Masa Lalu Bersenandung di Mirador Mansion

Fransisca Ria Susanti

Sat, 14 July 2007

Kaum eksil di Hongkong berseteru. Ada yang berpendapat bahwa PKI memang layak dihabisi Soeharto dan menuduh Mao itu kejam. Ada yang tak terima dan marah. Mereka terdiri dari bermacam kalangan, dari seniman sampai usahawan, dari pemain piano sampai anak ketua Baperki.

Kaum eksil di Hongkong berseteru. Ada yang berpendapat bahwa PKI memang layak  dihabisi Soeharto, dan menuduh Mao itu kejam. Ada yang tak terima dan marah. Mereka terdiri dari bermacam kalangan, dari seniman sampai usahawan, dari pemain piano sampai anak ketua Baperki.

TELEPON  seluler kembali bergetar dalam saku celana saya. Ini kali yang kedua, setelah getar pertama tak sempat terangkat karena kedua tangan sibuk membawa botol air mineral dan perhatian tertuju pada layar terkembang dari kapal yang hilir-mudik melintasi dermaga.

“Jadi kita bertemu hari ini?” Suara lelaki itu terdengar dari seberang sana.

Langit di atas Star Ferry mulai semburat jingga.

“Tak apa kalau tak bisa. CD saya titipkan di kasir Niki Eco.  Boleh di-copy dan disebarluaskan  untuk kawan-kawan,” kata suara itu lagi, setelah memperkirakan jarak antara Tsim Sha Tsui dan Causeway Bay tak mungkin ditempuh dalam 20 menit.

Namanya Thio Keng Bouw.

Saya bertemu dengannya pertama kali di lantai sembilan sebuah bangunan lama yang terletak di kawasan Chung King Mansion. Ini kawasan yang biasa dijadikan tempat mangkal para pekerja ilegal dari Nepal, India, Pakistan dan benua Afrika.

Seorang buruh asal telah memberitahu saya soal aktivitas di lantai sembilan itu. Tempat reuni orang Tionghoa asal Indonesia yang rindu kampung halaman, katanya.

Saya penasaran dan memutuskan datang.

Pertemuan di lantai sembilan tersebut digelar rutin setiap hari Minggu selama tiga jam. Sejumlah perempuan dan lelaki berusia di atas 60an duduk di kursi lipat, mendengar lagu-lagu Indonesia, dari Rayuan Pulau Kelapa, Ayo Mama, hingga Bengawan Solo. Selain itu, diputar juga lagu-lagu dari Tiongkok maupun Amerika yang populer antara tahun 1940an sampai 1970an.

Acara itu digagas Thio Keng Bouw, lelaki kelahiran Jakarta 69 tahun silam. Awalnya, dengan sejumlah kawan yang berhobi sama, Keng Bouw melepas penat dengan menyalurkan hobi musik mereka. Hingga kemudian, Keng Bouw berpikir untuk menggelar rutin acara tersebut dengan mengundang orang luar. “Ini semacam latihan yang orang luar juga bisa nikmati,” ujarnya.

Selama ini, kelompok musik yang ia pimpin kerap diundang untuk meramaikan acara pernikahan atau pesta ulang tahun. Sehingga latihan menjadi sesuatu yang rutin mereka lakukan sebagai persiapan pertunjukan.

Sejak April 2007, Keng Bouw dan kawan-kawannya  menggelar acara musik nonstop dari jam dua siang hingga jam lima petang di salah satu ruang di Mirador Mansion yang mereka sewa dengan tarif  HK$180 per pertemuan.

Para pengunjung ditarik ongkos HK$20 per orang sebagai sumbangan untuk membantu sewa tempat.

RIBUAN  orang Tionghoa asal Indonesia kini bermukim  di Hong Kong, setelah sebelumnya bertahan di China.  Kebanyakan mereka hengkang dari Indonesia karena faktor ekonomi, tapi tak sedikit pula akibat situasi politik. Keng Bouw adalah salah satu yang meninggalkan Indonesia karena alasan politik.

Pada 27 September 1965, Keng Bouw bersama 14 orang lainnya pergi ke Tiongkok. Mereka pergi atas nama delegasi Front Pemuda Pusat untuk menghadiri acara peringatan ke-16 berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Mereka diundang Gabungan Pemuda Seluruh Tiongkok. Keng Bouw mewakili Permusyawaratan Pemuda Indonesia (PPI), sebuah organisasi pemuda bentukan Badan Permusyaratan Kewarganegaraan (Baperki).

Keng Bouw mengenang bahwa seluruh perwakilan organisasi pemuda dari sembilan partai politik turut serta, antara lain Pemuda Anshor (Nahdlatul Ulama), Pemuda Rakyat (Partai Komunis Indonesia), Pemuda Demokrat (Partai Nasional Indonesia) dan Pemuda Indonesia (Partindo). Kemudian ditambah wakil dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), APPI, PPI dan PPI Puteri.

Empat hari setelah mereka tiba di Beijing, sebuah kabar datang dari Jakarta: informasi yang simpang-siur tentang kudeta yang dilakukan Dewan Jenderal. Namun, tak berapa lama tersiar kabar bahwa sebuah gerakan yang didalangi PKI telah melakukan kudeta.

“Kami mendengarkan perkembangan berita dari radio,” kisah Keng Bouw.

Ia ingat bahwa hubungan sesama delegasi pemuda yang berangkat dari Jakarta mulai tegang pascakabar tersebut, terlebih setelah Jakarta memutuskan bahwa PKI dan organisasi yang dianggap atau dicurigai dekat dengannya dimasukkan sebagai organisasi terlarang.

Hati Keng Bouw kebat-kebit. Organisasi yang ia wakili merupakan anak kandung Baperki, sebuah organisasi yang dianggap punya relasi intim dengan PKI. Delegasi lain, seperti dari PR, APPI, CGMI dan Pemuda Indonesia juga memiliki kecemasan yang sama.

Akhirnya, saat rombongan memutuskan pulang ke Indonesia, lima delegasi pemuda memilih bertahan di Beijing.

“Beberapa kawan membujuk saya untuk tak kembali ke Indonesia. Katanya, saya bisa kena tangkap,” ujarnya.

Keng Bouw mematuhi nasihat itu. Ia bertahan di China. Ia bahkan memutuskan menikah dengan perempuan Tionghoa yang ia temui di Hong Kong dan tinggal di negeri tersebut hingga sekarang.

Sementara empat mantan delegasi pemuda lainnya hijrah ke Eropa. Salah satu bahkan meninggal di tanah asing tersebut tanpa sempat pulang ke Indonesia.

“SDRI. Maria Harsono, khusus tulisan-tulisannya tgl 21 April, dengan lancang memfitnah dan menghina Pemimpin Besar Mao Tje Tung (Mao Zhe Dong) sebagai Kaisar, Tuan Budak yang telah membunuh puluhan juta Rakyat Tiongkok. Padahal, adalah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa Mao Tje Tung  selama ini tetap dihormati Rakyat Tiongkok. Dan, oleh karenanya dengan sangat menyesal, kami harus mengambil keputusan mencabut hak sdri. Maria Harsono mengirim tulisan di milis HKSIS lagi.”

Keputusan tersebut dibuat moderator milis Hong Kong Society for Indonesian Studies (HKSIS), Chan Chung Tak, pada 22 April 2007 setelah perdebatan panas soal Partai Komunis China (PKC) terjadi di milis mereka. Chan tak bisa terima saat Maria Harsono menyebut Mao sebagai kaisar, membantai jutaan jiwa, dan memporakporandakan perekonomian Tiongkok. Sebelumnya, Maria juga menyebut-nyebut bahwa Soeharto telah berjasa membumihanguskan PKI karena toh kalaupun partai komunis yang berada di bawah bayang-bayang Mao ini menang, maka bakal ada jutaan jiwa yang akan melayang dan Indonesia tak akan pernah tenang.

Chan adalah anak ketiga Siaw Giok Tjhan, ketua Baperki yang meninggal di Amsterdam setelah dibui di Jakarta selama 13 tahun tanpa melalui proses pengadilan.

“Saya tak memuja Mao The Tung. Tapi saya tak rela kalau pendiri republik Tiongkok itu dihujat dengan sama sekali melupakan jasanya,” ujar Chan saat saya temui di pojok kedai McDonald’s di kawasan Tin Hau, Hong Kong.

Orangnya sederhana. Usianya sudah memasuki kepala enam. Ia hijrah ke Hong Kong setelah sang ayah melarangnya ke Indonesia saat ia hendak memutuskan pulang dari Beijing.

“Saya pergi ke Beijing, sepekan sebelum G30S (Gerakan Tiga Puluh September) meletus,” ujarnya. Chan saat itu adalah mahasiswa Universitas Respublika, sebuah perguruan tinggi yang dimiliki Baperki. Ia berniat melanjutkan sekolah di Beijing.

Ia mengikuti perkembangan peristiwa tersebut dari jarak jauh. Ia tak mungkin pulang, juga ketika ayahnya ditangkap pada November 1965 karena organisasi yang dipimpinnya dianggap dekat dengan PKI.

Chan bertahan di Beijing, menyiapkan diri untuk memasuki universitas yang diimpikannya. Pada Juli 1967, Chan berhasil masuk perguruan tinggi. Namun pada saat yang sama sebuah revolusi yang dipimpin Mao Tje Tung bergolak. Perguruan tinggi dan semua sekolah ditutup. Aktivitas belajar mengajar dihentikan. Semua pemuda dilibatkan untuk mendukung aktivitas heroik yang disebut Revolusi Budaya.

Chan pun larut dalam situasi ini. Ia menjadi salah satu anggota Garda Merah, sebuah unit paramiliter yang didirikan oleh mahasiswa dan dosen untuk mendukung Revolusi Budaya.

Chan mengingat, ia bukanlah seorang anggota yang loyal. Ada masa ketika ia tak bisa menerima saat kawan-kawannya memukuli seorang guru tua dan menyiksanya dengan tempayan bekas ludah, hanya karena dianggap pengkhianat Revolusi Budaya.

“Tempayan besar itu dimasukkan dalam kepalanya dan dijebloskan dengan paksa,” kenangnya.

Chan juga sempat memprotes sikap pengkultusan Mao yang terjadi saat itu.

“Setiap pagi, kami disuruh apel dengan membawa buku kecil yang berisi ajaran Mao,” kenangnya.

Tindakan ini, menurut Chan, justru bertentangan dengan komunisme yang dicita-citakan oleh Mao.

“Ajaran utama komunisme adalah membebaskan masyarakat. Harusnya komunisme lebih memanusiakan manusia, bukan malah mengkultuskan manusia seperti dewa sehingga membuatnya tak beda dengan agama,” tuturnya.

Namun Chan tak bisa memutuskan keluar begitu saja dari unit itu. Di bawah situasi politik yang tak menentu, sebuah bentuk gugatan sekecil apapun akan meminta risiko nyawa.

Di Garda Merah ini pula, Chan kemudian ditugaskan ke pedesaan. Di bawah kebijakan Mao, seluruh mahasiswa dan pelajar diharuskan untuk belajar dari rakyat. Mereka dikirim ke desa untuk bergaul dan bekerja dengan kaum tani.

Dalam perkembangan selanjutnya, Chan kemudian ditempatkan di pelayaran karena ia menguasai mesin. Namun lucunya, selama berbulan-bulan mengarungi laut, Chan tak pernah bisa menyesuaikan diri. Ia selalu mabuk laut hingga ia pun terpaksa dikirim ke rumah sakit karena terkena radang paru-paru.

Saat di rumah sakit inilah, Chan kemudian mendengar kabar bahwa Siaw Giok Tjhan, sang ayah, bakal dikirim ke Pulau Buru. Berita ini, membuat Chan pun berniat pulang ke Jakarta. Ia tak ingin ibunya tanpa penjaga, jika ayahnya benar-benar dibuang ke Pulau Buru. Selain itu, ini akan menjadi alasan tepat bagi dia untuk tak perlu kembali  berlayar, sebuah pekerjaan yang sama sekali tak ia sukai.

Namun, rencana ini batal setelah ia mendapat kabar susulan dari Jakarta yang menyebut bahwa Giok Tjhan hanya akan jadi tahanan rumah.

Meski demikian, Chan  tetap tak kembali berlayar. Ia malah pergi ke Hong Kong, negeri koloni Inggris yang menjadi kawasan terdekat dari orang yang ingin hengkang dari .

Di negeri ini, Chan kemudian menetap hingga sekarang. Bekerja, menikah, beranak-pinak, dan menghabiskan masa tuanya.

Ayahnya, menurut kisah Chan, akhirnya terbang ke Amsterdam setelah dibebaskan dari tahanan dan itu berkat lobi yang dilakukan wakil presiden Adam Malik kepada pemerintah. Sang ayah meninggal di negeri tersebut karena sakit.

JAUH sebelum saya bertemu Chan, seorang lelaki Tionghoa, mantan pengusaha kayu, memberi saya sebuah majalah bernama Indonesia Focus di Jakarta. Layout-nya sederhana. Isinya pun hanya kumpulan opini, hasil wawancara atau berita yang diambil dari media lain. Sekilas tak ada yang istimewa. Majalah itu terbit tiga bulan sekali dan beredar terbatas di kalangan Tionghoa di Indonesia. Satu-satunya yang membuatnya unik adalah tulisan dalam majalah itu ditulis dalam tiga bahasa: , Inggris dan Tionghoa.

Lelaki itu kemudian menunjuk pada logo di sudut kiri majalah. Sebuah logo dan nama organisasi, Hong Kong Society for Indonesian Studies (HKSIS). Sebuah kelompok yang beranggotakan orang-orang Tionghoa asal yang bermukim di Hong Kong. Mereka bukan kelompok yang semata sibuk dengan urusan bisnis, tapi punya kepedulian terhadap roda perubahan politik di . Sebagian dari mereka hijrah karena situasi politik Indonesia yang tak menentu di tahun 1950an dan 1960an.

Di Hong Kong, perjumpaan pertama saya dengan orang-orang HKSIS terjadi di tempat yang sama sekali tak terduga, wisma tinggal pejabat Konsul Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong. Mereka datang untuk upacara peringatan 17 Agustus. Mereka berbaur dengan warga Indonesia lainnya, termasuk para perempuan pekerja yang merantau ke Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga, dan mengikuti upacara bendera itu dengan khidmat.

Sekretaris Jenderal HKSIS bernama Yang Ping adalah salah satu yang paling terbuka di antara mereka. Para pejabat KJRI mengenalnya sebagai pengusaha ekspor-impor yang cukup sukses. Sementara para buruh asal mengenalnya sebagai orang tua yang baik hati. Ia intens menjalin hubungan dengan komunitas perempuan Indonesia di Hong Kong yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

“Pak Ping yang sering kontak kami  kalau ada acara,” ujar Mega Vristian, yang juga dikenal sebagai penulis.

Ping pula yang bersedia membantu pendistribusian buku-buku karya buruh di Hong Kong, termasuk kumpulan cerita pendek Nyanyian Imigran yang didanai Mega penerbitannya.

Vivian Wei, pengajar di City University, adalah salah seorang yang turut memfasilitasi pertemuan  komunitas HKSIS dengan  para perempuan pekerja asal itu. Sebuah ruang di kampus City University kerap digunakan sebagai tempat diskusi terbuka jika ada pembicara yang diundang dari Jakarta.

Pertemuan-pertemuan ini membuat HKSIS bukan lagi barang aneh bagi buruh , demikian juga sebaliknya. Indonesia Focus pun kemudian mulai memuat aktivitas buruh Indonesia di Hong Kong, tak hanya soal pidato konsul jenderal atau melulu isu politik elite. Dan jika ada informasi yang mesti dicari atau  foto yang mesti dipasang, terkait aktivitas para buruh, maka Ping-lah yang kerap bertugas menghubungi komunitas buruh tersebut. Di kalangan buruh inilah nama dan wajahnya lebih popular dibanding pengurus HKSIS lainnya.

Ini pula yang membuat nama Ping disebut di urutan pertama, ketika saya bertanya tentang HKSIS kepada seorang buruh asal Indonesia di Hongkong.

PING pergi dari 40 tahun yang lalu, setelah Chung Hwa Hui dianggap ilegal oleh Soeharto. Ia sempat ditahan di penjara Pasuruan, Jawa Timur, selama beberapa hari pascaperistiwa G30S/1965. Semua organisasi dan komunitas Tionghoa di masa 1960an yang punya aspirasi politik, oleh Soeharto diidentikkan dekat PKI, tak terkecuali Chung Hwa Hui. Lolos dari penjara Pasuruan, Ping melarikan diri ke China. Namun ia hanya bertahan 10 tahun di negeri itu. Pada 1976, ia pindah ke Hongkong dan menetap.

Di sini pula ia membangun bisnis keluarga. Di sela-sela kesibukannya sebagai usahawan, bersama Chan, ia mendirikan HKSIS. Ia menjabat sekretaris jenderal, sedangkan Chan menjadi ketua.

Menurut penuturan Chan, HKSIS dibentuk pasca kerusuhan Mei 1998 meledak di Jakarta.

"Kami gelisah karena hampir  semua komentar kaum Tionghoa di perantauan menuding bahwa kerusuhan itu menjadi bukti penguat Indonesia adalah bangsa yang barbar, bangsa yang selalu memiliki sentimen negatif terhadap etnis Tionghoa," ujar Chan.

Tujuh orang, termasuk Chan dan Ping, kemudian memutuskan membentuk HKSIS guna menjawab komentar itu.

Bagi Chan dan kawan-kawannya, apa yang terjadi di Indonesia, tak semata masalah sentimen anti-Tionghoa, tapi lebih dari itu. Masalah utamanya adalah sistem yang tak adil dan jurang yang membentang terlalu dalam antara kelompok kaya dan miskin.

Dengan biaya patungan, mereka kemudian menerbitkan majalah Indonesia Focus, terbit tiga bulan sekali dan dibagikan di kalangan terbatas. Beberapa eksemplar juga dikirim ke sejumlah kota besar di Indonesia, termasuk Yogyakarta dan Jakarta.

Sebuah ruang kecil di gudang perusahaan Ping di kawasan Kowloon Bay, dijadikan markas HKSIS. Sesekali, mereka melakukan pertemuan di sini, sekadar bercakap-cakap tentang situasi politik di Indonesia atau perkembangan di Tiongkok. Di sini pula mereka  menerima tamu-tamu yang datang.

Menjelang Pemilu 1999, kelompok ini—bekerja sama dengan sebuah komunitas buruh Indonesia—berinisiatif mengundang Amien Rais yang menjabat ketua Partai Amanat Nasional (PAN). Saat itu Amien ditahbiskan oleh sekelompok mahasiswa di Indonesia sebagai "Bapak Reformasi" setelah Soeharto lengser dari kekuasaan.

Selain Amien Rais, sejumlah tokoh yang pernah diundang HKSIS antara lain Nurcholish Madjid dan Pramoedya Ananta Toer.

Menurut Chan, HKSIS tak melulu berisi orang-orang yang punya latar belakang politik. Namun, ia  tak memungkiri bahwa memang orang yang peduli dengan proses politik di Indonesia yang bergabung dalam komunitas ini. Tak heran jika milis yang mereka bangun penuh perdebatan seputar politik.

Pada tahun 2005, milis ini dibikin heboh oleh Thio Keng Bouw. Ia tiba-tiba melontarkan pendapat bahwa G30S/1965 adalah kesalahan PKI. Ia menyebut  sikap avonturir Dipa Nusantara Aidit atau populer dengan sebutan DN Aidit, pemimpin PKI, menjadi penyebab jatuhnya begitu banyak korban jiwa pascaperistiwa tersebut. Soeharto, menurut Keng Bouw, sama sekali tak bisa disalahkan atas peristiwa ini.

“Dalam peperangan, dalam revolusi dan kontra revolusi, tidak mungkin terhindar korban manusia berjatuhan,” demikian ia menulis.

Bagi Keng Bouw, tragedi 1965 adalah perang antara kubu komunisme dan nonkomunisme. Menurutnya, tindakan yang dilakukan Angkatan Darat pascaperistiwa tersebut adalah sah dilakukan. Jika tidak, maka PKI yang justru mengambil alih kekuasaaan dan bukan tak mungkin melakukan tindak biadab tersebut.

Ia berpendapat kekejaman tahun 1965 sampai 1966 di Indonesia masih lebih ringan jika dibandingkan dengan kekejaman yang terjadi di Tiongkok, Rusia, Vietnam, Korea Utara dan  Kamboja. Menurut Keng Bouw, rezim Komunis jauh lebih kejam dibanding rezim Orde Baru.

Tak ayal lagi, kata-kata Keng Bouw ini menyebabkan polemik tak berkesudahan di milis HKSIS. Tak hanya itu, Keng Bouw juga menyebut-nyebut penahanan pemimpin Baperki, Siaw Giok Tjhan, selama 10 tahun dapat dipahami!

Tak hanya Chan, yang berkomentar atas pendapat Keng Bouw. Tapi juga Siaw Tiong Djin, saudara kandung Chan, ikut bereaksi. Menurut Keng Bouw sendiri, beberapa nama lain yang kemudian ikut mengecam pendapatnya adalah Asahan Aidit, adik kandung DN Aidit, dan JJ Kusni, yang pernah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat.

Menurut Keng Bouw, bahkan ada yang menuduhnya “anjing Soeharto”.

Orang-orang tersebut merasa tulisan Keng Bouw telah menikam mereka. Hal ini dituturkan Keng Bouw kepada saya, di lantai dua warung yang terletak di ruas jalan Hennesey Road, Causeway Bay. Hari itu, kalender di dinding menunjuk bulan Mei 2007.

Keng Bouw berkisah, sejak itu hubungannya dengan kawan-kawannya meregang. Ia juga tak diberi akses untuk masuk ke milis HKSIS lagi.

Namun Keng Bouw pantang menyerah. Ia mengaku punya “anak didik” untuk melanjutkan diskusinya di milis  HKSIS. Keduanya bernama Budi Sentosa dan Maria Harsono.

Nama Budi Sentosa muncul setelah Keng Bouw terkena blacklist. Pendapat yang ia lontarkan tak jauh beda dengan Keng Bouw.

Para anggota milis mulai curiga bahwa Budi Sentosa dan Keng Bouw adalah orang yang sama. Budi Sentosa pun mengalami nasib serupa dengan Keng Bouw: ia dicoret dari keanggotaan milis. Menariknya, setelah itu muncul Maria Harsono. Ia kembali mengulang pendapat kontroversial Keng Bouw dan Budi tentang peristiwa G30S/1965. Sesekali, ia meneruskan tulisan yang seolah dikirim oleh Budi Sentosa dan Keng Bouw ke milis HKSIS.

Gara-gara hal ini, Maria Harsono pun dapat peringatan dari moderator milis. Namun Maria tak peduli. Pada 22 April 2007, moderator milis HKSIS memutuskan untuk mencabut hak Maria untuk mengirim tulisan ke milis.

Pasca Maria, ada nama baru yang menyatakan niat untuk bergabung dengan milis HKSIS. Ia ditolak setelah menyertakan alasannya, yaitu ingin melanjutkan polemik yang pernah dirintis Maria, tapi dengan cara yang lebih santun. Kontan nama ini tak diloloskan moderator. HKSIS tak mau kecolongan lagi.

Uniknya, Asahan Aidit yang pernah berseteru hebat dengan Keng Bouw, justru meminta HKSIS untuk menimbang ulang keputusan mencabut hak pengiriman tulisan Budi Sentosa dan Maria Harsono.

Asahan tampaknya tengah sentimentil. Saat ia mengalami kesulitan finansial di Belanda, negeri perantauannya, Keng Bouw menawarkan bantuan. Jelas bukan angka bantuan yang mengusik Asahan, tapi solidaritas yang ditawarkan. Sentimentalitas ini agaknya yang membuat Asahan menulis usul pada Chan agar mencabut blacklist  Budi Sentosa dan Maria Harsono.

Usul Asahan tak bersambut. Moderator HKSIS tetap pada keputusan awal untuk melarang Budi Sentosa dan Maria Harsono, juga Thio Keng Bouw, kembali masuk arena milis.  Tulisan ketiganya yang sebenarnya adalah orang yang sama dianggap bukan tulisan bermutu untuk didiskusikan di milis HKSIS.  Itulah alasan moderator.

“Baik TKB maupun BS dan MH tidak segan-segan menghujat, mencaci maki pribadi-pribadi yang dianggapnya masih tetap ‘membela’ PKI dan Soekarno, juga tidak segan-segan memfitnah HKSIS sebagai trompet PKI. Fitnah yang tidak bisa diterima segenap pengurus HKSIS,” demikian tulis Chan sebagai moderator HKSIS, menjawab usul Asahan.

“Saya memang salah sejak awal. Saya sebenarnya sudah diperingatkan untuk tak bermain di halaman rumah orang yang jelas-jelas pendukung PKI, tapi saya nekad,” ungkap Keng Bouw, sambil menyantap lontong cap go meh di warung langganannya.

Namun benarkah HKSIS atau Chan yang selama ini menjadi penjaga gerbang milis HKSIS memberi dukungan sepenuhnya pada PKI? Benarkah komunisme menjadi ideologi yang sepenuhnya mereka percayai?

Dalam sebuah pertemuan berbeda, di tempat berbeda, di kawasan Tin Hau, Chan bicara tentang keyakinannya.

Ia tak lagi percaya narasi besar, baik yang bernama komunisme maupun kapitalisme. Ia bahkan tak yakin bahwa sebuah perubahan hanya bisa dicapai lewat perjuangan kelas yang dipercayai oleh para penganut Marxisme.

“Yang Ping itu memangnya berasal dari kelas mana?” ujarnya, menyebut nama kawan yang bersamanya mendirikan HKSIS.

Dengan perusahaan ekspor-impor yang dibangun bersama anggota keluarganya, Ping sama sekali tak bisa dikategorikan sebagai kelas proletar yang diramalkan Marx akan menjadi pelopor perubahan menuju tatanan masyarakat yang lebih baik.

Namun Ping justru menjadi pelopor kepedulian kelompok orang Tionghoa asal di daratan untuk tak abai terhadap proses politik di .

Setelah bertahun-tahun, Chan sampai pada kesimpulan bahwa kapitalisme dan komunisme tidak lagi berada pada dua titik yang berhadapan. Ada titik temu di antara keduanya dan Chan menyebut perkembangan China saat ini. “Lihat Tiongkok saat ini. Keberaniannya menggunakan sistem ekonomi kapitalis membuatnya berkembang, meski secara politik tetap menganut sistem sosialis,” ujarnya.

Ini juga yang membuatnya tak terlalu suka dengan kampanye gencar kelompok kelas menengah di Hong Kong yang meminta ruang demokrasi lebih lebar dengan memberi kebebasan warga untuk memilih pemimpinnya secara langsung.

Demokrasi, menurutnya, tak baik kalau dibuka mendadak. Ini hanya akan membuat Hong Kong bergerak dalam arus liberal yang jusru akan membuat jurang lebar antara kaum kaya dan miskin. Bagi Chan, dunia membutuhkan sesuatu yang tak tunggal, tapi sebuah kompromi.

AKHIR Juni 2007 lalu, sebuah email diterima Chan Chung Tak, berisi permintaan Thio Keng Bouw untuk menyebarluaskan informasi tentang konser musik komputernya yang akan ia gelar dalam peringatan hari kemerdekaan RI ke-62.

Bertempat di Mirador Mansion 54, Tsim Sha Tsui, konser tersebut berisi permainan musik yang akan dibawakan Keng Bouw dengan sejumlah penyanyi tamu. Tak ada ongkos yang diminta untuk hadir di tempat yang hanya berkapasitas 70 orang itu. Namun Keng Bouw ingin agar informasi tersebut disebarluaskan di milis HKSIS.

Chan tak menolak permintaan itu. Bagaimanapun Keng Bouw adalah kawan yang ia kenal dekat. Padahal pada saat yang sama, sepanjang bulan Juni 2007, Keng Bouw kembali menabuh genderang perang dengan Chan bersaudara. Kali ini, ia melontarkan pendapat kontroversial soal Siauw Giok Tjhan. Medan pertempuran yang diambil tak lagi milis HKSIS yang tak bisa ia masuki, tapi berpindah ke Tionghoa-net, sebuah milis komunitas yang tak terlalu besar.

Sebenarnya perseteruan mereka berawal dari diskusi Chan dengan seseorang yang menyebut namanya Thongshampah. Thong mempersoalkan kekecewaannya bahwa sebagian komunitas Tionghoa yang menyatakan mengagumi Siaw Giok Tjhan menyebut Giok Tjhan sebagai “orang kiri”. Padahal, menurut Thong, Giok Tjhan harusnya menjadi milik semua komunitas Tionghoa dan kalau perlu diangkat menjadi “Bapak Tionghoa .”

Pada prinsipnya, Chan setuju dengan usul ini. Namun, Keng Bouw muncul dan mengusulkan agar pentahbisan Giow Tjhan sebagai “Bapak Tionghoa ” diusulkan oleh golongan kanan dan bukan oleh simpatisan Giow Tjhan atau anaknya sendiri. Meskipun begitu Keng Bouw mengakui bahwa Giow Tjhan adalah tokoh sejarah dan telah meluangkan waktu untuk menghitung tulisan di Google yang memunculkan nama Giow Tjhan. Ada 1190 tulisan yang mencantumkan nama Giow Tjhan dalam pencariannya di situs Google.

Perdebatan pun memanas, hingga Thongshampah yang mengaku sebagai “penyambung lidah” generasi muda Tionghoa di Indonesia memutuskan mencabut usulnya.

Namun, Chan justru bertahan. Ia justru memperluas diskusi tersebut dengan mengusulkan agar pemerintah segera menghapus Tap MPRS No.25 tahun 1966 tentang Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme serta PKI. Selain itu, ia juga mendesak penghapusan Tap MPRS No.33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno yang di dalamnya juga mengaitkan keterlibatan Soekarno dalam peristiwa G30S/1965.

Sebuah usulan yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Keng Bouw. Ia bahkan kemudian mengirim ke milis HKSIS diskusi via email antara Siaw Tong Djin, saudara kandung Chan, dengan seseorang yang mengaku bernama Bambang Hutagalung. Dalam diskusi yang terjadi tahun 2005 ini, Bambang Hutagalung menuding keterkaitan erat Baperki–badan yang dipimpin Giok Tjhan—dengan PKI. Sehingga wajar jika beberapa kalangan menganggap Giok Tjhan lebih layak disebut Tionghoa penganut kiri.

Berdasarkan diskusi ini, Keng Bouw menyatakan pendapat bahwa ia berada dalam posisi Tong Djin yang menganggap Baperki terseret karena keputusannya untuk berada di sisi Soekarno, bukan dengan kesadaran penuh untuk berada di bawah PKI.

Nah, pernyataan persetujuan Keng Bouw terhadap pendapat Tong Djin inilah yang justru membuat Chan meradang. Pasalnya, ia mengetahui persis bahwa Bambang Hutagalung dan Keng Bouw adalah orang yang sama.

“AKHIRNYA berhasil juga saya bikin MCD Genjer-Genjer, setelah softwarenya diganti dengan yg baru, yang lama entah kenapa sudah ngadat, terus menerus sampai tujuh kali gagal. Siang ini saya akan ke Ji Nan Univerdisity Clubhouse, Tsim Sha Tsui. Apa bisa ketemu di MTR station untuk ambil Music CD itu?”

Pesan itu dikirim melalui email oleh Keng Bouw. Tak hanya ditujukan pada saya, tapi juga pada moderator milis HKSIS yang akhir-akhir ini rajin ia jadikan seteru.

Keng Bouw berinisiatif membuat CD itu setelah perjumpaan pertama kami di Mirador Mansion. Saat itu, kami bercakap-cakap soal G30S/1965 setelah pertunjukan musiknya usai. Ia menjadi antusias. Hingga aktivitas merapikan perlengkapan musik yang masih terserak, dari gitar hingga kabel microphone, ia hentikan begitu saja.

Ia kemudian duduk kembali di belakang keyboard piano. Ia mempertunjukkan keahlian yang ia pelajari sejak duduk di bangku sekolah menengah atas, yang kemudian membuatnya dipercaya memimpin Ansambel Tari dan Nyanyi PPI antara tahun 1957 sampai 1959 di Bandung.

Di atas keyboard, jemarinya memainkan nada sebuah lagu lama. Seorang perempuan yang telah merantau selama 14 tahun di Hongkong sebagai pembantu rumah tangga dan berdiri di samping saya, langsung terlonjak kaget. “Itu lagu Genjer-Genjer!” serunya. Keng Bouw mengangguk dan meneruskan permainannya.

Dalam ingatan Keng Bouw, Ansambel Gentasuri dari Surabaya adalah Ansambel pertama yang mempopulerkan lagu dan tarian Genjer-Genjer. Namun Ansambel yang kerap menjadi kesayangan Bung Karno dan kerap dipanggil ke Istana Negara, adalah Ansambel Maju Tak Gentar dari Medan. Pemimpinnya juga seorang etnis Tionghoa yang Keng Bouw mengingatnya dengan nama panggilan Udin.

Ketika saya masih terhanyut menyimak senandung masa lalu itu, mendadak pintu terbuka. Tiga perempuan Tionghoa masuk. Keng Bouw langsung menghentikan permainannya.

“Nah, itu jagoan tarinya dulu,” ujarnya sambil menunjuk salah satu dari tiga perempuan tersebut.

Keng Bouw akrab memanggilnya Acun. Tapi di kalangan perempuan yang berlatih tari di aula KJRI itu, ia dikenal dengan nama Suryanti.

Di tahun 1965, Suryanti adalah perempuan yang energik dan salah satu penari terkemuka di kelompok PPI Jakarta. Menjelang peringatan 17 Agustus di tahun 1965, Suryanti diberi tanggung jawab untuk melatih ratusan orang membawakan tarian Genjer-Genjer dan Tanduk Majeng yang akan ditampilkan dalam karnaval hari kemerdekaan.

“Waktu itu, ratusan orang berdiri di depan Istana, menarikan Genjer-Genjer dan Tanduk Majeng. Itu dia yang melatihnya,” ujar Keng Bouw, sambil mengenalkan saya kepada Suryanti.

Sayang, Suryanti tak banyak bicara. Ia pendiam dan hanya menjawab pertanyaan pendek-pendek. Seorang buruh asal yang pernah berlatih tari dengannya, mengenang Suryanti sebagai guru yang sangat disiplin dan terkadang galak.

Setiap Minggu, berbagi tempat dengan pertunjukan musik yang digelar Keng Bouw, Suryanti berlatih tari secara rutin bersama kawan-kawannya. Ia membuka kursus bagi siapa saja yang tertarik untuk mempelajari tari tradisional . Ia dikenal sebagai guru tari yang profesional.

Sedikit yang tahu bahwa Suryanti pernah menjadi guru tari Genjer-Genjer, sebuah tarian yang haram dipertunjukkan di saat rezim Soeharto berkuasa dan diidentikkan dengan PKI.

Namun di akhir tahun 1980an, Suryanti mendadak punya ide untuk menampilkan tarian ini di depan publik Indonesia di Hong Kong. Tentu saja ia tak terus terang menyebut judul tariannya. Ia mengganti nama tarian tersebut dengan tari Petik Sayur. Keng Bouw dipilih untuk mengiringi tariannya dengan permainan piano. Tapi tentu saja, tak ada syair yang didendangkan.

Saat itu, tak satu pun penonton yang berpikir bahwa lenggok penari di atas pangung dan nada musik yang terdengar adalah Genjer-Genjer.  Kebanyakan dari mereka adalah generasi muda. Tetapi, kalaupun ada generasi tua yang tahu tarian dan lagu tersebut, barangkali mereka memilih menyimpannya untuk diri sendiri. Lagu dan tarian itu terlalu bagus untuk dihilangkan.

“Lagu itu kan nggak punya salah,” ujar Keng Bouw.

Ini pula yang kemudian mendorongnya merekam ulang lagu Genjer-Genjer dalam cakram digital.

Saya mengambil keping rekaman itu di Niki Eco, warung makan milik seorang pengusaha Tionghoa asal yang terletak di kawasan Causeway Bay.

Ada 12 lagu dalam satu keping cakram berwarna kuning yang di atasnya tercantum tulisan tangan Keng Bouw dengan spidol hitam: “Genjer-genjer”. Selain Genjer-Genjer, ada lagu Rayuan Pulau Kelapa, Bengawan Solo dengan irama country, 12 November, Bendera Merah dan Darah Rakyat. Tiga lagu terakhir itu, ditambah Genjer-Genjer, menurut Keng Bouw adalah lagu nostalgia perjuangan PKI yang belum seorang pun merekamnya ke dalam CD.

“Merupakan dokumentasi sejarah yang berharga untuk disimpan (jadi barang antik kelaknya),” tulisnya kepada saya dan Chan.

Namun di Indonesia, Genjer-Genjer tak lagi setabu dulu. Generasi muda men-download versi rekaman awal yang dinyanyikan Bing Slamet dan Lilis Karlina melalui Internet. Mereka juga mulai rajin mencari jawab  tentang masa lalu. PKI tak lagi sepenuhnya menjadi momok.

Gerakan yang menggugat sistem yang tak adil dan mencari sistem alternatif yang lebih baik masih menggeliat. Tetapi siapa yang bisa memastikan arah perubahan?

Di Hong Kong, Chan masih  pesimis dengan gerakan demokratik di . Sementara Keng Bouw merasa bahwa hanya generasi bodoh yang mengikuti jejak PKI.

Saat debat antarmereka kembali muncul di milis, di Indonesia, proses politik terus berlangsung dan masa lalu hanya akan menjadi sebuah peringatan.***

*) Fransisca Ria Susanti adalah kontributor sindikasi Pantau di Hongkong

kembali keatas

by:Fransisca Ria Susanti