Suratkabar Ding Dong

Tantowi Djauhari

Mon, 6 May 2002

BESOK Samarinda Pos terbit,” kata Bangun Subekti, seorang wartawan senior Kaltim Post, sebuah harian besar di Kalimantan Timur, pada saya suatu hari awal Maret 1998.

BESOK Samarinda Pos terbit,” kata Bangun Subekti, seorang wartawan senior Kaltim Post, sebuah harian besar di Kalimantan Timur, pada saya suatu hari awal Maret 1998.

Saya menyahuti, “Serius Pak?”

Tapi saya masih melanjutkan mengetik berita sampai Bangun Subekti bilang, “Sekarang ke kantor Samarinda Pos tulis berita untuk besok.”

Tanpa banyak tanya, saya langsung berangkat naik sepeda motor ke kantor Samarinda Pos, jaraknya ada lima kilometer dari Kaltim Post di Balikpapan. Berita yang semula saya tulis untuk Kaltim Post, saya batalkan dan saya simpan di disket untuk Samarinda Pos. Memang ironis. Meski koran itu mengambil nama “Samarinda” tapi kantor pusatnya berada di Balikpapan –seperti Kaltim Post.

Di kantor bertingkat dua yang terbuat dari kayu itu, sudah ada beberapa orang teknisi dan sejumlah wartawan baru. Ada beberapa komputer yang baru dibuka bungkusnya dan masih disiapkan. Saya tak tahu akan diisi apa berita Samarinda Pos, yang rencananya terbit pertama dalam delapan halaman, keesokan harinya.

Saya pikir pasti banyak kekurangan berita. Bangun Subekti dan para wartawan lain pontang-panting, telepon sana-sini untuk memenuhi halaman kosong. Sampai pukul 24.00 masih ada beberapa halaman yang belum penuh. Kami pun berulangkali telepon ke kantor biro Samarinda Pos di Samarinda.

Akhirnya, sekitar pukul empat pagi, edisi perdana naik cetak dan selesai pukul enam. Terbit pertama kali pada 4 Maret 1998, Samarinda Pos menampilkan wajah walikota Samarinda Lukman Said sebagai headline. Fotonya dijajarkan dengan ketua dewan kota setempat Fuad Arieph. Kinerja Lukman Said, hari-hari itu memang dijadikan bahan perbincangan dan berita utama di Kaltim Post. Mulai soal pengelolaan sampah sampai pengerukan bantaran Sungai Karang Mumus.

Selesai cetak, saya amati koran baru itu. Memang masih terdapat kekurangan di sana-sini. Dengan mata berat menahan kantuk, saya salami Bangun Subekti. Saya ucapkan, “Selamat.” Dia tersenyum.

SAYA direkrut pada pertengahan 1997 untuk menyiapkan Samarinda Pos tapi digembleng di dapur Kaltim Post lebih dulu. Saya magang bersama 10 orang lainnya di biro Kaltim Post di Samarinda, ibukota Kalimantan Timur.

Banyak pengalaman pahit yang tak pernah saya bayangkan ketika akan jadi wartawan. Sebagai orang baru, tak jarang saya mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari wartawan senior. Disket berita dibuang dan melayang ketika berita tak layak muat. Rapat pendadaran sering sampai pukul 01.00 dini hari.

Setelah beberapa bulan, saya mulai mengenali adanya kelompok-kelompok wartawan yang menjalin hubungan khusus dengan sejumlah narasumber. Ada wartawan yang tiap bulannya dijatah uang oleh pengusaha kayu, politisi partai, pejabat pemerintah, dan pengusaha hiburan malam, mulai pub, diskotek, karaoke dan judi Ding Dong serta Cap Tji Kie.

“Sampai saat ini Kaltim Post memang belum ada sikap tegas dengan masalah amplop dari sumber berita yang diberikan ke wartawan kami. Memang saya sendiri tidak munafik ada wartawan kami yang menerima, tapi dari siapa dan berapa jumlahnya saya tidak tahu. Karena setiap kali mereka menerima tidak pernah lapor sama saya,” jelas Syafril Teha Noer, wakil redaktur pelaksana dari biro Samarinda Kaltim Post ketika saya hubungi lewat telepon.

Sebagai koordinator liputan, Syaril mengatakan tak bisa mengawasi satu persatu wartawannya supaya tidak menerima amplop. Untuk menghilangkan penyakit itu, meski belum bisa mengikuti jejak induk perusahaannya, Kelompok Jawa Pos, dengan mencantumkan larangan menerima amplop dari sumber berita pada masthead, menurutnya di jajaran redaksi selalu diadakan rapat perencanaan berita setiap pagi sebelum hunting.

“Jadi tidak ada alasan lagi wartawan itu akan jual beli berita atau tidak menulisnya jika sudah masuk perencanaan. Kalau toh si wartawan menerima amplop dari pengusaha judi, pengusaha kayu atau pejabat pemerintah yang bermasalah, berarti ya harus tetap nulis beritanya itu,” katanya.

“Bukan hanya pemimpin redaksi atau koordinator liputan yang bisa menyoal berita-berita yang terbit. Siapa pun bisa menyoal, termasuk bagian iklan. Misalnya kenapa berita ini muncul ketika masuk kategori iklan,” kata Syaril.

CAP Tji Kie semacam sistem judi menggunakan kupon putih berasal dari Singapura dengan jangka pemutaran angka keberuntungan tiga kali sehari. Kalau beruntung, beli Rp 1.000 dapat hadiah Rp 70 ribu.

Sedang Ding Dong, suatu permainan ketangkasan dengan sarana layar monitor 20 inci, dengan gambar kartu remi, yang diletakkan di atas meja. Selain layar monitor, di meja yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa itu tersusun beberapa tombol penggerak untuk memainkannya. Satu meja satu pemain. Coin per permainan Rp10 ribu. Pemain dituntut ketangkasan menggabungkan beberapa kartu yang sudah ada, dengan kartu-kartu yang akan muncul. Kalau bisa tersusun berurutan, angka dan gambarnya, di layar akan muncul poin untuk pemain. Biasanya, satu poin kalau ditukar dengan rupiah, nilainya rata-rata Rp 20 ribu. Kalau gagal, pemain tinggal pilih berhenti atau membeli coin lagi. Poin yang sudah didapat, bisa tidak diuangkan, melainkan untuk meneruskan permainan. Kalau sedang mujur, dari satu coin, pemain bisa menang sampai Rp 100 ribu.

Sebagai wartawan baru, saya hanya mendengarkan perbincangan mereka ketika duduk-duduk santai. Saya kira berita miring tentang hiburan malam, yang sering lewat batas jam buka, dan kebobrokan para pejabat pemerintah Kalimantan Timur atau Samarinda, tak akan dimuat jika saya tulis, apalagi soal judi Cap Tjie Kie yang menjamur.

Ketika Samarinda Pos terbit dan saya dipindahkan ke sana, saya merasa sedikit lega. Ada sedikit harapan untuk mengungkapkan uneg-uneg ketika magang saya di Kaltim Post. Balikpapan dan Samarinda, memang dua kota Kalimantan Timur yang sama-sama berpotensi untuk pengembangan usaha judi Cap Tji Kie atau Ding Dong. Ketika saya dipindah ke Balikpapan, yang ada dalam benak saya, akan menulis masalah judi yang setahu saya tak pernah dimuat di Kaltim Post.

Kenyataannya, harapan itu harus kembali saya pendam. Orang-orang Kaltim Post yang dipindahkan mengelola Samarinda Pos, ternyata masih membawa “wilayah kekuasaannya” ketika mereka mengamankan permainan judi dari liputan suratkabar ini.

Padahal direktur Samarinda Pos, Zainal Muttaqien, sering gembar-gembor soal pemberantasan judi. Muttaqien salah satu wartawan didikan Dahlan Iskan, pendiri Kelompok Jawa Pos, kelompok media asal Surabaya, yang menguasai saham baik Kaltim Post dan Samarinda Pos. Zainal Muttaqien pernah mengatakan bahwa ia tahu ada beberapa wartawan yang sengaja melindungi bandar Ding Dong dan suka main Ding Dong.

Ternyata ini juga termasuk Bangun Subekti, pemimpin redaksi Samarinda Pos, yang punya hobi jalan-jalan malam ketika selesai berita. Ketika di Samarinda, saya pernah diajak ke tempat Ding Dong. Saya hanya menemani dan menonton Bangun Subekti bermain. Pernah saya iseng-iseng tanya, apa keuntungan bermain Ding Dong?

Untuk menghilangkan stres. “Berapa sih menangnya Ding Dong itu,” kata Bangun.

Memang kalau saya perhatikan, tak jarang uang ratusan ribu habis dalam sekejap di kursi Ding Dong. Saya pikir memang merugikan, karena lebih banyak kalah daripada menangnya.

Ketika di Balikpapan, sebelum pindah ke Samarinda, suatu malam saya jalan-jalan bersama teman dari Balikpapan. Ketika melintas di sebuah gang, saya melihat sebuah bangunan besar tertutup. Dulunya tempat itu lokasi Ding Dong. Tapi karena bermasalah, ditutup oleh pemerintah Balikpapan. Saya mengintip dari celah pintu besi, sambil minta rekan saya memelankan laju sepeda motor. Di balik pagar itu puluhan sepeda motor dan kendaraan roda empat berjejer-jejer. Ada suara gaduh Ding Dong.

Saya tanya kepada teman tadi, “Tempat ini sudah buka lagi?”

“Baru kemarin dibuka. Mesin Ding Dongnya juga baru datang.”

Keesokan pagi, saya meluncur ke kantor pemerintahan kota Balikpapan. Saya ingin tanya kebijakan pemerintah yang melarang beroperasinya Ding Dong dan sudah menutup salah satu tempat itu. Jawaban Oemy Facessly, juru bicara di sana, ia masih akan mengecek ke lapangan apa betul Ding Dong yang pernah ditutup sudah buka lagi.

Saya pikir jawaban itu sudah cukup. Sorenya saya langsung tulis berita tentang “bandelnya” pengusaha Ding Dong di Balikpapan. Selesai saya tulis, sesuai prosedur, saya ajukan berita itu ke Bangun Subekti. Saya pun menulis berita lain. Tapi sampai selesai proses layout, berita itu tak dimuat.

Alasannya, halaman sudah penuh dan berita itu ditunda untuk besok. Saya mengiyakan, tapi dalam batin,”Ah itu hanya alasan. Berita itu pasti tidak akan dimuat.”

Ketika selesai cetak, saya dipanggil Bangun Subekti. Saya ditanya kenapa menulis berita Ding Dong? Sebenarnya saya tahu ia suka bermain Ding Dong dan dekat dengan orang-orang di lingkungan itu. Tapi saya pura-pura menjawab, “Lho tempat itu katanya sudah ditutup sama walikota. Dan permainan Ding Dong tidak diperkenankan operasi di Balikpapan?”

Bangun Subekti mengatakan, “Kamu tahu siapa orang-orang yang suka bermain Ding Dong itu? Pemilik usaha itu banyak memelihara preman yang siap beraksi terhadap siapa saja yang mengganggu usahanya. Kalau kamu tulis berita itu, kalau terjadi apa-apa dengan kamu, siapa yang bertanggung jawab?”

Saya jadi bingung. Ini bagaimana kok pemimpin redaksi tak melindungi anak buahnya dan justru menyerahkan ke preman? Tapi saya tak bisa berbuat banyak. Membantah bukan pilihan yang tepat. Meski kecewa, saya bisa mengiyakan penjelasan itu.

Hari-hari berikutnya, saya tak pernah lagi menyentuh berita Ding Dong. Meski rasanya ingin menulis sepak terjang Ding Dong yang semakin tak aturan, tapi keinginan itu hanya saya pendam. Saya simpan dalam-dalam sebagai catatan dalam diri saya. Tidak lama dari kejadian itu, saya dipindahkan ke biro Samarinda Pos di Samarinda.

Di Samarinda, saya mengungkapkan uneg-uneg di Balikpapan itu kepada teman-teman di Samarinda. Termasuk soal berita Ding Dong, juga saya ceritakan kepada Eko Satiya Husada, redaktur pelaksana Samarinda Pos di Samarinda. Saya lihat banyak yang tersenyum sinis, seakan mengecam kebijakan Bangun Subekti. Dalam pikiran saya, “Wah di sini (Samarinda) mungkin bisa merdeka. Bisa lebih kritis terhadap persoalan kota, khususnya dalam masalah penyakit masyarakat.” Permainan Ding Dong di Samarinda memang tak sesemarak di Balikpapan. Hanya saja masalah hiburan malam, seperti diskotek, pub, dan karaoke menjamur.

Saat itu marak berita penutupan diskotek yang tak berizin atau yang masa izinnya habis. Saya pun mencoba mencari sisi-sisi lain berita itu. Kebetulan saya diposisikan di liputan kota. Di lapangan, saya menemukan sejumlah pub menyimpang dari izin yang diterbitkan pemerintah Samarinda, termasuk “Surya Pub dan Karaoke.” Izinnya tempat itu hanya untuk menyanyi dan buka sampai tengah malam. Prakteknya, tempat itu juga untuk suguhan tarian semi telanjang di lantai dasar, sedangkan di lantai satu, digunakan untuk diskotek.

Ini berita bagus yang harus ditulis. Setelah wawancara sana-sini, laporan itu lolos dan perasaan ini bisa sedikit lega. Ternyata di Samarinda tak seperti di Balikpapan. Satu dua kali, berita-berita tentang hiburan malam masih lancar terbit. Tapi selanjutnya mulai sedikit seret. Redaktur pelaksana Eko Satiya Husada mengatakan, “Kita cooling down dulu dengan berita hiburan.”

Saya bertanya dalam hati, “Ada apa ini?”

Ternyata dua hari setelah berita hiburan sepi, muncul iklan tempat hiburan malam di Samarinda Pos. Saya pikir, mungkin ini kompensasi tidak diterbitkan dulu berita miring tentang hiburan malam. Tapi setelah beberapa lama vakum, saya coba menulis lagi berita kota. Lepas dari hiburan malam, saya mencoba menulis tentang perjudian Cap Tjie Kie yang sedang marak dan digembar-gemborkan polisi untuk diberantas. Satu dua kali berita itu masih terbit bebas. Tapi selanjutnya, tak diterbitkan, dengan berbagai alasan seperti halaman sudah penuh.

Belakangan saya didatangi Nur Salam, salah seorang rekan wartawan dari Kaltim Post. “Eh, bagianmu sudah diberikan belum sama Eko?”

Saya pun balik tanya bagian apa? Selama ini Eko tak pernah menyerahkan sesuatu yang jadi “bagian” saya. Tenyata jawabannya mengecewakan saya. Katanya, Bangun Subekti dan Eko Satiya Husada, tiap bulan mendapat jatah Rp 3 juta dari pengusaha hiburan malam dan Cap Tjie Kie untuk dibagi bersama semua wartawan Samarinda Pos. Uang Rp 3 juta itu hasil patungan para pengusaha hiburan demi amannya usaha mereka.

Saya tanya beberapa wartawan Samarindo Pos, apa ada yang menerima bagian itu. Ternyata mereka juga bingung. Suatu ketika, ketika lagi pada serius menulis berita, saya iseng-iseng mengatakan, “Jangan lagi nulis berita hiburan dan judi. Capek.” Ternyata Eko Satiya Husada kebetulan merasa ada yang tak beres.

Selanjutnya, ketika saya duduk sendiri, saya didekati Eko dan ditanya, “Ada berita apa soal hiburan malam?”

Sambil menghilangkan kesan serius, saya coba tanya apa benar ada jatah bulanan Rp 3 juta? Eko tegas menjawab “tidak.”

Saya pikir mungkin isu itu bohong. Tapi kenapa berita masalah itu jarang lolos? Tapi sejak saat itu Eko Satiya Husada kesannya selalu mencari-cari kesalahan saya. Saya kesal dan justru sering berbuat yang kurang baik. Misalnya berangkat tidur ketika selesai reportase dan menulis berita pukul 18.00. Padahal deadline sekitar pukul 20.00. Saya sempat didiamkan beberapa hari oleh Eko.

Puncak ketidaksenangan Eko terjadi pada akhir Desember 1999. Saya dipanggil Eko dan disodori selembar kwitansi iklan tentang pelelangan proyek dari pemerintah kota Samarinda dan surat pemberhentian yang harus saya tandatangani. Katanya, harga yang tertera di kwitansi tak sesuai dengan realisasi pembayaran. Yang membuat sangat terkejut, saya dituduh mengemplang uang iklan.

Surat pemberhentian dan uang pesangon Rp750 ribu saya kembalikan kepada Eko. Saya mencoba menjelaskan tuduhan itu. Ada salah paham antara pengiklan dan penerbit Samarinda Pos. Letak salahnya, saat berada di balai kota, saya ditanya harga iklan oleh Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Fachruddin Djaprie. Saya jawab untuk ukuran yang ditanyakannya sekitar Rp 1 juta.

Konsultasi itu ternyata sebuah negosiasi. Iklan datang dari Bagian Pekerjaan Umum. Mereka mengantarkan materi iklannya kepada saya, dan bukan mencari saya di kantor hubungan masyarakat, tapi mendatangi Samarinda Pos. Di sana mereka bikin negosiasi lagi dan dapat harga Rp 750 ribu tanpa sepengetahuan saya.

Setelah iklan dimuat, saya minta kuitansi iklan ke sekretaris Samarinda Pos Aji Mila Elviani, dan sekalian dicantumkan Rp 1 juta. Kwitansi itu, saya bawa ke kantor Fachruddin Djaprie, tapi biasa saja, iklan itu tak langsung dibayar. Harus menunggu beberapa hari lagi.

Buntutnya, orang dari Bagian Pekerjaan Umum, yang sudah dapat harga Rp 750 ribu, ngamuk-ngamuk ke Samarinda Pos. Eko Satiya Husada bersikukuh saya akan mengemplang uang iklan Rp 250 ribu. Saya diberi surat pemberhentian.

Diterima atau tidak, yang penting sudah saya jelaskan masalahnya. Kejadian itu juga saya ceritakan kepada Fachruddin Djaprie. Kok mainnya seperti itu? Akhirnya saya pikir, ternyata memang sama saja antara Balikpapan dan Samarinda.

Uang pesangon dan surat itu terpaksa saya bawa, tapi bukan berarti saya terima. Itu juga saya sampaikan ke Eko. Keesokan harinya, saya ke kantor Kaltim Post Balikpapan menemui Zainal Muttaqien, direktur utama Samarinda Pos. Karena tidak bisa saya temui di kantor, sorenya saya datangi ke rumahnya.

“Kata bapak, besok saja di kantor,” kata pembantu Zainal.

Tapi setelah itu, saya tak pernah berhasil menemui Zainal Muttaqien. Akhirnya saya putuskan, surat pemberhentian dan uang pesangon itu saya titipkan ke Ivan Firdaus, bagian keuangan Kaltim Post. Saya sertakan juga surat keterangan yang menjelaskan titik masalah, yang di dalamnya saya sebutkan, “Kalau tetap saya dianggap salah, saya akan membuat surat pengunduran diri. Tapi surat pemberhentian ini saya kembalikan.”

PADA Selasa, 26 Februari 2002, tampilan dua harian itu banyak mengalami perubahan. Kaltim Post yang dulunya terbit 16 halaman, kini makin tebal dengan 24 halaman. Halaman satu sampai 12, diisi liputan politik, olah raga dan ekonomi nasional. Kriminal lokal juga masuk di halaman tersebut.

Samarinda Pos pada edisi yang sama, jumlah halaman naik dari 8 jadi 16. Seperti pada rencana awal, Samarinda Pos fokus pada masalah kriminal. Mulai masalah pemeras yang beraksi empat kali dalam satu malam, pembunuhan atau orang gantung diri hanya karena sakit hati di marahi orang tua sampai Pak RT yang mabuk-mabukan.

Berita-berita politik nasional tak jauh beda dengan yang diterbitkan Kaltim Post. Liputan judi dan hiburan malam tetap minim. Nama Bangun Subekti (pemimpin redaksi) dan Eko Satiya Husada (redaktur pelaksana) sudah tak tercantum dalam masthead. Eko dikembalikan ke Kaltim Post sebagai wartawan, sedangkan Bangun Subekti, menurut Nur Salam, salah seorang wartawan Kaltim Post di biro Bontang, sudah tak lagi di Kaltim Post.

Baik Eko dan Bangun saya hubungi lewat telepon dan menolak berkomentar. “Wah kalau untuk konsumsi eksternal, lebih baik tanya saja sama Pak Syafril,” kata Eko.

Syafril sendiri mengatakan, masalah perjudian apapun bentuknya, termasuk Ding Dong pernah diliput. “Sekitar tiga tahun lalu pernah kami angkat habis-habisan, tidak ada dukungan dari aparat. Sebagai pemain tunggal, tidak mungkin kami terus menjadi fungsi sentral dalam masalah itu. Jadi kami pikir ya diberitakan saja ketika mereka menyimpang dari relnya,” kata Syafril.*

kembali keatas

by:Tantowi Djauhari