HONDA Supercup merah pudar itu bergerak pelan. Sebilah parang tergantung pada tali yang melilit di setang sepeda motor keluaran tahun 80-an itu. Si pengendara adalah lelaki berkulit legam, berkumis lebat. Uban sudah memenuhi kepalanya. Di jok belakang, duduk seorang bocah usia enam tahun. Selepas Ashar kakek dan cucu ini pergi meninggalkan rumah. Sang cucu akan menemani si kakek mencari rumput buat kambing-kambing mereka.

Zakaria, begitu nama lengkap pengendara motor itu, bertahun-tahun didaulat sebagai keuchik atau kepala kampung Teupin Jareng, Idi Rayeuk, Aceh Timur.

Petang itu juga sebagian warga Teupin Jareng sudah mengenakan pakaian terbaik mereka. Sebagian bahkan sudah lebih dulu berkumpul di tanah lapang di muka meunasah.

Sebuah truk yang biasa mengangkut tanah atau pasir sudah terparkir di sana. Monitor televisi yang terbuat dari tripleks menjulang di bak belakang truk. Besar monitor kira-kira 1,5 x 1,5 meter persegi. Di kanan bawah monitor terbaca merek televisi:  Episentrum. Gambar seekor tokek raksasa sejajar dengan merek itu. Lidahnya terjulur.

Puluhan bocah pun sudah tak sabar menunggu tayangan TV Eng Ong. Sehabis dzuhur rencana siaran langsung TV Eng Ong sudah diumumkan lewat pengeras suara meunasah.

Kendati kedatangan awak TV Eng Ong sudah diketahui Zakaria, dia tak berniat menonton aksi mereka. Dia tak mau kambing-kambingnya kelaparan dan sakit. Tapi tak lama kemudian siaran TV Eng Ong dimulai. Zakaria mendengar riuh-rendah dan sorak-sorai penonton dari kejauhan.

Dia penasaran. Dia langsung putar haluan. Lekas-lekas dia menepi, memarkir sepeda motor.

Kakek dan cucu itu segera bergabung dalam kerumunan penonton yang tengah terpingkal-pingkal menyaksikan cerita-cerita Agus Nur Amal alias Agus PM TOH di layar TV Eng Ong.

“Pak Keuchik naik!” teriak seorang penonton, tiba-tiba. Rupanya dia mengetahui kehadiran Zakaria di situ.

“Pak Keuchik naik!” sambut penonton lain.

Agus ikut mendukung permintaan penonton. Dia menghentikan sejenak siarannya, lalu meminta Zakaria naik ke truk.

Zakaria tak kuasa menolak. Seraya menggandeng tangan cucunya, dia naik ke atas truk.  Wajah dan tubuh kakek dan cucu itu langsung muncul di layar televisi istimewa tersebut, layar tanpa kaca. Senyum tersungging di bibir Zakaria. Dia pun mengucap salam pada penonton.

Dia mulai bertutur tentang pengalamannya saat tsunami.

“Bek luloe le tupujoe Tuhan,” kata Zakaria.

Dia meminta penduduk kampung agar jangan lagi melalaikan ibadah kepada Tuhan yang mencipta alam.

Sejurus kemudian, Zakaria sudah bercerita soal perdamaian. Kondisi di kampung jadi lebih baik setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia sepakat damai, katanya. Semasa GAM dan tentara Indonesia adu senjata banyak anak jadi yatim di Teupin Jareng. Kehidupan sangat sulit. Banyak warga tak punya mata pencarian.

“Sejak konflik, generasi muda Teupin Jareng tak lagi mau melaut. Padahal pekerjaan itu telah diturunkan dari zaman ke zaman oleh nenek moyang. Dan bekerja itu adalah bagian dari ibadah, “ katanya, dalam bahasa Aceh.

Penonton tercekat. Mereka terpaku mendengar pemimpin mereka bicara. Kenangan, kepedihan, harapan, dan juga kegembiraan mereka bangkit oleh kisah sang keuchik.

Zakaria sendiri sampai lupa pada niatnya semula, yakni mencari rumput buat kambing. Dia terus berhikayat. Hampir satu jam.

“Baro nyoe lon meuteumee peugah haba dikeu masyarakat lon (Baru kali ini saya dapat berbicara di depan masyarakat saya),” ucap lelaki tua itu sebelum undur diri dari layar TV Eng Ong.

Warga bertepuk tangan. Riuh. Tak sedikit yang terharu. 

Hiburan dan tawa memang barang mewah bagi warga Teupin Jareng. Terlebih ketika pemerintah di Jawa memberlakukan keadaan darurat di Tanah Rencong ini dan para serdadunya menggelar operasi ke kampung-kampung.

Kedatangan TV Eng Ong membuat suasana muram di Teupin Jareng mendadak hilang. Orang larut dalam bahagia yang tak pernah didapat dalam perang puluhan tahun. Duka-cita akibat tsunami yang melenyapkan harta benda serta keluarga perlahan bertukar jadi semangat hidup.

JANUARI 2005. Seluruh media cetak, stasiun televisi, dan radio menyiarkan berita tsunami di Aceh. Mayat-mayat bergelimpangan. Rumah, toko, jembatan, pelabuhan rata tanah. Banda Aceh, Meulaboh, Calang… jadi kota mati.

Sekitar 150 ribu warga meninggal dunia. Puluhan ribu orang mengungsi. Orang-orang di luar Aceh, bahkan di seluruh dunia, tak bisa membendung rasa sedih dan simpati mereka.

Agus Nur Amal punya sanak-saudara di Pulau Weh yang juga tak luput dari bencana, tapi untungnya mereka semua selamat. Namun, Agus kurang sepakat dengan penayangan mayat-mayat serta kehancuran kota-kota di televisi. Dia khawatir anak-anak, terutama, makin trauma.

“Tiga hari pertama bolehlah masih persoalan-persoalan mayat. Tapi selebihnya sudah tidak pantas lagi ditayangkan kepada publik yang luas. Harus ada sudut pandang lain yang menggambarkan peristiwa tsunami yang terjadi itu,” katanya kepada saya, awal Juni lalu.

Agus alumnus jurusan seni peran Institut Kesenian Jakarta tahun 1991. Dia lahir di Sabang, ibu kota Pulau Weh, pada tahun 1969. Anak bungsu dari sepuluh bersaudara. Di kalangan seniman Jakarta dan warga Aceh, Agus lebih populer dengan nama Agus PM TOH. Meski mirip nama perusahaan angkutan lintas Sumatera, dia mengaku tambahan nama PM TOH itu terilhami seorang penyair dan penghikayat bernama Tengku Adenan PM TOH. Dia tak lain tokoh seni tutur Aceh yang amat sohor dan kerap tampil di TVRI Banda Aceh. Agus jadi salah satu penggemar sekaligus muridnya.

Beberapa hari setelah tsunami, wajah Agus kerap muncul dalam tayangan iklan layanan masyarakat di televisi. Agus bermonolog tentang tsunami dengan atribut sederhana seperti topi, kain, atau gayung. Iklan itu hasil kerja sama dengan sutradara Garin Nugroho.

Tak merasa cukup dengan bersimpati dari jauh, suatu hari Agus langsung terbang ke Aceh. Namun dia tak memilih jadi relawan yang mengevakuasi mayat yang mengapung di sungai atau yang tergeletak di bawah reruntuhan bangunan. Dia juga tak ikut membagikan bantuan logistik kepada korban yang selamat.

Dia membuat sebuah stasiun televisi! Tapi ini bukan televisi yang umum. Pemancar dan izin siaran tak dibutuhkan. Modalnya, hanya tripleks! Agus membuat sendiri kotak tripleks yang kemudian disebutnya TV Eng Ong.

“Masa-masa tsunami, mana mungkin kita minta bantuan orang lain,” tuturnya.

Siaran pertama TV Eng Ong  berlangsung di Kembang Tanjung, Sigli, Pidie. Daerah itu termasuk rawan saat konflik. Ketika tsunami melanda, sebagian penduduk di kampung-kampung yang terletak di tepi pantai timur Sumatera sempat mengungsi, termasuk warga Kembang Tanjung. Tak lebih dari dua pekan di pengungsian, warga memutuskan kembali  ke kampung mereka. Tapi dengan perasaan was-was. Mereka cemas gelombang laut tiba-tiba datang lagi dan menyapu seisi kampung

Seorang diri Agus merancang program hiburan bagi anak-anak dan warga setempat. Tapi pengisi siaran saban sore itu bukan hanya Agus. Anak-anak kampung, para teungku, dan keuchik juga ambil bagian.

“Pak keuchik di Kembang Tanjung sempat menggelar acara dakwah lewat TV Eng Ong. Tapi dakwahnya jadi hiburan. Penonton terbahak-bahak,” kenang Agus, yang senang memanjat pohon kelapa dan mencari kerang di tepi laut bersama anak-anak kampung.

Melalui TV Eng Ong pula Agus percaya bahwa hiburan itu menyembuhkan. Lelucon dan cerita tepat untuk trauma healing.

“Dalam dua minggu berhasil mengajak lima anak mandi di laut. Awalnya dia orang nggak berani ke laut lagi. Lalu dalam tiga minggu, mulai mandi laut ramai-ramai waktu sore-sore. Orang-orang tua menangis (terharu) menyaksikan anak-anak mereka.” Agus mengenang pengalamannya.

Dari Kembang Tanjung, Agus menuju Banda Aceh. Kali ini TV Eng Ong siaran di Taman Budaya. Di tempat itu pula Agus bertemu sejumlah seniman Aceh yang selamat dari tsunami.

“Kupikir ini mesti dibuat program dan tidak bisa lagi kerja sendirian. Aku juga mengajak kawan-kawan seniman yang lain. Karena bahasa juga menjadi kendala, tiap daerah beda-beda.”

Muda Belia yang lahir dan besar di Aceh Selatan diajak tampil. Pemuda berusia 26 tahun ini khusus menuturkan hikayat Dang Deria maupun hikayat spontan berdasar kejadian aktual di masyarakat.

Dang Deria adalah kisah tentang seorang perantau dari jazirah Arab yang kemudian dianggap menjadi pemimpin karena memiliki sifat-sifat arif. Hikayat ini mengandung banyak pesan moral.

Untuk menguasai sastra lisan klasik itu, Muda menimba ilmu dari seorang guru bernama Zulkifli. Dia tinggal selama setahun di Manggeng, Aceh Selatan, bersama sang guru. Murid Zulkifli cuma dua orang, Muda dan putranya sendiri.

“Tapi karena anak kandungnya lebih banyak main-main ketimbang belajar, maka hikayat-hikayatnya banyak diturunkan kepada saya hingga selesai. Anaknya tidak selesai,” kata Muda.

Kemudian Agus juga merangkul Yusuf Bambang yang lebih dikenal orang Aceh dengan nama Apa Kaoy. Dia fasih berlogat Pidie. Lelaki yang selalu mengenakan topi pet itu membawakan program kuis atau teka-teki di TV Eng Ong, yang populer disebut hiem.

Sebelum bergabung di TV Eng Ong, Apa Kaoy kerap diundang jadi master of ceremony dan penghikayat. Selain itu, dia mengisi acara hiem di radio Megah 95,30 FM. Tiap Sabtu. Selama dua jam. Dia aktif di radio tersebut sejak tahun 2002.

“Hiem ini dulu dilakukan orang-orang di kampung dan sekarang masih dilakukan, tapi hanya orang-orang tua. Sambil ngobrol dan duduk di warung kopi terselip satu-dua hiem. Saling menguji pengetahuan masing-masing dan sambil tertawa,” kata Apa Kaoy.

“Dari mana mendapatkan aneka teka-teki itu?” tanya saya.

“Saya sering keliling Aceh, duduk-duduk di warung kopi dan ngobrol dengan orang-orangtua yang saling bertukar hiem. Dari situ secara tidak langsung saya kumpulkan, dan itu saya catat dan saya kumpulkan selama bertahun-tahun.”

Tim ini menjadi sempurna ketika Agus mengajak Udin Pelor, seniman gaek asal Banda Aceh, untuk bergabung. Dia  diminta mengisi ragam acara.

Udin cukup dikenal sebagian besar warga Aceh. Dia tukang obat keliling dan sering mangkal di Pasar Aceh. Umur lebih setengah abad. Tubuh kurus. Pipi agak kempot. Kini Udin menjabat ketua Asosiasi Penjual Obat Keliling.

Saat tampil di TV Eng Ong, dia selalu mengenakan topi dan rompi koboi.

“Dia all round istilahnya. Tapi utamanya melawak karena dia memang orangnya lucu,” kisah Agus pada saya.

GAYUNG bersambut. Siaran TV Eng-Ong yang semula swadaya dan swadana mulai mendapat uluran dana dari pihak luar. Menjelang tutup tahun 2005, bersama Komunitas Tikar Pandan,  TV Eng Ong mendapat dukungan dari CARE International. CARE adalah singkatan dari Cooperation for Assistance and Relief Everywhere. Ini lembaga bantuan asal Amerika, yang berdiri saat Perang Dunia II.

TV  Eng Ong pun siaran ke barak-barak pengungsi. Mereka menghibur warga Saree, Lampuuk, Mata Ie, Lhok Nga, dan beberapa daerah lain yang tersebar di Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. Mereka tur selama sepuluh hari.

Murthada alias Thodax yang jadi manajer tur menyewa sebuah mobil Kijang biru tua untuk mengangkut perlengkapan televisi, sound system, dan aneka atribut para awak. Sewa mobil plus sopir per hari Rp 300 ribu. Keistimewaan mobil ini adalah tidak bebas mogok!

“Tapi justru anak-anak malah senang bisa bantu dorong pas mogok,” kata Thodax, terkekeh-kekeh. Dia salah seorang anggota Komunitas Tikar Pandan.

Rata-rata, di tiap kampung, TV Eng Ong siaran sekitar dua jam. Di sela siaran utama ada jeda iklan. Laporan serta wawancara langsung di lapangan paling ditunggu dan lucu. Agus akan keluar dari balik layar televisi, membawa mikrofon, dan menuju kerumunan penonton. Salah seorang awak tergopoh-gopoh membawa kamera, merekam wajah orang yang diwawancarai. Close up. Kamera yang digunakan bukan kamera digital, melainkan rangkaian kardus mie instan dan corong minyak tanah dari plastik biru. 

Ilustrasi musik juga ada, kendati hanya menggunakan instrumen alami alias bunyi-bunyian dari mulut! Sound effect seadanya.

“Biarpun sudah siaran dua jam, penonton sering minta lagi,” kata Thodax.

“Hampir di tiap tempat, penonton selalu bilang bahwa pertunjukan kita terlalu singkat. Padahal kita sudah tampil dua jam,” sambung Agus.

“Karena mereka sungguh-sungguh lucu,” kata Melanie Brooks pada saya. Dia tertawa begitu teringat aksi awak TV Eng Ong. Melanie adalah media communication CARE International Indonesia. Beberapa kali dia ikut menyaksikan Agus dan kawan-kawan menghibur anak-anak pengungsi.

“Walau saya tidak mengerti bahasa Aceh, tapi pelan-pelan saya bisa mengerti kelucuan mereka. Anak-anak sangat senang dengan show Agus, dan itu sangat penting untuk membangkitkan kembali semangat mereka,” lanjut perempuan Kanada itu.

Tayangan interaktif memang mengundang tawa penonton. Meski begitu Agus dan kawan-kawan tetap menyelipkan aneka hikayat klasik. Penonton diajak menyimak dan mengapreasiasi kembali  sastra lisan Aceh yang pernah jaya ratusan tahun dan mampu membuat penjajah kocar-kacir  serta angkat kaki dari Tanah Rencong.

ALI Hasjmy mengurai kehebatan sastra lisan Aceh yang dikenal sebagai Hikayat Prang Sabi dalam bukunya Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda. Buku Hasjmy terbit tahun 1977. Di situ penulis yang juga sastrawan itu mengungkapkan bahwa bait-bait prosa mampu menjadi senjata. Bahkan, lebih dahsyat dari meriam atau bedil milik Belanda.

Hikayat ini ternyata punya banyak versi. Tengku Ibrahim Alfian, sejarawan asal Aceh yang belum lama tutup usia, menyebut sumber Hikayat Perang Sabil terdapat dalam Kitab Mukhtasar Muthiri’l Gharam atau Kitab Ringkas yang Menggerakkan Cinta Menyiksa Hati. Kitab itu ditulis Syaikh Ahmad Ibn Musa.

Namun, nama Teungku Cik Pante Kulu lebih populer sebagai penulis hikayat tersebut dibanding yang lain. Anthony Reid mengungkap hal ini dalam bukunya, The Contest for North Sumatra Acheh, the Nederlands and Britain 1858-1898 (1967). Reid adalah sejarawan yang banyak menulis tentang Aceh serta Sumatera.

Hikayat Perang Sabil terdiri dari empat kisah. Kisah Ainul Mardhiyah, Pasukan Gajah, Sa’id Salmy, dan Muhammad Amin atau kisah Budak Mati Hidup Kembali. Semua kisah ditulis dengan huruf Arab-Melayu atau pegon.

Beberapa bagian dari hikayat berbentuk tamsil. Isinya tentang keutamaan bagi mereka yang mati membela agama dan ganjaran yang akan diperoleh di akhirat nanti. Kisah Ainul Mardhiyah, misalnya, menyebutkan bahwa para bidadari  menunggu mereka yang mati syahid itu di alam surga.

Berbahagialah tuan pahlawan kami,

Rasalah pahala wahai mahkota,

Hadiah jihad mujahid berani,

Puteri menanti dalam sorga.

Mari pahlawan mujahid budiman,

Gegas berjalan sebentar lagi,

Nun di sana di dalam taman,

Tuan puteri rindu menanti.

Pantun ini kerap dilantunkan dan disiarkan para ulama serta pemimpin perang bangsa Aceh di masa melawan penjajah. Akibatnya, panglima militer Belanda yang memimpin agresi pertama ke Aceh, Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, tewas di tangan pasukan Aceh yang berjuang dengan gagah berani pada 1873.

Di masa pemerintah Indonesia melancarkan operasi militer ke Aceh pada 1989 sampai 1998, Hikayat Perang Sabil dituturkan kembali. Orang-orang tua berhikayat secara diam-diam pada anak-anak maupun generasi muda, di rumah-rumah, di dayah-dayah, maupun di meunasah-meunasah.

HIKAYAT merupakan semangat hidup orang Aceh. Menurut Azhari, direktur Komunitas Tikar Pandan, banyak metafora dalam hikayat yang  amat mewakili perasaan orang-orang Aceh.

Azhari adalah generasi muda Aceh yang menekuni sastra dan budaya. Usianya baru 25 tahun. Tsunami telah merenggut bapak, ibu dan seorang adiknya.

Cerita-cerita pendek Azhari  tersebar di sejumlah media  lokal dan nasional ketika dia masih di sekolah menengah atas. Pada 1999 dia terpilih menjadi cerpenis terbaik Aceh. Dalam sebuah lomba penulisan cerita pendek yang diselenggarakan Creative Writing Institute pada 2003, karya Azhari didaulat sebagai cerpen terbaik. Creative Writing Institute adalah sebuah lembaga penulisan kreatif yang diketuai cerpenis Hudan Hidayat dan berbasis di Jakarta. Tahun lalu, Azhari menerbitkan kumpulan cerita pendek pertamanya, Perempuan Pala.

Sebelum mendirikan Komunitas Tikar Pandan bersama Thodax dan kawan-kawan, Azhari pernah aktif di Komite Aksi Pelajar Aceh atau KAPA. Dia dan ribuan pelajar menuntut perbaikan mutu pendidikan, sekolah gratis, rehabilitasi gedung-gedung sekolah yang terbakar selama konflik, dan penambahan tenaga pengajar.

“Tapi saya tak suka dengan isi Hikayat Perang Sabil. Masih banyak hikayat-hikayat yang lebih bagus dari Hikayat Perang Sabil,” kata Azhari kepada saya.

“Walaupun yang banyak dikenal adalah hikayat itu, tapi di masa itu masyarakat di kampung juga memiliki hikayat-hikayat lain yang memberi semangat dan inspirasi untuk berjuang,” lanjut Azhari.

Namun konflik berkepanjangan telah merusak struktur sosial, ekonomi, budaya, dan kemandirian kampung. Padahal, berdasarkan hasil kajian dan diskusi Azhari serta komunitasnya, kampung merupakan aspek terpenting dalam kosmologi kehidupan orang Aceh.

“Itu sebabnya kami memfokuskan kegiatan kami di kampung-kampung, dan menjadikan kampung sebagai wilayah kerja kami.”

Bentuk kerja mereka yang kongkret adalah menghimpun ragam hikayat yang tersebar di kampung-kampung. Misi ini klop dengan Agus Nur Amal dan TV Eng Ong-nya. Kerja sama pun dijalin. TV Eng Ong siaran ke kampung-kampung untuk memancing para penghikayat di tiap kampung tampil kembali. Seni bertutur itu dibangkitkan lagi dari mati surinya.

“Makanya,” kata Agus, “yang penting buat aku bukan aku yang tampil. Tapi masyarakatnya sendiri yang tampil. Dengan melihat tetangga atau kawan mereka sendiri yang tampil di TV, maka akan jadi bahan tertawaan yang sangat lucu dan tidak mudah hilang dalam kepala mereka. ‘Oh, aku sudah masuk teve, TV Eng Ong’. Dan kami tidak membawa misi apa pun kecuali menghibur.”

“JANGAN bawakan kami cerita yang sedih. Hibur kami dengan yang lucu-lucu.”

Seorang penonton di kampung Panra, Samalanga, Bireuen melontarkan pernyataan itu. Agus terhenyak.

“Rupanya masyarakat sudah jenuh dengan konflik,” pikir Agus.

Kesimpulan itu dia dapat dari hasil perbincangan dengan sejumlah penduduk kampung. Perdamaian antara GAM dan pemerintah Indonesia sudah ditandatangani, tapi banyak warga tak paham maknanya.

“Apa peduli orang kampung dengan isi perjanjian itu? Mereka lebih peduli dengan nasib hidup mereka. Rumah-rumah mereka yang sudah terbakar, dan usaha mata pencarian mereka yang lama ditinggalkan.” Agus menguraikan pengalamannya selama TV Eng Ong siaran sejak 25 Mei 2006 hingga 7 Juni 2006 lalu.

“Tapi umumnya penduduk kampung yang kami singgahi, mereka cuma bilang ‘sekarang sudah tidak ada lagi tentara yang beroperasi di kampung’,” kata Thodax menimpali.

“Walau ada di koran-koran dan majalah, banyak yang malas baca. Tapi lewat siaran TV Eng Ong, mereka jadi tahu,” sahut Agus.

Siaran bertema perdamaian itu dilakukan saat Komunitas Tikar Pandan dan TV Eng Ong mendapat dukungan dana dari Komisi Uni Eropa dan International Organization for Migration untuk program tayang ke-40 kampung di delapan kabupaten; Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, dan Aceh Besar, termasuk Banda Aceh.

Bahasa yang digunakan selama siaran harus bahasa dan istilah yang mudah dipahami warga, bukan bahasa yang rumit dan penuh jargon asing.

Namun, misi TV Eng Ong tak selalu mulus. TV Eng Ong tak selalu disambut gelak tawa dan tepuk sorak. Janji-janji palsu dari bermacam lembaga bantuan dan pemerintah membuat awak TV Eng Ong nyaris kena getahnya.

Belum lama ini warga  berduyun-duyun mengirim proposal untuk Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). Lembaga tersebut dibentuk untuk memberi dana usaha pada korban konflik agar mereka bisa memulihkan kehidupan mereka.

Proposal yang diterima BRDA sudah mencapai 49 ribu. Tapi lembaga ini malah sibuk mengganti-ganti metode. Nasib ribuan proposal tak jelas. Kemungkinan besar, malah masuk tong sampah.

“Apa kalian datang bawa bantuan? Bagaimana kabar proposal kami?”

Pertanyaan-pertanyaan itu terus dilontarkan warga kepada Agus dan kawan-kawan, dari kampung ke kampung.

Di Peureulak, seorang penonton memprotes kedatangan awak TV Eng Ong.

“Kalian tidak usah datang kalau tidak membawa bantuan!” teriak si penonton.

“Yang kami harapkan adalah bantuan!” lanjut lelaki itu.

Penonton lain yang terdiri dari anak-anak, orang dewasa hingga orang tua terdiam. Suasana agak panas.

“Kami ini tukang hibur,”  jawab Agus dari balik layar.

“Kami datang tidak membawa bantuan. Kalau Anda mau usir kami, kami tanya dulu sama masyarakat penonton. Jangan Anda yang jadi juru bicara masyarakat.”

Sejurus Agus pun bertanya pada penonton. “Gimana, lanjut?”

“Lanjuut!” jawab penonton serentak

Tukang protes tersebut belakangan diketahui sebagai agen intelijen. Lelaki itu langsung menghilang dari kerumunan penonton.

Itu sebabnya Udin Pelor yang bertugas sebagai pembawa acara selalu menyerukan pesan yang sama untuk pemirsa TV Eng Ong di mana pun berada.

“Minta bantuan kepada Tuhan. Kalau toh dikasih oleh tangan manusia tapi tetap kita minta kepada Tuhan. Jangan pula kita tidak bekerja gara-gara menunggu bantuan. Apa orang tak bisa bekerja sendiri dengan apa yang ada?”

Siaran terakhir TV Eng Ong berlangsung di lapangan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh awal Juni lalu. Tak ada yang rusak pada pemancarnya. Izin siaran pun seumur hidup. Para awak hanya butuh sedikit jeda.

“Pemain-pemainnya istirahat dulu, mengumpulkan tenaga setelah capek keliling kampung,” kata Agus.

“Saya mau menikah dulu di kampung. Di Bakungan, Aceh Selatan.” Muda Belia menimpali.

Di salah satu kampung yang didatangi TV Eng Ong, Muda sempat bertemu sebentar dengan calon istrinya. Pertemuan itu membuat Muda jadi sedih, bukan gembira.

“Mungkin karena sering saya tinggal, badannya jadi kurus,” lanjut Muda, kemudian tersenyum.

Agus dan saya ikut tersenyum. Setelah itu kami saling mengucapkan selamat berpisah. Dan… sampai jumpa lagi di TV Eng Ong!

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Banda Aceh.

by:Samiaji Bintang