Sihir Jelangkung

Ucu Agustin

Mon, 4 February 2002

JAM masih menunjukan pukul 15.45, tapi di loket pembelian tiket masuk Bioskop 21 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, terpampang pengumuman: “Tiket pertunjukan jam 16.30 dan 18.20 habis.”

JAM masih menunjukan pukul 15.45, tapi di loket pembelian tiket masuk Bioskop 21 di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, terpampang pengumuman: “Tiket pertunjukan jam 16.30 dan 18.20 habis.” Namun kerumunan calon penonton, kebanyakan anak-anak muda, tak menggubrisnya, mereka tetap membentuk antrean untuk membeli tiket pertunjukan berikutnya.

Di Bioskop 21, Megaria, Jakarta Pusat, Widodo yang datang dari Kalimalang, Jakarta Timur, rela antre enam jam sebelum akhirnya mendapat tiga tiket masuk untuk pukul 22.10. Antrean yang sama juga terjadi di jaringan Bioskop 21 lainnya di seluruh Jakarta.

Film apa yang menyedot banyak penonton itu? Jelangkung judulnya, karya bersama Jose Poernomo dan Rizal Mantovani. Film horor yang ditujukan untuk penonton remaja ini berkisah tentang empat mahasiswa yang terobsesi dengan kisah-kisah mistis seperti Si Manis Jembatan Ancol, Suster Ngesot, dan Pastur Jeruk Purut.

Sejak pemutaran perdana pada 5 Oktober 2001, film ini menjadi film yang paling diburu penonton. Pada pertengahan Oktober saja, setiap harinya sekitar 200-300 orang tak kebagian tiket. Terakhir, pada 7 Januari 2002 produser dan sutradara film ini, Jose Poernomo, mendapat informasi dari Studio 21 bahwa lebih dari 500 ribu penonton di tiga kota, Jakarta, Bandung, dan Surabaya, menyaksikan filmnya. Kini, Jelangkung diputar di 24 bioskop jaringan Studio 21. Permintaan dari kota-kota seperti Padang dan Medan mengalir.

Bioskop milik Sudwikatmono, saudara tiri mantan presiden Soeharto, pasti meraup untung banyak, lebih banyak ketimbang pemutaran film Harry Potter and the Sorcerer’s Stone, yang juga menyedot banyak penonton.

Padahal, menurut Jose Poernomo, Jelangkung yang berdurasi 102 menit itu, awalnya tak ditanggapi Studio 21. Setelah film selesai dibuat pada Mei 2001, mereka kebingungan melakukan promosi. Studio 21 akhirnya memutar Jelangkung pada Oktober 2001. Dengan harga tiket masuk Rp 15 ribu, Jelangkung diputar pertama kali di Pondok Indah Mall. “Menurut perkiraan, paling cuma sepuluh hari bertahan, namun karena banyak yang tidak kebagian tiket, masa putar diperpanjang,” ujar Jose.

Jose dan Rizal memulai ide membuat film horor ini pada penghujung 1999. Ide itu baru dilaksanakan setelah Jose mendirikan Rexinema Producing Company. Misi pembuatan film ini semata-mata hiburan, yang menolak dibebani pesan moral, sosial, ataupun idealisme. Sejumlah riset tentang kisah mistis kaum urban Jakarta dilakukan. Casting pun dimulai, dan sejumlah pemain yang tak dikenal publik direkrut.

Winky Wiryawan, Melanie Ariyanto, Rony Dozer dan Harry Pantja, masing-masing harus memainkan karakter yang berbeda dari empat sekawan mahasiswa yang jadi tokoh utama. Pemilihan muka baru sengaja dilakukan. Tim kerja yang berada di bawah Avant Garde, production house milik Rizal Mantovani, ingin agar film ini seolah mengangkat sesuatu yang betul-betul baru. Wajah “fresh” juga dimaksudkan agar penonton tak dibebani dengan pencitraan karakter tertentu yang sudah dikenal publik.

Skenario ditulis bersama oleh Rizal, Jose, dan Adinugroho. Syuting pertama dilakukan Desember 2000. Setting-nya di pinggiran Jakarta. Waktu syuting sangat cepat, hanya dua minggu dengan biaya produksi Rp 1,9 miliar.

Film ini belum rampung diputar. Jadi belum bisa dihitung apakah akan memecahkan rekor Petualangan Sherina yang mampu menjaring 1,1 juta penonton. Rexinema juga belum mencapai titik impas. Namun Jose merasa tak rugi. Jelangkung meledak tanpa promosi, berbeda dengan Petualang Sherina, yang sangat gencar melakukan promosi.

Rizal sebelumnya sukses menggarap Kuldesak bersama Mira Lesmana dan Nan. T. Achnas. Dia sangat senang karena Jelangkung berhasil jadi hiburan, seperti apa yang diinginkan para pembuatnya. Buahnya, tiga perusahaan film yang cukup besar di Amerika Serikat, tengah menaksir Jelangkung dan berniat membelinya untuk dijadikan salah satu film mereka. Ketiga perusahaan tersebut adalah Miramax, Vertigo Entertainment, dan Dalmantion Film.

Menurut Rayya Makarim, kurator film Teater Utan Kayu, keberhasilan Jelangkung terletak pada kemampuannya mengeksplorasi apa yang melekat dalam tradisi dan kehidupan masyarakat. “Pengambilan judul Jelangkung saja sudah membuat orang ingin melihat kembali apa yang secara samar terasa pernah mereka akrabi, hal mistis yang pernah ada dalam tradisi masyarakat kita.”

Makarim berpendapat, penggarapan Jelangkung yang funky,disertai musik pop dan editing yang cepat, serta visualisasi yang dinamis, mampu membuat penonton terkesan. Namun, Rayya Makarim agak menyayangkan penggarapan cerita yang terasa belum optimal.

Adakah film tanpa misi edukasi yang justru disukai penonton? Boleh jadi, hiburan untuk hiburan, seperti halnya seni untuk seni, justru menjadi daya tarik. Toh, minat anak muda pada Jelangkung, kalau bisa dimaknai, merupakan ekspresi dunia mereka yang terdistorsi dengan banyak urusan orang dewasa, politik kotor, konflik berdarah, dan sebagainya.

Namun sihir apakah yang sesungguhnya berada di balik larisnya Jelangkung? Menurut desas-desus yang beredar di kalangan penonton, ada beberapa gambar yang berhasil ditangkap kamera film tersebut, gambar hantu atau setan yang sesungguhnya. Dan itulah salah satu alasan yang membuat orang begitu penasaran pada Jelangkung. “Ah, itu hanya ilusi penonton saja,” kata Rizal Mantovani.*

kembali keatas

by:Ucu Agustin