Media Kepala Batu

Taufik Andrie

Mon, 6 May 2002

AKHIR Maret lalu ada momentum menarik di gedung parlemen Senayan. Tepatnya 21 Maret, saat ada rapat dengar pendapat antara Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Pers dan organisasi-organisasi media.

AKHIR Maret lalu ada momentum menarik di gedung parlemen Senayan. Tepatnya 21 Maret, saat ada rapat dengar pendapat antara Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Pers dan organisasi-organisasi media. Perdebatan panas, menimbulkan banyak kasak-kusuk.

Komisi yang membawahi masalah Pertahanan dan Hubungan Luar Negeri ini risau dengan perkembangan pers Indonesia. Astrid Susanto, wakil ketua Komisi I, sekaligus guru besar komunikasi Universitas Indonesia, memimpin sidang dan mengatakan lelah melihat fenomena ini. “Itu cerita lama lah, soal pers yang kepala batu dan mau menangnya sendiri.”

Pers sekarang tak lebih baik dengan pers zaman demokrasi liberal 1950-an yang dirasanya lebih beretika. “Etika pers sekarang sudah menipis, banyak undang-undang yang dilanggar pers, masyarakat saja yang malas untuk nuntut,” kata Astrid Susanto.

Tengok saja pertanyaan pertamanya kepada Dewan Pers: Setujukah Dewan Pers dengan pernyataan bahwa pers Indonesia sudah dianggap berlebihan atau kebablasan dalam menerapkan prinsip kebebasan pers?

Pertanyaan kedua: Konsep apa saja yang sudah dirumuskan Dewan Pers untuk menjawab berbagai kritik … misalnya yang berkaitan dengan maraknya pornografi, wartawan bodrex, pencemaran nama baik dan sebagainya?

Lebih tajam lagi. Astrid Susanto menyalahkan Dewan Pers, yang disebutnya “tak berfungsi dengan baik.” “Seharusnya mereka kan penghubung antara masyarakat, pemerintah dan pers, bukan pembela pers,” katanya.

Astrid Susanto, ia sendiri pernah jadi anggota Dewan Pers pada era rezim Orde Baru dekade 1970-an, minta tanggungjawab pers dalam melakukan pendidikan pada masyarakat, baik langsung maupun tak langsung. “Karena pers berada di ruang publik berarti pers harus bertanggung jawab pada publik.”

“Kalau dulu tanggung jawab yang besar tak diikuti dengan kebebasan yang besar, sekarang kebebasannya besar tapi tanggungjawabnya tak dipenuhi,” kata Susanto, mengacu pada zaman pers di bawah sensor Orde Baru.

Susanto bukan suara kesepian dalam sidang itu. Anggota lainnya ramai-ramai menguliti mutu jurnalisme Indonesia. Djoko Susilo dari Partai Amanat Nasional, yang pernah jadi redaktur pelaksana Jawa Pos, kecewa dengan kondisi media yang tak berubah setelah dua tahun lalu digelar rapat yang sama.

Susilo mengatakan media sering tak mengerti prinsip-prinsip jurnalisme, “As long as you can write you can be a journalist.” Sinisme Susilo ini seakan mengatakan kualitas media Indonesia dibentuk oleh orang-orang sembarangan, yang direkrut jadi wartawan, untuk menulis, untuk cuap-cuap di udara, tanpa pendidikan dan pelatihan memadai.

Lain lagi Paulus Widiyanto dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Widiyanto pernah jadi redaktur pelaksana jurnal ekonomi dan politik Prisma. Ia mengeluh soal profesionalisme wartawan. Satu contoh menarik. “Di rumah Maya Rumantir ditemukan celana dalam Tommy (Soeharto), misalnya. Bayangkan, kamar tidur menjadi wilayah publik, nggak benar itu.”

Jelasnya, ada beberapa titik dalam sidang itu. Keberangan parlemen terhadap media sudah di ambang batas. Belum lagi kritik mereka terhadap pornografi, wartawan amplop, dan media yang anti-nasionalisme, khususnya di daerah Aceh dan Papua. Muaranya, mereka menganggap Undang-undang Pers 1999 gagal menjawab segunung masalah di atas. Karena itulah wacana revisi digulirkan.

Atmakusumah Astraatmadja, ketua Dewan Pers, membela diri dengan memberi perbandingan. Astraatmadja mengatakan memang ada media yang tak benar tapi persentasenya relatif kecil. “Menurut Leo Batubara, ketua Serikat Pekerja Suratkabar, media besar dan berpengaruh baik di pusat maupun daerah, menguasai hampir 90 persen pasar media,” kata Astraatmadja.

Artinya, ada mekanisme pasar di sana. Media yang tak profesional, yang hanya ingin memuaskan selera rendah, tak akan banyak, tak akan lama, dibaca orang. Akibatnya, efeknya pada masyarakat pun tak luas. Memang Astraatmadja mengatakan kinerja Dewan Pers belum maksimal. ”Butuh waktu yang bukan hanya setahun dua tahun untuk membenahi ini. Jangankan di negara seperti kita, di negara maju pun masih banyak pers kuning –untuk menyebut media pornografi, koran provokatif dan fenomena senada,” katanya.

Solahudin dari Aliansi Jurnalis Independen, yang ikut rombongan Astraatmadja, mengatakan, “Tentu saja kita tidak bisa berharap ketika kebebasan pers datang, kita dengan tiba-tiba bisa menjadi profesional. Selama sekian puluh tahun kita dipasung sedemikian rupa agar kita menjadi tidak profesional.”

Revisi undang-undang? Solahudin mengatakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sedikitnya memuat 38 pasal delik pers. Tiga diantaranya merupakan pasal-pasal kebencian, peninggalan pemerintahan kolonial Belanda, yang bisa memenjarakan seorang wartawan hingga tujuh tahun lamanya.

Tapi tampaknya pertemuan itu tak mendinginkan kedua belah pihak. Astraatmadja mengirim email ke berbagai koleganya, dalam dan luar negeri, mengeluh soal konservatisme parlemen Indonesia. Astrid Susanto tak kalah panasnya. “Pers diajak bernalar nggak bisa, ya udah. Diajak ngomong nggak bisa, ya udah, monggo kerso, sak karepmu (silahkan saja, seenakmu sendiri). Yang pasti performance pers dalam rapat dengar pendapat kemarin sangat merugikan pers sendiri.”*

kembali keatas

by:Taufik Andrie