SELEPAS pernikahannya, Irfan Al Khadafi sudah punya rencana besar. Lelaki itu akan membawa sang istri ke rumah barunya, yang terletak di pinggir pantai. Rumah itu bakal jadi kado pernikahan mereka, sebuah rumah bantuan tipe 40.

Irfan anak kedelapan dari sembilan bersaudara pasangan Adam dan Zainah. Kedua orangtua Irfan sudah almarhum sebelum tsunami menelan kampung kelahirannya, Deyah Raya, Banda Aceh. Di kampung itu, sang ayah dikenal sebagai guru mengaji anak-anak, termasuk untuk anaknya sendiri. Sejak kecil Irfan dididik dengan pendidikan agama Islam, dari madrasah ibtidaiyah hingga perguruan tinggi.

Kini Irfan mengikuti jejak ayahnya, menjadi guru. Setamat kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Bengkulu, dia menjadi pengajar di perguruan tinggi itu. Setelah tsunami dia kembali ke Aceh. Irfan mengajar mata kuliah Ilmu Fikih di Institut Agama Islam Negeri Ar Raniry sejak setahun lalu. Sekali dalam sepekan dia mengajar di Madrasah Aliyah Lukmanul Hakim di Lhok Nga, Aceh Besar.

Di kelasnya, dia membahas persoalan-persoalan yang tengah terjadi di masyarakat dan memicu perdebatan, seperti soal keluarga berencana atau KB, bayi tabung, dan aborsi. Dia akan memberikan uraian dari sudut pandang agama kepada murid atau mahasiswanya.

Suatu sore menjelang akhir Mei 2007, kami berbincang di balai kayu yang berada di bawah pohon cemara laut sambil mengamati ternak milik Irfan pulang ke kandang. Letaknya di belakang barak sementara milik Irfan. Rumah sementara itu dibangun International Organization for Migration (IOM) di tepi kanal banjir, tak jauh dari jembatan Lamnyong, kecamatan Syiah Kuala.

Irfan kerap tersenyum-senyum tatkala menceritakan kisah pernikahannya dengan Eva, sang istri. Saat remaja dia tak kenal yang namanya cinta remaja, apalagi pacaran. Dia aktif sebagai pengurus remaja masjid Al Kawakib di Deyah Raya. Selain itu, dia juga guru sekaligus direktur Taman Pendidikan Al Quran di masjid yang sama. Berkali-kali dia menjadi khotib dan penceramah di sejumlah masjid. Dan sejak September 2006, Irfan diangkat sebagai keuchik atau kepala desa Deyah Raya. Jabatan yang menurut orangtuanya agar dihindari karena risiko dan tanggung jawab yang besar.

Namun, senyumnya langsung hilang begitu saya menanyakan bantuan rumah yang berasal program Bakrie Peduli untuk Negeri itu.

“Belakangan begitu tahu ada bukti-bukti soal asbes beracun, saya jadi sedih. Sekarang saya sangat khawatir dengan warga saya dan anak-anak kami,” katanya.

Dia tak mau menanggung risiko sakit jika dia dan istri serta keturunan mereka nanti mesti menempati rumah bantuan dari Kelompok Usaha Bakrie (KUB) tersebut.

“Jangan lagi kami yang sudah miskin, nanti batuk-batuk tidak punya biaya berobat. Hingga saat ini sudah sekitar 50 bayi yang lahir setelah tsunami di kampung kami. Bulan Juni ini bakal ada lima lagi yang lahir. Sedangkan istri saya sudah mulai isi empat bulan. Saya juga ikut was-was dengan masa depan mereka,” ujar Irfan.

HAMPIR setahun setelah tsunami, tak satu pun lembaga bantuan yang berminat merehabilitasi Deyah Raya. Ada empat dusun di kampung ini. Dusun Syekh Abdul Rauf, Laksamana Banta Muda, Nek Bayan, dan Tengku Chik Musa. Selain dikenal sebagai salah satu perkampungan nelayan, kampung ini terkenal karena terdapat makam ulama besar Aceh Syeich Abdurrauf bin Ali Al Fansuri Assingkili atau yang lebih dikenal dengan Syiah Kuala.

Saat saya mendatangi kampung nelayan itu setahun silam, bangunan yang tersisa hanya masjid Al Kawakib yang nyaris roboh dan makam Syiah Kuala yang hampir amblas ke dalam bumi. Selebihnya puing-puing bekas bangunan, beberapa pokok kelapa, dan kolam di sana-sini. Tak ada transportasi kecuali becak mesin atau RBT.

“Waktu itu sudah banyak NGO masuk ke Banda Aceh, tapi di kampung kami belum ada yang masuk untuk bantu bangun rumah sementara,” ujar Syamsul Bahri.

Warga terbiasa menyebut NGO untuk lembaga-lembaga bantuan yang datang ke Aceh pascatsunami. NGO singkatan dari Non-Government Organization, yang artinya lembaga non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat.

Syamsul ditunjuk jadi ketua barak pengungsi Deyah Raya. Sedangkan ayahnya, Abdul Wahid, masih menjadi keuchik setempat. Saat itu jumlah warga yang selamat tinggal seperempat dari total penduduk sebelum bencana yang berjumlah sekitar 2.000 jiwa. Sedangkan jumlah kepala keluarga yang tersisa 192 dari 292 Kepala Keluarga (KK) sebelum bencana. Mereka mengungsi di tenda-tenda dekat kompleks kampus Universitas Syiah Kuala di Darussalam.

“Saya bersama staf desa dan beberapa tokoh masyarakat terus melobi lembaga-lembaga. Saat itu tidak ada yang mau membangun. BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias) tidak mau. Kami terus menunggu-nunggu,” kata Syamsul pada saya.

Deyah Raya, sesuai cetak biru tata ruang dan wilayah Banda Aceh, sebenarnya termasuk kawasan konservasi. Artinya, kawasan ini boleh dimanfaatkan asal fungsi lindungnya tidak diubah. Kalaupun ada lokasi permukiman, semestinya digeser ke dalam. Namun penduduk menolak. Alasannya, warga bakal kesulitan mencari nafkah. Karena warga Deyah Raya umumnya bekerja sebagai nelayan dan petambak.

Ketika ada tawaran dari Yayasan Budha Tzu Chi untuk membangunkan tenda di Jantho, Aceh Besar, warga juga menolak. Daerah itu terlalu jauh dari pantai. Sekitar 40 kilometer ke arah tenggara Banda Aceh.

Syamsul dan beberapa staf desa kemudian bertemu orang lapangan dari IOM. Lembaga ini punya program pemulihan pascabencana. Syamsul minta bantuan IOM untuk membangun rumah sementara bagi warga Deyah Raya. IOM bersedia, namun mereka tidak akan bisa membangun apabila tidak ada tanah.

Syamsul segera melapor kepada Abdul Wahid. Bapak dan anak itu kemudian mendiskusikan tawaran IOM bersama warga dan tokoh kampung, Warga sepakat menggunakan lahan di pinggir kanal banjir, dekat jembatan Lamnyong.

“Kemudian kami menghadap camat. Minta izin untuk pembangunan rumah sementara. Camat meneruskan ke Walikota. Sekitar seminggu kemudian, izin walikota keluar,” urai Syamsul.

Setelah itu 54 unit barak sementara atau shelter dibangun IOM. Tiang panel dari beton, dinding dari asbes. Pada September 2005, sekitar 192 KK pindah dari barak ke shelter IOM di Lamnyong. Tiap unit bisa berisi sampai enam KK. Lama-kelamaan ditertibkan, disusun ulang, menjadi tiga KK tiap unit.

Tak lama setelah itu, ungkap Syamsul, ada staf Rebuilding Aceh Community Together (re: Act) yang mendatangi mereka. Lembaga swadaya masyarakat ini gabungan dari Urban Regional Development Institute dan Ikatan Arsitek Indonesia. Tim ini dipimpin Wicaksono Sarosa. Mereka berniat mencari donor yang mau memberi bantuan rumah dan merehabilitasi kampung Deyah Raya.

“Waktu itu cuma re: Act yang mau dan berani bangun rumah buat kami,” ungkap Syamsul.

Tim re: Act mendapat dana dari KUB. Tim re: Act kemudian membawa staf KUB ke Deyah Raya. KUB setuju membangun 204 unit rumah tipe 40 untuk warga Deyah Raya melalui program Bakrie Peduli untuk Negeri. Corporate Communication KUB Lalu Mara Satriawangsa, sebagaimana dikutip harian Suara Karya, menyatakan bahwa program ini melibatkan seluruh unit yang terlibat dalam KUB.

“Bukan hanya rumah tinggal yang kita bangun, tetapi juga lengkap dengan infrastruktur dasar, termasuk infrastruktur air dan listrik. Diharapkan menjelang awal 2007 semuanya sudah selesai dibangun. Perkiraan biaya sekitar 28 miliar,“ kata Lalu Mara, dalam suratkabar yang terbit pada 27 Januari 2006 itu.

Tim re: Act mendampingi warga selama proses pembangunan. Bersama warga, tim ini membuat peta kampung. Syamsul dan beberapa tokoh masyarakat ikut menyusun peta wilayah.

Warga yang berminat mendapat rumah bantuan diminta mendaftar kepada keuchik Abdul Wahid. Setelah itu mereka mesti mengisi formulir dan dilengkapi kartu keluarga, foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan surat tanah. Kemudian mereka juga harus mendapat persetujuan dan tanda tangan dari imam kampung, Tengku Zainuddin.

Namun tak semua warga memiliki surat-surat tersebut. Wan Zahri, misalnya. Surat tanah, KTP, KK, dan surat-surat berharga lain milik orangtua pemuda berusia 27 tahun itu hanyut dibawa air saat tsunami. Kedua orangtuanya pun meninggal dunia. Dia terpaksa membuat ulang surat-surat tersebut agar memperolah rumah dari KUB.

“Saya juga ikut rapat-rapat di meunasah, banyak sekali,” ujar Zahri.

Tak lama kemudian, Minggu, 29 Januari 2006, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sekaligus orang nomor satu di KUB dan anggota dewan pengarah BRR, Aburizal Bakrie meresmikan dimulainya pembangunan ratusan rumah bantuan Bakrie Peduli untuk Negeri di Deyah Raya. Acara ditandai dengan peletakan baru pertama oleh lelaki yang populer dipanggil Ical ini.

Selain Ical, acara peresmian itu juga dihadiri Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Syaifullah Yusuf, Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni, Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, penjabat Gubernur Mustafa Abubakar, dan Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto.

Usai peresmian, pengungsi Deyah Raya yang berada di Lamnyong menggelar kenduri atau syukuran. KUB menyumbang seekor lembu untuk kenduri ini. “Semua warga ikut makan daging lembunya,” kata Syamsul.

Bantuan itu bagian dari program community development KUB. Program ini, menurut Lalu Mara yang dikutip harian Suara Karya, dilaksanakan lewat perencanaan.

Rumah contoh dipersiapkan dari Januari hingga Juni 2006. KUB membangun tiga unit rumah contoh tipe 40. Saat itu sudah dijelaskan spesifikasi dan bahan bangunan yang digunakan. Dinding, plafon dan atap terbuat dari asbes.

Rumah terdiri dari satu ruang tamu, dua kamar tidur dan satu kamar mandi dalam yang dilengkapi kakus jongkok serta bak plastik. Lantai keramik putih. Dinding dipulas cat merah jambu. Atap dicat merah marun.

Keraguan muncul dari tim re: Act. Mereka mempertanyakan tingkat keamanan bahan asbes yang digunakan KUB. Tapi pihak KUB menyatakan, asbes yang mereka gunakan aman.

Irfan Al Khadafi juga sempat bertanya-tanya. Mengapa tak menggunakan bata? Mengapa asbes? Bukan hanya Irfan yang mempersoalkan asbes ini. Mulyadi, tetangganya berpikiran serupa.

“Rumah asbes kan tidak tahan lama. Asbes tidak sekuat rumah bata, yang permanen,” kata Mulyadi.

Irfan tak mau larut dalam kebimbangan. Seperti dalam menilai persoalan seperti aborsi, KB, bayi tabung yang dia ajarkan di kelasnya, lagi-lagi dia mempertimbangkan baik-buruk bantuan dengan dasar agama.

“Ini kan hibah dari orang yang paham agama. Bukan dari NGO asing. Bakrie kan jelas-jelas Islam. Saya amat mendukung karena nilai Islamnya,” ujarnya kepada saya.

BISNIS keluarga Bakrie berada di bawah payung PT Bakrie & Brothers Terbuka, selanjutnya disebut Kelompok Usaha Bakrie atau KUB. Bisnis keluarga ini merentang dari perkebunan, energi, pertambangan, infrastruktur, media hingga telekomunikasi. Perusahaan ini didirikan Achmad Bakrie, ayah Ical, pada Februari 1942.

Di masa krisis moneter, bisnis keluarga yang dipimpin Ical ini sempat limbung. Utang mereka ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional per Desember 1999, seperti diberitakan majalah Tempo edisi 14 Mei 2006, sebesar Rp 4,3 triliun, belum termasuk utang kepada 220 kreditor yang umumnya dari luar Indonesia. Total utang KUB mencapai Rp 9 triliun.

Tetapi masa pelik itu berhasil dilampaui KUB setelah berhasil menggaet kepercayaan investor. Kejayaan KUB memuncak pada Oktober 2003. Lewat PT Bumi Resources, KUB berhasil membeli perusahaan tambang batu bara Kaltim Prima Coal (KPC) senilai US$ 500 juta. Bumi Resource membeli saham KPC dari dua perusahaan tambang raksasa, Rio Tinto dan Beyond Petroleum Plc.

Setelah sukses atas pembelian saham KPC, pada Maret 2004 PT Energi Mega Persada, perusahaan tambang KUB yang lain, membeli PT Lapindo Brantas Inc. Perusahaan tambang ini melakukan eksplorasi dan ekploitasi gas di Jawa Timur.

Prestasi bisnis KUB mendapat pengakuan internasional. Pada September 2006, majalah Forbes Asia mendudukkan Ical dan keluarganya di posisi keenam dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia. Total kekayaan mereka US$ 1,2 juta.

Selain lihai mengelola gurita bisnis, Ical gesit di kancah politik. Dia aktif di Partai Golongan Karya. Menjelang pemilihan umum 2004, dia ikut konvensi partai berlambang pohon beringin itu. Meski dia kalah menjadi wakil partai tersebut di parlemen, namun karier politiknya tak surut. Dia mendukung pencalonan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Pada September 2004, dia diangkat menjadi menteri koordinator perekonomian oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau populer disebut SBY.

Jabatan sebagai menteri koordinator perekonomian itu hanya setahun dijalaninya. Di awal Desember 2005 Ical diangkat menjadi menteri koordinator kesejahteraan rakyat. Posisi Ical sebelumnya diisi Boediono. Tak lama setelah itu dia juga menjadi anggota dewan pengarah BRR. Bersama dia ada Surya Darma Paloh, bos MetroTV. Gaji mereka sebagai dewan pengarah adalah Rp 10 juta per bulan.

“Semakin tinggi pohon, semakin keras pula hempasan anginnya,” kata mendiang Achmad Bakrie sebagaimana diingat Anindya Novyan Bakrie. Pesan itu dimuat dalam situs keluarga Bakrie, http://www.bakriefamily.org. Anindya adalah putra sulung Ical. Dia bos ANTEVE, salah satu stasiun televisi swasta nasional.

Pesan sang kakek itu terbukti ketika KUB dilanda masalah besar.

Selasa, 29 Mei 2006, terjadi semburan lumpur panas bercampur gas di kompleks pengeboran milik Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Luapan lumpur itu segera membanjiri sawah, jalan dan permukiman di sekitar kawasan eksplorasi.

Ahli geologi memprediksi semburan lumpur baru berhenti 30 tahun lagi! Luapan lumpur kian sulit dikendalikan. Volume lumpur rata-rata 125.000 hingga 150.000 meter kubik per hari. Dua bulan setelah semburan tersebut, 750 rumah terendam dan 5.680 orang mengungsi. Ribuan buruh pabrik di kawasan Porong berhenti kerja. Infrastuktur rusak. Roda perdagangan dan jasa macet. Kerugian terus bertambah hingga triliunan rupiah.

Pemerintahan SBY turun tangan, mengalokasikan dana dari kas negara gara-gara Lapindo. Namun aktivis lingkungan, pers, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat memprotes KUB. Mereka menuding KUB yang jadi biang keladi luapan lumpur panas yang menyengsarakan ribuan warga Sidoarjo. Mereka ingin KUB bertanggung jawab.

MINGGU, 11 Juni 2006. Tengku Zainuddin Ubiet mendatangi pemborong proyek rumah bantuan KUB di Deyah Raya. Dia pergi bersama Mulyadi dan lima warga lainnya. Beberapa staf re: ACT ikut mendampingi imam kampung itu. Mereka hendak menanyakan fondasi rumah yang dangkal dan tidak kokoh.

Sebelumnya, Zainuddin didatangi sekitar 30 warga penerima rumah bantuan KUB. Mereka tak puas dengan kerja kontraktor KUB. Beberapa di antara mereka menyayangkan karena tidak dilibatkan dalam pembangunan rumah mereka sendiri. KUB menggunakan jasa kontraktor.

Kelompok pertama yang dibangunkan rumah adalah kelompok keuchik Abdul Wahid. Lokasinya di samping masjid Al Kawakib.

“Gimana ini Pak Tengku, pondasi rumah kok dangkal kali?” keluh warga pada Zainuddin.

Fondasi yang dijanjikan yang berkali-kali disampaikan tim re: ACT dalam rapat bersama warga adalah 40 sentimeter ke dalam dan 60 sentimeter ke atas. Sementara tinggi fondasi yang dibangun pemborong kurang dari 30 sentimeter. Zainuddin dan beberapa warga serta staf re: ACT mendapat bukti ketika mendatangi lokasi pembangunan rumah salah seorang anggota kelompok Wahid yang bernama Irma. Di situ, Zainuddin mencungkil batu fondasi. Batu itu copot.

“Pak, tolong pondasinya jangan dangkal kali. Tolong kualitasnya juga ditingkatkan, jangan asal-asalan,” ujar Zainuddin kepada Amni Amri, ketika mereka bertemu di masjid Al Kawakib.

Amni, salah satu penanggung jawab dan orang lapangan dalam pembangunan rumah bantuan KUB di Deyah Raya.

“Sudah ada 30 warga datang ke saya. Mereka sudah agak ragu-ragu mau ambil rumah,” imbuh Zainuddin.

“Lapor aja ke Jakarta!” tukas Amni.

Zainuddin emosi. Sikap Amni seakan tidak menghargai kedatangan dia dan warga lainnya.

“Pak Amni,” hardik Zainuddin, “Jakarta itu bukan di Peunayong (kawasan di pusat kota Banda Aceh). Jangan kami yang sudah jadi korban tambah menjadi korban! Bapak tidak menghargai kami, mengapa kami disuruh lapor ke Jakarta.”

Terjadi adu mulut. Suasana di masjid siang itu mendadak panas. Warga dan beberapa staf re: Act segera mendamaikan Zainuddin dan Amni. Keduanya pun berjabat tangan.

Malam setelah peristiwa adu mulut, keuchik Abdul Wahid mengadakan pertemuan di meunasah, di belakang barak Lamnyong. Hampir seluruh warga hadir. Wahid langsung memimpin rapat. Agenda utama: musyawarah hal-hal mengenai renkonstruksi yang dilaksanakan di Deyah Raya.

Rapat berlangsung hingga larut malam. Debat tak terhindarkan. Suara warga mulai terbelah. Ada yang tetap akan menerima rumah bantuan KUB, ada yang mundur. Wahid mengambil jalan tengah yang disepakati dalam musyawarah.

Ada empat poin hasil keputusan musyawarah itu. Pertama, warga berhak memilih rumah bantuan yang mereka inginkan, rumah dari KUB ataupun rumah dari lembaga bantuan yang lain. Kedua, bagi warga yang menerima bantuan dari lembaga lain agar di atas kavlingnya ditulis “jangan dibangun”, sebagai pemberitahuan untuk KUB. Ketiga, melapor kepada kepala dusun masing-masing atau sekretaris kampung bagi yang menerima bantuan dari lembaga lain. Keempat, kepada kampung dan aparaturnya bersedia mencari lembaga bantuan lain untuk membangunkan rumah bagi warga.

Hasil rapat itu diketik di kertas berkepala surat Gampong Deyah Raya, kemudian ditandatangani Zainuddin Ubiet sebagai imam kampung, Abdul Wahid sebagai kepala kampung, Muhammad Ali Hs sebagai kepala dusun Laksamana Banta Muda, Alamsyah sebagai tuha peut kampung, dan Teuku Rusli sebagai kepala dusun Chik Musa serta beberapa tokoh masyarakat di situ.

Kesepakatan itu juga ditandatangani 101 warga yang menolak rumah KUB, termasuk Zainuddin, Mulyadi, dan Bukhari.

“Kalau saya memang tidak suka rumah asbes,” kata Mulyadi.

“Saya melihat rumah yang dibangun setelah rumah contoh ternyata buruk,” sahut Bukhari.

“Pondasinya kurang dalam, tidak rapi,” kata Bukhari, lagi.

Irfan Al Khadafi teguh pada prinsipnya. Meski kualitas rumah KUB dipersoalkan, dia tak ikut menolak dan membubuhkan tanda tangan.

“Saya tetap ambil rumah Bakrie. Walau bantuan yang diberikan orang Islam kurang bagus dibanding NGO non Islam, saya pilih bantuan dari yang Islam,” tegas Irfan.

“Saya tidak mungkin mundur karena saya yang bantu mengurus. Istilahnya, saya kan termasuk orang yang di depan supaya warga dapat rumah bantuan Bakrie,” kata Syamsul Bahri.

Bersama ayahnya, keuchik Wahid, Syamsul tetap mengambil rumah KUB. Dia tak mau ikut-ikutan. Jika dia dan ayahnya berubah pikiran, jelas akan mempengaruhi warga yang lain.

“Lagi pula, Bakrie sudah memberi seekor lembu untuk kenduri waktu permulaan pembangunan bikin rumah,” kata Syamsul, lagi.

Gara-gara rapat malam itu, Zainuddin sempat mendapat desas-desus tak sedap. Dia dituduh telah menghasut warga untuk tidak menerima bantuan rumah dari KUB.

“Saya tidak pernah menghasut agar warga menolak rumah Bakrie,” tukas Zainuddin.

“Abang saya sendiri Hamdani ambil rumah Bakrie, keponakan saya Tengku Nurkhalis juga ambil rumah Bakrie. Lagi pula ini demokrasi, orang bebas memilih,” katanya.

Jumlah warga yang mengambil rumah KUB menyusut. Meski banyak yang mundur, Wahid tetap meminta agar total rumah bantuan KUB yang dibangun tidak dikurangi. Tetap 204.

“Rumah diberikan kepada ahli waris,” kata Wahid.

Keesokan hari setelah rapat, Senin 12 Juni 2006, Mulyadi bertemu dengan Nursiah, staf di Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Nursiah menyarankan agar Mulyadi pergi ke kantor RE-KOMPAK di Jelingke, Banda Aceh. Program RE-KOMPAK atau Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Pemukiman Berbasis Komunitas adalah salah satu program menyediakan rumah atau rehabilitasi rumah serta perbaikan lingkungan yang ditujukan khusus untuk warga yang terkena bencana gempa dan tsunami. World Bank mendanai program ini.

Mulyadi langsung menemui staf RE-KOMPAK di kantor itu. Di sana dia mendapat informasi bahwa RE-KOMPAK sebenarnya sudah menyediakan jatah rumah untuk Deyah Raya sebanyak 250 unit untuk tahun 2006. Tapi karena waktu itu Bakrie lebih dulu masuk, mereka tidak jadi. Tipe rumah 36 plus dapur. RE-KOMPAK setuju memberi bantuan rumah. Mulyadi bersemangat.

“Apalagi rumah dibangun oleh warga sendiri, tidak menggunakan kontraktor seperti Bakrie,” katanya.

Bulan Agustus, dua bulan setelah pertemuan Minggu malam itu, rumah RE-KOMPAK sudah bisa dibangun. Namun dari 101 warga yang menandatangani hasil rapat itu, belakangan yang menerima bantuan rumah RE-KOMPAK hanya 68. Sisanya termakan isu yang mengatakan bahwa KUB akan memberi bantuan perlengkapan dan perabot rumah bagi mereka yang menerima rumah bantuan KUB.

“Itu nonsens!” ujar Zainuddin, ketus.

SABTU, 2 Desember 2006. Harian Serambi Indonesia memberitakan hasil peninjauan Ahmad Farhan Hamid, legislator asal Aceh, terhadap proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Banda Aceh. Dia meninjau rumah bantuan Bakrie Peduli untuk Negeri di Desa Deyah Raya yang menggunakan bahan asbes.

“Asbes mengandung karsinogenik, bahan pemicu kanker yang sangat berbahaya bagi manusia. Saya tidak mengerti kenapa bisa lolos dari pengawasan BRR. Rumah asbes itu harus segera dibongkar,” kata Farhan, seperti dikutip Serambi.

Farhan bukan sekadar politisi. Pada tahun 1994, dia meraih gelar doktor di Universiti Sains Malaysia di Penang. Dia juga pernah menjadi dosen Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. Karena dapat membahayakan kesehatan, dia mendesak agar BRR dan pemerintah Aceh meninjau kembali pembangunan rumah korban tsunami yang menggunakan asbes.

“Menurut panduan pembangunan perumahan oleh BRR, sudah jelas-jelas dilarang menggunakan bahan asbes,” ujar Farhan.

Dokumen yang dimaksud Farhan adalah keputusan badan pelaksana BRR yang diterbitkan Mei 2006 tentang standar kelayakan pembangunan perumahan dan permukiman bagi penduduk korban gempa bumi dan gelombang tsunami di Aceh dan Nias. Dokumen penting ini ditandatangani Andy Siswanto, atas nama kepala badan pelaksana BRR. Siswanto menjabat deputi bidang pembangunan perumahan dan permukiman,

Pada salah satu poin lampiran soal standar teknis rumah inti tipe 36 atau yang setara, disebutkan bahwa semua bahan bangunan harus bebas dari bahan beracun, “seperti asbestos, chlorphenol, arsenite.”

“BRR sebagai penanggung jawab rehabilitasi dan rekonstruksi pascatsunami harus bertanggung jawab soal ini. Kalau jadi diresmikan SBY, saya kuatir akan memicu protes kalangan internasional karena bahan pembangunan rumahnya terbuat dari material berbahaya,” tegas Farhan di Serambi.

Asbes merupakan mineral alami berserat yang bersifat awet, anti air dan kedap terhadap api. Ukuran seratnya amat kecil, sepersejuta meter, sehingga sulit dilihat dengan mata, kecuali menggunakan mikroskop. Bahan ini banyak digunakan untuk bangunan sekolah dan gedung umum, seperti atap dan plafon. Karena tahan terhadap api dan panas, asbes juga digunakan untuk pelapis rem dan produk-produk gesek.

Ada tiga jenis asbes yang cukup dikenal, asbes putih, biru, dan coklat. Yang banyak digunakan dalam dunia industri adalah asbes putih, nama lainnya Chrysotile. Dibandingkan asbes biru dan coklat, kadar bahaya asbes ini diakui lebih rendah. Meski begitu Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization, pada April 2007, menyerukan agar penggunaan asbes segera dihentikan. Bahan ini salah satu pemicu penyakit kanker yang mematikan.

Karena membahayakan kesehatan, sejak 1990an Environmental Protection Agency (EPA) di Amerika Serikat telah melarang penggunaan asbes. Di Australia dan sejumlah negara Eropa asbes juga mulai dilarang digunakan. Namun Rusia dan Kanada masih menolak pelarangan asbes jenis chrysotile. Dua negara ini merupakan produsen chrysotile terbesar di dunia. Tiga per empat produk chrysotile dunia diproduksi dari penambangan asbes di Quebec, Kanada.

Sedangkan di Jepang, seperti diberitakan Kompas, 16 Maret 2006, ratusan orang meninggal gara-gara menghirup debu asbestos alias asbes. Mereka menderita mesothelioma. Ini kanker yang menyerang rongga dada, paru-paru, dan perut. Itu semua disebabkan oleh debu asbes yang terhirup. Debu asbes yang sangat kecil dan tajam ini bisa melukai rongga pernapasan, apalagi jika berlangsung berlarut-larut.

Selain mesothelioma, debu asbes yang terhirup dapat menimbulkan gangguan pernapasan yang disebut asbestosis. Ini akan menimbulkan penebalan dan luka gores pada paru-paru. Goresan-goresan pada paru-paru menurunkan kapasitas paru-paru dan bisa menimbulkan sesak napas dan kemungkinan diakhiri dengan mati lemas. Asbes juga bisa memicu kanker paru-paru, termasuk kanker batang tenggorokan. Itu sebabnya asbes dikenal sebagai pembunuh laten. Seseorang bisa terkena kanker 20-30 tahun kemudian setelah tercemari asbes.

Para pekerja di pabrik, buruh bangunan maupun mereka yang berinteraksi langsung dengan asbes dan debu asbes mesti mengikuti prosedur keselamatan dan kesehatan kerja. Tujuannya agar terhindar dari bahaya kontaminasi. Di antara kegiatan-kegiatan yang berisiko terkena asbes adalah kegiatan membongkar, membuka, mencopoti, memperbaiki kerusakan atau merawat barang-barang yang mengandung asbes.

ISU asbes beracun dan bahaya bagi kesehatan itu merambat ke kantor pusat BRR di Lueng Bata, Banda Aceh. Di sana juga terjadi pembahasan soal rumah asbes KUB di Deyah Raya setelah diberitakan media.

Raden Pamekas, kepala pusat pengendalian lingkungan dan konservasi, dan Andy Siswanto yang menjabat sebagai deputi perumahan dan permukiman ikut khawatir dengan isu rumah asbes beracun yang belakangan disangkut-pautkan dengan BRR.

Saya menemui Pamekas pada minggu kedua bulan Mei. Dia berkacamata, berkumis, dengan sebagian rambut yang telah memutih. Dia ramah. Bicaranya pelan dan terkesan hati-hati. Ketika saya mewawancarainya, dia minta didampingi dua orang stafnya.

“Dialog saya dengan Andy Siswanto dilakukan mulai Desember 2006, ketika isu asbes mulai meluas,” ujar Pamekas kepada saya.

Pamekas menceritakan bahwa dia tak hanya berdiskusi dengan Siswanto. Selasa siang, 26 Desember 2006, dia menggelar rapat di aula kantor pusat BRR. Agenda utamanya mendengarkan penjelasan PT Bakrie Building Industries (BBI) soal asbes yang mereka gunakan di Deyah Raya. Pamekas juga mengundang beberapa petinggi Departemen Tenaga Kerja (Depnaker), Badan Pengendalian Lingkungan Daerah, Pusat Studi Lingkungan Universitas Indonesia, Kantor Lingkungan Hidup, dan ahli bahan bangunan.

Sekitar seperempat jam rapat dimulai, delapan anak muda masuk ke ruang rapat. Mereka dari empat lembaga swadaya masyarakat, yaitu Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Wahana Lingkungan (Walhi) Aceh, dan Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPUK).

Bersama tiga rekannya, Ambo Asse Azis mewakili GeRAK Aceh. Ambo mendengar kabar tentang rapat ini dari seseorang yang bekerja di BRR. Sekitar 30 orang yang hadir dalam ruang itu sempat terkejut dengan kehadiran kedelapan anak muda tersebut. Mereka memang tidak diundang.

“Kami nekat masuk dan ikut dalam pertemuan itu,” ujar Ambo kepada saya.

Pihak BBI dalam pertemuan itu mengungkapkan, bahan yang digunakan untuk atap, dinding, dan plafon rumah di Deyah Raya menggunakan Harflex. Bahan utama produk ini adalah semen yang dicampur dengan asbes putih atau chrysotile. Kandungan chrysotil pada Harflex 4 hingga 10 persen.

BBI mengakui chrysotile adalah bahan tambang yang bersifat karsinogenik. Tapi penggunaannya, menurut BBI, masih diperbolehkan di Indonesia. Yang dilarang pemerintah adalah asbes biru atau crosidolite, karena berbahaya bagi kesehatan pekerja.

Dalam pertemuan itu, BBI mengungkapkan hasil pengukuran serat asbes di lingkungan kerja BBI oleh Balai Higiene Perusahaan dan Kesehatan kerja. Serat asbes yang terdeteksi paling tinggi 0,0894 serat/mililiter. Angka itu menurut mereka di bawah nilai ambang batas yang ditentukan dalam surat edaran menteri tenaga kerja nomor SE01/MEN/1997, sebesar 2 serat/mililiter.

Beberapa peserta rapat mulai bicara. Dari Depnaker mengoreksi nilai ambang yang dipaparkan BBI. Menurut mereka, angka 2 serat/mililiter itu berlaku di lingkungan industri, bukan di perumahan dan permukiman. Depnaker menyarankan, meski itu hibah semestinya bantuan yang diberikan adalah yang terbaik.

Saran juga datang dari ahli bahan bangunan. Mereka menyarankan agar penggunaan asbes dikomunikasikan seluas-luasnya kepada para penggunanya. Ini berhubungan dengan kewajiban semua pihak untuk mengelola lingkungan.

“Kalau Bakrie memang lembaga yang baik dan berniat baik, maka harusnya memberi bantuan yang baik dan ramah lingkungan. Tapi asbes sudah jelas bukan kategori bahan yang baik untuk kesehatan,” kata Ambo.

Dalam pertemuan itu juga tersiar kabar bahwa KUB akan melakukan peresmian sekaligus serah terima rumah bantuan sekitar pertengahan Januari 2007.

Ambo makin penasaran mengikuti persoalan rumah asbes di Deyah Raya. Keterlibatannya semula hanya kebetulan. Sebelum ikut dalam rapat audit lingkungan terbatas di BRR, dia dikirimi sebundel dokumen tentang asbes, bahaya asbes, termasuk hasil penelitian dari laboratorium di Jerman tentang asbes jenis chrysotile yang digunakan rumah bantuan KUB di Deyah Raya.

“Saya segera fotokopi salinan dokumen-dokumen itu rangkap empat. Lalu saya telepon Dewa dari Walhi, Ryan dari RPUK, Komaruddin dari LBH Banda Aceh,” ujar Ambo.

Notulensi rapat tim audit lingkungan terbatas dengan BBI yang dihadiri Ambo dan kawan-kawan segera ditandatangani Pamekas, kemudian dikirimnya kepada deputi dan kepala operasi dengan tembusan ke kepala BRR, deputi perumahan dan permukiman dan BBI.

Pamekas kembali mendiskusikan perkara asbes ini dengan Siswanto.

“Pak Andy (Siswanto) punya pemikiran untuk melakukan tes kualitas udara, waktu itu ya saya sambut,” ujarnya.

SEPEKAN setelah rapat itu, Jumat, 29 Desember 2006, Pamekas melayangkan surat memorandum kepada para deputi dan kepala operasi. Memo ini ditembuskan kepada Siswanto sebagai deputi perumahan dan permukiman, dan kepala badan pelaksana Kuntoro Mangkusubroto. Usulan itu sebagai landasan bagi BRR untuk menyikapi isu rumah asbes beracun KUB.

Memorandum merupakan surat-menyurat yang berlaku di internal BRR. Jika ada pegawai BRR, dari tingkat bawah hingga pejabat, terbukti membocorkan surat memorandum, akan dikenai sanksi. Karena ini menyangkut pakta integritas yang telah ditandatangani para pegawai sebelum bekerja di BRR.

Surat memo ini tak boleh diumumkan kepada publik. Isi surat itu umumnya terkait dengan dinamika dan kebijakan di lembaga itu. Meski begitu, perihal yang dibahas tak jarang menyangkut kepentingan yang lebih luas, termasuk hidup dan mati para korban bencana.

Di memorandum itu Pamekas menyatakan, asbes yang diproduksi di Indonesia mengandung sekitar 10 persen chrysotile asbestos (asbes putih). Sedangkan kandungan asbes putih dalam produk Sandwich Harflex BBI, lanjut dia, adalah 4 hingga 10 persen. Di situ dia juga menyebutkan bahwa semua bentuk asbes bersifat karsinogenik dan tidak ada ambang batas yang dapat menjamin keamanan penggunaannya.

Karena itu dia merekomendasikan agar rumah dan bangunan yang dibangun dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN serta berada dalam pengendalian langsung oleh BRR, tidak diperbolehkan menggunakan bahan yang mengandung asbes.

BRR, tulisnya, tidak dapat menolak segala bentuk bantuan untuk mendukung percepatan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dan kehidupan masyarakat Aceh-Nias, namun BRR menghimbau agar semua pemberi bantuan yang telah telanjur membangun dan akan menghibahkan bangunan rumah kepada masyarakat seperti BBI, dapat memberi jaminan kesehatan sampai bangunan dan rumah tersebut direnovasi oleh penggunanya.

Sehari sebelum mengirim memorandum itu, pada 28 Desember 2006, Pamekas mengirim sepucuk surat bernomor S-5780/BRR.4.4/XII/2006 kepada KUB di Jakarta. Dia menanyakan perihal keamanan dan kelayakan asbes yang digunakan KUB di Deyah Raya.

Surat Pamekas dibalas Anton Sukartono, chief executive officer BBI, pada 3 Januari 2007 lewat surat bernomor 001/AS-BBI/I/2007. Surat dengan lima lembar lampiran itu dikirim via faksimili.

Sukartono menyatakan bahwa dinding, plafon, atap, dan sopi-sopi dalam Harflex House yang tak lain adalah rumah bantuan KUB di Deyah Raya, memang terbuat dari campuran chrysotile alias asbes putih, semen, dan pulp. Asbes putih yang diimpor BBI dari Brazil itu mendapat registrasi Kementerian Lingkungan Hidup. Registrasi diwajibkan karena asbes putih tergolong dalam bahan berbahaya dan beracun yang pengelolaannya diatur dalam peraturan pemerintah nomor 74 tahun 2001.

Harflex House di Deyah Raya, tulis Sukartono, juga sudah melalui uji laboratorium dari Balai Higiene Perusahaan dan Kesehatan kerja dan Keselamatan Kerja di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jakarta.

Pengujian itu sendiri sesuai salinan surat balasan yang ditandatangani Doddy Assaputra, kepala Balai Higiene Perusahaan dan Kesehatan kerja dan Keselamatan Kerja di Jakarta, kepada pemimpin BBI, berdasarkan, “surat permohonan saudara No. 02/ES/BBI/XII/06 tentang analisa debu asbes, bersama ini kami sampaikan hasil pengujian sesuai dengan sampel yang saudara kirimkan.”

Pengambilan sampel uji dilakukan selama dua hari, 21 sampai 22 Desember 2006. Sampel diambil di lokasi dinding tanpa cat, dinding tercat, pengerjaan cat plafon, pengerjaan dempul, pengerjaan pengawasan, dan di atas plafon. Sampel itu dikirim ke Jakarta.

Hasil uji lembaga di Jakarta itu, seperti tertera dalam lampiran, menyebutkan kadar asbes di udara dalam Harflex House adalah nihil. Artinya, rumah itu bebas serat asbes. Semua tertulis: “Tidak terdeteksi”.

Hasil pengujian tadi diterbitkan pada 27 Desember 2006. Artinya, dari pengambilan sampel hingga tanggal penerbitan dilakukan sebelum Pamekas mengirim surat kepada Sukartono.

Poin surat Sukartono berikutnya soal kelayakan mutu produk asbes dengan merek Harflex yang diproduksi BBI. Di situ Sukartono menyebut asbes yang mereka produksi sudah memenuhi sistem manajemen mutu ISO 9001 -2000. Dia melampirkan sertifikat dari Pusat Standardisasi dan Akreditasi Lembaga Sertifikasi Produk, Departemen Perdagangan, yang dikeluarkan pada 9 Januari 2004 dan berlaku hingga 8 Januari 2007.

Atas dasar surat hasil pengujian dan sertifikasi tersebut, di akhir suratnya Sukartono meyakinkan Pamekas dengan menulis, “produk kami tersebut telah memenuhi persyaratan keamanan bahan serta kelayakan produk sebagaimana yang telah ditetapkan pemerintah.”

Tapi Pamekas masih belum puas. Kepada saya dia mengungkapkan, pengujian juga mesti dilakukan pada saat musim kemarau. Alasannya. “Pada musim itu bangunan kering, debu mudah beterbangan.”

AWAL Januari 2007, beberapa hari setelah rapat di BRR, Ambo pergi ke Deyah Raya. Dia ingin mengabarkan hasil pertemuan di BRR yang menghadirkan ahli bahan bangunan, BRR, dan pihak Bakrie. Dia juga ingin memberitahukan warga soal bahaya asbes bagi kesehatan. Sehingga warga mau menolak rumah asbes dari KUB itu.

Ambo diantar Hamdani, pemuda Deyah Raya, menemui keuchik. Di sana dia dipertemukan dengan Irfan Al Khadafi. Setelah memperkenalkan diri, tanpa berbasa-basi Ambo segera menyampaikan soal asbes putih yang digunakan KUB untuk rumah warga di Deyah Raya. Dia juga menyodorkan salinan-salinan dokumen tentang bahaya asbes bagi kesehatan. Dia juga menunjukkan salinan hasil uji laboratorium di Jerman terhadap asbes yang digunakan KUB di Deyah Raya. Hasil uji laboratorium menyatakan asbestos yang digunakan adalah jenis chrysotile atau asbes putih.

“Kami tidak tahu soal ini. Selama ini Bakrie tidak pernah menjelaskan soal bahaya asbes,” komentar Irfan.

Sejak September 2006, Irfan sudah menjabat sebagai keuchik. Dia menggantikan Abdul Wahid setelah mengantongi lebih dari 100 suara pada pemilihan keuchik bulan itu. Segala yang menyangkut kebaikan dan kepentingan warga Deyah Raya, kini telah menjadi tanggung jawabnya.

Tapi Ambo agak kecewa. Selain reaksi tadi, Irfan tak menanggapi penjelasan panjang-lebarnya bahaya asbes. Keuchik itu hanya mengucapkan terima kasih atas informasi yang disampaikan Ambo.

Ambo kemudian pamit kepada Irfan. Namun dia teringat bahwa pertengahan Januari 2007 nanti Ical akan meresmikan dan menyerahkan rumah asbes ini kepada Irfan dan warganya. Dia mencari cara untuk mencegah serah terima rumah sampai persoalan asbes selesai lebih dulu.

Beberapa hari kemudian, Ambo menemui Irfan lagi. Kali ini dia mendatangi Irfan di barak sementara Lamnyong. Ambo ditemani Dewa Gumay dari Walhi dan Fauzari dari SoRAK. Mereka meminta Irfan dan warga Deyah Raya menolak rumah asbes.

Ambo dibantu Dewa, menjelaskan kembali soal bahaya asbes.

“Kita harus tolak, Pak. Karena asbes itu bahan berbahaya,” tandas Ambo.

Irfan malah mencurigai kedatangan Ambo, Dewa dan Fauzari. Dia juga sempat mempertanyakan tujuan kegiatan para aktivis lembaga swadaya ini. Aksi Ambo, Dewa dan aktivis lainnya, menurut Irfan, tak ubahnya aksi pahlwan kesiangan.

“Mengapa baru datang sekarang? Kenapa tidak waktu dibangun rumah contoh?” ujar Irfan. Dia tak menggubris penjelasan Ambo dan kawan-kawan.

Ambo tak kalah sengit. Dia menggertak. Dia bersama Dewa dan sejumlah aktivis berniat menggelar aksi demo pada saat acara serah terima. Irfan kaget. Peresmian sudah dijadwalkan dan persiapan sudah dilakukan. Kelancaran acara tersebut menjadi tanggung jawabnya.

“Tolong jangan ganggu masyarakat kami. Jangan sampai masyarakat jadi takut!” Irfan memprotes niat Ambo.

“Tapi rumah asbes Bakrie mengandung racun, Pak,” kilah Dewa.

“Iya, tapi saya tidak mau rebut-ribut saat acara. Saya sudah tanggung jawab!” tandas Irfan.

Ambo dan Dewa mengalah. Rencana aksi demo pada acara peresmian tak bakal diadakan. Ambo dan kawan-kawan terpaksa pulang dengan tangan hampa. Tapi itu tak menghentikan niat Ambo untuk menggagalkan peresmian. Dia berdiskusi dengan teman-teman dan koordinator GeRAK, Akhiruddin Mahyudin. Mereka setuju untuk meneruskan masalah ini.

Ambo dipercaya untuk bertanggung jawab dalam advokasi. Dia segera mengajukan dana untuk advokasi. Tak lama setelah itu, terbentuk Koalisi Tolak Asbes. Beberapa lembaga ikut bergabung, seperti Walhi, SoRAK, RPUK, dan LBH Banda Aceh. Dalam tim advoksi tersebut Ambo ditunjuk sebagai koordinator.

ISI memorandum Pamekas kepada para deputi dan kepala operasi ditanggapi serius oleh Siswanto. Dia merasa kecolongan dengan adanya kasus rumah asbes KUB. Karena tujuh bulan sebelumnya, atas nama kepala badan pelaksana BRR Kuntoro Mangkusubroto, dia telah menandatangani surat keputusan soal standar kelayakan pembangunan perumahan dan permukiman bagi korban tsunami. Salah satu isinya menegaskan bahwa semua bahan bangunan harus bebas dari bahan beracun, seperti asbestos, chlorphenol, arsenite.

Siswanto membawa usulan dan pertimbangan Pamekas ke pertemuannya dengan Wisnu Brotosantosa yang menjabat direktur perencanaan dan pemrograman, dan Erwin Fahmi selaku direktur penataan ruang dan lingkungan. Diskusi tak resmi itu membahas sikap dan tanggapan BRR soal rumah asbes di Deyah Raya.

Hasil diskusi mereka itu pun disampaikan kepada Pamekas lewat surat memorandum bertanggal 8 Januari 2007. Selain kepada Pamekas sebagai kepala pusat pengendalian lingkungan dan konservasi, surat memorandum bernomor M-010/BRR.08/I.2007 itu juga ditujukan kepada Kuntoro, para deputi dan kepala operasi di BRR.

Pendirian Siswanto bahwa proses rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan mesti bebas asbes tak berubah. Dia menghargai usaha Pamekas dan seluruh anggota tim audit lingkungan yang telah serius dan cermat untuk menanggapi isu penggunaan asbes dalam pembangunan rumah bantuan KUB di Deyah Raya.

“Tentunya audit ini juga telah membuka kotak pandora berkaitan dengan penggunaan asbes dalam pembangunan rumah oleh sejumlah lembaga donor lainnya,” tulis Siswanto.

Pada poin berikutnya, Siswanto menyatakan, dia juga sependapat dengan Pamekas bahwa asbes putih (chrysotile asbestos) yang digunakan Bakrie untuk proyek mereka di Deyah Raya adalah bahan bangunan yang bersifat karsinogenik, berbahaya dan beracun. Karena itu penanganan bangunan asbes perlu dilakukan secara cermat oleh tenaga terlatih, yang bekerja menggunakan peralatan keselamatan dan kesehatan kerja, baik saat konstruksi maupun pembongkarannya.

“Patut saya tambahkan,” lanjut Siswanto dalam suratnya, “pemanfaatan rumah yang menggunakan bahan asbes perlu dilakukan sedemikian, sehingga dapat dihindari kemungkinan tersebarnya partikel/debu asbestos ke udara. Termasuk di sini adalah aktivitas yang lazim terjadi dalam rumah tangga Indonesia, yaitu pemakuan, penggergajian, dan pelapukan karena kurangnya perawatan bangunan.”

Sebelum menutup surat itu, Siswanto menuliskan lima poin saran. Pertama, agar dalam pernyataan kebijakan yang diterbitkan BRR nanti secara tegas dinyatakan bahwa asbes dilarang dipakai sebagai bahan bangunan bagi rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias pascabencana.

Kedua, terhadap rumah dan bangunan lainnya yang telah terbangun, dilakukan proses transisi. Pembongkaran bagian-bagian yang menggunakan asbes atau seluruh bangunan dapat dilakukan secara bertahap sampai habis masa kerja BRR. Sebelum pembongkaran dilakukan, lembaga bantuan perumahan perlu membantu pemeliharaan rumah-rumah yang dimaksud untuk mengurangi risiko negatif bagi kesehatan lingkungan, seperti melalui pengecatan berkala, dan lain-lain.

Ketiga, lembaga bantuan yang menggunakan asbes harus memprogramkan edukasi warga yang dibantunya tentang bahaya asbes dan bagaimana seharusnya memperlakukan rumah atau bangunan berbahan asbes.

Keempat, agar pusat pengendalian lingkungan dan konservasi memprogramkan kajian yang komprehensif terhadap rumah dan bangunan di berbagai tempat yang menggunakan asbes, sehingga diperoleh data atau informasi yang memadai untuk merumuskan rekomendasi kebijakan bagi wilayah Aceh dan Nias pascapembubaran BRR.

Poin terakhir, “untuk memberikan kepastian kebijakan, disarankan agar pernyataan kebijakan tersebut dikeluarkan sesegera mungkin, setelah menimbang segala hal yang dipandang perlu.”

SEMINGGU sebelum hari peresmian rumah bantuan kesibukan terjadi di Deyah Raya. Irfan menggelar hajatan dan mengundang seluruh warganya. Lelaki berusia 30 tahun itu menikahi seorang gadis Medan. Pernikahannya tak lewat jenjang pacaran seperti umumnya kaum muda kota. Dia mengenal calon istrinya lewat pemimpin pondok pesantren Hidayatullah di Lhokseumawe, Aceh Utara, tempat dia pernah menuntut ilmu agama.

Kala itu, pertengahan Desember 2006, dia memenuhi undangan pesta pernikahan sahabatnya di pesantren Hidayatullah. Selain berjumpa beberapa sahabat lama, di situ dia bertemu gurunya yang juga pemimpin pesantren tersebut.

Di tengah pembicaraan, Irfan berniat mengikuti jejak sang sahabat untuk menikah dengan santri perempuan. Dia segera menyampaikan keinginannya kepada gurunya.

Niatnya tak bertepuk sebelah tangan. Seorang santri perempuan tengah menunggu pinangan. Gadis itu bernama Eva Ludia, asal Deli Serdang, Medan.

Tak menunggu lama-lama, beberapa hari kemudian, tepatnya Minggu, 17 Desember 2006, dia berangkat ke sebuah rumah di kecamatan Hamparan Perak, Deli Serdang, untuk melamar gadis itu.

Orangtua Eva menyambut baik niat Irfan. Namun mereka kemudian meminta pendapat Eva, apakah dia setuju dinikahi.

“Kalau orangtua setuju, saya juga setuju,” kata Eva. Meski begitu, Eva belum mau menampakkan wajah kepada lelaki yang meminangnya.

Pembicaraan antara orangtua Eva dan Irfan makin serius. Mereka memutuskan hari dan tanggal pernikahan: Sabtu, 13 Januari 2007. Tempatnya, di rumah orangtua Eva, dengan mahar emas lima mayam atau sekitar 15 gram.

Saat itu Amni Amir, penanggung jawab lapangan pembangunan rumah dari KUB, menawarkan bantuan kepada Irfan ongkos pesawat Banda Aceh–Medan pulang-pergi. Tapi Irfan menolak. Dia tak mau pergi jika tidak bersama-sama para tetangga dan keluarganya. Amni yang mewakili KUB akhirnya memberi bantuan Rp 8 juta untuk sewa satu bus.

Meski memakan waktu setengah hari perjalanan dari Banda Aceh menuju Medan, hampir seluruh warga Deyah Raya yang berada di pemukiman sementara Lamnyong ikut menghadiri pesta pernikahan itu. Masing-masing ikut menanggung ongkos Rp 150 ribu untuk sewa dua bus dan satu kendaraan minibus berjenis L-300.

“Baru hari itu saya melihat orangnya langsung. Sebelumnya cuma lihat fotonya,” kenang Irfan.

Namun Irfan tak tinggal lama di rumah mertua. Empat hari setelah pesta pernikahan dia membawa sang istri ke Deyah Raya. Dia sudah punya jadwal penting: menyambut rombongan KUB meresmikan serah terima rumah asbes pada Sabtu, 21 Januari. Rumah itu rumah yang jadi kado terbesar pernikahannya.

PADA hari kepulangan Irfan bersama istrinya ke Deyah Raya, di kantor BRR Lueng Bata, direktur komunikasi BRR Rufriadi mengeluarkan sebuah pengumuman penting kepada media massa. Rabu sore, 17 Januari 2007, Rufriadi mengumumkan bahwa Andy Siswanto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai deputi perumahan dan permukiman. Siswanto mundur dari jabatannya, sembilan hari setelah mengirim memorandum tentang rumah asbes kepada Pamekas.

Hal itu cukup mengejutkan. Soalnya departemen yang dipimpin Siswanto merupakan salah satu tulang punggung dalam program utama BRR: membangun kembali puluhan ribu rumah di Aceh dan Nias yang hancur akibat bencana. Program itu sesuai dengan slogan BRR, “build back better.”

“Di tengah kritikan tajam yang dilakukan berbagai pihak tentang lambannya upaya pembangunan rumah korban tsunami pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh yang dilakukan BRR Aceh-Nias, Deputi Perumahan BRR Andy Siswanto, mengundurkan diri,” tulis harian Analisa Medan yang terbit pada Jumat, 19 Januari 2007.

Pengunduran Siswanto, ujar Rufriadi, disampaikan melalui surat dan telah diterima oleh Kepala BRR Kuntoro Mangkusubroto.

Siswanto adalah arsitek yang pernah membuat rancangan tata ruang kota Tarakan, Batam, dan Balikpapan. Selain bekerja sebagai konsultan di bidang arsitektur, Siswanto juga mengajar di Universitas Katolik Soegijopranata Semarang, Universitas Tarumanegara Jakarta.

Siswanto memperoleh gelar doktor di bidang Housing and Urban Redevelopment dari Architectural Association Graduate School di London, Inggris, tahun 2001. Dia juga pernah mendapat penghargaan dari ASEAN Association for Planning and Housing tahun 2001 dan Global 126 Best Practice in Improving the Living Environment di tahun 2002.

Dalam artikelnya yang berjudul “Rumahkan Kembali Rakyat Aceh” di majalah Tempo edisi khusus setahun tsunami, Januari 2006, dia menulis betapa pentingnya perencanaan permukiman secara terpadu dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Tujuannya agar penggunaan anggaran dana bisa lebih tepat sasaran dan berdaya guna, dan kualitas lingkungan permukiman Aceh pada masa mendatang bisa lebih terkendali dan terjamin.

Negara harus berperan lebih besar dan maju memimpin rekonstruksi yang dilakukan dengan “cerdas, professional, bersih, tulus, dan dengan fokus: merumahkan kembali saudara-saudara kita korban tsunami di Aceh”.

“Hanya melalui rumah dan permukiman yang layaklah, kehidupan baru mereka bisa dimulai kembali,” katanya di penghujung tulisan tersebut.

Tetapi setahun kemudian, Siswanto malah mundur dari BRR. Pekerjaan dan tugas yang ditinggalkan Siswanto amat berat. Apalagi selama dua tahun berturut-turut target pembangunan rumah BRR gagal dicapai. Tahun 2005, dari 32.000 unit rumah yang ditargetkan, BRR hanya berhasil membangun 16.200 unit. Tahun 2006 sedikit lebih baik meski tetap di bawah target. Dari target 78.000 rumah, yang dibangun 57.174 unit. Tapi mereka juga harus bertanggung jawab atas ratusan rumah bermasalah yang harus diperbaiki.

“Andy Siswanto mundur karena faktor keluarga dan kesehatan,” tegas Rufriadi kepada wartawan, sebagaimana dikutip Analisa.

Alasan mundur Siswanto itu tetap mengundang banyak tanda tanya.

Pada Januari 2007, nama Siswanto masih tertera dalam daftar gaji BRR. Dia ada di nomor urut 7, dengan gaji sebesar Rp 50,12 juta per bulan. Selain gaji besar, para pejabat BRR juga dapat fasilitas rumah dan sederet fasilitas lainnya. Tujuannya agar para pejabat bisa bekerja optimal, professional, fokus dan tidak melakukan korupsi. Sedangkan keluarga mereka di luar Aceh bakal hidup terjamin.

Bila alasan mundur Siswanto karena sakit, bukankah pejabat setingkat dia mendapat asuransi kesehatan? Apakah kemunduran itu karena Siswanto tak mampu mendongkrak target pembangunan rumah BRR? Ataukah pengunduran diri Siswanto terkait memorandumnya soal rumah bantuan asbes KUB, yang juga bakal membuka kotak pandora pembangunan rumah asbes lain oleh sejumlah NGO dan lembaga bantuan?

Posisi Siswanto digantikan Bambang Sudiatmo yang sebelumnya adalah direktur sumber daya air dan sarjana teknik sanitasi.

SABTU, 21 Januari 2007. Barak permukiman warga Deyah Raya di Lamnyong sepi. Seluruh warga, dewasa hingga anak-anak, pergi ke Deyah Raya. Pakaian mereka bagus-bagus. Mereka berkumpul di bawah kanopi besar yang didirikan di sebelah masjid Al Kawakib yang sudah direnovasi. Siang itu ada peresmian 204 unit rumah asbes dari KUB.

Irfan Al Khadaffi datang ke peresmian bersama istrinya. Syamsul Bahri datang lebih pagi dan hari itu dia akan pembukaan kedai barunya setelah yang lama lenyap dihantam gelombang tsunami. Kedai itu menempati rumah bantuan Bakrie yang diterima Syamsul.

Rumah Syamsul berada tepat di muka masjid Al Kawakib. Beberapa hari sebelum acara peresmian, Syamsul merenovasi rumah bantuan tersebut. Plafon yang rusak diperbaiki. Ruang dapur diperlebar. Sedangkan kamar mandi yang semula terletak di sebelah ruang tamu dipindah keluar. Dia juga menambah bangunan kecil di samping rumah, yang akan berfungsi sebagai kedai. Total Rp 3,5 juta untuk biaya renovasi itu dia keluarkan dari tabungannya.

Tak berapa lama, rombongan menteri, pejabat Aceh, dan petinggi KUB tiba. Dalam rombongan itu ada Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Menteri Perumahan Rakyat Muhammad Yusuf Asy’ari, pejabat Gubernur Aceh Mustafa Abubakar, Irwandi Yusuf, gubernur yang baru terpilih dalam pemilihan kepala pemerintahan Aceh, dan tentu saja para petinggi KUB.

Beberapa pejabat BRR juga hadir, seperti Deputi Sosial, Budaya dan Agama Teuku Safir Iskandar Wijaya dan Direktur Perencanaan dan Pemrograman Wisnu Brotosarosa. Sedangkan Andy Siswanto, pejabat yang berurusan dengan perumahan dan permukiman, sudah keluar dari BRR empat hari sebelum rombongan tersebut tiba di Aceh.

Ical banyak menebar senyum. Dia memakai kemeja koko putih dan peci hitam

Usai memberi sambutan mewakili KUB, Ical menyerahkan tiga kunci rumah kepada tiga warga Deyah Raya sebagai tanda bantuan rumah telah diberikan kepada warga. Abdul Wahid adalah salah seorang yang mendapat kunci rumah. Acara dilanjutkan dengan tanya jawab antara Ical dengan warga. Tapi, penanya hanya dibatasi tiga orang, dan mereka ini dipilih panitia sebelum acara berlangsung.

Wahid juga salah seorang yang diberi kesempatan bertanya kepada Ical. Dia tak membuang kesempatan itu untuk menanyakan desas-desus asbes beracun yang membuat warga cemas. Sebelum bertanya, dia mengucapkan terimakasih kepada Ical dan KUB atas bantuan rumah asbes itu.

“Bagaimana mengenai kualitas rumah yang dibangun ini, Pak? Karena kita dengar rumah asbes ini mengandung racun.”

Tak hanya Wahid yang penasaran, Syamsul dan Irfan juga hendak mengetahui penjelasan soal asbes dari Ical secara langsung.

Seperti diberitakan situs www.acehmagazine.com, Ical menjawab, Bakrie Brothers tidak akan memberikan yang buruk kepada masyarakat. Pabrik asbes Bakrie, katanya, sudah berdiri 25 tahun dan tidak ditutup sampai sekarang. Asbes putih yang digunakan untuk rumah bantuan itu aman dan tidak berbahaya.

“Karena sudah lulus penelitian,” kata Ical di hadapan warga, seperti dikutip situs berita tersebut.

Sebelum meninggalkan Deyah Raya, Ical dan rombongan sempat mengunjungi dan melihat rumah-rumah bantuan yang telah diserahterimakan kepada warga tersebut.

Acara berlangsung lancar. Tak ada aksi protes. Ambo, Dewa bersama sejumlah aktivis dalam Koalisi Tolak Asbes tak bisa mencegah acara itu. Padahal sehari sebelum peresmian dia telah menyiarkan iklan bahaya asbes lewat stasiun radio Antero 101, 6 FM, yang beralamat di Ulee Kareng.

“Total biayanya Rp 2,5 juta dan disiarkan selama sehari semalam sebelum peresmian setiap satu jam. Dari hari Jumat, jam 2 siang hingga 11 malam. Lalu dilanjutkan Sabtu, dari jam 7 hingga jam 10 pagi, sebelum peresmian oleh Bakrie,” kata Ambo.

Warga yang khawatir terhadap racun asbes, menjadi tenang setelah mendengar penjelasan Ical. Wahid, misalnya, dia terus mengingat jaminan dari sang menteri merangkap bos KUB dan anggota dewan pengarah BRR itu.

Irfan juga begitu. Kekhawatirannya luntur begitu mendengar jawaban Ical. Informasi Ambo, Dewa dan aktivis Koalisi Tolak Asbes, menurut Irfan, mengada-ada. Dalam perjalanan kembali ke barak Lamnyong, Irfan meneguhkan niatnya. Begitu air dan listrik terpasang di rumah bantuan KUB di Deyah Raya, dia dan istrinya bakal pindah ke sana. Paling lambat bulan Juni 2007, dia bersama warga lainnya harus sudah kembali ke kampung mereka.

YAYASAN Bakrie, Jangan Bunuh Rakyat Aceh! Demikian bunyi judul siaran pers Walhi Aceh tanggal 2 Februari 2007. Pada subjudulnya tertulis, “Tahun 2020, 720 orang Warga Deyah Raya Terancam Kanker.” Dewa Gumay mengirim surat pernyataan Walhi Aceh ke sejumlah media massa lewat surat elektronik.

Dalam siaran pers itu, dibeberkan isi memorandum Andy Siswanto nomor M-010/BRR.08/I/2007 soal sikap BRR terhadap rumah asbes KUB. Memo yang semula hanya untuk petinggi di internal BRR itu akhirnya dibeberkan kepada media massa.

“Setelah surat memorandum tersebut dikeluarkan seharusnya BRR memberikan peringatan dan meminta Yayasan Bakrie agar mengganti rumah yang dibangun dari asbes tersebut,” tulis Walhi dalam siaran pers itu.

Walhi juga mendesak BRR segera menindak dan memerintahkan KUB mengganti 204 rumah asbes yang diberikan kepada warga Deyah Raya.

“Sekaligus mendesak Kepala BRR Aceh-Nias, Kuntoro Mangkusubroto untuk mundur dari jabatannya jika tidak mampu menyelesaikan persoalan ini, dan menghimbau kepada pelaku rekonstruksi, khususnya lembaga international yang melakukan pembangunan rumah untuk tidak menggunakan asbes sebagai bahan pembuatan rumah korban tsunami.”

Situs berita www.acehkita.com mempublikasikan siaran pers Walhi. AcehTV, stasiun televisi lokal juga menyiarkan berita itu. Warga Deyah Raya di Lamnyong kembali resah mendengar kabar itu. Seorang warga yang menyaksikan berita di AcehTV segera melaporkan apa yang dia lihat dan dengar kepada keuchik Irfan Al Khadafi.

“Pak, kenapa kita masih terima rumah Bakrie. Berita di AcehTV katanya rumah itu beracun,” ujar seorang warga pada Irfan.

Tapi Irfan tak mau menggubris. Dia menjawab sesuai jawaban Ical saat peresmian Januari 2007 lalu. Irfan tak menanggapi siaran pers Walhi. Dan keputusannya tetap, menempati rumah bantuan Bakrie. “Kita tetap pulang ke Deyah Raya.”

Ambo, Dewa dan anggota koalisi tak menyerah. Kampanye tolak asbes terus berjalan. Mereka menyebarkan informasi ke situs-situs di internet. Beberapa kali mereka menggelar pertemuan. Ambo dan tim advokasi tolak asbes kembali mendatangi Irfan dan warganya. Mereka juga menemui pejabat BRR. Mereka mengundang Pamekas dan Bambang Sudiatmo menemui warga Deyah Raya di Lamnyong. Kedua orang itu setuju untuk menjelaskan perihal asbes.

SEBUAH pertemuan penting digelar di meunasah barak Lamnyong, pada Kamis siang,15 Februari 2007. Sekitar 20an warga memenuhi muenasah. Di antara mereka ada Abdul Wahid, keuchik Irfan Al Khadafi, dan Tengku Nurkhalis, pemimpin pesantren di Deyah Raya. Dewa, Fauzari, dan sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Tolak Asbes juga duduk bersila bersama warga. Ambo bertugas memimpin pertemuan.

Selain Pamekas dan Bambang Sudiatmo, BRR mengajak serta Mulyadi, seorang dokter spesialis paru-paru yang bekerja di Rumah Sakit Umum Zainul Abidin dan Zinatul Hayati, dokter yang jadi staf ahli kesehatan di BRR.

Pamekas mengawali penjelasan soal asbes di hadapan warga. Dia memaparkan asbes sebagai salah satu hasil tambang. Ada tiga jenis asbes, biru, coklat dan putih. Ketiganya digunakan dengan tujuan masing-masing. Yang masih diperbolehkan asbes putih, digunakan untuk campuran bahan bangunan. Seperti yang digunakan di Deyah Raya. Bahan utamanya semen, di dalamnya ada asbes sebagai campuran. Nama produknya macam-macam.

Yang paling menderita, kata Pamekas, adalah para pekerja pabrik. Karena tiap bekerja dengan asbes, mereka menghirup udara di sekitarnya.

“Tapi ketika sudah menjadi barang, dan (asbes) itu terikat, tidak terhirup oleh kita, ya nggak apa-apa.”

Zinatul Hayati giliran berikutnya yang bicara.

“Kalau ditanyakan apakah asbes termasuk bahan berbahaya, ya asbes bahan berbahaya. Seberapa besar bahayanya, itu yang jadi pertanyaan,” kata Hayati.

Yang menjadi bahan berbahaya adalah debu asbes yang ukurannya sangat kecil, 3 mikrometer, yang beterbangan di udara. Kalau lebih besar dari ukuran itu, kata Hayati, tidak berbahaya karena tersaring oleh bulu hidung. Sedangkan yang terhirup dan masuk ke paru-paru tidak akan keluar lagi. Selamanya berada dalam paru-paru.

“Dan 15 hingga 20 tahun lagi akan menderita kanker paru-paru. Sama risikonya dengan rokok,” katanya.

Kelompok masyarakat yang memiliki risiko tinggi terhadap asbes adalah pekerja di pertambangan, penggilingan, pengolahan asbes, transportasi yang mengangkut, pemakai sendiri, dan pembongkaran.

Asbes di Deyah Raya sudah diuji tapi belum ada hasilnya. Tapi secara kasat mata, kata dia, itu memang betul asbes. Namun bahaya menghirup debu asbes lebih rendah daripada menghisap asap rokok.

“Tapi mengapa pemerintah tidak melarang orang merokok sampai saat ini, itu jadi pertanyaan lain. Mungkin ada pertimbangan lain dari pemerintah, mungkin aspek ekonominya,” kata Hayati, lagi.

“Asbes bukan tidak berbahaya, tapi hampir tidak ada apa-apanya dibandingkan rokok,” Mulyadi seakan menegaskan pernyataan Hayati.

“Kenapa bahaya rokok yang dipersoalkan?” Irfan angkat bicara. Dia merasa penjelasan Pamekas dan kedua dokter datang saat nasi telah menjadi bubur. KUB sudah meresmikan dan menyerahkan kunci rumah bantuan mereka kepada warga. Keyakinannya soal rumah asbes itu aman langsung goyah begitu dia mendengar bahwa bahan itu termasuk bahan berbahaya.

“Rokok kan jelas bahayanya, dan ada peringatan di bungkusnya. Masalah melanggar, itu tanggung sendiri. Saya tidak merokok karena tahu bahayanya,” tutur Irfan.

“Dulu saya memang sangat mendukung bantuan Bakrie. Tapi setelah ada bukti-bukti dan penjelasan yang nyata seperti ini, saya sangat kecewa. Dan saya merasa sangat berdosa dengan masyarakat saya kalau saya tetap mempertahankan mereka untuk mengambil rumah itu,” tandas Irfan.

Ternyata baik-buruk bantuan tak bisa dinilai dari pandangan agama semata.

“Kenapa ketika dibangun empat rumah contoh tidak ada uji apa-apa. Tidak seorang pun yang datang meneliti. Sedang masyarakat tidak tahu apa-apa. Sekarang ketika kami sudah mau menempati rumah itu, baru timbul masalah ini. Ini meresahkan kami,” kata Wahid.

“Menurut bapak-bapak layakkah kami pulang dengan fenomena yang akan kami terima nanti?” Tengku Nurkhalis giliran bicara. Seperti juga Wahid dan Irfan, Nurkhalis kecewa terhadap BRR. Sebagai lembaga yang bertanggung jawab dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, mestinya BRR tidak membiarkan pembangunan rumah dengan bahan yang berbahaya bagi kesehatan.

“Idealnya bapak-bapak yang tingkat pendidikannya lebih tinggi dari kami, dari awal mestinya sudah bilang, ‘kalau seandainya asbes janganlah dibuat’. Sebab masyarakat tidak tahu apa-apa. Dikasih ya kami terima saja karena memang tidak punya rumah. Daripada kami tidur beratapkan langit berlantaikan tanah, kan lebih baik kami di sana (Deyah Raya) saja. Tapi untuk anak-anak kami ke depan, apakah bisa mereka hidup tanpa racun asbes?” Nurkhalis tampak kesal. Suaranya tinggi.

“Yang anehnya, katanya triliunan duit datang ke Aceh. Tapi apakah kami harus ke sekian kali menjadi tikus percobaan? Padahal yang bapak-bapak nikmati ini kan akibat kami yang jadi korban juga. Kami yang kena tsunami, bapak yang nikmati gaji. Kemudian bapak menikmati gaji, kami dijadikan tikus percobaan,” katanya sambil menatap wajah para pejabat BRR.

“Saya tidak tahu mengapa pada hari ini BRR bisa berubah,” sambung Dewa.

Dia merujuk pada surat memorandum yang ditandatangani Andy Siswanto, deputi perumahan dan permukiman BRR, yang menyatakan larangan penggunaan asbes. Surat itu tanggapan Siswanto atas memo yang dikeluarkan Pamekas sendiri. Dalam pertemuan itu, para petinggi BRR seakan meminta warga untuk tak mempersoalkan bahaya asbes. Dewa menilai BRR mengeluarkan kebijakan yang mencla-mencle.

“BRR seharusnya commit dong dengan memorandum itu. Tolong tunjukkan konsistensi BRR dalam hal ini. Jangan mempermainkan nyawa orang! Sudah sekali bilang A, bilang terus A!” tegas Dewa.

“Yang kami butuhkan rumah yang terjamin kesehatannya,” ujar seorang perempuan.

Warga yang lain ikut bersuara. Mereka minta BRR ikut bertanggung jawab. Mereka minta agar rumah asbes Bakrie diperbaiki.

“Saya tidak bisa memutuskan,” kata Sudiatmo.

“Karena ini menyangkut uang banyak, dan itu tergantung dari kebijakan pimpinan,” lanjutnya.

“Serius, itu di luar kewenangan saya,” tegas Sudiatmo.

CEMAS masih menghantui warga Deyah Raya. Nasib rumah asbes mereka belum jelas. Diperbaiki atau dibongkar untuk dibangun yang baru? Sebagian warga sudah berniat lekas-lekas kembali ke kampung mereka.

Wan Zahri sudah memutuskan untuk angkat kaki dari Lamnyong. Sebagian barang-barang sudah dibawa ke rumah asbes di Deyah Raya. Kompor, tempat tidur, kursi dan perabot-perabot rumah tangga sudah diangkutnya.

“Yang masih ada di shelter tinggal baju-baju,” ujarnya.

Berminggu-minggu setelah pertemuan dengan BRR itu, warga yang masih menunggu jawaban tentang nasib rumah mereka mulai tak sabar.

Syamsul Bahri, Tengku Nurkhalis, Abdul Wahid, Bukhari, Muhammad Jamal, dan Tengku Zainuddin Ubiet mendatangi kantor BRR di Lueng Bata. Mereka mewakili Irfan Al Khadafi yang tengah berada di Lhokseumawe.

“Tujuannya untuk menanyakan soal rumah asbes dari Bakrie,” kata Syamsul.

Keenam orang itu bertemu Wisnu Brotosarosa, direktur perencanaan dan pemrograman, dan Rufriadi, direktur komunikasi.

Brotosarosa menawarkan agar rumah asbes di Deyah Raya diperbaiki, bukan dibangun baru. Dana sudah tak ada untuk itu, katanya.

Joseph Oentoro, staf teknis perumahan, menggambar rencana rehabilitasi rumah bantuan KUB. Dari fondasi sampai atap. Fondasi diperdalam. Dinding dilapisi tripleks jati setebal 6 milimeter ditambah profil. Di luar tripleks dipasang kawat kandang ayam untuk menempelkan semen, Setelah itu diplester dengan semen.

Zainuddin tak setuju. Wahid malah menganggap tawaran BRR sebagai bantuan setengah hati.

“Rumah asbes itu dibongkar saja. Daripada ditempel-tempel, diganti saja dengan batu bata,” usul Wahid.

“Kalau untuk itu BRR tidak punya dana banyak, Pak,” kilah Brotosarosa. “BRR kan tidak hanya mengurusi masyarakat di Deyah Raya saja. Masyarakat di daerah lain juga membutuhkan perhatian BRR.”

Brotosarosa juga menjanjikan bahwa tim BRR akan datang ke Deyah Raya untuk membuat contoh rumah rehab dan setelah itu membuat perhitungan dana rehab lebih rinci, bila warga setuju dengan usulnya.

“Bagaimana seandainya dana yang dialokasikan untuk rehab yang ada digunakan untuk membangun sebagian rumah baru saja? Dibangun secara bertahap,” tukas Nurkhalis.

Mereka membahas macam-macam hal. Brotosarosa bahkan menyetujui bahwa struktur rumah bantuan KUB di Deyah Raya juga buruk. Meski pembicaraan mereka sudah panjang lebar, titik temu belum didapat.

“Bapak-bapak pulang saja dulu. Musyawarah dengan masyarakat, apa yang mesti dikerjakan BRR. Apa rumah mau direhab atau dibongkar?” kata Brotosarosa.

Keenam wakil warga Deyah Raya itu pun kembali ke Lamnyong.

SIKAP warga Deyah Raya menolak pindah ke rumah asbes Bakrie tersiar di media massa. Jumat, 6 April 2007, kantor berita Antara mengabarkan bahwa warga di kampung itu khawatir terkena debu asbes. Antara menulis berita berjudul Korban Tsunami Enggan Huni Rumah Sumbangan Bakrie.

Keesokan harinya, harian Serambi Indonesia menurunkan berita dari Antara dengan judul Warga Enggan Huni Rumah Bakrie. Berita itu dimuat di rubrik “Nusa”.

Selasa, 17 April 2007, radio Baiturrahman 98,5 FM menyiarkan dialog interaktif soal rumah asbes di Deyah Raya dalam program Rumoh PMI. Program tersebut milik Palang Merah Indonesia yang disponsori Palang Merah Irlandia. Siaran kali ini menghadirkan Dewa Gumay, Tengku Nurkhalis, Jisman Hutasoit dari BBI, dan Aditya yang mewakili Yayasan Bakrie. Acara dipandu Yudi dari radio Baiturrahman dan Nursafri dari Palang Merah Irlandia.

Pernyataan Dewa soal larangan penggunaan asbes ditanggapi Jisman.

“Pemakaian asbes di Indonesia dengan seizin pemerintah, pemakaian asbes di Indonesia, tentu kita sekarang berbicara dengan asbes putih, di mulai dari tahun 1959. Jadi sebenarnya pemakaian bahan ini untuk bangunan di Indonesia itu sudah sekitar 48 tahun. Dan saat ini ada 24 perusahaan,” katanya.

“Saya hanya menyatakan bahwa pemakaian bahan ini di Aceh bukan untuk eksperimen. Karena pernah kita dengar selentingan bahwasanya Bakrie mencoba bahan-bahan baru di Aceh. Bukan Pak. Bahan ini sudah kita gunakan 48 tahun yang lalu. Mengenai rumah beracun. Kami mendengarnya agak sedih juga. Masa’ Bakrie kasih orang rumah beracun?” kata Jisman, lagi.

“Ya, ini menjadi dilema di gampong kami. Bahkan tadi saya jumpa orang tua, Kalau kita terima lalu mati, biarlah mati. Begitu katanya, Pak. Tapi anak-anak kita ke depan? Kita tidak punya duit, sudah miskin, berpenyakit lagi,” sahut Nurkhalis.

“Kondisinya sekarang masyarakat khawatir karena takut bahaya asbes itu. Apa kira-kira kebijakan dari Bakrie? Apa ganti rumah baru atau bagaimana?” tanya Yudi kepada Aditya.

“Prinsipnya begini. Kita sudah semaksimal mungkin untuk bisa membantu di sana. Jadi rumah yang sudah dibangunkan prinsipnya kita serahkan ke masyarakat. Kalau masalah berbahaya atau tidak, Pak jisman sudah jelaskan lebih detail. Kita serahkan bantuan rumah kita ini kepada warga untuk bisa dimanfaatkan,” ujar Aditya.

“Yayasan Bakrie mau ganti dengan rumah yang lain? Rumah yang sekarang diganti dengan beton, bisa tidak kira-kira?” tanya Yudi, sang pemandu acara.

“Kalau diganti sepenuhnya dengan yang baru kayaknya tidak mungkin,” jawab Aditya.

RABU, 25 April 2007. Seseorang memasukkan sepucuk surat lewat bawah pintu rumah Irfan Al Khadafi. Surat itu berkepala surat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Banda Aceh. Isinya undangan rapat. Surat itu ditandatangani Mukminan, wakil ketua DPRD.

“Saya juga ditelpon Pak Mukminan, wakil ketua DPRD, menanyakan apa saya sudah terima surat,” ujar Irfan kepada saya.

Dua minggu sebelum melayangkan surat undangan kepada Irfan, Mukminan telah menyurati kepala BRR. Di surat bernomor 640/1260 tertanggal 12 April itu, dia mendesak agar BRR segera mengganti rumah yang sudah dibangun KUB dengan rumah permanen.

“Dan tidak lagi menggunakan asbestos lagi karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan terutama kanker paru-paru,” tulis Mukminan.

Dia politisi dan legislator dari Partai Keadilan Sejahtera, partai politik Jakarta.

Surat Mukminan tak berbalas. Nasib rumah tetap tak jelas, siapa yang bertanggung jawab untuk merehabilitasi atau membongkar juga sama tak jelasnya. Mukminan memutuskan untuk menggelar rapat di gedung DPRD Banda Aceh pada Jumat, 27 April 2007.

Dia mengundang pejabat BRR. Di antaranya Wisnu Brotosarosa dan Ruslan Abdul Gani, kepala regional I BRR. Irfan, Tengku Nurkhalis, Muhammad Ali, dan Abdul Wahid mewakili masyarakat Deyah Raya. Beberapa aktivis yang tergabung dalam Koalisi Tolak Asbes, seperti Ambo, Dewa, dan Fuazari juga diundang.

Rapat langsung dipimpin Mukminan. Perdebatan soal racun asbes lagi-lagi dibahas. BRR tegas menyatakan, meski asbes memang beracun tapi yang digunakan untuk rumah di Deyah Raya aman. Kondisi bahaya hanya terjadi bila ada interaksi penghuni dengan debu asbes, seperti pengetokan, dan sejenisnya. Namun, siapa yang bisa menjamin penghuninya tak berinteraksi dengan debu, apalagi kalau ingin memperbaiki rumah.

“Kalau memang beracun mengapa tetap diteruskan pembangunannya?” tanya Mukminan.

Brotosarosa menyatakan memorandum itu hanya berlaku di internal BRR.

“Yang terpenting adalah substansinya. Kalau memang beracun mengapa tidak boleh diketahui publik?” balas Mukminan, sengit.

Nurkhalis menganggap rapat bertele-tele. Seharusnya pertemuan itu membahas solusi untuk warga yang ingin segera kembali ke kampung halaman mereka. Ambo, Dewa, dan para aktivis ikut mendukung warga.

Brotosarosa kemudian menawarkan rehabilitasi rumah-rumah asbes tersebut. Usul serupa pernah dia tawarkan kepada Nurkhalis, Wahid, dan perwakilan warga ketika mereka datang ke kantor BRR.

Irfan yang semula mendukung rumah bantuan KUB, usul agar rumah asbes diganti dengan rumah baru yang permanen.

Jumat hari yang pendek. Menjelang pukul 12 siang, belum ada keputusan. Mukminan mendukung aspirasi warga. Dia memutuskan agar dibuat nota kesepakatan bersama antara deputi perumahan, kepala regional I BRR, warga yang diwakili keuchik, dan pihaknya.

Nota dibuat menyusul, karena waktu sudah mepet salat Jumat. Mukminan bertanggung jawab menyusun isinya, yang menyebutkan bahwa BRR bersedia membongkar rumah asbes KUB dan menggantinya dengan rumah permanen.

Brotosarosa kecewa. Pertemuan itu memojokkan BRR. Dia tak setuju cara pengambilan keputusan yang dilakukan Mukminan.

“Mestinya tidak secara sepihak begitu. Mestinya hanya minutes of meeting,” kata Brotosarosa kepada saya. Belakangan dia terpaksa menandatangani nota kesepakatan tersebut.

LANTAS bagaimana nasib rumah-rumah bantuan NGO yang menggunakan asbes? Mengapa Mukminan tidak mempersoalkan rumah-rumah bantuan dari lembaga lainnya?

Dia menjawab diplomatis, “Kami berharap ada tim independen yang bisa menguji asbes. Uji ini mendesak dilakukan. Karena ini tentu akan menimbulkan pertentangan dengan kepentingan lembaga-lembaga yang sudah membantu. Ini bisa menurunkan citra mereka.”

Apa tanggapan BRR yang bertanggung jawab terhadap jalannya rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh?

Menurut Pamekas, dulu dia pernah mengusulkan uji asbes itu kepada Andy Siswanto sebelum yang bersangkutan mengundurkan diri sebagai deputi permukiman dan perumahan.

“Ini juga menjadi jawaban akademis terhadap keraguan masyarakat, apa betul produk pabrikan setelah dipasang masih mengeluarkan debu. Ini sangat membantu pengambil keputusan. Saya juga mengimbau agar lembaga-lembaga donor mengurangi penggunaan asbes,” kata Pamekas pada saya, awal Mei lalu.

“Mengapa bukan unit anda (saja yang melakukan pengujian)?” tanya saya.

“Kami tidak ada anggaran untuk pengambilan sampel dan melakukan pengujian. Sebaiknya memang dilakukan oleh lembaga yang independen, termasuk dari segi pendanaan supaya tidak terjadi conflict of interest,” jawab Pamekas

Brotosarosa berpendapat bahwa NGO yang bersangkutan yang harus punya tanggung jawab melakukan pengujian.

“Dalam kasus rumah Deyah Raya bukan sepenuhnya kesalahan kami. Sebelumnya kami juga tidak tahu kalau rumah itu mengandung asbes. Bakrie tidak melakukan perjanjian MoU dengan kita. Mereka datang ke walikota, tak pernah ke BRR,” katanya.

“Bukankah Anda hadir saat peresmian rumah?”

“Waktu peresmian saya incognito, bukan atas nama lembaga BRR, tapi pribadi,” katanya.

Awal Mei lalu, Brotosarosa mengatakan kepada saya bahwa BRR sudah menyampaikan keluhan warga kepada Yayasan Bakrie, tetapi mereka belum memberikan jawaban.

KANTOR BRR di Lueng Bata selalu ramai. Selain tamu, seperti aktivis atau pekerja NGO, wartawan dan kontraktor, jumlah tenaga kerja di lembaga ini memang kian banyak. Setelah dua tahun dibentuk, stafnya sudah lebih dari 1.000 orang, lokal maupun asing.

Di bawah kepemimpinan Kuntoro Mangkusubroto, BRR mengelola dana dari pemerintah Indonesia dan hibah sejumlah negara serta lembaga bantuan internasional. Nilainya, menurut buku Membangun Tanah Harapan yang diterbitkan BRR pada April 2006, mencapai Rp 60 triliun. Sebanyak Rp 21 triliun berasal kas negara yang didapat dari moratorium utang luar negeri.

Dari keseluruhan program rehabilitasi dan rekonstruksi, menurut buku Aceh dan Nias Setahun setelah Tsunami yang diterbitkan BRR dan rekanan internasional pada Desember 2005, alokasi terbesar digunakan untuk perumahan. Jumlahnya lebih dari US$ 1 miliar.

Meski ramai, kebersihan setiap ruang di kantor ini selalu terjaga. Siapa saja mesti melepas alas kaki sebelum memasuki ruangan, termasuk di ruang direktorat komunikasi yang menjadi tempat orang mencari informasi.

Senin pekan kedua Juni 2007, saya mendatangi kantor itu untuk mewawancarai Mangkusubroto, kepala BRR. Saya ingin menanyakan bagaimana sikap dan tindakan BRR atas rumah asbes yang telanjur dibangun.

Namun, saya tak berhasil menemuinya. Dia sedang tak berada di Banda Aceh. Minggu berikutnya, pesan pendek saya ke telepon selulernya bersambut. Mangkusubroto menyarankan saya menemui Bambang Sudiatmo, deputi perumahan dan permukiman.

Saat saya mewawancarai Sudiatmo, dia didampingi Wisnu Brotosarosa dan Kasru Susilo, staf ahli teknis di deputi perumahan dan permukiman. Sudiatmo dan Susilo banyak menjawab pertanyaan yang saya ajukan, sedangkan Brotosarosa sama sekali tak bicara.

“Di Indonesia pada prinsipnya tidak ada larangan untuk menggunakan material asbes. Di Aceh ada dugaan di beberapa rumah ada yang menggunakan material asbes. Salah satunya rumah bantuan Bakrie di Deyah Raya. Kebijakan BRR singkat saja, karena di tingkat nasional tidak ada larangan, maka kami tidak punya hak untuk melarang,” jawab Sudiatmo.

“Apa itu artinya BRR mengakui bahwa asbes tidak dilarang?” tanya saya lagi.

“Kita kan harus mengacu kepada kebijakan nasional.”

“Berapa banyak rumah bantuan yang menggunakan asbes?”

Sudiatmo menjawab belum memiliki data. Ini berbeda dengan pernyataan Brotosarosa pada saya sebelumnya.

“Yang bermasalah tidak hanya Bakrie. Rumah bantuan Jawa Pos, ada 700 unit juga dari asbes. Karena mereka membangun cepat dari sejak bencana hingga tahap rehabilitasi. Contoh rumah asbes lainnya rumah yang dibangun Yayasan Budha Tzu Chi,” katanya.

Yayasan Budha Tzu Chi membangun ribuan rumah dengan asbes di Pante Riek, Banda Aceh, di atas lahan yang disediakan BRR.

Bagaimana dengan kebijakan BRR yang justru melarang penggunaan asbes sebagai bahan bangunan?

“Karena standar kami, kami menggunakan batu bata. Dalam pembangunan itu kan ada alternatif. Kami gunakan alternatif batu bata,” kata Sudiatmo.

“Karena menimbulkan polemik, menimbulkan sesuatu hal yang rancu,” sahut Susilo.

Sudiatmo menyatakan bahwa rencana pengujian asbes pada rumah-rumah bantuan dilakukan setelah adanya kasus asbes di Deyah Raya.

“Kami baru menugaskan sebuah institusi independen, LOGICA dari Australia. Secara organisasi, kalau terbukti berbahaya, kami akan serahkan kepada NGO yang membangun,” tutur Sudiatmo.

Namun hasil pengujian itu tak akan dibeberkan dalam tempo dua atau tiga bulan. Menurut Sudiatmo dan Susilo, diperkirakan paling cepat akan dikeluarkan enam bulan lagi. Itulah jadwal pengujian yang diberikan LOGICA.

JALAN menuju Deyah Raya ada dua. Satu melewati makam Syiah Kuala, satu lagi melalui kampung Alue Naga. Kedua kampung ini bertetangga. Sama-sama berada di tepi pantai. Tapi dibanding Alue Naga, rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan Deyah Raya lebih cepat setelah mendapat bantuan KUB.

Tetapi penduduk yang kembali ke Alue Naga pascatsunami jauh lebih banyak dibanding penduduk yang kembali ke Deyah Raya. Meskipun mereka masih menghuni rumah-rumah sementara yang terbuat dari kayu.

Saat saya mengunjungi Deyah Raya awal Juni lalu, itu berarti enam bulan setelah serah terima rumah terjadi, rumah-rumah bantuan KUB di Deyah Raya masih sepi penghuni. Beberapa rumah malah dirimbuni tumbuhan tapak kuda dan rumput liar menjalar di sekelilingnya. Sebagian lainnya malah nyaris direndam banjir pasang. Salah satunya adalah rumah Irfan Al Khadafi. Letaknya di sebelah selatan masjid Al Kawakib, tempat dia biasa berceramah.

Rumah yang semestinya jadi kado pernikahan Irfan dan istrinya itu kosong melompong saat saya datangi. Genangan air laut menutupi jalan masuk ke rumah tersebut.

Irfan akhirnya memilih tinggal di shelter yang dibangun IOM di Lamnyong bersama istrinya. Di sana keduanya hidup berdampingan dengan ratusan warga Deyah Raya lainnya.

Sewaktu saya tanya mengapa tetap tinggal di rumah sementara yang juga terbuat dari asbes, Irfan menjawab, “Waktu IOM memberikan rumah barak sementara asbes kami juga tidak tahu. Tidak ada penjelasan. Saat itu kami terima saja daripada tinggal di tenda. Kalaupun dijelaskan tetap kami ambil. Lagi pula ini kan hanya sementara.”

Rumah Syamsul Bahri di Deyah Raya juga sepi. Kedainya kosong. Spanduk yang digunakan saat peresmian 204 unit rumah di muka kedai berkibar-kibar ditiup angin.

“Saya hanya sempat berjualan waktu peresmian. Setelah itu tak pernah buka lagi sampai sekarang,” ujar Syamsul.

Rumah ayahnya, Abdul Wahid, sama saja. Meski telah menerima kunci rumah itu langsung dari Ical, Wahid tak berencana pindah dari Lamnyong.

“Saya rasa, sampai dua tahun lebih kami akan tinggal di shelter. Ya, masih bersyukur juga. Karena masih banyak yang tinggal di barak-barak. Surat kepemilikan shelter juga sudah diberikan IOM kepada kami,” kata Syamsul pada saya.

“Sekarang kami tidak akan pulang kalau belum ada ganti. BRR sudah bersedia membongkar dan membangun yang baru, tapi belum tahu pasti kapan waktu pembangunannya,” ujar Irfan

Walau begitu Irfan serba salah. Dia masih ingat ketika tak ada NGO atau BRR datang memberi bantuan ke Deyah Raya, selain KUB.

“Saya tidak menyalahkan Bakrie. Kalaupun rumah bantuan mereka mengandung racun, saya anggap itu sebagai kekhilafan,” ujarnya, kembali lagi ke cara pandang agamanya.

Namun, menyia-nyiakan rezeki juga tidak dibenarkan dalam agama. Dia agak bimbang.

“Rumah Bakrie itu ya mubazir juga. Sayang juga. Tapi kalau berpenyakit, mau bilang apa?” katanya.*

*) Kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

by:Samiaji Bintang