akan diuntungkan,” lanjut Dani.

Sektor swasta tak lagi terpaku pada soal kembalinya modal belaka. Mereka mesti diyakinkan bahwa keikutsertaannya tidak akan cuma menguntungkan para pemodal berkantung cekak. Pengembang proyek Citra Niaga menawarkan keuntungan yang kompetitif untuk mereka.

“Sektor swasta akan turut serta hanya bila mereka dapat melihat dengan jelas keuntungan macam apa yang akan didapat,” ujar Dani.

Selain unsur bisnis, yang dilakukan pelaksana proyek adalah menyatukan kepentingan pihak-pihak yang terdiri dari pedagang kaki lima, sektor swasta dan pemerintah, dalam sebuah kemitraan publik-swasta-masyarakat, terutama demi berbagi tanggung jawab sosial.

Hal inilah yang lalu ditangkap oleh LSP dengan mengerjakan pendataan dan pendampingan pedagang kaki lima. LSP melakukan pembinaan manajemen untuk mereka serta bentuk upaya-upaya pemberdayaan melalui pelatihan dan pemberian bantuan bergulir.

Hasilnya, terbentuklah Koperasi Pasar (Kopas) Citra Niaga pada 10 November 1985, berdasar izin Badan Hukum Nomor 897/BH/15/21-1-1986 yang dikeluarkan Kantor Wilayah Koperasi Provinsi Kalimantan Timur. Tujuan didirikannya Kopas antara lain, untuk mengatasi kesulitan-kesulitan terutama yang menyangkut modal usaha serta pengadaan barang dagangan.

“Kopas Citra Niaga pernah mendapat penghargaan sebagai koperasi terbaik nasional,” kata Dani.

“Tapi saya lupa tahunnya,” katanya, lagi.

Koperasi ini mengalami kemajuan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.

“Sekitar tiga tahunan lah,” ujar Dani.

Tawaran pemberian kredit dari bank-bank milik pemerintah maupun swasta datang silih-berganti.

“Sebagian anggota Kopas lalu sudah merasa mampu untuk punya rumah sendiri,” lanjutnya.

Maka, dibentuklah sebuah badan usaha joint operation antara Kopas Citra Niaga dengan Pandurata yang dinamai PT. Citra Griya Pandurata, dengan akta notaris Hardjo Gunawan, SH, Nomor 152 pada tanggal 20 Agustus 1990.

“Istilahnya, untuk menyejahterakan para pedagang kaki lima anggota Kopas Citra Niaga di sisi perumahannya,” kata Dani.

Modal awal Citra Griya Pandurata sebesar Rp 250 juta rupiah. Rinciannya, 75 persen milik Pandurata dan sisanya dari Kopas Citra Niaga. Citra Griya Pandurata pun mendapatkan bantuan berupa dana konstruksi tanpa bunga dari PT. Astra Internasional, Jakarta.

Pembangunan perumahan ini meliputi 310 rumah yang dibagi dalam tiga tipe. Tipe 21 didirikan di atas lahan seluas 120 meter persegi, sebanyak 91 unit, masing-masing dijual Rp 8,5 juta rupiah. Tipe 27 dibangun pada lahan seluas 120 meter persegi, sebanyak 88 unit, dijual Rp 10,5 juta rupiah perunit. Sedangkan di atas tanah seluas 160 meter persegi, dibangun 78 unit rumah bertipe 36 yang dilepas dengan harga Rp 13,8 juta rupiah setiap unitnya.

Di bawah kendali Abdul Waris Husain sebagai walikota, pemerintah kota Samarinda memberikan fasilitas berupa garansi, kredit tanah dan kemudahan proses perizinan kepemilikan rumah oleh setiap anggota koperasi.

“Pak Waris, hatinya juga mikir rakyat. Berani dan dengan itu memang penerobos pola-pola baru yang cepat tanpa bertele-tele,” komentar Antonio tentang Abdul Waris Husain.

TAHUN 1989, Citra Niaga dianugerahi penghargaan internasional Aga Khan Award for Architecture.

Penghargaan ini diberikan The Aga Khan Development Network (AKDN) yang berkantor di Swiss. AKDN merupakan sebuah jaringan agen pembangunan yang lingkup kerjanya meliputi berbagai bidang, seperti kesehatan, pendidikan, arsitektur, budaya, keuangan mikro, penanggulangan dan pemulihan bencana, pembangunan pedesaan, hingga pelestarian kota-kota bersejarah.

Hasan Poerbo, kini sudah almarhum, adalah agen AKDN di Indonesia. Ia yang mengusulkan Citra Niaga masuk dalam nominasi penerima penghargaan tersebut. Poerbo pertama kali mengetahui konsep Citra Niaga di tahun 1986. Saat itu, ia tertarik oleh presentasi yang diberikan Abdul Waris Husain di Badan Perencana Pembangunan Nasional, Jakarta .

“Seluruh proses yang dilakukan sudah demokratis. Kepentingan para pedagang, pemilik toko, pemerintah daerah dan konsultan, terwujud dalam sebuah badan pengelola berupa koperasi,” demikian pernyataan dewan juri dalam arsip yang dikeluarkan AKDN.

Abdul Waris Husain kemudian diundang ke Kairo, Mesir untuk menerima penghargaan tersebut. Citra Niaga terpilih menjadi salah satu dari 11 bangunan dunia peraih Aga Khan Award for Architecture putaran keempat. Selain Citra Niaga, satu di antara 11 pemenang itu adalah Grameen Bank Housing Programme di Bangladesh yang didirikan oleh Muhamad Yunus. Belakangan, Yunus meraih hadiah Nobel Perdamaian.

Namun, banyak yang berubah pada wajah Citra Niaga kini.

Di tahun 1980 sampai 1990an, sepeda motor dan mobil dilarang melintas di jalanan di seputar Citra Niaga. Ada lokasi-lokasi tertentu di luar kompleks Citra Niaga yang disediakan sebagai areal parkir. Lingkungan pusat bisnis ini diputuskan untuk bebas dari asap knalpot. Tetapi sejak akhir 1990an hingga sekarang, pada jam-jam tertentu, semua ruas jalan di areal Citra Niaga senantiasa sarat kendaraan. Sepeda motor, mobil box, angkutan kota, mobil pribadi, truk pengangkut barang dagangan… Asap pun memenuhi udara.

Di bagian selatan pertokoan itu, tepatnya di Jalan Niaga Selatan, bangunan-bangunan kayu pedagang kaki lima, berdiri memadat dan memanjang hingga ruas Jalan Niaga Timur. Pedagang-pedagang kecil tersebut tak kebagian tempat di Citra Niaga.

“Tapi mereka tetap dikenai retribusi juga. Uangnya masuk ke pemkot (pemerintah kota). Sudah ada rencana pemkot akan merelokasi mereka, tapi belum jelas di mana tempatnya,” kata Mufidal.

“Pembatasan jumlah pedagang itu perlu. Prioritas mestinya ke pedagang yang sudah lebih dulu ada, yang sudah lama,” ujar Ari Nur Wirawan, seorang arsitek tata ruang.

Perubahan juga terjadi di bale-bale dan panggung terbuka. Sejak awal tahun 2000an, pertunjukan kesenian tradisional yang sempat rutin diadakan di situ tak ada lagi.

JALAN Aga Khan yang membelah blok petak kaki lima dengan kompleks Citra Niaga, setiap malam hingga subuh hari dimanfaatkan para waria untuk menjajakan tubuh mereka. Dan Jalan Niaga Utara, adalah “jatah” wilayah perempuan pekerja seks komersial, juga pria homoseksual yang melakoni pekerjaan yang sama.

“Ya, namanya mereka juga mencari uang, kita sulit melarang. Biarlah itu jadi urusan pihak yang berwenang,” kata Mufidal, santai.

Pascakebakaran Citra Niaga, pihak USD kini tengah mengupayakan pembangunan kembali pasar yang dikelolanya itu.

“Tetapi realisasinya belum dapat dilakukan dalam waktu dekat,” lanjut Mufidal. “Desain dan anggarannya sedang dikaji konsultan.”

Jika dulu Citra Niaga dibangun dengan tanpa membebani keuangan pemerintah, maka idealisme itu sepertinya bakal tinggal cerita.

“Ya dulu Citra Niaga kan dikelola oleh Pandurata, oleh swasta, dan sekarang oleh pemkot pemerintah kota Samarinda. Jadi wajar kalau lalu memakai dana pemerintah,” tutur Dani Setiadi.

“Mudah-mudahan tahun ini usulan dana sudah bisa dimasukkan ke APBD provinsi, dan mudah-mudahan tahun 2008 proyek renovasinya sudah dapat diselesaikan,” kata Mufidal.

Mufidal meyakinkan bahwa kelak bangunan fisik Citra Niaga pascarenovasi akan tetap mempertahankan ciri khas berupa ornamen dan arsitektur Kalimantan Timur.

“PON (Pekan Olah Raga Nasional) kan sudah dekat. Ini penting agar para atlet dan kontingen dari luar Kaltim punya kesan pada daerah kita ini, khususnya pada Citra Niaga ini,” ucap Mufidal.

PON ke-17 di Kalimantan Timur direncanakan berlangsung mulai tanggal 6 sampai 18 Juli 2008. Samarinda akan menjadi pusat kegiatan PON.

“Mungkin materialnya bukan kayu lagi, tapi beton dan logam,” lanjut Mufidal.

“Mau ngejar safety atau estetika? Kalau estetika ya pakai kayu,” ujar Ari Nur Wirawan.

“Risiko pakai kayu kan besar. Lagipula sekarang kayu sudah mau habis,” sahut Mufidal.

Sementara Antonio Ismael Risianto kini tengah disibukkan antara lain dengan pekerjaannya sebagai International Studio Advisor pada “Bangun”, sebuah proyek sosial di bidang arsitektur yang didirikan Universitas New South Wales, Australia. “Bangun” bekerja untuk korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Sumatera.

“Tapi beliau tetap peduli pada Citra Niaga, kok. Masih sempat beliau datang ke Samarinda,” kata Mufidal tentang Antonio. “Kami masih bertemu. Saya pernah bicara dengan beliau, intinya bagaimana agar Citra Niaga ini tetap bisa bertahan. Dan kalau bisa lebih maju, ya.”

Para pedagang pun sepakat dengan Mufidal.

“Michael, suaminya Sophia Latjuba, Rieke Dyah Pitaloka, Nidji pernah ke sini, lho!” kata Malvida, menyebut nama beberapa artis yang pernah mampir ke petak yang dijaganya.

“Makanya, mestinya acara-acara kesenian daerah sini kalau bisa diadakan lagi biar banyak orang luar yang ke sini,” saran Malvida.

“Maunya saya, ya Citra Niaga tetap ada terus, dan maunya jadi ramai seperti dulu,” kata Marsini.

Ia pemilik warung makan “Surabaya” di blok B nomor 16. Sudah 20 tahun ia membuka usaha di Citra Niaga. Marsini kini berusia 67 tahun dan nenek tujuh orang cucu.

“Sekarang cari uang 100 ribu (rupiah) sehari saja sulit,” lanjut Marsini.

Sementara itu, Wibowo dan 27 penyewa petak lainnya yang juga korban kebakaran terpaksa berjualan di petak-petak sementara yang didirikan di ruang terbuka Citra Niaga. Mereka masih harus menunggu sampai petak permanen dibangun kembali.

“Karena pusatnya kerajinan Kalimantan di Citra Niaga, saya belum punya pilihan lain untuk jualan, selain di Citra Niaga ini,” kata Wibowo, pasrah.*

*) Sahrudin adalah kontributor sindikasi Pantau di Samarinda, Kalimantan Timur.

kembali keatas

by:Sahrudin