“MUHAMMAD Umar bin Ismail.” Dia menyebut namanya. Suara pelan. Sudut bibir kanan bengkak.

Seputar rongga matanya hitam. Urat-urat mata merah. Jahitan sepanjang dua sentimeter di pelipis kanan.

Usia Umar 23 tahun. Dia asal Serba Jaman Teunong, salah satu desa di kecamatan Tanah Luas, Aceh Utara. Anak keempat dari lima bersaudara.

Dulu dia aktif dalam Tentra Neugra Acheh atau biasa disebut TNA. Setelah Gerakan Acheh Merdeka atau GAM damai dengan pemerintah Indonesia, Umar membantu orangtuanya berkebun coklat dan pinang.

Sudah enam hari dia terbaring di bangsal rumah sakit Palang Merah Indonesia, Lhokseumawe. Di punggungnya terlihat garis-garis luka cukup dalam. Sehelai tikar digelar di muka kasurnya. Di situ duduk seorang perempuan tua berkerudung.

“Siapa yang bayar biaya perawatan?” tanya saya kepada Umar.

“Bayar sendiri.”

“Apa tidak dapat bantuan? Sudah habis berapa?”

Umar menggeleng seraya menoleh kepada ibunya, Rukaiyah.

“Sudah lebih dari seratus ribu,” jawab Rukaiyah.

Di sebelah Umar terbaring Rasyidin bin Ismail. Meski nama keluarga mereka sama-sama Ismail, tapi kedua pemuda ini tak punya hubungan famili. Namun, saat ini mereka punya beberapa kesamaan: usia 23 tahun, mantan TNA, dan celaka di hari yang sama.

Peluru menembus paha kiri Rasyidin dan nyaris meremukkan tulangnya. Paha kanan pemuda ini juga kena sambar peluru, tapi tak sampai tembus. Timah panas hampir membuatnya pincang seumur hidup.

SENIN, 3 Juli 2006. Langit senja menyelimuti desa Keude Paya Bakong. Umar mengendarai sepeda motor Yamaha RX King warna hitam. Motor itu dia pinjam dari seorang kawan yang biasa dipanggil Kombet. Umar hendak pergi ke Pante Bahagia, kampung yang bersebelahan dengan Keude Paya Bakong. Kedua desa ini terletak di kecamatan Paya Bakong.

Kribo, kawan Umar, mengikuti dari belakang. Dia juga mengendarai sepeda motor.

Untuk sampai ke desa tujuan, cuma ada satu jalan. Dia atau warga lain harus melewati pos Tentara Nasional Indonesia (TNI) milik Kompi E Batalyon 111.

Aspal jalan sudah mengelupas. Lubang-lubang bertebaran. Jalan tak rata. Siapa pun yang menyambangi Paya Bakong dari jalan utama menuju Blang Pante, seluruh badannya pasti bergoyang.

Umar mengurangi lagi laju sepeda motornya. Sebuah papan peringatan bercat kuning terpancang di kanan jalan. Isinya meminta tiap pengendara yang lewat untuk berhati-hati, karena mereka tengah memasuki kawasan militer. Pos jaga terletak di kanan kiri. Penjaga pos bersenjata laras panjang.

Sebelum Umar melewati dua ‘polisi tidur’, penjaga pos yang berada di depan sana melambai padanya. Prajurit itu berdiri tak jauh dari pos jaga di kanan jalan. Dia meminta Umar berhenti.

Seorang prajurit lain sekonyong-konyong menghampiri Umar. Telunjuk kirinya langsung menuding wajah Umar.

“Bunuh saja dia!”

Umar mengelak, menangkis tangan si prajurit.

Buk!

Tiba-tiba kepala Umar dipukul seseorang dari belakang. Melihat Umar dipukul, Kribo segera putar haluan. Tancap gas. Dia tak akan mampu menolong temannya itu.

Sejumlah tentara yang tengah main bola di lapangan yang tak jauh dari pos jaga tiba-tiba berhenti main. Mereka ramai-ramai menghampiri Umar.

“Mereka ikutan keroyok saya,” kisah Umar kepada saya. 

Umar berusaha melindungi kepalanya dengan kedua tangan. Tapi seseorang memukulnya dengan kayu. Umar tak kuasa melawan serangan bertubi-tubi. Dia pun roboh ke tanah.

“Saya diinjak-injak. Dilempari batu.”

Setelah itu dia diseret ke pos jaga. Tangannya diikat dengan tali yang biasa untuk mengikat lembu, lalu dibaringkan di kolong bangku. Masih tak puas juga, seorang prajurit menghantam kepala Umar dengan topi baja.

Tiba-tiba ada yang berkata, “Teman kau datang.”

Setelah itu Umar tak ingat apa-apa lagi.

MENJELANG adzan magrib, Saefudin mendapat kabar Umar dipukul tentara di Paya Bakong. Saat itu, mantan TNA ini tengah berada di Simpang Rangkaya bersama teman-temannya. Jarak Simpang Rangkaya ke Paya Bakong tak sampai lima kilometer.

Bersama sekitar 15 teman, menggunakan sepeda motor dan mobil, Saefudin segera menuju Kompi E. Mereka ingin menuntut pembebasan Umar.

“Belum sampai lokasi, mereka (tentara) sudah siap membidikkan senjata ke arah kami,” ungkap lelaki yang kerap dipanggil Rambo itu.

Rambo pun mengubah strategi.

“Kami menunggu AMM (Aceh Monitoring Mission) tiba.”

Setengah jam kemudian iring-iringan mobil Komando Distrik Militer 0103 Aceh Utara, Kepolisian Resor Lhokseumawe, AMM, dan Komite Peralihan Aceh (KPA) terlihat menuju lokasi.

Mobil Ford Everest AMM berisi Jorma Gardemaster, Taban Tukul, dan seorang pengemudi. Mereka dikawal polisi. Rombongan KPA yang terdiri dari Tengku Zulkarnaini, Rasyidin, dan lima anggota KPA menggunakan Kijang Innova. Mobil mereka berada paling buntut.

Rambo dan teman-teman segera mengikuti iring-iringan tersebut masuk ke kompleks militer.

Syamsu Rizal, salah seorang warga dan montir motor di desa itu, juga mendengar kabar penahanan Umar. Dia tak mau ketinggalan. Dia berniat membantu membebaskan Umar bersama warga.

Kabar penahanan Umar diketahui pula oleh Nariman, yang kedai kopinya cuma 100 meter dari Kompi E. Namun, dia tak berani meninggalkan kedainya.

“Saya jaga kedai,” katanya.

Syamsu tak sendirian. Sunardi yang kebetulan tengah minum kopi di kedai Nariman ingin ikut serta. Dia warga desa Tanjung Bereunyong. Meski sebelah kakinya pincang, bukan hambatan untuk menolong orang.

Iring-iringan mobil kini tiba di Kompi E.

“Waktu mobil berhenti, di situ sudah ramai orang,” kenang Rasyidin, yang ikut mobil KPA.

“Kereta (sepeda motor) saya ada di depan mobil AMM. Saya lirik kiri-kanan, mereka (tentara) sudah siap-siap nembak,” sahut Rambo.

Tiba-tiba Rasyidin mendengar tembakan datang dari arah kiri. Kebetulan dia duduk dekat pintu kiri, di jok tengah. Merasa bahaya mendekat, pintu mobil segera dia buka. Rasyidin langsung keluar dan tiarap.

“Dari arah depan juga ada suara tembakan,” katanya.

“Saya sempat koprol-koprol sampai dengkul saya lecet. Pinggang saya juga kena serpihan peluru,” ujar Rambo.

Akhirnya Rambo berlindung di belakang mobil AMM. Mobil milik kepolisian ada di belakangnya. Dalam sekejap, peluru menghantam mobil AMM dan polisi. Rambo kemudian melihat seorang temannya kena tembak.

“Teman saya itu sudah goyang. Saya lompat ke arahnya. Saya melihat pintu mobil AMM terbuka, mungkin sudah dibuka orang dari luar. Secepat mungkin saya lemparkan kawan saya yang kena itu dalam mobil. Langsung saya tindihkan dia,” kisah Rambo

Korban yang tertembak itu bernama Muslem bin Abdul Samad. Dia mantan anggota TNA.

Rasyidin yang tengah tiarap mendengar suara seseorang memberi komando tiga kali.

“Jangan tembak! Jangan tembak! Jangan tembak!”

Rasyidin pun bangkit. Tapi dia melihat tentara.

“Mau kemana kau?!” Seseorang di belakang Rasyidin tiba-tiba menegur.

“Dia pakai seragam loreng. Saya tidak menjawab. Lalu dia tembak saya.”

Peluru menembus belakang paha kirinya. Secepat kilat Rasyidin melompat masuk ke dalam Kijang Innova yang pintunya masih terbuka.

Melihat situasi yang memburuk, Syamsu Rizal membatalkan niat untuk terlibat dalam pembebasan Umar.

“Saya langsung lari, mundur begitu mendengar ada tembakan,” ungkap Syamsu.

“Saya langsung tiarap,” kata Sunardi. Dia tak sanggup lari.

Beberapa saat kemudian letusan senjata mereda.

Rambo dan sejumlah warga segera menggotong tubuh Muslem bin Abdul Samad dari mobil AMM. Darah mengalir dari dada dan pinggangnya. Jenazah Muslem dibawa keluar kompleks, menuju kedai kopi milik Nariman.

“Saya bantu angkat, tapi sudah tidak bernyawa. Jenazah Muslem diletakkan di meja. Darahnya banyak kali,” kata Nariman.

Jenazah Muslem sempat dipindahkan ke meunasah sebelum dibawa ke rumah orangtuanya di desa Blang Salep.

Selain Muslem dan Rasyidin, peluru juga melukai Brigadir Dua Muhammad Satria, petugas kepolisian yang mengawal mobil AMM. Dia kena tembak di punggung.

Namun, Satria menyatakan tak tahu siapa yang menembaknya pada Rakyat Aceh sehari setelah kejadian tersebut, “Saya langsung keluar dari mobil dengan merayap.” Dia dirawat di rumah sakit Kesehatan Resor Militer 011/Lilawangsa, Lhokseumawe.

“SEBELUM kejadian itu, orang yang mau lewat disetop dulu di pos jaga. Kalau malam, muka disenter lampu.”

Tak jauh dari pos jaga dipasang dua ‘polisi tidur’.

“Tinggi. Kalau motor mau lewat, roda belakang belum turun roda depan sudah naik lagi.”

Syamsu Rizal pernah punya pengalaman tak enak.

“Saya sering bawa kereta (motor) lewat situ. Kereta yang saya bawa memang agak reman sikitlah. Namanya juga motor bengkel. Tapi selalu dipanggil penjaga. Alasannya kereta kita kencang kali,” tuturnya.

Ridwan, agen pedagang durian di desa Blang Pante, mengaku bukan sekali dua duriannya diambil prajurit yang jaga pos.

“Adalah barang satu-dua durian yang diambil.” Tapi Ridwan tak bisa protes.

“(Tentara) Bilangnya, ‘ini jalan kami’,” imbuh Syamsu.

Pos itu belum lama dibangun. Usianya belum genap tiga bulan.

Menurut Sunardi, kehadiran kompleks militer di situ justru mencemaskan warga. Dia tak percaya kalau penempatan aparat militer bertujuan memberi keamanan bagi warga.

“Itu untuk cari alasan saja. Aman dari siapa?” sergahnya.

“Faktor utama insiden itu karena TNI tak bermasyarakat. Mereka selalu mengandalkan kekuatan dan kekuasaan. Kalau mereka mau bermasyarakat, tak mungkin ada insiden kemarin,” katanya, lagi.

Sebelum peristiwa itu, warga sudah sempat memprotes kehadiran kembali tentara di lingkungan mereka. Dekat simpang tiga menuju Pante Bahagia, terlihat sisa-sisa pos jaga yang dirusak massa. Jarak pos itu tak lebih 25 meter dari kompleks Kompi E.

Reruntuhan tembok penuh coretan: “Anjing loreng, Yang membuat maksiat di aceh adalah TNI, TNI-RI adalah PKI, Pai Paleh.” Di sudut lain tertulis: “Wahai Masyarakat Aceh yang Penting Kita Kompak.”

Paya Bakong memang basis GAM. “Dulu sering terjadi perang antara kami dan TNI di situ. Perang terbuka, di sawah-sawah. Tempat sembunyi cuma parit-parit,” kata Irwandi Yusuf, wakil GAM di AMM.

Dulu Irwandi penasihat militer GAM. Dia pernah mendekam di penjara Keudah, Banda Aceh dan bebas mendadak gara-gara tsunami menerjang bumi Serambi Mekah. Setelah GAM dan pemerintah Indonesia berdamai, dia dapat amnesti.

Penjelasan Irwandi didukung Muhammad Yusuf. Jabatan terakhir Yusuf di TNA adalah Komandan Operasi Daerah III Wilayah Pase. Lelaki bermisai lebat dan bertubuh tinggi besar ini pernah memimpin perang gerilya di Paya Bakong hingga ke Nisam.

Yusuf membawahi empat panglima sagoe. Sagoe Cut Meutia, Jeram Manyang, Murtada, dan Paya Peu. Sagoe setingkat kecamatan.

Kini dia sudah tak lagi angkat senjata. Sembari turun ke sawah seluas hampir 2.000 meter persegi miliknya di desa Alue Gampong, Tanah Luas, Yusuf membantu KPA di wilayah Pase. Jarak kampung Yusuf sekitar tujuh kilometer dari Paya Bakong.

“Dulu kami perang dengan tentara RI di situ. Mereka bawa truk reo, panser, dan tank.”

Tak sedikit anak buah Yusuf yang wafat dan meninggalkan anak-istri.

“Mereka sekarang jadi tanggung jawab saya,” tuturnya.

Yusuf pernah menghilang selama delapan tahun dari kampungnya. Dia bergerilya di hutan. Dia pernah menemani William Nessen selama lima bulan.

Nessen wartawan Amerika yang meliput perang di hutan-hutan Aceh, lalu dia mengemasnya jadi sebuah film dokumenter. The Black Road: On the Front Line of Aceh’s War. Ada kritikus film yang menyebut kualitas karya Nessen kurang baik. Gambar buram. Adegan-adegan tak sejalan dengan judul. Maklumlah, sebagian besar rekaman kameranya diambil militer. Jadi dia bekerja berdasarkan apa yang tersisa. Nessen sempat dideportasi dan dilarang masuk Indonesia. Dia juga disangka simpatisan GAM. Namun, ketika damai sudah terjadi di Aceh, nama Nessen ternyata masih tetap dalam daftar cekal.

Yusuf memanggil Nessen, Billie. Panggilan akrab.

Namun, mantan panglima ini berharap tak akan ada perang lagi.

“Kasihan masyarakat yang selalu jadi korban.”

Para keuchik atau kepala desa pun sering jadi sasaran.

Danasri, keuchik Alue Gampong, misalnya. Bolak-balik dia dan keluarganya didatangi tentara. Mereka menanyakan keberadaan Yusuf.

“Waktu itu saya bilang, dia (Yusuf) memang GAM. Tapi saya tidak tahu di mana dia,” ujarnya.

“Tank, panser, dan truk reo sering berkeliling di kampung. Dan tak ada yang berani keluar rumah,” sambung Danasri.

Fatimah Zahra baru saja menyelesaikan salat magrib ketika mendengar suara tembakan pada tanggal 3 Juli itu. Ingatannya langsung ke masa konflik. Dia mengucap istighfar. Tak berani keluar rumah. Rumah Fatimah hanya 200 meter dari Kompi E.

“Kami ingin damai,” kata Fatimah.

Perempuan berusia 18 tahun ini trauma. Ketika Darurat Militer diberlakukan di Aceh, nyaris tiap hari terjadi kontak senjata di kampungnya.

Nariman pun berharap sama.  Bunyi tembakan membuat Nariman gusar bukan kepalang. “Jadi ingat masa lalu,” kata ayah empat anak ini.

Rumah Nariman pernah dibakar tentara. Kedai kopinya ditembaki.

“Barang-barang dagangan diambil,” katanya.

Tentara juga memasukkan granat ke mulut istri Nariman yang tengah hamil. Meski tak diledakkan, tapi tak urung membuat Nariman merasa nyawa keluarganya di ujung tanduk.

Gara-gara perang, Abdul Hamid, warga lain yang saya jumpai, terpaksa merantau ke Bekasi dan Jakarta selama enam tahun. Dia bikin usaha percetakan dan sablon. Hasilnya lumayan.

Tapi  begitu mendengar kabar Aceh sudah damai, dia kembali ke Alue Gampong. Sudah lima bulan Hamid menetap di kampung.

“Waktu mendengar tembakan (di Paya Bakong) kemarin, seperti akan ada perang lagi. Sudah dua kali ada perjanjian damai, tapi dua-duanya gagal. Kalau (kesepakatan Helsinki) ini gagal lagi, masyarakat tak akan percaya lagi dengan yang namanya perdamaian,” kata Hamid.

MILITER Indonesia punya versi sendiri soal insiden di Kompi E. Kepada media massa, Komandan Distrik Militer 0103 Aceh Utara Letnan Kolonel Infanteri Belyuni Herliyansyah menyebut Umar sebagai biang keladi.

Menurut dia, seperti diwartakan harian pagi Raja Post, aparat TNI menghentikan iring-iringan dua motor yang dikendarai Umar dan dua rekannya. Saat itu, Umar dan rekan-rekannya dinilai mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di depan pos jaga. Namun saat ditanyai aparat, mereka justru menjawab dengan kata-kata tak sopan.

Bahkan rekan-rekan Umar yang berada di motor turun dan memukul anggota TNI. Di situlah, menurut Belyuni, aparat TNI segera mengambil tindakan dan mengamankan Umar dan kawan-kawan.

“Anak buah saya membela diri,” katanya.

Menurut Belyuni, tembakan berasal dari lapangan sepak bola. Aparat segera menyebar, karena kemudian banyak anggota GAM yang datang ke Kompi E.

“Jadi begitu (aparat TNI) mendengar suara tembakan langsung menembak ke udara.”

Brigadir Jenderal Anton Bachrul Alam memberi penjelasan yang agak berbeda dengan Belyuni. Anton adalah Wakil Kepala Divisi Humas Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta. Pada harian Rakyat Aceh, dia mengatakan bahwa tembakan berasal dari kerumunan massa.

“Karena terpicu, lalu tembakan dibalas, dan mengakibatkan tertembaknya dua korban dan anggota polisi itu (Satria).”

Kaliber peluru yang digunakan 5,56 milimeter dan 3,8 milimeter. Ini diungkap sendiri oleh Panglima Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda Mayor Jenderal Supiadin Adi Saputra pada harian Serambi Indonesia tanggal 9 Juli lalu. Namun, Supiadin menyatakan bahwa peluru-peluru jenis itu bukan standar polisi apalagi TNI.

M16 yang banyak digunakan angkatan perang di negara Barat dan Asia memiliki kaliber peluru 5,56 milimeter. Selain senjata laras panjang buatan Amerika ini, Senjata Serbu atau SS-1 buatan Pindad, Indonesia, dan Minimi, senapan Belgia, juga memiliki peluru berkaliber sama. Senjata buatan Soviet yang mudah didapat di pasar gelap alias AK47  memiliki kaliber peluru 7,62 milimeter. Peluru 3,8 milimeter digunakan untuk senjata genggam. Peluru ini adalah standar Pindad untuk antara lain pistol jenis MU-6 TJ.

Angkatan bersenjata Indonesia menggunakan M16, Minimi, dan SS-1 dengan kaliber peluru 5,56 milimeter.  Agak aneh bila Supiadin mengatakan jenis peluru tersebut bukan standar militer Indonesia.

Selain itu, Supiadin menyarankan jenazah Muslem diotopsi untuk memastikan kaliber peluru yang bersarang di tubuhnya. Dari situ akan dapat ditelusuri jenis senjata yang digunakan penembak.

“Kalau semua terbuka, akan memudahkan tim membuka tabir insiden yang tidak diinginkan itu,” ujar Supiadin.

Orangtua almarhum Muslem, Abdul Samad, sebagaimana dikutip koran Acehkita, menolak otopsi yang diminta tim Kodam. Dia tak percaya otopsi bakal memperjelas kematian putranya.

“Karena sudah kita lihat bukti seperti kasus Trisakti Jakarta, dan banyak kasus lainnya di Indonesia ini, semuanya nggak jelas. Yang merana tetap kami orang lemah.”

Bagaimana penjelasan pihak AMM yang hadir dalam insiden tersebut?

Lewat juru bicara AMM Faye Belnis, saya meminta bantuan agar bisa mewawancarai Jorma Gardemaster. Namun Faye mengatakan tidak bisa. Alasannya? Sekarang penyelidikan tengah dilakukan pemerintah Indonesia. Peran AMM saat ini, menurut Faye, akan terus memonitor jalannya investigasi dari dekat.

“Untuk saat ini belum ada komentar lebih jauh yang bisa diberikan namun kami akan tetap menginformasikan kepada pihak-pihak termasuk media jikalau titik terang dari kasus ini sudah ditemukan,” katanya, lewat sebuah surat elektronik.

Sementara itu, dalam keterangan resminya, Ketua AMM Pieter Feith menyatakan agar kasus penembakan di Paya Bakong diselidiki lebih lanjut. Alasannya, untuk mengklarifikasi fakta-fakta.

”Bahwa tindakan indisipliner akan diambil, jika diperlukan, terhadap para pelaku berdasarkan sebuah laporan pihak berwenang yang akan diberikan oleh pemerintah Indonesia.”

Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda Mayor Corps Ajudan Jenderal Dudi Dzulfadli mengungkapkan bahwa hingga Sabtu, 15 Juli 2006, penyelidikan yang dilakukan Pusat Kepolisian Militer dan tim forensik Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia belum selesai.

“Kami masih menunggu kerelaan pihak keluarga agar mau (memberi izin) diotopsi,” tutur Dudi pada saya.

PAYA BAKONG terbilang kecamatan baru di kabupaten Aceh Utara. Umurnya belum genap enam tahun. Kecamatan ini hasil pemekaran dari kecamatan Matang Kuli yang meliputi sekitar 40 desa, seperti Keude Paya Bakong, Tanjung Bereunyong, Ceumpeudak, Pante Bahagia, dan Blang Pante. Desa-desa itu mengelilingi kompleks militer Kompi E Paya Bakong.

Mata pencarian warga rata-rata bertani.  Selain menanam padi, mereka juga berkebun pinang, coklat, dan durian.

Tapi anak muda yang menganggur tak sedikit. Konflik menyulitkan orang berusaha. Kebun dan sawah tak bisa digarap dengan tenang, karena adu senjata antar GAM dan tentara Indonesia bisa terjadi sewaktu-waktu. Di masa damai, jumlah pengangguran justru bertambah. Sebagian besar korban konflik dan mantan TNA di sana belum dapat pekerjaan. Dana reintegrasi dari pemerintah Indonesia pun belum mereka terima.

Sebagian besar rumah warga berdinding papan. Atap dari daun rumbia kering atau seng. Beberapa rumah malah tinggal puing akibat dibakar di masa konflik.

Jalan utama rusak dan berlubang. Melalui jalan tersebut, warga membawa dan menjual hasil kebun mereka ke Pasar Geudong atau Lhoksukon. Jarak pasar-pasar itu dari Paya Bakong lebih dari 25 kilometer. Alat transportasi andalan adalah RBT alias ojek motor. Labi-labi atau angkutan kota sama sekali tak sampai ke sini.

Gelap menyelimuti kampung-kampung saat malam tiba. Lampu listrik hanya menyinari beberapa rumah warga. Jarak antar rumah berjauhan. Rimbun pepohonan, sawah, maupun semak menyela di antara rumah-rumah tadi.

Pemandangan berubah total ketika Anda memasuki kawasan kilang gas ExxonMobil Indonesia. Lampu terang-benderang. Jalan yang mengitari tiap cluster milik perusahaan ini pun mulus. Landasan pesawat terbang di kompleks tersebut tentu tanpa lubang. Panjang landasan cukup untuk didarati pesawat jenis Fokker atau perintis, apalagi helikopter. Warga sekitar menyebut kompleks Exxon sebagai ‘provit’, kependekan dari ‘proyek vital’.

Kantor pusat ExxonMobil berada di Texas, Amerika Serikat. Perusahaan ini adalah gabungan dua perusahaan raksasa penambangan gas alam, Exxon dan Mobil Oil. Exxon akan berada di Aceh sampai tahun 2018 dan setelah itu hengkang. Mereka tak akan memperpanjang kontrak, karena cadangan gas dianggap sudah tak menguntungkan lagi.

Tinggal di sekitar kawasan provit ternyata tak membuat warga ikut kecipratan profit alias untung. Bukan cuma tak boleh menyentuh pagarnya, tapi warga juga jadi target kekerasan.

Pada akhir Juni 2001, kantor berita internasional macam British Broadcasting Corporation (BBC) dan Agence France Press (AFP), menyiarkan keterlibatan ExxonMobil dalam peristiwa pembantaian penduduk di Aceh.

Selain membayar tentara Indonesia untuk menjaga kilang mereka, ExxonMobil telah membantu menyediakan peralatan untuk membuat kuburan massal dan pusat interogasi serta penyiksaan.

Fakta ini berdasarkan penyelidikan International Labor Rights Fund (ILRF), sebuah organisasi yang bermarkas di ibukota Amerika Serikat, Washington DC. ILRF memberi bantuan advokasi terhadap buruh.

Melalui Terry Collingsworth, direktur eksekutifnya, ILRF menggugat Exxon. ILRF mengatasnamakan 11 warga Aceh yang bersaksi bahwa Exxon terlibat pembunuhan, penyiksaan, dan perkosaan terhadap penduduk setempat di masa konflik.

Exxon menampik semua tuduhan. Mereka berdalih bahwa keselamatan ribuan staf dan subkontraktornya jauh lebih utama.

Lima tahun setelah gugatan terhadap Exxon dilancarkan ILRF, pada awal Maret lalu, Ketua Majelis Hakim Wilayah Amerika Serikat Louis Oberdorfer mengeluarkan putusan penting. Hakim mengizinkan penduduk setempat menggugat perusahaan raksasa itu!

Exxon tentu menampik putusan Hakim Oberdorfer.

“ExxonMobil mengajukan banding atas putusan hakim,” kata Susan Reeves, juru bicara perusahaan.

Tak lama setelah putusan Oberdorfer, di Aceh, tentara Indonesia kembali mendirikan pos militernya di kecamatan Paya Bakong.

KOMPI E tergabung dalam Batalyon Infanteri 111 Karma Bhakti. Di batalyon itu terdapat empat kompi lain yang tersebar dari Aceh Tamiang hingga Aceh Utara.

Seperti dilansir situs berita Acehkita.net, Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal Supiadin Adi Saputra menyatakan bahwa tujuan pembangunan perumahan dan fasilitas militer di Paya Bakong termasuk bagian program pembangunan TNI Angkatan Darat.

Supiadin meninjau pembangunan perumahan Kompi E pada Maret lalu. Menurut dia, pembangunan itu bukan program baru. Perencanaannya sejak 2005 dan bakal dirampungkan tahun ini.

Di Aceh, Kodam Iskandar Muda memiliki enam batalyon infanteri (Yonif). Selain Yonif 111 Karma Bhakti, ada Yonif 112 Dharma Jaya di Banda Aceh, Yonif 113 Jaya Sakti di Bireuen, Yonif 114 Satria Musara di Bener Meriah, Yonif 115 Macan Leuser di Aceh Selatan, dan Yonif 116 Garuda Samudra di Meulaboh.

Selain Kompi E, TNI Angkatan Darat juga membangun perumahan bagi 15 kompi yang tersebar di Aceh. Tapi Supiadin menolak anggapan bahwa pembangunan tersebut dikaitkan dengan upaya penambahan pasukan.

“Jangan disalahartikan, pembangunan ini hanya bertujuan memberikan fasilitas yang memadai bagi prajurit, bukan malah menambah pasukan,” katanya.

Menurut Dudi, selain kelima kompi itu, Batalyon 111 Karma Bhakti juga memiliki satu kompi bantuan. Jumlah prajurit pada masing-masing kompi di tiap batalyon sekitar 145 orang.

“Saat ini di Paya Bakong tengah dibangun perumahan bagi komandan kompi dan komandan peleton,” katanya.

Lahan yang digunakan milik Kodam Iskandar Muda. Selain perumahan, di situ juga akan dilengkapi sarana standar untuk kompleks militer, seperti barak, lapangan olahraga, dan tempat latihan menembak.

“(Sarana) Khusus untuk pembinaan satuan,” kata Dudi.

“Apa alasan pemilihan lokasi penempatan pasukan di sana?” tanya saya.

“Berdasarkan perkiraan ancaman dan gangguan. Karena di situ ‘kan jauh sekali.”

“Untuk melindungi proyek vital milik ExxonMobil?”

“Soal pengamanan obyek vital, semua sudah diserahkan kepada kepolisian. Kita membantu polisi. Keberadaan kita di sana sesuai dengan konsep pertahanan semesta. Ketika ada pos tentara di situ, tidak terlepas dari strategi pertahanan negara. Kita tidak sekonyong-konyong menciptakan pos di situ.”

Menurut Undang-undang nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta. Sistem ini melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, berkesinambungan, dan berkelanjutan untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman.

“Apa karena di sana juga basis GAM?” tanya saya.

“Bukan, bukan karena ada GAM. Sekarang sudah damai,” tukas Dudi.

Lantas ancaman dari pihak mana yang membuat pertahanan semesta ini diterapkan di Aceh?

*) Samiaji Bintang adalah kontributor sindikasi Pantau di Aceh

by:Samiaji Bintang