Jakob Oetama, Dunia Usaha dan Etika Bisnis, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, 182 halaman

Jakob Oetama, “Suara Nurani” Tajuk Rencana Pilihan 1991-2001, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, 333 halaman

Jakob Oetama, Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat Tak Tulus, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, 490 halaman

Jakob Oetama, Berpikir Ulang tentang KeIndonesiaan, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, 268 halaman

Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, 287 halaman

St. Sularto (editor) Humanisme dan Kebebasan Pers: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, Jakarta: Penerbit Kompas, 2001, 224 halaman


JIKA seseorang berulangtahun dan dihadiahi enam buah buku, total hampir 2.000 halaman, kemungkinan besar dia punya peran penting dalam tradisi membaca dan menulis di republik ini. Jakob Oetama, salah satu pendiri harian Kompas dan kini pemimpin umum suratkabar terbesar Indonesia ini, menerima hadiah itu ketika tahun lalu berulangtahun ke-70.

Menyebut Jakob Oetama dan Kompas ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan napas: Jakob Oetama adalah Kompas dan Kompas adalah Jakob Oetama. Keduanya saling mempengaruhi. Walau Jakob Oetama, yang akrab dipanggil “J.O.” di kalangan Kelompok Kompas Gramedia, tak sendirian mendirikan Kompas –tapi bersama dengan almarhum PK Ojong– J.O. hidup lebih lama dari rekannya. J.O. juga mengenyam sukses perusahaan yang mereka dirikan pada 1965.

J.O. yang besar dalam kultur Jawa pernah jadi guru, sebelum PK Ojong atau Auw Jong Peng Kun, mengajaknya masuk dalam dunia jurnalistik. Sekali masuk dalam dunia jurnalistik, J.O. menyelam jauh dan jadi salah satu raja dalam sejarah pers Indonesia modern.

Mungkin J.O. tak mengira Kompas jadi sedemikian besar sebagai salah satu kerajaan media di Indonesia, yang memiliki puluhan media cetak, stasiun radio, stasiun televisi, sejumlah penerbitan, jaringan toko buku terbesar di Indonesia, selain pengaruhnya yang luas dalam pembentukan opini warganegara Indonesia.

Kompas bukan semata suratkabar yang terbit tiap hari, tapi juga menggelindingkan sejumlah isu dan menawarkan diri sebagai wahana diskusi berbagai komponen masyarakat. Banyak studi, dalam dan luar negeri, pernah ditulis soal Kompas lewat berbagai aspek. Ada yang menulis dimensi humanisme transendental yang jadi salah satu ideologi Kompas, misalnya Kees de Jong dari Belanda. Ada pula yang menulis soal evolusinya menjadi grup bisnis pers bak gurita. Ada yang menulis secara kritis menurunnya ketajaman tajuk Kompas pada periode Orde Baru. Ada pula yang menulis semangat PK Ojong.

Banyak orang menyebut bahwa Jakob Oetama adalah salah satu sobat Menteri Penerangan Harmoko, yang menduduki kursi itu tiga kali atau 15 tahun dalam rezim Orde Baru. Sekaligus Harmoko salah satu pembantu kesayangan Presiden Soeharto. Tapi J.O. pada titik tertentu menentukan sikap yang sesungguhnya ketika digelar pengadilan kasus gugatan majalah Tempo terhadap Harmoko.

J.O. yang menjabat sebagai Pelaksana Harian Dewan Pers bersaksi pada Maret 1995, bahwa tak ada rekomendasi dari Dewan Pers untuk membredel tiga mingguan, masing-masing Tempo, Editor, Detik, pada Juni 1994.

Sebelumnya Harmoko mengatakan bahwa pencabutan surat izin penerbitan tiga mingguan tersebut didasarkan rekomendasi dari Ketua Pelaksana Dewan Pers Jakob Oetama. Tak jelas bagaimana reaksi Harmoko mendengar kesaksian J.O. Tapi bagi J.O. inilah titik di mana ia harus menentukan sikapnya secara jelas.

BAGAIMANA Kompas mendefinisikan diri ketika berhadapan dengan warganegara, negara, dan kelompok bisnis? Sebuah tulisan Jakob Oetama pada 1985 berjudul “Arah Perkembangan Media Massa Dewasa Ini” bisa dijadikan acuan (dimuat ulang dalam buku Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tak Tulus).

“Apabila media massa mengambil tempat di dalam masyarakat dan menjadi bagian dari suatu sistem masyarakat seluruhnya, maka logislah apabila asal mula pengaruh bukan dari media, melainkan dari masyarakat.”

“Masuk dalam kategori mana, sistem sosial-politik yang berlaku di negara sedang berkembang dan secara eksplisit yang berlaku di Indonesia?”

Secara hati-hati J.O. menjawab pertanyaan itu. “Demokrasi, Otoriter, ataukah Totaliter? Sistem sosial-politik Indonesia pasti tidak masuk kategori totaliter. Dikatakan masuk spektrum demokrasi, sering tampak adanya berbagai kecenderungan otoriter. Dimasukkan ke dalam spektrum otoriter, tidak juga pas. Ada unsur-unsur pokok demokrasi, bahkan juga dalam kebudayaan dan operasinya.”

J.O. mencoba menjawabnya secara elegan, sekaligus sangat mudah ditafsirkan sebagai penjelasan berbelat-belit, walau barangkali inilah cara menjawab yang menukik ke pokok persoalan. “Barangkali ada cara lain untuk memandang masalahnya. Sebenarnya, membuat kategorisasi suatu sistem-sistem sosial secara statis telah ditinggalkan. Sebagai pandangan yang dianggap lebih memadai ialah pendekatan yang dinamis. Orang tidak melihat sistem-sistem yang berbeda itu dalam suatu pengkotakan, tetapi lebih dalam suatu kontinuum, dalam suatu perkembangan. Apakah untuk mencoba memahami persoalan di negara-negara sedang berkembang, pendekatan kontinuum itu tidak lebih kena?”

Argumentasi berbelit-belit itu memang bergaya “J.O. sekali” atau “Kompas sekali.” Kecenderungannya berputar-putar sebelum masuk ke inti persoalan. Persoalan begitu kompleks, sikap dalam menghadapi kompleksitas itu, kadang sangat sulit ditunjukkan Kompas dengan jelas, terutama pada akhir 1970-an hingga 1990-an.

Tak mengherankan jika pakar sejarah dan politik Indonesia Benedict R.O’G Anderson dari Universitas Cornell, yang menulis buku-buku bermutu tentang nasionalisme dan Asia Tenggara, antara lain Java in a time of revolution: cccupation and resistance 1944-1946 dan Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, memandang peranan Kompas dengan kritis. Anderson menyebut Kompas sebagai koran yang sangat Orde Baru (“New Order’s newspaper par exellence”). Kompas sangat kompromistis terhadap rezim Presiden Soeharto. Tekanan pemerintahan Soeharto berlangsung sangat efektif dalam diri Kompas, sehingga menghasilkan gaya penulisan yang penuh kehati-hatian. Pembaca Kompas diajak berputar-putar dulu ketika membaca berita atau opini Kompas.

Itulah strategi Kompas untuk menyiasati kekuasaan hegemonik Orde Baru, agar bisa bertahan hidup, juga untuk menyelamatkan perut ribuan karyawan yang jadi tanggungannya. Namun sah saja jika Benedict Anderson menafsirkan strategi tadi adalah tanda tunduknya Kompas terhadap kekuasaan Soeharto.

Mantan pemimpin redaksi harian Pedoman Rosihan Anwar pernah menyebut jenis jurnalisme Kompas ini sebagai “jurnalisme kepiting. Maksudnya, kepribadian Kompas bergerak ala kepiting, mencoba langkah satu demi satu untuk mengetes seberapa jauh kekuasaan memberikan toleransi kebebasan pers yang ada. Jika aman, kaki kepiting bisa maju beberapa langkah, jika kondisi tak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur beberapa langkah.

Awalnya J.O. tak senang dengan istilah itu, tapi lama kelamaan, itulah kenyataan yang ada. Karena ke-kepiting-annya itulah sampai hari ini Kompas bisa bertahan, malah makin bertambah besar ketika masa jurnalisme kepiting telah berlalu.

INTELEKTUALITAS Jakob Oetama memang luar biasa. Ini bisa dibaca dari berbagai tulisannya yang mengutip dengan benar berbagai tokoh pemikir klasik hingga kontemporer. Policarpus Swantoro, tangan kanan Jakob Oetama, menulis dalam pengantar salah satu buku ini, “Bagi Jakob buku adalah teman hidupnya. Khususnya buku-buku jurnalistik, sosial-politik, permasalahan budaya dan humaniora …. Buku tidak saja merupakan salah satu sumber pengetahuan yang penting, tetapi juga sebagai bahan refleksi, atau pemberi inspirasi bagi pembentukan pemikirannya.”

Melihat deretan buku yang pernah dibacanya, mungkin banyak orang akan kagum sembari berpikir, “Betapa ironisnya, seorang yang cuma ‘pemimpin redaksi’ memiliki wawasan yang jauh lebih luas daripada ‘pemimpin politik’ negerinya sendiri.” Karena itu jika mencermati penerbitan Kompas dekade 1980-an dan 1990-an, akan banyak ditemui bahwa Kompas meluangkan halaman-halamannya untuk menyarikan berbagai topik diskusi yang diselenggarakan harian ini. Mulai dari isu nasionalisme, pembangunan berkelanjutan, persoalan ekonomi makro dan mikro, pembangunan Indonesia timur, masalah kaum muda, perempuan, pendidikan, dan lain-lain. Tak mengherankan pula jika kemudian Kompas bekerjasama dengan LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial) dan Yayasan Paramadina pada awal 1990-an mendirikan kelompok diskusi: Forum Indonesia Muda.

Kompas memberikan ruang khusus setiap bulan, kemudian dua bulan, bagi diskusi kalangan intelektual muda ini. Kompas juga memberikan ruang khusus dalam halaman korannya untuk menyarikan diskusi yang terjadi dalam tiap putaran. Di antara yang jadi anggota Forum Indonesia Muda ini, kini banyak yang jadi petinggi sejumlah lembaga swadaya masyarakat atau pun komentator politik yang pendapatnya diperhatikan media serta jadi think tank kelompok-kelompok politik. Ada pula yang kini jadi pejabat publik. Beberapa anggota forum ini jadi penulis kolom Kompas.

Jika menyimak pemikiran yang banyak dikutip J.O., sebenarnya banyak hal yang dianutnya tergolong kuno atau tak lagi lengkap dalam menerangkan perkembangan dunia. Ada dua orang yang paling sering dijadikan rujukan J.O. Marshal McLuhan dan Wilbur Schramm. Keduanya pemikir komunikasi. McLuhan terkenal dengan kalimat “media as extention of a man,” dan Schramm sebagai salah satu founding father ilmu komunikasi Amerika Serikat.

Sayangnya, banyak kutipan J.O. dari dua pemikir komunikasi ini tak lagi valid. Schramm, misalnya, pada 1950-an memetakan empat tipologi pers dunia: pers otoriter, pers liberal, pers bertanggungjawab sosial, dan pers komunis. Teori Schramm ini sampai sekarang masih diajarkan di bangku-bangku kuliah komunikasi Indonesia, seolah-olah sebagai kondisi yang masih berjalan. Sudah sejak lama pula konsep empat teori pers ini dikritik ahli komunikasi lain. Mereka menyebut pemetaan tersebut sebenarnya terjemahan kepentingan pemerintah Amerika Serikat dalam Perang Dingin. Kalau membaca argumentasi Dennis McQuaill atau William Hacten, sebagai contoh saja, kritik terhadap tipologi tadi muncul.

Pemikiran Schramm juga sarat dengan kepentingan intelejen Amerika. Dalam beberapa literatur mutakhir, keterlibatan Schramm dalam sejumlah proyek intelejen mulai terkuak, sehingga mereka yang hendak mengkonsumsi teori Schramm perlu makin hati-hati serta kritis. Baca misalnya karya Christopher Simpson Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960 (1994). Simpson membongkar arsip-arsip intelejen Amerika dan menemukan peran besar Schramm dalam proyek-proyek rahasia intelejen.

Jurnalisme pembangunan, yang ditulis Jakob Oetama dalam periode 1970-1980-an, banyak mengacu pada konsepsi Wilbur Schramm. Ketika represi Orde Baru makin kuat terjadi dan era modal datang menghampiri industri media, konsepsi jurnalisme pembangunan itu kelihatan dibuang jauh-jauh oleh J.O.

Padahal, di sinilah tantangannya. Bagaimana mencari ketersambungan antara jurnalisme pembangunan –di dalamnya menyangkut formulasi hubungan antara pers dan pemerintah harus dilakukan– dengan perkembangan Indonesia yang sempat menjadi macan ekonomi Asia Tenggara?

J.O. mencoba menafsirkan konsep jurnalisme pembangunan sebagai laporan jurnalistik yang “di samping lengkap, jelas dan terang duduk perkara dan proporsinya penulisan dengan memasukkan proses dan konteks, juga lantas lebih membangkitkan dinamika, menunjukkan arah dan sekaligus mengisyaratkan yang bertanggungjawab serta terutama kemungkinan-kemungkinan untuk memperbaikinya.”

Apakah konsepsi ini cukup operasional dan mudah dipahami para wartawan Kompas serta dimengerti masyarakat luas? Saking indahnya, sehingga sulit dimengerti. Dalam arti ini, J.O. memang bukan seorang akademikus. Dia seorang jurnalis yang menggunakan literatur yang ada sejauh bisa cocok dengan tulisan yang dia kerjakan. Ini pun dilakukan banyak orang. Mungkin inilah salah satu konsekuensi keluasan minat yang tak disertai kedalaman tertentu.

BANYAK orang menyebut editorial suatu suratkabar jadi semacam cermin untuk mengetahui sikap sebuah media. Fakta itu suci, tapi opini bebas saja. Itu adagium yang kerap dipakai J.O. untuk memisahkan antara laporan mengandung fakta dengan tulisan yang bernilai opini. Tajuk rencana adalah ruang untuk beropini sebuah suratkabar. Bagaimana potret tajuk rencana Kompas dalam beberapa dekade ini?

Kolumnis Tjipta Lesmana pada 1985 pernah menulis bahwa warna editorial Kompas selama 1979-1985 bisa digambarkan dalam lima butir pemikiran. Pertama, mendukung praktis setiap ide, setiap kebijakan dan setiap langkah yang diambil oleh pemerintah dalam semua lapangan kehidupan: politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.

Kedua, sebagai akibat sikap pertama, tajuk Kompas tidak kritis. Apa yang berasal dari pemerintah seakan-akan dianggap sempurna, sehingga tertutup bagi pemikiran alternatif lainnya.

Ketiga, menjadikan medianya sebagai interpreter terhadap ucapan-ucapan pejabat pemerintah yang kurang jelas maknanya atau yang bersifat kontroversial dengan tujuan menetralisir atau memadamkan reaksi-reaksi tajam yang muncul akibat dari ucapan pejabat tersebut.

Keempat, menghindarkan diri dari ulasan terhadap pendapat, pandangan atau buah pikiran orang yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, sekali pun pendapat, pandangan atau buah pikiran itu berasal dari tokoh masyarakat atau cendikiawan kenamaan.

Kelima, terhadap gejolak-gejolak yang terjadi dalam masyarakat, apakah itu gejolak di bidang ekonomi, sosial atau politik, Kompas juga menghindarkan diri untuk mengulasnya, kendati berita tentang gejolak itu dimuat. Kalau toh ditanggapi dalam editorial, ulasannya bersifat tidak langsung sehingga tidak menyentuh permasalahan sebenarnya secara hakiki.

Ini memang kritik tajam terhadap Kompas. Namun J.O. punya pembelaan. Ninok Leksono, wartawan senior di Kompas sekaligus editor untuk kumpulan tajuk rencana Kompas, mengatakan bahwa tajuk yang ditulis Jakob Oetama “memiliki cara, gaya serta rasa perasaan yang khas J.O., yaitu gaya yang menyampaikan ide ataupun pemikiran dan kritik tidaklah begitu saja. J.O. menganggap kritik harus disampaikan dengan kiat tertentu, mungkin tidak linier, tidak mengena langsung, apalagi sampai mempermalukan, tetapi pesan tetap sampai.”

Salah satu contoh yang ditunjuk Leksono adalah bagaimana J.O. hendak mengatakan bahwa kekuasaan Orde Baru makin otoriter. Dalam sebuah editorial 1995 J.O. menulis, “Pemerintahan cenderung semakin terpusat dan terpribadi.” Ninok Leksono mengatakan pembaca tajuk Kompas pada masa itu harus pandai untuk reading between the lines. Sesuatu yang tertulis dalam tajuk belum tentu sesuatu yang telah terjadi, tapi bisa saja suatu harapan. Contoh kalimat yang ada misalnya, “Pimpinan nasional punya sikap penuh kenegarawanan” atau “TNI telah manunggal dengan rakyat.” Apakah Soeharto punya sikap negarawan? Apa tentara Indonesia sudah meyatu dengan rakyatnya?

MEI 1998 banyak mengubah peta sejarah Indonesia. Ada kerusuhan anti-Cina di Jakarta, ribuan mahasiswa menduduki gedung parleman, dan puncaknya Soeharto mengundurkan diri. Perubahan situasi ini berdampak pada kehidupan Kompas. Jurnalisme model kepiting tak lagi cocok. Pada bulan-bulan pertama pergantian kekuasaan, Kompas mulai agak berani memuat berita yang mengabarkan kegiatan yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen, suatu organisasi yang tak disukai Menteri Penerangan Harmoko, dan dulunya harus sembunyi-sembunyi. Pers jadi lebih bebas, tak ada lagi ketakutan ditelepon pejabat penerangan atau militer.

Bagaimana J.O. merumuskan perubahan tersebut? Tulisan berjudul “Kebebasan Pers dalam Masyarakat Transisi” bisa menjawab pertanyaan tadi. “Jika kini pers bebas, itu pula fungsi kemerdekaan pers itu. Menjadi watchdog dan pengawal agar transisi melalui segala pergolakan dan pasang-surutnya tetap konsisten menuju alamat yang benar. Demokrasi, asas kekuasaan hukum, martabat kemanusiaan, dan hak-hak asasinya, pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial, ekonomi pasar tetapi ekonomi pasar sosial, persatuan Indonesia yang komit pada pluralisme, otonomi daerah, persaudaraan antar umat manusia dalam kesejahteraan bersama ….”

Sikap J.O. dalam masa transisi sangat menarik. J.O. cukup keras menekankan pentingnya wartawan tetap memegang etika dan makin menempa diri jadi profesional. J.O. mengingatkan, “Wartawan menulis untuk orang lain, untuk khalayak pembaca, untuk masyarakat. Wartawan sekaligus menulis untuk diri sendiri. Dalam arti, tulisan ialah juga ekspresi diri, ekspresi diri wartawan. Wartawan mempertaruhkan diri lewat tulisannya. Standar yang ia terapkan dalam proses penulisannya bukan hanya menyangkut orang lain, tetapi sekaligus juga dirinya. Standar diri sang wartawan.”

Rizal Mallarangeng dari Center for Strategic and International Studies, mengatakan editorial yang ditulis pada masa transisi ini menunjukkan perbedaan posisi, cara, dan gaya. “Tajuk Kompas telah berubah dan penulisan tajuk rencananya lebih bermodel bak anjing penjaga tak mungkin ditemukan dalam Kompas dalam 3-4 tahun sebelumnya.” Mallarangeng menulis artikel ini dalam kumpulan karangan Humanisme dan Kebebasan Pers: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama.

TAHUN 1998 tak semata menandakan masalah pergantian kepemimpian politik, tapi juga menandakan globalisasi telah menghasilkan internet. Ada kecemasan J.O. Apakah kehadiran internet akan membuat suratkabar mati?

J.O. menawarkan jawabannya, “Mungkin juga karena dipengaruhi oleh kepentingan sendiri, kami masih percaya akan masa depan suratkabar dan majalah. Kemampuan media cetak untuk menangkap peristiwa dan persoalan secara lengkap mendekati kompleksitas peristiwa dan permasalahannya, apakah dapat digantikan oleh media elektronik.”

“Yang jelas media cetak harus memperbaharui dan menyegarkan diri, melakukan adaptasi. Besarlah dampak media elektronik terhadap media cetak. Media baru tidak dihambat oleh time and space sehingga penyebaran dan kehadirannya serentak ke mana-mana dan di mana-mana….”

Terhadap globalisasi, J.O. merumuskan pandangannya, “Globalisasi menghasilkan kecenderungan yang berlawanan arah. Arah yang satu ialah arah ke luar menjadi bagian dari masyarakat dunia yang dikuasai oleh ekonomi pasar, oleh arus informasi, oleh arus teknologi dan gaya hidup yang bersumber pada pola konsumerisme serta oleh tata nilai global yang masih sangat cair. Pada arus dan orientasi global itu sangatlah kuat pengaruh negara industri barat.”

Tak cukup jelas, apakah JO mendukung globalisasi atau menolaknya. Salah satu kata kunci yang kerap dipakai J.O. untuk menerangkan meluasnya kerajaan Kelompok Kompas Gramedia adalah “sinergi.” Arti sinergi adalah “kerjasama yang terpadu antara orang atau unit kerja atau unit usaha yang hasil keseluruhannya lebih besar daripada jumlah hasil yang dicapai jika masing-masing bekerja sendiri. Dengan bersinergi, kita menikmati daya guna (efisiensi), hasil guna (efektivitas) dan mempertinggi semangat kebersamaan.”

Kata sinergi di sini dapat dilihat secara kritis. Apakah sinergi artinya seseorang bekerja pada satu-dua perusahaan dalam grup yang sama dengan mendapatkan gaji dari satu sumber belaka; ataukah semangat kerumunan begini yang diharapkan bisa mendongkrak adik yang paling bungsu dalam grup tersebut? Ketika TV7 –stasiun televisi milik Kelompok Kompas-Gramedia– tampil ke permukaan, amat kerap bisa dibaca dalam harian Kompas, beberapa wawancara eksklusif didapatkan Kompas bersama dengan TV7. Apakah ini semata-mata penegasan bahwa memang TV7 segaris pemberitaan dengan Kompas? Atau ini tanda bahwa TV7 memang memiliki kru yang memang bisa mendapatkan berita yang eksklusif pula tanpa bantuan dari sang kakak?

Sinergi bisa pula dianggap mengarahkan pembaca pada suatu pembentukan selera tertentu. Satu contoh kecil. Saya memperhatikan rubrik resensi buku yang ada pada harian Warta Kota –juga milik Kelompok Kompas-Gramedia. Kerapkali rubrik resensi buku Warta Kota diisi buku-buku yang diproduksi perusahaan saudaranya Warta Kota. Entah itu penerbit Kompas, penerbit Gramedia Pustaka Utama, Grasindo, Kepustakaan Populer Gramedia, dan lain-lain.

Apakah ini bentuk kemalasan redakturnya? Atau memang buku yang terbit pada masa itu memang keluaran grup ini yang paling pantas diresensi? Kalau mereka yang pantas, apakah rubrik resensi buku yang ada dalam Warta Kota cukup kritis atas buku milik saudara-saudaranya? Saya curiga itu bukan resensi serius, tapi lebih sebagai iklan untuk kepentingan saudara tuanya.

Tapi hal inilah situasi yang sekarang terjadi dalam industri media global. Apakah itu kelompok American On Line-Time Warner atau Walt Disney atau Sony atau News Corporation. Semuanya memiliki divisi perfilman, musik rekaman, dan perbukuan dalam payung perusahaan yang sama. Siapa mengiklankan siapa, ini menjadi tidak lagi jelas. Apakah sinergi macam ini yang dimaksudkan Kompas cq. Jakob Oetama sebagai “hasil keseluruhannya lebih besar daripada jumlah hasil yang didapat jika masing-masing bekerja sendiri?”

JAKOB Oetama dalam buku-buku ini juga mengemukakan isu bisnis. Bagaimana ia melihat perkembangan Kelompok Kompas Gramedia? Bagaimana ia menjawab munculnya TV7? Secara khusus, ketika ia berbicara tentang etika bisnis, dengan mengutip seorang usahawan Jepang, dia mempertanyakan hakikat usaha bisnis yang dilakukan. “Apa tujuan usaha bisnis? Membuat laba ataukah seperti dikatakan oleh Matsuhita, ‘Laba bukanlah cermin dari kerakusan perusahaan. Laba ialah tanda kepercayaan masyarakat karena apa yang ditawarkan kepada masyarakat dihargai olehnya. Laba ialah pertanda efiensi.’”

Seperti biasa, J.O. tak mau menjawab dengan lugas. Mungkin dua hal tadi –kepercayaan masyarakat dan kerakusan perusahaan– adalah dua hal yang berjalan secara bersama-sama dalam setiap praktek perusahaan besar. Untuk itu Kelompok Kompas Gramedia mungkin bisa diistilahkan sebagai genuine capitalist, pengusaha atau kapitalis yang murni, dalam arti bahwa ia meniti betul jalan-jalan yang ia hadapi untuk jadi besar seperti sekarang. Jalan itu membutuhkan waktu lebih dari 30 tahun. Ibaratnya, sekarang ini masa panen dari tebaran benih yang telah dilempar puluhan tahun lalu.

Namun, karakter dari perusahaan terkadang adalah ekspansi. Memang logika modal berjalan: perputaran uang. Lalu di mana berhenti? Tak ada yang tahu. Mungkin saja kalau dalam neraca dari korporat menunjuk sejumlah unit sudah tak efisien, maka ia dilikuidasi. Memang dalam Kelompok Kompas Gramedia kisah-kisah tak sukses banyak terjadi. Bisa disebut beberapa contoh misalnya tabloid Warta Pramuka, majalah Tiara, majalah Jakarta-Jakarta. Sebelumnya ada PT Gramedia Film.

Tapi di luar kisah tak sukses tadi, Kelompok Kompas Gramedia makin gendut dengan puluhan media cetak. Seorang redaktur penerbitan di sini pernah bertutur, ia ditargetkan untuk menghasilkan 10 judul buku per bulan. Jadi, setiap tiga hari harus ada satu buku baru. Bukankah ini pekerjaan mesin ketimbang pekerjaan intelektual? Apakah ini masih sesuai dengan semangat awal pendirian Kelompok Kompas Gramedia? Memberikan kontribusi atas pencerdasan kehidupan bangsa? Atau sekadar pura-pura mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjadi mesin industri?

Contoh lain adalah penerbit dalam grup ini, yang tadinya disetel spesialis di masing-masing bidang, dalam era persaingan bebas, justru jadi kompetitor –sebagai digambarkan filsuf Thomas Hobbes, homo homini lupus. Manusia jadi serigala bagi manusia lainnya. Perebutan naskah terjadi antara sejumlah penerbit.

HARI Selasa menjelang akhir April 2002. Ketika saya masih berada di kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, seorang sekretaris menelepon dan mengatakan Jakob Oetama bersedia menerima saya untuk wawancara dengan daftar pertanyaan yang sudah saya ajukan tiga minggu sebelumnya. Saya setuju dan sekretaris ini berpesan, “Hanya satu jam saja, ya .…”

Pada hari yang dijanjikan, di lantai VI gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan, saya menunggu wawancara dengan J.O. Sekretarisnya minta saya menunggu. Rupanya J.O. masih bicara dengan salah satu stafnya. Setelah 10 menit, J.O. mengajak saya masuk. Kami bersalaman dan duduk di sofa warna krem. Dalam ruang seluas 35 meter persegi itu terdapat sebuah meja kerja dengan dua buah kursi. Di sampingnya ada lemari berisi buku-buku koleksi J.O. Buku kumpulan tulisan J.O. dalam bentuk hard cover tergeletak di ujung lemari. J.O. terlihat santai, dengan baju biru muda dan dasi biru tua bermotif garis. J.O. terbuka untuk menjawab berbagai pertanyaan yang saya ajukan.

J.O. mengatakan bahwa Kompas memang cenderung mengambil sikap hati-hati pada masa Orde Baru, karena pada dasarnya ia percaya kemerdekaan pers yang sekarang diraih harus melalui tahap-tahap tertentu. “Saya tidak memilih yang revolusioner. Saya lebih setuju dengan kondisi yang bertahap. Memang membutuhkan waktu walau memakan lebih dari 30 tahun.”

Itupun, lanjutnya, masih belum juga selesai. Ini justru membuktikan tesisnya bahwa yang dihadapi pers memang melalui proses dan tahapan-tahapan tertentu. “Kami tidak hanyut sama sekali tapi juga jangan mati. Kalau mati percuma, media jadi tidak berfungsi.”

Apakah kondisi kebebasan sekarang akan segera menutup kembali? “Tergantung kita sendiri, misalnya saya terus-menerus mengingatkan, kita harus memiliki the ultimate goal, yaitu perbaikan kehidupan rakyat secara kualitatif. Kualitatif tidak hanya ekonomi, tapi juga punya hak kemanusiaan secara utuh. Misalnya dalam situasi sekarang, media juga perlu mencari solusi dari persoalan yang ada,” ujarnya.

Saya mempertajamnya, “Tapi kan kadang-kadang banyak soal yang masih belum jelas untuk kita, bagaimana kemudian kita harus mencari solusinya? Bukankah tugas media massa itu memberikan informasi, bukan mencari solusi?”

J.O. lalu mengambil contoh simpang-siurnya dana Bantuan Presiden. Katanya, kewajiban media adalah memperjelas soal dana itu, mengungkapkan prakteknya, memahami yang sudah terjadi, dan mengusulkan pengaturan yang lebih transparan.

“Solusinya adalah perbaikan sistem, misalnya dimasukkan dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Setiap perusahaan pun memiliki yang namanya dana taktis, namun berapa besar jumlah dibanding dengan seluruh dana yang dimiliki, ini yang harus jelas.”

Pertanyaan terus saya ajukan. Kelompok Kompas Gramedia dikritik karena ikut-ikutan mendirikan televisi, padahal telah punya puluhan suratkabar sampai di provinsi-provinsi. Apakah ini tak akan membentuk semacam monopoli informasi?

Ide pendirian televisi, menurut J.O., merupakan mobilisasi orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam suatu tim yang sinergis. Yang berkumpul di situ adalah ahli ekonomi, keuangan, dan mereka yang punya bakat serta prinsip yang tidak hanya bicara saja.

Membesarnya Kelompok Kompas Gramedia berawal karena grup ini merasa tak aman hidupnya di masa Orde Baru. Pedang Democles bisa diayunkan setiap saat untuk memotong hidup media kala itu. Lalu sekoci-sekoci cadangan disiapkan. Tak semuanya merupakan inisiatif dari Jakarta. Ada beberapa kasus, penerbitan daerah yang minta kerja sama dengan Kompas. Kerjasama tak hanya dalam bentuk finansial, tapi juga berupa bantuan membenahi pengelolaan media dan menempatkan orang sebagai awalnya. “Misi dan visi kami sebarkan, yaitu membawa kemajuan bangsa, membawa masyarakat yang plural, dan tidak diskriminatif.”

JAKOB Oetama dan PK Ojong sebagai pendiri Kompas memiliki saham masing-masing 20 persen dan 25 persen. Karena saham ini, J.O. masuk dalam deretan 200 pembayar pajak pribadi terbesar di Indonesia. “Bersama-sama dengan Fikri Jufri …,” sergahnya sambil tertawa. Sementara Kelompok Kompas Gramedia, yang memiliki 10-an ribu karyawan di seluruh Indonesia, “hanya” masuk dalam peringkat 160-an perusahaan pembayar pajak terbesar di Indonesia.

Namun J.O. mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang kapitalis. “Mungkin kapitalis yang terjadi karena didesak situasi,” ucapnya.

Bagaimana J.O. menyiapkan penggantinya?

J.O. mengatakan ia bersyukur karena telah melakukan pergantian kepemimpinan redaksi dengan mulus ke tangan Suryopratomo. Jajaran pengambil keputusan di bidang redaksi, sekarang dipimpin kalangan muda. Tak mudah, katanya, mencari pengganti dari orang yang memulai sesuatu. Sama seperti sulit mencari pengganti Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi pertama Tempo. Namun solusi ditemukan, dan para pemimpin muda ini masih terus dibimbing untuk menjalankan fungsi keredaksian. Perlahan-lahan Suryopratomo dan kelompoknya diterima juga oleh berbagai pihak.

Tantangannya terletak pada apakah kelompok yang ada saat ini bisa menerima perbedaan yang ada? Bisa saling bekerjasama sebagai sebuah tim? Apakah ide ketika Kompas didirikan juga bisa ditangkap para anak muda Kompas?

Pada 1985, kolumnis Tjipta Lesmana pernah menulis sebuah buku berisi kritik terhadap penampilan Kompas pada masa Orde Baru. Buku ini ditulis sebagai hadiah Lesmana pada ulang tahun ke-20 Kompas. Namun hadiah yang diberikan berupa ulasan tajam bahwa Kompas kelihatan giginya dibandingkan masa-masa awal diterbitkan. Banyak kritik Kompas kala itu yang dibungkus dengan bunga-bunga yang mengaburkan kritik itu sendiri.

Sempat beredar gosip buku itu membuat tak senang para petinggi Kompas. Buku tersebut diborong habis dari pasaran. Yang terjadi kemudian, buku tersebut lebih mudah ditemukan di pasar buku loak daripada toko buku resmi. Saya bertanya kepada J.O. soal gosip pemborongan buku tersebut.

J.O. mengatakan sejumlah paparan Lesmana kala itu tidaklah tepat. Tidak ada usaha Lesmana untuk melakukan verifikasi pada dirinya. Misalnya dalam buku itu digambarkan ketidakserasian hubungan antara J.O. dan Ojong. “Hal itu sama sekali tidak benar,” kata J.O. “Dan tidak ada perintah dari saya untuk memborong buku itu.”

Apakah ada wartawan amplop di Kompas? Dengan santai J.O. menjawab, ada beberapa wartawan Kompas yang belakangan terbukti menerima amplop. Mereka itu telah dikeluarkan. “Yang terakhir itu adalah wartawan dari desk metro, dan yang bersangkutan pun sudah mengundurkan diri,” katanya.

Dua jam sudah lewat. J.O. pun merasa cukup menjawab sejumlah pertanyaan. Saya saya pamit, ia mengantar hingga ke depan pintu, sambil berucap, “Sukses, ya bung .…” *

by:Ignatius Haryanto