KEBUN itu rimbun oleh pohon kopi. Sisa-sisa embun pagi masih nempel di buahnya yang hijau. Di kanan kiri, semak-belukar merambat ke arah pohon-pohon yang sudah lapuk.

“Saya belum setahun merawatnya. Tak punya dana,” kata Junaidi.

“Pernah ajukan (permintaan) bantuan?” tanya saya.

“Sudah sering. Katanya ada bantuan untuk korban konflik. Lalu bikin proposal dengan teman-teman. Tapi mana? Padahal kami habis uang untuk bikin proposal dan pergi ke kota.” Suara Junaidi meninggi. Mulutnya tiada henti mengepulkan asap rokok.

Bantuan untuk korban konflik merupakan salah satu isi Kesepakatan Damai Helsinki yang ditandatangani pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dua tahun lalu. Dana itu dikelola Badan Reintegrasi Aceh Damai. Pemerintah Indonesia menyediakan dana Rp 700 miliar untuk tahun 2007. Seperti dikutip situs www.acehkita.net, badan tersebut terpaksa menghentikan penyaluran bantuan tahun ini karena adanya penyelewengan dana dan pendataan penerima bantuan yang kacau.

Suara Junaidi terdengar putus asa. “Saya tidak percaya lagi dengan Indonesia . Cuma janji. Janji. Dan janji.”

Untuk bertahan hidup, Junaidi bergantung pada sisa tanaman kopi, “Setiap hari saya kutip pohon yang ada buahnya. Kumpul-kumpul, paling dapat tak sampai dua juta setahun.”

"Zaman konflik, warga tidak berani pergi ke kebun. Takut dituduh anggota GAM. Akibatnya kebun kopi tidak terurus. Buah kopi menjadi busuk,” katanya, lagi.

Militer punya kesimpulan begini: GAM bergerilya lewat hutan dan kebun. Untuk membedakan anggota GAM dari yang bukan GAM, maka penduduk dilarang berkebun. Saban waktu, militer selalu awas terhadap kegiatan yang ada di hutan dan kebun.

Sabtu pagi itu, kami berbincang di gubuk di tengah kebun. Junaidi baru kelar mencabut semak. Sebuah kantong berisi buah kopi tergantung di pundak. Sekujur tubuhnya belepotan tanah.

“Sudah banyak lembaga HAM (hak asasi manusia) datang ke tempat kami. Saya hanya ditanya. Ditanya saja. Tapi bantuan tidak ada,” kisah Junaidi.

Tanda kekerasan yang didapatnya di masa konflik dulu tak bakal hilang. Telinga kirinya bengkok. Mata kirinya buta.

“Dihantam BKO,” katanya.

Penduduk menyebut militer yang datang dari luar Aceh dengan BKO atau Badan Komando Operasi.

“Waktu konflik saya menolak dipaksa BKO dan milisi mengutip kebun kopi milik orang Aceh yang sudah pigi. Itu kan mencuri,” kata Junaidi.

Junaidi berusia 37 tahun. Tetangganya memanggil Junai. Ia tinggal di Reremal, sebuah kampung terpencil di dataran tinggi Aceh Tengah. Jumlah penduduk di kampung itu 415 jiwa. Mayoritas orang Gayo. Dua belas orang tetangga Junaidi meninggalkan kampung karena disangka pengikut GAM. Rumah mereka ludes dibakar. Junaidi menyebut mereka, “orang Aceh.”

Wilayah ini terkenal dengan hawa dinginnya. Di sini, di siang haripun orang-orang masih mengenakan pakaian tebal. Jalanan berbatu. Lengang. Perempuan memilih berdiam di rumah, sementara lelaki menghabiskan waktu di kebun kopi. Mereka masih curiga bila orang asing datang.

“Kalau tidak kenal dengan Bang Ronny, saya tidak berani ketemu Abang. Masih trauma,” kata Junaidi kepada saya.

Ronny yang dimaksud Junaidi adalah Ronny Arigha, pemandu jalan saya. Ia relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan (Kontras) Aceh Tengah. Mulai 2006, Ronny kerap keluar masuk kampung menemui korban konflik.

AWAL 2004. Minggu pagi itu Junaidi sedang bermalas-malas di rumahnya. Sebuah pengumuman datang. Warga harus berkumpul di meunasah (masjid). Ia pun berangkat. Di situ para tetangganya sudah berkumpul.

“Hari ini kita gotong-royong mengutip kopi di kebun milik orang Aceh di dusun satu,” kata seorang lelaki yang berdiri di depan.

Ruangan jadi riuh. Junaidi menyela dengan nada tinggi, “Alasannya apa? Itu kan mencuri.” Junaidi bangkit dari duduknya dan memilih keluar dari masjid.

Hanya dia yang berani menolak. Yang lain, takut.

Tidak lama setelah pertemuan itu, Junaidi dipanggil ke rumah Mawardi Halil, lelaki yang memberi pengumuman di masjid tadi. Di sana sudah ada dua orang tentara berbaju loreng bersenjata lengkap.

“Kalau kamu tetap menolak pergi mengutip kopi, kamu tanggung resikonya,” kata Mawardi kepada Junaidi.

“Saya tidak mau kecuali yang punya kebun suruh.”

Seorang tentara menyergah, “Kamu pembangkang ya. Kamu pendukung GAM ya. Kamu harus tetap ke kebun kopi.”

“Pemilik kebun kopi sudah pergi dari kampung ini. Ia berarti salah,” lanjut tentara itu dengan nada tinggi.

Melihat gelagat tentara tersebut, Mawardi mencoba membujuk Junaidi. “Kasihan BKO ini. Dia kan orang rantau membela kita. Ya, hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih. Sebagai uang rokok. Kebun itu kan ditinggal pemiliknya. Daripada mubazir.”

Saat memetik kopi akhirnya tiba. Sekitar 70 orang lelaki dikumpulkan di pinggir jalan menuju kebun kopi. Seorang di antara mereka mengabsen temannya satu per satu. Ia memanggul senjata api.

“Polan.”

“Sidi.”

“Junai.”

Setelah namanya disebut, Junaidi bersikeras tidak mau ke kebun. Rupanya hatinya tetap berontak. Ia meminta pekerjaan lain asal bukan memetik kopi.

“Ndak usahlah saya ngutip. Lebih baik ngurus air paralon yang sumbat di sana. Dua orang saja ke sana,” katanya.

Baru beberapa meter kakinya melangkah, seorang tentara berseru, “Mau kemana kamu? Kamu membangkang tadi.”

“Tidak, Pak. Tugasnya saya memang mengurus air. Karena terpaksa kemari, ya, saya kemari,” kata Junaidi, sambil terus melangkah.

“Membangkang kamu! Kamu GAM!” bentak tentara itu.

Dan…buugghh…Tangan tentara itu mendarat di muka Junaidi. Tubuhnya terhempas di tanah. Tentara lain datang dan menyepaknya. Junaidi terkulai lemah. Muhamad Dahlan, familinya, membantu mengangkat tubuhnya. Keduanya lalu menyusul yang lain ke kebun kopi.

Di kebun itu, penduduk memetik kopi dengan pengawasan ketat dua orang tentara. Setelah setengah hari, buah kopi sudah terkumpul dalam karung-karung. Seorang penduduk bersenjata yang berdiri dekat tentara itu sesekali turut membentak, “Lambat kamu, binatang!” Ia menembakkan senjatanya ke udara.

Tiba-tiba Junaidi merasa tubuhnya lunglai. “Saya tidak kuat lagi,” katanya kepada Dahlan.

Dahlan menghampiri tentara itu, “Pak, bisakah Pak Cik saya ini permisi untuk pulang. Dia mau jatuh. Tadi terlalu keras Bapak pukul. Kalau tidak bisa, bisa mati di sini.”

Kegiatan memetik kopi berlangsung dua minggu sekali. Biasanya di hari Minggu. Kopi yang sudah dipetik dijual kepada penadah yang disebut toke. Mereka datang dengan truk.

BADAN Mawardi Halil tegap bak tentara. Kumisnya lebat. Rambutnya sudah menipis dan hampir botak. Usianya sekitar 40 tahun. Sejak 2005 ia menjadi kepala kampung Reremal.

Nada bicaranya sangat hati-hati. Setiap saya bertanya, jawabannya selalu diawali, “Jadi begini ya, Pak.” Atau, “Sebenarnya begini, Pak. Biar tidak salah, ya.”

Saya menemui Mawardi di rumahnya yang merangkap kantor. Di salah satu tembok tergantung foto dirinya berseragam militer bersama tujuh orang. Ada tiga kalender bertuliskan “SATGAS BABINSA TEMPUR 2004-2005” di situ. Semuanya bergambar tentara.

Saat darurat militer, Mawardi menghimpun 24 orang penduduk kampungnya menjadi anggota front Pembela Tanah Air atau disingkat Peta. Sebagai ketua front, dia membagi tugas jaga malam. Setiap orang asing yang datang dicurigai.

“Dulu GAM tidak pernah kami temukan berbuat onar di kampung ini,” katanya, bangga.

“Saya sering dapat undangan berkumpul ke kota dari Mayjen Supiadin AS. Beliau memberi ceramah tujuan pembentukan front adalah membela persatuan dan kesatuan ,” katanya.

Mayor Jenderal Supiadin Yusuf Adi Saputra adalah panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda sekaligus penguasa darurat militer di Aceh masa konflik.

Tiba-tiba saya teringat kecurigaan para aktivis HAM bahwa militer memobilisasi rakyat sipil dalam setiap operasi melawan gerilyawan GAM. Cerita Mawardi menjadi salah satu bukti.

Laporan Monitoring Aceh yang ditulis lembaga HAM Imparsial pada tahun 2005, menyebut dataran tinggi Gayo macam Aceh Tengah dan Bener Meriah menjadi basis konsentrasi terbesar rakyat sipil bersenjata. Jumlahnya ribuan. Namun pemerintah menolak mengakuinya. Kelompok ini bahkan mendapat alokasi dana reintegrasi. Mereka ingin dikategorikan sebagai korban konflik.

“Jadi begini ya, Pak. Tidak benar kami punya senjata api. Cuma senjata tajam dan pentungan saja,” kilah Mawardi.

“Mengapa tertarik masuk front?” tanya saya.

“Untuk membela diri. Namanya konflik kan kita tidak tahu siapa kawan siapa lawan,” jawabnya.

Sekarang Mawardi punya dua kesibukan, yakni mengurus bantuan untuk warga korban konflik dan anggota front. Kepalanya pusing karena bantuan tak kunjung cair.

“Saya juga harus mengurus bantuan pembangunan tiga rumah orang Aceh yang terbakar,” kata Mawardi.

Tapi, belum lagi saya sempat bertanya, Mawardi sontak menukas, “Bukan kami yang membakar.”

Lantas siapa? Militer ? Pasukan GAM?

“Sudahlah, Pak. Itu masa lalu. Kami juga tidak mau ungkit-ungkit,” tukasnya.

“SEKARANG kami malu dengan orang Aceh,” kata Junaidi, pelan. Badannya tak lagi belepotan tanah. Ia sudah mandi dan mengenakan setelan kaos oblong dan kain sarung.

“Kalau ketemu teman itu kadang ada rasa segan bertegur sapa.” Ia jadi tak enak pada pemilik kebun. Ia teringat kembali pada peristiwa memanen kebun kopi itu. Meski dipaksa tentara, tapi praktiknya orang-orang kampunglah yang melakukannya dan Junaidi merasa bersalah.

Obrolan kami berlangsung di teras rumah Junaidi. Ia menyuguhi saya secangkir kopi manis. Ikut bergabung dengan kami, Muhamad Dahlan dan tetangganya, Abdul Salam. Mereka karib dan punya kesamaan, tidak bergabung menjadi anggota front.

Waktu ajakan untuk masuk front sedang ramai-ramainya, Junaidi dan Dahlan menolak ikut.

“Mereka membujuk, ‘kalau masuk front, tak ubahnya pejuang zaman Belanda dulu. Nanti kalau sudah damai statusnya seperti veteran, akan dapat dana’,” kisah Dahlan.

“Saya tidak ditawari karena orang asing di kampung Reremal. Katanya, saya masih diragukan apa (anggota) GAM atau bukan,” kata Abdul Salam. Lelaki berusia 65 tahun ini berasal dari Aceh Tenggara, yang sering disebut sebagai orang Alas.

Nasib Salam beruntung. Rumahnya tidak ikut dibakar saat konflik. Lain dengan tetangganya yang orang Aceh, seperti Samin, Ismail Yusuf, dan Muhammad.

“Meski sudah damai, mereka belum kembali. Mungkin trauma,” kata Salam, sambil menghela nafas.

Sejenak ruangan hening.

“Kalau ingat bagaimana milisi itu memperlakukan kami dulu, rasanya mau kami balas mereka,” ujar Dahlan. Mukanya tiba-tiba tegang.

Junaidi, Dahlan, dan Salam menyebut front dengan milisi.

“Milisi hanya bikin susah. Padahal temen sendiri. Sekarang saya malah lebih simpati pada GAM. Mereka tidak pernah sakiti kampung kami,” kata Junaidi.

Orang Aceh pesisir yang disebut sebagai orang Aceh itu sering diidentikkan dengan GAM dan mereka tidak begitu disukai orang pedalaman Aceh, seperti Gayo dan Alas. Celah ini dimanfaatkan tentara untuk memerangi gerilyawan GAM dan kemudian membentuk front-front berdasarkan etnis. Belakangan sentimen etnis ini digunakan untuk menggelembungkan wacana tentang pemekaran provinsi.

Catatan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Sastra Lisan Gayo (1985), menyebut etnis Gayo adalah penduduk asli yang tinggal di daerah Blangkejeren (kabupaten Gayo Lues), Tangkengon (kabupaten Aceh Tengah), dan Serbejadi (kabupaten Aceh Timur). Masyarakat Aceh merupakan para pendatang dari berbagai kelompok etnis belahan dunia, seperti Arab, Persia, India, China, Jepang, hingga Tamil.

Ronny Arigha yang duduk samping saya setengah berbisik, “Untuk memenangkan perang, bila perlu tentara pakai strategi membenturkan etnis.”

“Ngeri juga,” batin saya. *

*) Hairul Anwar adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

by:Hairul Anwar