Mari Menjual Jepang

Agus Sopian

Mon, 6 May 2002

SEBUAH percakapan sekelompok remaja di pelataran warung internet, di Bandung. Semuanya dalam bahasa Sunda pasar campur dialek Betawi.

SEBUAH percakapan sekelompok remaja di pelataran warung internet, di Bandung. Semuanya dalam bahasa Sunda pasar campur dialek Betawi. Idiom-idiom aneh berterbangan dari mulut mereka. “Bahasa PlayStation” agaknya.

“Nggak beres-beres tuh Syphon Filter 3. Mana console rusak lagi,” seorang berucap.

“Pasti di Sniper Valley. Gue juga macetnya di situ,” timpal temannya.

“Aku pernah seharian lewatin Nuke Building 2. Si Cyborg Ninja itu kuatnya audzubillah. Bikin peningnya ampun-ampunan deh,” ujar yang lain mengacu seri Metal Gear: Solid, sebuah game tentang aksi spionase mencari senjata pemusnah berdaya nuklir. “Aku nggak bisa bayangin gimana ruwetnya MG2 nanti ya.”

“Kuno. Cobain Silent Hill. Sebulan kamu nggak bakalan bisa nyenyak tidur,” timpal seorang remaja. Mulutnya tak henti-henti menguyah permen karet.

Sebuah game bisa memuat puluhan, bahkan ratusan misteri. Sukses pemain –di kalangan anak remaja lazim disebut gamer– tak cuma bergantung pada kecepatan menarikan jari tangan di atas joystick. Pengetahuan akan istilah yang kesemuanya dalam bahasa asing, keuletan, dan kecerdasan, juga jadi faktor penentu. Waktu yang dibutuhkan untuk mendaki undakan demi undakan kesulitan sebuah game pun bisa seharian, seminggu, sebulan. Mau bukti?

Ambil Fear Effect 2: Retro Helix. Buang walkthrough (petunjuk cara bermain) di tangan Anda. Lupakan cheat code (kode curang). Berani bertaruh, sedikitnya Anda perlu seminggu untuk khatam game kelas hardcore yang terdiri atas empat disket itu. Asal tahu saja, Fear Effect bukan satu-satunya game rumit. Masih ada seri Tomb Raider, Final Fantasy, atau Chessmaster buat mereka yang suka main catur.

Lima sekawan—Albert Jacken T., Wendy Chandra, Tommy Kurniawan, Handi Susilo, Wicaksana—bukan saja terbiasa memainkan game dalam dunia console (alat permainan), tapi juga dalam dunia sesungguhnya. Game yang mereka mainkan adalah berburu uang milyaran rupiah dengan modal puluhan juta. Dan mereka berhasil. Ini memang tak sefantastis kisah sukses juragan Microsoft Bill Gates yang memulai usaha dengan sebuah mobil tua sebelum jadi manusia terkaya di planet bumi. Tapi, Gates berada nun jauh di sana, di Amerika Serikat, sebuah negeri di mana impian dan kenyataan susah dibedakan.

“Tak ada misteri yang tak dapat dipecahkan,” begitu slogan yang sering mereka gumamkan. Perjalanan sukses mereka memberi bukti betapa slogan itu bukan kata-kata kosong penghias buku harian seorang remaja yang sedang patah hati.

HOBI tak selalu berarti buang duit. Bagi Wendy Chandra, justru hobinyalah yang menuntun dirinya ke celah bisnis. “Waktu kuliah dulu kan banyak waktu luang. Kita bisnis kecil-kecilanlah,” Chandra menuturkan langkah awal bisnisnya jualan peralatan game. Seperti juga empat kawannya, Chandra kuliah di Universitas Parahyangan dan lulus dari fakultas ekonomi pada 1995.

Tahun 1996, Chandra dan kawan-kawannya berembuk untuk meninggalkan celah sempit dan masuk ke jalan lebar yang dapat mengantarkan mereka ke cakrawala bisnis yang lebih luas. Berbekal modal awal Rp 50 juta, mereka sepakat membangun toko mainan.

Naluri bisnis mereka menemukan momentum tepat. PlayStation, yang jadi dagangan utamanya, kala itu benar-benar sedang memformat pasar dunia, meminggirkan console-console lain seumpama Nintendo atau Sega. Lumrah kalau outlet mereka di Jalan Ranggamalela, Bandung, tak mengenal sepi sejak pertama kali berdiri. Lumrah pula kalau dalam tempo cepat, toko mereka tumbuh dan berkembang pesat. Alat-alat mainan yang dijual pun makin variatif. Mulai disket game seharga Rp 4.000 hingga pistol mainan senilai Rp 8 juta.

Perkembangan itu tak membuat mereka lekas puas. Mereka terobsesi untuk jadi yang terbesar dan terkuat di sektor yang digelutinya. Riset kecil-kecilan, sejak melanggan majalah-majalah asing sampai searching di internet, terus mereka lakukan demi mendapatkan kepingan informasi terbaru.

Mereka sadar, makin lama genre game makin beragam, lengkap dengan tingkat kerumitannya masing-masing. Ada game aksi, simulasi, strategi, balapan, olahraga, puzzle, perkelahian, petualangan, ada juga role playing game (RPG) yang adakalanya membuat otak serasa mau pecah. Kepuasaan pelanggan bergantung pada penguasaan informasi di sekitar semua itu. Di mata pelanggan, pelaku bisnis game yang baik adalah mereka yang sekaligus mampu memerankan diri sebagai konsultan.

Jelas bukan pekerjaan gampang memberi konsultasi pada ribuan orang yang jadi pelanggan mereka. Panjang akal, mereka sampai pada ide untuk menerbitkan MGI, Game 13’th dan GameStation. Media berbentuk buletin ini disebar ke sekurang-kurangnya 3.000 pelanggan aktif dari 10 ribuan anggota yang tercatat.

Terbit dua mingguan, ketiga buletin tadi dijual Rp 3.500 per eksemplarnya. Tebalnya cuma 12 halaman. Isinya, melulu soal-soal teknis bermain game, dengan menu andalan cheat code dan walkthrough. Pada media mainstream, menu macam itu tak mudah ditemukan sekali pun topik utamanya membicarakan dunia game. Padahal, satu dari 10 gamer hampir dapat dipastikan memerlukannya.

Seorang gamer bisa saja mengabaikan walkthrough, tapi tak tertutup kemungkinan baginya untuk tenggelam selama berhari-hari, bahkan sebulan atau dua bulan, dalam satu permainan. Dan ketika bangun dari duduknya, teman-teman di sekelilingnya sudah bergerak ke game terbaru lainnya. Bisa-bisa si gamer diledek teman-temannya untuk berlangganan “majalah gaul”—frasa anak muda untuk referensi dalam pembicaraan aktual.

Tak ubahnya mainan yang mereka jual, buletin-buletin yang digagas Wendy Chandra dan kawan-kawan tersebut laris manis. Permintaan tak saja dari kota Bandung, tapi juga belakangan dari kota-kota lain, malahan dari luar Pulau Jawa. Toko mereka langsung merasakan hasil. Roda bisnis berputar lebih cepat, tak ubahnya meluncur di jalan bebas hambatan.

Pada 1998, segera setelah membentuk badan usaha perseroan terbatas, PT Megindo Tunggal Sejahtera, mereka menyatukan buletin-buletin itu ke dalam satu wadah. Tabloid dwimingguan GameStation pun ikut berdesak-desakan di etalase kios-kios koran, mal, toko-toko buku.

Lewat tabloid, mereka dimungkinkan berinteraksi secara intens dengan pembaca. Para gamer yang sedang terbelit kesulitan, mengirimkan pertanyaannya lewat surat pos, email, atau terkadang datang langsung ke kantor mereka, sebuah gedung berlantai dua di Jalan Sulanjana.

GameStation akhirnya jadi semacam klinik game. Peran ini meluaskan ceruk pasarnya. Bisa dipahami kalau GameStation lebih punya nafas panjang ketimbang tabloid-tabloid politik di masa pasca Presiden Soeharto itu. Nasibnya: berguguran sejak edisi-edisi awal. Mereka mati sebelum benar-benar punya sayap untuk terbang.

Kurang dari setahun, GameStation diubah jadi majalah. Pada awal pemunculannya, wajah GameStation mirip EMG, sebuah majalah game terkenal asal Amerika. Belakangan, tipologi Dengeki, majalah game asal Jepang, ikut memperkaya format desain GameStation.

Sebagai majalah, GameStation terbit sebulan sekali dengan harga terakhir Rp 14.500 (luar Pulau Jawa Rp 15.500). Hampir setiap edisi, mereka melampirkan bonus; entah pembatas halaman buku, poster tokoh anime (film kartun Jepang) atau tokoh manga (komik Jepang).

Oplah GameStation terakhir rata-rata berkisar antara 25 ribu sampai 35 ribu eksemplar. Angka 38 ribu eksemplar sempat dilampauinya, setidaknya pada volume 76 ketika GameStation menampilkan kulit depan karakter Harry Potter karangan J.K. Rowling dalam judul “There’s something about Harry.”

“Sejak tahun pertama juga sudah untung. Paling nggak, untung di atas kertas. Tahu sendirilah gimana bisnis media. Urusan dengan agen kan nggak mudah,” tutur Chandra.

Untung sejak awal, memberi PT Megindo Tunggal Sejahtera dorongan kuat untuk ekspansi. Majalah Cinemags pun meluncur pada 1999. Setahun kemudian majalah Animonster. Sama dengan GameStation, baik Cinemags maupun Animonster terbit sebulan sekali, dengan ketebalan 68 halaman.

Untuk memutus rantai masalah keagenan, pemasaran ketiga-tiganya ditangani sepenuhnya oleh distributor tunggal majalah Kosmopolitan, dengan operator PT Higina Alhadin. Per Maret 2002, oplah Cinemags diperkirakan mencapai 20 ribu sampai 25 ribu eksemplar. Animonster kurang dari angka itu, meski tak pernah jeblok sampai ke angka 15 ribu eksemplar.

Isi Cinemags, memfokuskan diri pada dunia sinema Barat, dengan film lokal dan Asia sekadar pembanding. Sedangkan Animonster mengeksplorasi segala sesuatu tentang manga (komik Jepang) serta anime (film kartun Jepang). Penerbitan Animonster agaknya lebih merupakan reaksi atas tingginya permintaan pasar akan anime dan manga, yang selama ini tak dapat tertampung sepenuhnya dalam GameStation.

Tipikal majalah-majalah terbitan Megindo barangkali terletak pada sampulnya yang tampil inovatif. Sampul berpernis yang menggunakan kertas matt paper 120 gram ini, dirancang sedemikian rupa sehingga tak ubahnya seperti busana jas. Siapa pun dapat dengan mudah melihat aksen halaman dalam, daftar isi, tanpa perlu repot membuka sampul —seperti halnya orang melihat dasi dan kemeja pada jas resmi.

Halaman demi halaman, yang juga menggunakan kertas serupa dengan ketebalan 85 gram, sarat dengan ilustrasi grafis ala manga, yang bertumpu pada goresan-goresan tipis yang tertib dan efisien. Ilustrasi foto dihadirkan semarak dalam berbagai tampilan; konvensional atau mengikuti lekukan teks. Garis-garis nyata (solid line) yang membuat halaman jadi terkesan kaku, mereka hindari betul, baik pada bidang datar maupun vertikal. Mereka lebih suka bermain-main dengan shading.

Baik sampul maupun halaman isi ditata full-color dalam komposisi warna muda. Cyan dan kuning sering tampak mendominasinya. “Saya pakai red hanya 60 persenan,” kata Louis Junius, art director Megindo. Junius bekerja untuk GameStation sejak 1997, dan hingga edisi Januari 2002 namanya masih terpampang sebagai desainer kepala.

WENDY Chandra terlihat berpikir keras ketika saya tanya berapa banyak toko yang sudah didirikannya. “Beberapalah. Di Jakarta, Yogya. Di Surabaya juga ada,” jawab Chandra yang menjabat direktur utama PT Megindo Tunggal Sejahtera. Matanya melirik notebook di depannya. Sesekali ia mengetik cepat-cepat, kali lain menjawab panggilan yang masuk ke telepon genggamnya.

“Di Bandung berapa outlet?” susul saya.

“Di Bandung… emh …,” kening Chandra lagi-lagi berkerut.

Pada kesempatan terpisah, Ira Novita, staf bisnis Megindo, menjelaskan bahwa outlet Vega, demikian nama toko mereka, tersebar di sejumlah tempat di Bandung. Selain di Jalan Ranggamalela, juga di Jalan Gatot Subroto (Bandung Super Mall), Jalan Kopo (Borma), Jalan Sultan Agung serta Cihampelas (Premiere Plaza). Aset seluruh toko, dalam perkiraan Chandra, berkisar Rp 10 – 15 milyar. “Susah ngitungnya. Tapi, masih kecillah.” Tentu tidak sekecil modal awal yang Rp 50 juta itu, gumam saya di dalam hati.

Dalam catatan saya, selain tiga majalah itu, Megindo pun merilis media lain yang tak kalah agresifnya di pasaran. Taruhlah How to Draw, sebuah buku serial tentang pelajaran menggambar. Berikutnya, Aku di Bandung, sebuah buku cepat berisikan informasi mengenai segala sesuatu tentang kota Bandung, mulai peta jalan, tempat-tempat makan dan restoran, akomodasi hingga fasilitas-fasilitas umum.

Daftar terbitan Megindo masih bisa diperpanjang. Buku-buku game guide (panduan permainan), yang selama ini menarik perhatian saya sebagai penggemar PlayStation, ternyata keluaran Megindo juga. Buku-buku ini memang seperti muncul dari dalam tanah saja layaknya. Tanpa pengarang, tanpa penerbit.

“Ada masalah dengan copy right?” tanya saya.

“O, nggak,” ujar Chandra, seraya memaparkan bahwa game guide diluncurkan jauh sebelum mereka mendirikan badan hukum Megindo. Pertimbangannya, jika memakai nama penerbit Vega, payung perusahaan toko mereka, game guide hanya akan terserap oleh pelanggan-pelanggan toko. “Mana mau toko-toko lain nyebarin. Kita biarin kosong saja daripada nggak bisa nembus toko-toko lain.”

Game guide, yang kini sudah memasuki volume di atas 50-an dengan oplah rata-rata 10 ribu sampai 15 ribu eksemplar, dijual antara Rp 20 ribu – Rp 25 ribu per eksemplar bergantung pada ketebalan dan sajian materinya. Normalnya, buku tersebut terbit tiga bulan sekali. Lain cerita kalau memang ada produk game baru yang mendesak untuk dikupas. “Inginnya kita terbitkan satu atau dua bulan sekali. Tapi, cari ide itu kan sulit,” kata Novita.

Ide mendapat tempat khusus di lingkungan mereka, kadang jauh lebih dihargai ketimbang hasil riset suatu lembaga ternama. Seluruh ide yang berkembang, mereka uji dalam rapat-rapat editor, minimal dua minggu sekali. Dan ketika benar-benar matang, mereka hampir tak pernah menelantarkannya. Akan laku atau tidak, mereka langsung melakukan tes pasar dengan meluncurkan produk dalam jumlah kecil.

Visi macam itu pula tampaknya yang melatari penerbitan Archi & Meidy, sebuah komik serial triwulanan yang berisikan pelajaran fisika. Tanpa harus jungkir-balik melakukan serangkaian survai pasar, buku yang mungkin kali pertama dalam khasanah pustaka di Indonesia ini, diluncurkan pada Maret 2002. Archi & Meidy berangkat dari gagasan Yohanes Surya, seorang ahli fisika, yang saat ini menjabat presiden Tim Olimpiade Fisika Indonesia.

Komik hitam putih berukuran 13 x18 cm itu dicetak setebal 126 halaman, dengan pangsa pasar anak-anak seusia sekolah dasar. “Saya senang dengan ide Pak Yohanes,” kata Chandra, yang dalam terbitan ini bertindak selaku penulis teks sekaligus pengembang karakter; mulai Archi yang suka meneriakan “eureka” bila tahu sesuatu, Meidy yang periang, Mona Hiragashi yang menguasai berbagai bahasa, sampai robot serba tahu Newton. Pencetus ide Yohanes Surya, diabadikan dalam karakter Profesor Yosu.

Komik Archi & Meidy—yang bergaya manga sejak garis, bentuk hingga adegan—semakin mengukuhkan posisi Megindo sebagai penerbit media yang menjual semangat kreatif Jepang.

“Ini soal pilihan. Kita seneng-seneng saja,” kata Jonathan Lesmana, pemimpin redaksi Animonster.

Lesmana melihat, hingga akhir 1990-an, tak banyak media Indonesia yang menyuguhkan konsep anime atau manga. Padahal, sejak dasawarsa sebelumnya, dunia sudah dibuat sibuk oleh konsep tersebut. Padahal pula, penggemar anime dan manga di Indonesia, sepengetahuannya tidak sedikit. “Elex memang mengeluarkan, tapi belum fokus,” ujarnya, merujuk Elex Media, penerbit majalah hobi di bawah Kelompok Kompas Gramedia. “Saya sendiri penikmat.”

“Anda suka komik Jepang. Bisa ceritakan kelebihannya?” tanya saya.

“Masing-masing punya kekurangan dan kelebihannya, tentu. Tapi, dalam soal ini saya lebih melihat ke perbedaannya. Misalnya perbedaan antara komik Jepang dan Amerika.”

Sejauh penilaiannya, komik Amerika bersandar pada cerita-cerita heroik. Karakter tokoh yang disuguhkan biasanya seorang pahlawan tanpa cacat, kuat, gagah, melebihi orang seumumnya. Superman, Batman atau Spiderman, adalah beberapa di antaranya. Kalau kemudian penggemar komik Amerika kebanyakan anak-anak, sesungguhnya konteks itulah akarnya.

Di Jepang, tambah Lesmana, komik dibaca siapa saja. Dari anak-anak, remaja sampai mereka yang berusia lanjut. Ini karena, karakter dan struktur cerita komik Jepang sengaja dibuat lebih variatif. “Mereka membidik berbagai target.”

Cerita-cerita heroik memang ada juga, akan tapi tak mengambil posisi dominan. Bayangan kental tentang komik Jepang justru terletak pada penceritaan yang bergerak ke kehidupan nyata, dengan aspek psikologis yang lebih menyentuh. “Per karakter sangat dalam pada masing-masing tokoh,” tutur Lesmana.

Semua itu, dalam pandangannya, terbentuk oleh proses belajar yang panjang; setua usia seni manga yang tertanam dengan kuat dalam struktur kebudayaan Jepang selama ratusan tahun. Perkembangan yang luar biasa dalam beberapa dekade terakhir ini, lebih terpacu oleh gelombang kemajuan ekonomi negeri itu, yang ditunjang oleh revolusi multimedia.

Komik Amerika dan Eropa boleh menguasai medium buku di masa lalu, tapi kini komik Jepang seperti Dragon Ball atau Doraemon menyerbu hampir seluruh pelosok bumi. Dan buku bukan satu-satunya medium. Komik Jepang, yang melatar-belakangi seni anime, boleh dibilang menguasai pula film dan game.

Sukses Jepang, ungkap Jonathan Lesmana, terletak pada kemampuannya untuk tak sekadar jadi jago kandang. Para seniman manga dan anime bahkan telah banyak mengambil-alih peran komikus dan kartunis Amerika atau Eropa, lewat karya-karya komersial yang di dalamnya berisi karakter, pengadegan dan setting yang sepenuhnya “Barat.”

Lesmana mungkin tidak berlebihan. Lihat Metal Gear, umpamanya. Produk game keluaran Konami ini hampir sepenuhnya ditaburi karakter tokoh berbau Eropa dan Amerika. Ada ahli biologi Dr. Kio Mav yang asal Cekoslowakia, ada Roy Campbell yang komandan khusus unit teknologi tinggi Fox Hound, Amerika. Ada juga Dr. Petrovich yang insinyur kepala Metal Gear. Game yang beredar jutaan kopi ini lahir dari dua seniman Jepang, Hideo Kojima (produser) dan Yoji Shinkawa (sutradara).

Dalam game-game keluaran Eropa pun, pengaruh Jepang merasuk sedemikian jauh. Perhatikan saja Parasite Eve II keluaran Square Soft, Eropa. Karakter utama menampilkan Aya Brea, tokoh cewek bangsa Arya, berkulit putih nan seksi, dengan setting cerita mengambil Los Angeles tahun 2000. Siapa sangka, kalau game ini berbasis pada novel dan cerita komik karya Hideaki Sena. Pengembangan produknya sendiri berada di tangan produser Yusuke Hirata.

“Semua sedang melihat Jepang sekarang,” kata Wendy Chandra, ketika saya tanya, “Mengapa harus Jepang?”

SEJAK Januari 2002, kantor Megindo pindah ke Jalan Moh. Iskat. Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari mulut Stasiun Besar Kereta Api Bandung. Seperti sebelumnya di Jalan Sulanjana, Megindo menempati bangunan berlantai dua. Bedanya, di tempat baru hanya satu lantai yang digunakan. Perpindahan ke sana agaknya terkait dengan masuknya investor kakak-beradik Andrew Purnomo dan Henri Purnomo, yang tinggal tak jauh dari kantor baru itu.

Tak ada papan nama di situ. Juga petugas pengaman. Apalagi resepsionis. Sepintas, markas besar mereka mirip warung internet, kalau bukan tempat servis komputer. Seperti umumnya bangunan rumah toko, pintu utama hanya disekat rolling door —yang selalu terbuka setiap hari kerja. Dari luar, orang bisa memandang dengan bebas punggung 20-an komputer yang dibariskan dalam dua kolom. Ini ruang redaksi.

Sektor bisnis berada di bagian ekor ruangan. Kedua sektor dibatasi oleh dua kamar. Satu ditempati Hendri Purnomo, lainnya Wendy Chandra. Tak ada yang spesial. Ruangan Chandra misalnya, hanya diisi dua meja tulis, dan tumpukan kaos yang agaknya baru didatangkan dari pabriknya. Di sini, duduk di atas kursi plastik tanpa sandaran, saya diterima Chandra.

Koridor di depan ruangan tadi, yang menghubungkan sektor bisnis dan redaksi, antara lain diisi Jonathan Lesmana, pemimpin redaksi Animonster itu. Para tamu yang datang, pasti mendapat jatah kursi plastik juga. “Kami baru pindah. Belum sempat beres-beres,” kata Ira Novita.

Meski gedung terbilang mentereng, dengan langit-langit tinggi dan dinding beton, suasana kantor, yang saya taksir seluas kurang lebih 160 meter persegi itu, sama sekali tak mengesankan kemewahan—sebagaimana mana majalah-majalah buatan mereka yang tampil luks.

Lebih-lebih di ruang redaksi yang tak ubahnya lingkungan rumah susun. Komputer dempet-dempetan, kabel terbentang di sana-sini, orang duduk berdesak-desakan. Tak mudah membedakan mana editor, reporter, desainer, mana layouter. Ruangan mereka sama, komputer sama, tempat duduk sama, usia mereka pun sama. Rata-rata di bawah 30 tahunan. Mereka memang anak-anak muda, nyaris sama mudanya dengan para pendiri Megindo. Paling tua Handi Susilo, 33 tahun, termuda Albert Jacken, 29 tahun.

Jumlah awak Megindo sekitar 30 orang. Separuh besar diserap redaksi, yang menurut Novita, berjumlah 20 orang lebih.

Di sektor redaksi, karyawan dibagi ke dalam tiga divisi: penerbitan buku, kreatif, dan majalah. Jumlah terbanyak, kata Ira Novita, adalah tenaga kreatif. Mereka terdiri atas desainer media, layouter, dan art tracer. Seorang tenaga redaksi majalah bisa “menyamar jadi kutu loncat.” Nama reporter Henry, misalnya, tercantum di daftar boks semua majalah. Demikian pula redaktur Jonathan Lesmana, selain terpasang di Animonster, juga Cinemags. Tenaga kreatif tak bisa begitu. “Kita harus jaga ciri masing-masing, setiap media kan harus punya karakter sendiri. Ini penting untuk menjaga pasar,” kata Lesmana.

Situasi agak menarik jadinya. Dalam satu media, bisa terjadi pekerjaan dilakukan oleh satu redaktur dan beberapa desainer. Cinemags, misalnya, hanya ditangani oleh redaktur Anton Adianto, dengan lima tenaga desain dan layout. Di majalah Animonster, tenaga kreatif bahkan harus dibeking Jia Lung dan Li Julian, dua konsultan desain.

Struktur pengelola cukup membingungkan saya. Hanya ada satu redaktur di setiap majalah. Ia otomatis menjabat pemimpin redaksi. Editor adalah bawahan redaktur, dan fungsinya tak sekadar menyunting (bahasa) tapi seumumnya redaktur dalam arti luas. Wendy Chandra tak punya alasan yang dapat mengurangi kebingungan saya, selain berujar, “Biar lebih sederhana aja.”

Satu redaktur didampingi satu-dua editor. Bagaimana majalah-majalah terbitan Megindo bisa jaga stamina, pikir saya. Padahal, reporter pun tak banyak. Hanya satu-dua orang pula di setiap majalah, kecuali Cinemags yang didukung lima reporter? Chandra tersenyum, “Kita punya beberapa kontributor. Kita butuh tulisan tentang (game) RPG, ya kita kasih job ke yang jago RPG. Gitulah.”

Di luar peran kontributor, Megindo menjalin kerjasama dengan sejumlah badan usaha, di dalam dan di luar negeri. Untuk GameStation, misalnya, materi antara lain didapatkan dari Konami, salah satu perusahaan game tertua di Jepang. “Gampang, tinggal di-email aja,” kata Chandra.

PT Camila Internusa dan beberapa perusahaan film lainnya, pun jadi mitra Megindo. Ini untuk Cinemags. Bagaimana Animonster? Selain menanam orang di Jepang, Mona Hiragashi dan Aditya Rai, materi disuplai Newtype atau Animage, dua majalah papan atas di Jepang dalam dunia anime dan manga. “Satu halaman di Newtype kita beli 400 yen,” kata Chandra. “Tentu kita beli yang penting-penting aja untuk kita gabung dengan referensi kita punya.”

Betapa terasa ringan mereka mengelola media, seringan langkah-langkah mereka di pasaran. Barangkali pula sama ringannya dengan pertimbangan sejumlah pendiri untuk pergi dari Megindo. Jacken, Handy, dan Tommy Kurniawan memang tak lagi di sana. *

kembali keatas

by:Agus Sopian