Tower 56

Muhammad Nasir

Tue, 4 July 2006

Tower listrik Aceh beberapa kali tumbang.. Dulu aparat menuduh Gerakan Aceh Merdeka sebagai pelaku. Tapi pelaku penggergajian tower akhir Mei lalu ternyata lelaki pengangguran. Ia berasal dari sebuah desa yang anak mudanya tak satu pun kerja.

ISTRI saya akhirnya menyerah. Ia juga membawa anak kami yang baru berusia 2,5 tahun pulang ke Lhoksukon. Dua hari tak mandi membuat badannya gatal-gatal. Anak kami rewel terus, karena kepanasan. Bak air di kamar mandi kosong. Tak ada suplai air dari Perusahaan Air Minum Daerah Tirta Mon Pase. Aliran listrik mati. Di kampung kami, di Lhoksukon, rata-rata warga memiliki sumur.

Beberapa tetangga kami di kompleks Bukit Mutiara Indah di desa Alue Awe, Lhokseumawe, memiliki bak air cadangan. Setidaknya mereka masih punya persediaan air untuk sekitar empat hari. Rumah kami yang berstatus kontrakan tak cukup beruntung. Pemiliknya belum membangun penampung air cadangan. Jika satu hari saja air tak mengalir, maka kami sekeluarga pasti libur mandi.

Kulit saya juga mulai bereaksi. Bagian punggung seperti dijilat-jilat sekoloni semut. Tumbangnya menara listrik, atau lebih sering disebut tower, di desa Alue Kumba, Aceh Timur, tak hanya membuat air bak kosong. Kerja wartawan ikut kena imbas. Semua warung internet atau warnet tutup. Wartawan panik. Padahal tenggat waktu tak bisa dilanggar.

Selama tiga hari topik pembicaraan warga Lhokseumawe cuma seputar peristiwa penumbangan tower. Ini mengalahkan pembicaraan tentang pertandingan sepak bola Piala Dunia yang tengah berlangsung di Jerman.

Manajer Perusahaan Listrik Negara (PLN) Lhokseumawe, Sulaiman Daud, mengatakan perbaikan tower memakan waktu tiga hingga empat minggu. Bahan baku tower, seperti besi galvanis, dan juga teknisi harus didatangkan dari luar Aceh. Bahan baku bahkan terpaksa dipasok dari Singapura.

“PLN butuh biaya Rp 500 juta untuk merehabilitasi satu unit tower yang rubuh,” kata Sulaiman kepada saya.

Hari itu, Rabu, 21 Juni 2006, pukul 02.30, Taufik, stringer Televisi Pendidikan Indonesia mendapat kabar penting dari reserse Kepolisian Resor Kota (Polresta) Langsa. Enam pelaku penumbangan tower akhirnya ditangkap. Informasi pun disebar, agar teman-teman wartawan bisa mengatur jadwal liputan bersama. Biasanya kami menyewa satu mobil. Ongkos ditanggung beramai-ramai. Lebih irit.

Tapi kali ini kami tak perlu menyewa mobil. Zainal Bakri, koresponden stasiun MetroTV, meminjamkan mobil Kijangnya. Taufik sukarela jadi sopir. Jarak Lhokseumawe ke Langsa 160 kilometer dan harus ditempuh dalam tiga sampai 3,5 jam.

Perjalanan kami ternyata tak mulus. Mobil mogok di desa Kuta Binjei, kecamatan Julok, Aceh Timur. Kaburator bermasalah. Bensin berceceran di jalan. Padahal kami harus menempuh dua jam perjalanan lagi untuk sampai ke tempat tujuan. Montir didapat, tapi tak bisa berbuat banyak. Jalan sekilometer, eh mogok lagi. Kami terpaksa kembali ke Kuta Binjei dengan susah payah untuk mencari bengkel. Selain badan gatal akibat tak mandi, mobil pun bertingkah.

SEJAK Selasa malam, 20 Juni 2006, Polresta Langsa menahan enam warga  Seuneubok Dalam, desa yang terletak di kecamatan Rantau Selamat. Mereka dituduh menumbangkan tiga tower bertegangan 150 Kilo Volt Ampere di desa Alue Kumba. Mereka adalah Muhammad Yusuf Hasbi, Indrayani Sofyan, Aiyub Usman, Abdullah Ibrahim, Ismail Ibrahim, dan Ilyas Ibrahim. Rata-rata berusia 20-an, kecuali Indrayani Sofyan yang masih 16 tahun.

Kepala Polresta Langsa, Ajun Komisaris Besar Polisi Hendro Sugiatno, mengatakan keenam tersangka ini ditangkap secara terpisah dan masih sekitar desa Seuneubok Dalam.

Ilyas Ibrahim, salah seorang tersangka, termasuk paling sial di antara teman-temannya. Buntut penumbangan tower membuat ladang ganjanya yang seluas setengah hektar ikut ditemukan polisi. Letak ladang tersebut sekitar 300 meter dari tower. Ia terjerat dua kasus sekaligus.

“Selain tersangka perusak tower, dia juga tersangka pemilik ladang ganja,” kata Hendro.

Ilyas menanam ganja, karena tak punya mata pencarian lain. Sehari-hari dia cuma keluyuran di kampung. Duduk-duduk di gardu siskamling atau warung kopi.

“Umumnya anak muda di kampung kami menganggur,” kata Ilyas.

Suatu sore, 29 Mei 2006, Ilyas bertemu Kamaruddin, yang juga warga Seuneubok Dalam. Kamaruddin terkenal supel dan punya banyak kenalan. Padahal pekerjaan lelaki ini cuma kernet labi-labi (angkutan kota). Ia punya nama alias. Popay! Mungkin panggilan tadi diilhami tokoh kartun yang sangat populer, Popeye. Popeye adalah seorang pelaut kurus tapi berkekuatan super akibat rutin mengudap bayam.

Pergaulan Kamaruddin yang luas membuat anak muda Seuneubok Dalam kerap mendapat informasi dari luar desa mereka melalui mulutnya. Begitu pula Ilyas.

“Kita akan dapat uang banyak. Satu kilo kabel laku Rp 4.000,” kata  Kamaruddin pada Ilyas.

“Tapi memotong tower besi akan butuh waktu lama. Lagipun akan kita jual ke mana. Siapa mau beli?” sergah Ilyas.

“Kamu tak perlu ragu. Santai saja. Buet nyan hana susah (Pekerjaan itu tidak sulit),” balas Kamaruddin.

Setumpuk uang langsung terbayang di benak Ilyas. Menjelang mahgrib mereka berdua masuk ke lokasi tower lewat jalan setapak. Tower 56 sasarannya. Jarak tower ke jalan raya Banda Aceh-Medan sekitar 250 meter.

Mereka harus melewati lumpur setebal 15 sentimeter dan menerobos ilalang serta perdu untuk mencapai tower. Penduduk pun jarang melintas di situ.

Tower 56 jadi target, karena berada di tengah. Jika tower ini roboh, maka tower 55 dan 57 pasti ikut tumbang.

Penggergajian itu memakan waktu sekitar dua jam. Setelah itu mereka berpisah di tengah desa, pulang ke rumah masing-masing.

“Setelah malam itu saya lama tidak bertemu Popay,” kisah Ilyas.

Tower tumbang tak cuma sekali. Peristiwa-peristiwa pada tahun-tahun sebelumnya juga terjadi tak jauh dari kawasan ini.

Pada Kamis, 5 Juni 2003, tower 54 dan 55 tumbang. Ketika itu Aceh dalam status Darurat Militer. Tentara Nasional Indonesia menganggap peristiwa tersebut sebagai aksi sabotase Gerakan Aceh Merdeka atau GAM.

Bulan Juni tahun berikutnya, aksi serupa terjadi lagi. Kali ini yang jadi sasaran tower 57 dan 58. Akibatnya, suplai listrik untuk lebih separuh penduduk Aceh yang berjumlah 4,2 juta itu terhambat. Listrik mati total di enam kabupaten; Aceh Timur, Aceh Utara, Lhokseumawe, Bireuen, Bener Meriah, sebagian Aceh Tengah dan Pidie. Warga terpaksa menggunakan penerangan tradisional di malam hari, seperti lampu teplok atau strom king (petromak).

Aksi penumbangan tower pertama kali terjadi pada Desember 2001. PLN  yang belum punya pengalaman menangani tower tumbang membutuhkan sekitar tiga bulan untuk memperbaikinya.

Seusai perbaikan, untuk tiga bulan manajemen PLN bisa bernapas lega. Namun pada 28 Juni 2002, peristiwa yang sama terulang. Tahun 2002 merupakan tahun paling berat bagi PLN di Aceh. Setidaknya lima kali aksi penumbangan tower terjadi di tahun tersebut.  Tak seorang pelaku pun berhasil ditangkap.

    

MINGGU malam, 18 Juni 2006, Seuneubok Dalam gelap dan sepi. Sebagian besar warga mengurung diri di rumah. Hanya beberapa yang berkeliaran dan duduk-duduk di pondok tepi jalan. Malam itu Kamaruddin menemui Ilyas.

“Kamu ikut kami nggak? Tower ka reubah. Tinggai tajak koh kabel. (Tower telah rubuh. Tinggal memotong kabel),” ajak Komaruddin.

“Saya tidak jadi, ah. Malam-malam begini. Lon hana jadeh mantong (Saya tidak ikut saja),” jawab Ilyas.

“Kah Liyah (Ilyas) meunyoe han kajak rugoe. Ganja kah han jeut ka panen, sabab singoh uroe pasti trok peulisi u lokasi tower. Ganja kah jikuet mandum. (Kamu kalau tak ikut rugi. Ganja milikmu pasti tak sempat dipanen, karena besok polisi akan datang ke lokasi tower. Ganjamu akan disikat semuanya).”

“Leubeh get jinoe tajak koh kabel. Rugoe bak ganja, mungken na laba bak kabel. (Lebih baik sekarang ikut potong kabel, rugi di ganja mungkin untung di kabel),” lanjut Komaruddin, tak putus asa membujuk.

Ilyas bimbang. Setelah menimbang-nimbang sejenak, dia memutuskan ikut Komaruddin ke tower yang mereka gergaji hampir tiga minggu lalu. Daripada tak kebagian apa-apa, lebih baik ikut memotong kabel, pikir Ilyas.

Sekelompok pemuda mengendap-ngendap ke tower 56 malam itu. Dalam gelap gergaji besi bekerja lagi. Mereka memotong kabel tower. Sekitar 100 meter kabel berhasil mereka gulung menjelang tengah malam.

Dua hari kemudian enam di antara mereka diciduk polisi. Tapi Komaruddin dan seorang temannya, Kameng, melarikan diri.

Kepada saya Ilyas mengaku tak pernah memikirkan dampak perbuatannya. Ia tak peduli jutaan warga menderita akibat aliran listrik putus. Ia hanya menginginkan uang.

“Saya tak punya kerja. Istri saya hamil tua, saya butuh uang,” ujarnya.

 

*) Muhammad Nasir adalah kontributor sindikasi Pantau di Lhokseumawe.

kembali keatas

by:Muhammad Nasir