PERINGATAN Hari Pers Sedunia di Filipina lebih semarak dari biasanya. Hari itu, 3 Mei 2002, Unesco menggelar konferensi internasional tentang media dan terorisme. Sekurang-kurangnya 40 jurnalis dari berbagai negara menghadirinya. Peserta terbanyak, sekitar 80 kepala, berasal dari media setempat.

Konferensi dua hari yang berlangsung di kota Manila itu memusatkan perhatian pada dampak terorisme terhadap media. Ia berusaha hendak menyikapi sejumlah pertanyaan besar yang selama ini bergayut di benak para jurnalis: Bagaimana liputan media atas kasus terorisme? Bagaimana propaganda terorisme terhadap kebebasan pers? Bagaimana pula menyikapi peningkatan ancaman terhadap keselamatan jurnalis saat meliput konflik?

Definisi terorisme mengawali perdebatan pertama. Apakah misalnya bisa diterima bahwa terorisme adalah segala serangan terhadap kaum sipil, sebagaimana dikemukakan Mahathir Mohamad pada sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam, April lalu, yang kemudian memantik kontraversi? Dalam kesempatan yang sama, Mohamad menyebut serangan Israel di Jenin sebagai salah satu bentuk tindakan terorisme, sama halnya dengan bom bunuh diri warga Palestina.

Oliver F. Clarke, direktur koran The Gleaner, Jamaica, yang mengawali presentasi, mendefinisikan terorisme sebagai pemakaian kekerasan dan intimidasi untuk memenuhi tujuan politik tertentu. Sedangkan teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan dan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Bisa dengan pemboman, pembajakan, penyanderaan dan sebagainya. Tindakan tersebut berakibat rakyat sipil jadi korban. Diusut ke belakang, tindakan seperti itu biasanya selalu punya motif politik tertentu, dus bukan kriminal biasa. Baginya, setiap terorisme bukan tindakan spontan, tetapi dirancang untuk mempunyai efek atau dampak tertentu.

Meliput terorisme, menurut Clarke, dengan sendirinya harus dengan kepekaan dan profesionalitas tinggi. Media harus sensitif, terutama ketika berhubungan dengan ras atau agama. Berita yang dimaksudkan mengktritik kelompok teroris, jika tidak hati-hati bisa mengarah kepada penyosokan yang negatif terhadap ras atau agama tertentu. Tanpa memperhatikan hal-hal semacam itu, pemberitaan mengenai terorisme bisa menimbulkan masalah baru. Apalagi kalau media dibaca oleh khalayak yang beragam.

Awal Februari 2002, berbagai stasiun televisi Filipina menayangkan gambar pemenggalan kepala oleh anggota kelompok Abu Sayyaf. Terlihat, seorang tentara Filipana dipenggal kepalanya di sekitar orang yang tengah sholat. Gambar mengerikan itu menjadi berita hangat, sekaligus menimbulkan protes dan kepanikan anak-anak. Presiden Macapagal-Arroyo menggunakan tayangan tersebut untuk menunjukkan kepada publik agar melihat keadaan yang sebenarnya. “Saya ingin publik melihat wajah dari penjahat ini sebenarnya.”

Abu Sayyaf adalah kelompok kecil dari gerakan separatis Islam di Filipina Selatan yang berbasis di pulau Basilan. Abu Sayyaf dipimpin Abdurajak Janjalani, seorang muslim yang pernah ikut perang saat perang Afganistan melawan Uni Sovyet. Amerika menuding Abu Sayyaf punya hubungan dengan jaringan Al-Qaeda. Akhir tahun lalu, kelompok ini menyandera dua misionaris berkebangsaan Amerika dan seortang juru rawat Filipina di hutan Basilan. Amerika sendiri menjanjikan bantuan keamanan hampir 100 juta dolar untuk memerangi Abu Sayyaf.

Evelyn O. Katigbak dari Center for Media Freedom and Responsibility Filipina menilai, tayangan tadi ditujukan untuk menarik simpati publik dan dukungan tindakan kekerasan militer di Balikatan. Sejak penyanderaan yang dilakukan oleh Abu Sayyaf di Balikatan, dan rencana Amerika menerjunkan pasukan membantu Filipina memerangi Abu Sayyaf, politik di Filipina memang hangat. Khalayak terbelah antara yang setuju dengan yang tidak setuju dengan kehadiran pasukan asing di sana.

Di pihak lain, tayangan tersebut menimbulkan efek buruk, terutama terhadap citra Islam. “Pemenggalan kepala, orang yang sholat, bisa menimbulkan efek yang buruk,” kata Katigbak, “meskipun footage itu tidak dimaksudkan secara sengaja untuk menghina Islam. Publik bukan hanya membenci tindakan Abu Sayyaf, tetapi juga bisa membenci orang Islam keseluruhan.”

Ia memandang, tayangan pemenggalan kepala juga menciptakan asosiasi yang negatif terhadap ciri-ciri Islam yang kejam, seperti juga asosiasi khalayak terhadap pencuri yang bisa dipotong tangannya. Padahal, menurutnya, tidak semua penganut Islam menerapkan hukum tersebut. “Dalam masyarakat di mana penduduk Islam jumlahnya minoritas, pemberitaan soal terorisme demikian bisa menimbulkan kesalahpahaman. Media justru menghadirkan citra yang salah dan menyesatkan tentang satu agama atau ras tertentu.”

Profiling dan stereotipe menganggap komunitas sebagai satu kesatuan. Seperti orang Afghanistan yang digambarkan sebagai orang yang radikal dan menghalalakan segala cara. Padahal, tidak semua orang Islam seperti yang digambarkan. Celakanya, stereotip ini seringkali diikuti oleh pemberian label negatif.

Melinda Quintos de Jesus memberikan contoh pemakaian profiling yang mengganggu dalam pemberitaan media di Filipina terhadap gerakan Abu Sayyaf. Banyak kepala berita suratkabar di Filipina, kata de Jesus, mengidentifikasi Abu Sayyaf sebagai “penjahat muslim” atau “teroris Islam.”

Bagi de Jesus, ada yang keliru dalam pemberitaan mengenai Abu Sayyaf. Muslim dilihat seakan sebagai sumber masalah. Wartawan tidak sensitif dengan mengaitkan gerakan Abu Sayyaf sebagai personifikasi orang Islam. Kenyataannya, banyak orang Islam yang tidak setuju dengan cara-cara kekerasan yang dilakukan Abu Sayyaf. Carlos H. Conde, seorang penulis lepas di Davao City, juga menyatakan hal yang sama ketika menilai pemberitaan media di Filipina pasca serangan 11 September.

Ia lantas menceritakan kegundahannya lantaran beberapa kali ditolak wawancara oleh sejumlah tokoh Islam. Mereka takut dikaitkan dengan Osma bin Laden. Abbas Candao, seorang dokter dan pengelola Islamic Relief Organization (IIRO), malah menyatakan kekesalannya pada televisi ABS-CBN di Manila yang menghubungkan dirinya dengan Osama bin Laden.

TERORISME bisa dimaknai sebagai tindakan kriminal dan kekerasan. Bisa juga perjuangan merebut kemerdekaan.

Nedal Mansour, pemimpin redaksi Al-Hadath, suratkabar yang terbit di Amman-Jordan, menyatakan wartawan tidak boleh melupakan sejarah dan karakter kelompok. “Dengan memberi konteks, khalayak pembaca bisa paham perbedaan motivasi terorisme.”

Memberi konteks, buatnya, berartai melihat terorisme sebagai gejala yang kompleks dan tidak sederhana.

Nedal Mansour menceritakan bagaimana pemberitaan media atas kasus Palestina yang sering lupa memberi konteks. Media hanya memberitakan kaum Palestina melakukan terorisme dengan aksi bunuh diri atau intifadah. Namun, latar belakang mereka melakukan tindakan tersebut tidak banyak dimuat oleh media.

“Jangan memakai kata-kata yang kontroversial.” Nasehat ini dikemukakan oleh Johanna Son, dari Inter Press Service. Ia memberi contoh ketika Amerika menerjunkan pasukannya ke Afghanistan, ia menyebut Al-Qaeda sebagai sarang teroris. Sebaliknya, taliban menuduh pengerahan pasukan Amerika dan persenjataan untuk memburu Osama justru yang bisa dikategorikan sebagai terorisme.

Lantas, kapan wartawan menggunakan kata teroris atau terorisme? Supaya tidak terjebak dengan permainan kata-kata, Son menganjurkan agar wartawan mengutip “siapa mengatakan apa.”

Kalimat “Amerika menyerukan perang terhadap terorisme” lebih baik dibandingkan dengan mengatakan ”perang terhadap terorisme.” Pada kalimat pertama, ditunjuk dengan jelas siapa yang menyatakan kalimat tersebut.

Katanya, media harus mengecek fakta. Kalau faktanya tidak dipercaya, lebih baik berita tidak diturunkan sama sekali beritanya. Semua suara atau versi dari yang terlibat dalam konflik juga harus disuarakan. Dalam banyak kasus liputan terorisme, lebih banyak pihak penguasa yang mendapat banyak tempat. Sementara versi dari pihak teroris atau orang yang dituduh teroris tidak mendapat tempat.

Saya jadi teringat Noam Chomsky, pemikir dari Amerika itu. Tahun 1989, ia menerbitkan buku Necessary Illusions, yang membahas kebijakan politik luar negeri Amerika. Chomsky mengkritik kecenderungan media di Amerika, yang dalam penilaiannya hanya memberikan suara kepada penguasa dan tidak memberi tempat pada versi lain.

Tahun 1986, Amerika membom Tripoli, ibukota Libya, yang menewaskan hampir seratus orang sipil, diantaranya anak pemimpin Libya, Muammar Khadafy. Pemboman ini diberitakan sebagai pembalasan atas tindakan pemboman di Berlin Barat yang diduga dilakukan Libya.

Kesalahan media, menurut Chomsky, tidak dicek benar-tidaknya tuduhan yang dilamatkan ke Libya ini. Televisi menyiarkan aksi pemboman tersebut, lalu ditimpali komentar dari pejabat Gedung Putih tentang alasan pemboman. Padahal, setengah jam sebelum pemboman di Tripoli, sebuah laporan dari Berlin menyebut Amerika dan pejabat Jerman Barat mengatakan tidak ada fakta keterlibatan Libya. Khadafi hanya disangka kuat, tetapi temuan lapangan tidak ditemukan bukti cukup kuat.

“Laporan ini sama sekali diabaikan oleh media di Amerika,” katanya.

TERORIS dan pemerintah sama-sama membutuhkan media. Kelompok teroris perlu media untuk mengampanyekan tuntutan dan menyebarkan ketakutan dalam masyarakat. Sedang pemerintah perlu media untuk menjustifikasi setiap tindakannya terhadap teroris.

Meski dibutuhkan, media dan wartawan adalah pihak yang selalu terancam keselamatannya dalam wilayah konflik. Contoh-contohnya sudah berserakan di depan kita, mulai penyekapan dan penyanderaan wartawan, peledakan media seperti pemboman sebuah stasiun radio di Mindanao, Filipina. Atau bahkan, pembunuhan.

Philippe Latour dari Reporters Sans Frontier mencatat, selama 10 tahun terakhir ini sedikitnya 243 jurnalis meninggal dalam wilayah konflik. Dari jumlah tersebut, 46 orang jurnalis meninggal dalam perang di Balkan, 14 di Sierra Leone, 12 di Chechnya dan 10 di Afghanistan.

Saya tertarik mendengar cerita Carmen Gurruchaga Basurto, wartawan koran El Mundo, Spanyol, yang bertugas di wilayah Basque. Kini, kemana pun pergi, ia selalu membawa pengawal. Muara tindakannya berawal dari kejadian di sekitar Desember 1997, saat ia memberitakan soal ETA (Euskadi ta Askatasuna), kelompok kiri garis keras. Sehari setelah beritanya muncul di El Mundo, puluhan anggota ETA mendatangi dan melempari rumahnya. Sebelumnya, di bawah mobil yang selalu membawanya ke kantor di San Bastian, ditemukan bom molotov.

Sejak itu pula, tiap pagi ia memeriksa kalau-kalau ada bom di bawah mobilnya.

Rekan kerjanya di El Mundo, Jose Luis Lopez de la Calle, juga mengalami hal yang sama sebelum ditemukan mati ditembak orang tak dikenal, Mei 2000. “Saat ini di Spanyol, terutama Basque, ada sekitar 100 orang wartawan yang kemana pun pergi ditemani pengawal,” kata Basurto.

ETA didirikan tahun 1959 oleh sekelompok anak muda beraliran kiri radikal yang menolak pemerintahan diktator Francisco Franco. Kelompok ini berbasis di wilayah Basque, sebuah daerah yang secara kultural beragama Kristen dan mempunyai wilayah yang bergunung-gunung. Spanyol dan Prancis mengapitnya. Basque tidak pernah memperoleh kemerdekaan. Statusnya tak lebih dari daerah otonomi di bawah kekuasaan Spanyol.

Keadaan berubah ketika Franco meninggal tahun 1975 dan Spanyol menjadi negara pemerintahan demokrasi parlementer. ETA bercita-cita mendirikan negara sosialis, dan memisahkan wilyah Basque menjadi negara tersendiri dari Spanyol. ETA yang semula memakai cara-cara halus, berubah keras. Kelompok itu, misalnya, pada Oktober 2001, terlibat dalam peledakan bom di Vitoria yang mengakibatkan ratusan orang luka-luka. Sebulan berikutnya, seorang hakim dan dua polisi di Bosque, ditemukan tewas. ETA menyatakan bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut. Bulan Maret lalu, kelompok ini juga dituduh berusaha meledakkan kantor bursa efek di Bilbao, Spanyol.

Radikalis ETA tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan untuk menekan media. Wartawan yang memberitakan ETA secara kritis akan menerima teror dan menjadi target operasi.

Basurto menjelaskan, wartawan di Basque selalu diliputi ketakutan. Itu sebabnya banyak sekali pemberitaan yang dilakukan dengan hati-hati dengan eufemisme. Ketika ada orang tertembak, tidak diberitakan sebagai tertembak, hanya dikatakan mati. Anggota ETA juga tidak disebut sebagai “teroris” tetapi “kelompok militan.” ETA juga menggunakan Egin, sebuah penerbitan dibawah ETA sebagai corong politik ETA. Egin tidak segan menyerang dan membuat karakter yang buruk ketika menulis hal yang tidak disukai mengenai ETA.

Lain Basque, lain Columbia. Kekerasan menjadi bagian yang hidup dalam keseharian wartawan di Columbia. Kekerasan hampir terjadi tiap hari. Setiap bulan, ada 600 orang yang mati akibat perang, 334 kejahatan politik dan 259 penculikan dan penyanderaan. Wartawan di antaranya menjadi sasaran. Selama 2001, sembilan jurnalis terbunuh. Ana-Mercedes Gomez, direktur koran El Colombiano, Columbia, menjelaskan tidak ada suasana aman bagi wartawan di Columbia. “Wartawan harus siap setiap saat menjadi sasaran kelompok yang tidak puas dengan pemberitaan media.”

Sejarah kekerasan di Columbia sudah berlangsung lama. Amerika Serikat sendiri membantu US$1,3 miliar untuk membantu pemerintah Columbia memerangi teroris. Kelompok terkuat di Columbia adalah Angkatan Revolusioner Columbia (FARC) dan Tentara Pembebasan Nasional (ELN). Kedua kelompok ini mempunyai program yang sama, mereka merepresentasikan kelompok miskin melawan kelompok kaya di Columbia.

Tindakan itu diantaranya dilakukan dengan pemboman, pembajakan, penyanderaan. Bulan Februari kemarin misalnya, FARC membajak pesawat komersial dan menculik senator Columbia yang ada di pesawat. Pada bulan yang sama, FARC juga menyandera kandidat presiden, Ingris Betancout. Yang membuat pemerintah Columbia kecut, dana operasi kelompok itu didapat dari perdagangan obat terlarang.

PERANG melawan terorisme yang saat ini didengungkan banyak pemerintahan di dunia, bisa mengancam kebebasan pers. Atas nama memburu kaum teroris, kebebasan pers dikekang. Alasan pengekangan umumnya simpel: musuh tak boleh memanfaatkan pers.

Jean-Paul Marthoz dari Human Rights Watch mengatakan, saat ini kebebasan pers di banyak negara, termasuk Amerika, sedikit dikurangi demi apa yang disebut keamanan dan kepentingan nasional. Akses informasi dikontrol supaya tidak jatuh ke tangan “musuh.”

Marthoz juga mencatat bagaimana Biro Penyelidikan Federal Amerika (FBI), memasang suatu perangkat yang terhubung ke jaringan ISP (internet service provider) dan menyaring email yang dicurigai. Beberapa situs, katakanlah iraradio.com, ditutup oleh ISP yang berbasis di Amerika atas perintah pemerintah Amerika. Semua perintah tersebut dimulai agar berbagai pihak memaklumi langkah pemerintah dan membantu agar jaringan internet tidak dimanfaatkan oleh kaum teroris.

Saya kira gaung perang terhadap terorisme ini juga melanda belahan dunia lain. Perangkat undang-undang yang membatasi kebebasan pers mulai diterapkan. Negara lain memanfaatkan momentum perang terhadap terorisme ini untuk mengegolkan rancangan yang membatasi gerak kebebasan pers. Di India, umpamanya, pemerintah kini tengah merancang suatu undang-undang antiteroris yang membatasi gerak kebebasan pers. Di Uganda, parlemen merancang suatu undang-undang yang memungkinkan seseorang dihukum maksimal 10 tahun kalau menyebarkan dan meyiarkan laporan yang bisa mengarah pada terorisme. Sementara di Indonesia sendiri, sudah ada rencana untuk menyusun undang-undang antiterorisme.

Raymond Louw, editor Southern Africa Report, menjelaskan bagaimana dampak perang terhadap terorisme itu bagi negaranya. Saat ini, tengah dirancang Undang-Undang Terorisme dan Monitoring Hukum. “Nantinya, hukum itu memberi wewenang pemerintah mengatur dan memonitor pesan komunikasi bila dianggap perlu, seperti internet. Hukum itu juga memberi kewenangan untuk mengatur dan memonitor telekomunikasi,” katanya.

Di Zimbabwe hampir sama. Saya mendapat informasi dari Geoffrey Nyarota, pemimpin redaksi The Daily News, mengenai langkah pemerintah Robert Mugabe, yang saat ini mengeluarkan undang-undang tentang akses informasi dan kerahasiaan. Aturan itu mengharuskan wartawan yang bekerja mempunyai lisensi, selain melakukan kontrol dan pemeriksaan. Aturan itu, kata Nyarota, dibuat dengan nebeng ke isu terorisme. “Menteri penerangan Zimbabwe, Jonathan Moyo beralasan undang-undang itu dibuat agar media tidak menjadi corong terorisme.”

Tetapi gambaran paling ekstrim adalah bagaimana pembatasan wartawan atas nama perang terhadap terorisme itu terjadi di Chechnya. Wartawan bukan hanya menjadi target serangan dari kelompok radikal, tetapi juga pemerintah yang sedang melakukan apa yang disebut sebagai “perang melawan terorisme.” Dalam konferensi ini saya bertemu Anna Politkovskaia. Perawakannya mungil, tampak pendiam, tetapi ia akan bercerita dengan bersemangat ketika membicarakan media di Chechnya. Sejak 3 tahun lalu, ia bergabung sebagai reporter di Novaya Gazeta.

Politkovskaia merasa wartawan di Chechnya tidak ubahnya seperti biro humas (hubungan masyarakat). Presiden Vladimir Putin, sekitar dua setengah tahun lalu membuat kebijakan mengontrol pers. Kebijakan ini sejalan dengan langkah pemerintah Putin untuk menumpas gerilyawan Chechnya.

Wartawan yang bertugas di Chechnya harus mendapatkan surat izin terlebih dahulu dari kantor penerangan Putin. Setelah mendapat izin, wartawan harus melapor ke markas militer Rusia di Chechnya, Khankala. Wartawan akan mendapatkan pelayanan pers dari militer Rusia. “Apa yang didapat wartawan tidak lebih dari siaran humas daripada informasi yang layak berita.” Pengecekan fakta juga menjadi sukar dilakukan.

Kebijakan tentara Rusia mengontrol pers, bermula tahun 2000. Sejak Uni Sovyet runtuh tahun 1991 lalu, gerilyawan Chechnya melawan tentara Rusia untuk memisahkan diri. Kelompok ini oleh Rusia sepanjang tahun 1999 dituduh melakukan aksi pemboman di sebuah apartemen dan tempat lain yang menewaskan hampir 300 orang. Gerilyawan Chechnya juga dituduh berada di balik pembajakan feri Turki pada Januari 1996 dan pesawat Rusia di Arab Saudi, Maret 2001. Belum lagi tuduhan di sekitar aksi pengeboman dalam sebuah parade militer di Kaspiisk yang menewaskan 41 orang, Mei lalu.

Dengan geram, Politkovskaia menyindir kampanye Rusia itu sebagai kampanye “cuci otak” yang berhasil. “Pemberitaan media yang hanya bersumber dari militer telah membuat rakyat Rusia tidak mengetahui kejadian sebenarnya. Mereka hanya yakin bahwa militer Rusia benar-benar berbuat untuk mengejar terorisme. Kejahatan perang yang dilakukan tentara Rusia tidak banyak diliput oleh media.” *

by:Eriyanto