SCTV Jalan-jalan ke Kampus

Helena E. Rea

Mon, 3 June 2002

RUANGAN gelap. Di sudut kanan ruang ada sebuah layar besar yang menampilkan gambar-gambar pemberitaan di televisi.

RUANGAN gelap. Di sudut kanan ruang ada sebuah layar besar yang menampilkan gambar-gambar pemberitaan di televisi. Mulai dari rapat redaksi untuk mengumpulkan ide berita, sampai kerja para reporter di lapangan. Mulai dari liputan banjir hingga liputan kerusuhan. Waktu banjir, para reporter melaporkan langsung dari daerah yang kebanjiran, bahkan masuk ke genangan air. Gambar di layar berubah cepat. Kali ini liputan kerusuhan dan demonstrasi, ada gambar reporter televisi dipukuli hingga berdarah, ada juga yang ditodong senjata api.

Para peserta, dari kalangan kampus, yang menyaksikan cuplikan tayangan itu kagum, marah, juga benci, silih berganti.

Don Bosco Selamun wakil pemimpin redaksi SCTV, membuka diskusi tentang kebijakan pemberitaan SCTV. Selamun bercerita bagaimana berita dibuat. Bagaimana kemasan yang menarik? Bagaimana alurnya? Itu yang berperan memainkan emosi penonton, sedih saat melihat korban atau marah kepada mereka yang bertindak semena-mena.

Hari itu 23 April 2002, SCTV menggelar seminar sehari tentang kebijakan dan proses produksi program berita Liputan 6 SCTV di Yogyakarta. Kegiatan serupa juga dilakukan di Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, Medan, dan Makassar.

Selama ini, Liputan 6 SCTV menjadi salah satu siaran berita paling menarik dari hasil poling pilihan pemirsa dan memperoleh SCTV Award pada 16 Agustus 2001. Tak pelak acara ini jadi unggulan SCTV

“Acara ini yang paling digemari. Saya sendiri nggak ngerti kenapa,” kata Selamun.

Maka SCTV pun berusaha menaikan peringkat penonton. Salah satunya dengan mengenalkan proses kerja mereka ke khalayak ramai, tentang apa yang sudah mereka lakukan.

Maret tahun lalu mereka juga melakukan kegiatan serupa. Hanya saja beda tema. Waktu itu mereka membuat acara seminar sehari tentang jurnalisme televisi. Peserta yang hadir banyak. Mahasiswa yang menjadi sasaran, antusias. Acaranya terbilang sukses. Sayang, hanya empat kota yang mereka datangi.

Lantas muncul keingingan untuk mengadakannya lagi. Ternyata keputusan mereka tak keliru. Meski tema yang disuguhkan berbeda, peserta yang datang tetap banyak.

 “Untuk ikut acara ini uang pendaftarannya sebesar Rp 25 ribu,” kata Alia Swastika, salah seorang panitia.

Harga karcis masuk yang tergolong lumayan besar untuk kocek mahasiswa itu nampaknya tak terlalu berpengaruh. Di Yogyakarta mahasiswa yang ingin ikut melebihi target. “Targetnya hanya 300 orang, tapi yang mendaftar lebih dari 600 orang," ujar Ahmad Faisal, ketua panitia acara itu. Faisal dan beberapa temannya dari jurusan komunikasi, Universitas Gadjah Mada diminta jadi panitia kegiatan itu di Yogyakarta.

Sebenarnya acara itu tidak khusus untuk mahasiswa, tapi SCTV menggelarnya di kampus. Alasannya sebagai upaya untuk mengenalkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah mereka pelajari di kampus. “Ini semacam praktik dari apa yang mereka pelajari di kelas,” ujar Selamun.

Tema sama di tiap kampus, tapi di tiap-tiap kota tema dan acara yang dikemas berbeda. Di masing-masing kota topik yang mau diangkat pun beda, “Di Jakarta kami bahas tentang kegiatan presenternya maka di Yogykarta yang kami bahas dapur kami,” kata Selamun.

Untuk membongkar dapur Liputan 6 SCTV, Selamun harus membawa mobil satelit untuk siaran langsung acara dialognya dan bebapa kru yang terlibat. Di acara itu ada pula pemimpin redaksi Liputan 6 SCTV, Karni Ilyas, penyiar Rosiana Silalahi dan Bayu Sutiono. Sebelum acara dialog disiarkan tak lupa dijelaskan tentang proses kerjanya. Sebelum acara siaran ada perbaikan make-up dan tata rambut Silalahi, yang saat itu jadi pewawancara.

Kehadiran mereka, dengan penampilan yang memukau, membuat mereka lebih tampak sebagai selebritas ketimbang penyiar televisi. Silalahi dan Bayu dikenal karena wajah mereka sering muncul di layar kaca. Tak heran kalau mereka kemudian dikerubuti untuk dimintai foto bareng.

Begitulah, acara itu terlihat sebagai acara jumpa penggemar ketimbang sebuah seminar. Peserta lebih tertarik untuk mengajak Silalahi dan Bayu foto bareng. Panitia lokal dapat bagian juga dari hasil penjualan tiket. Mereka memperoleh 10 persen.

Kegiatan di delapan kota ini mengharuskan SCTV mengeluarkan anggaran sebesar Rp 400 juta. “Kalau untuk mencari profit jelas kami nggak dapat,” kata Selamun, “ini bisa dikatakan semacam promosil. Tapi setidaknya ada manfaat timbal-baliknya.”*

kembali keatas

by:Helena E. Rea