Malang-Payakumbuh

Heru Widhi Handayani

Mon, 4 February 2002

IDEALISME dan praktis. Dua hal yang senantiasa tarik-menarik dalam bisnis radio. Lantaran menggunakan ranah publik sudah sewajarnya radio jadi medium yang menyuarakan kepentingan publik.

IDEALISME dan praktis. Dua hal yang senantiasa tarik-menarik dalam bisnis radio. Lantaran menggunakan ranah publik sudah sewajarnya radio jadi medium yang menyuarakan kepentingan publik.

Saat ribut-ribut otonomi daerah, radio punya tugas mencorongkan kenyataan di lapangan. Setahun sudah, 1 Januari 2001, konsep otonomi daerah diresmikan. Apa konsep itu sudah diterima masyarakat?

Isu itu menggelitik Freidrich Naumann Stiftung, organisasi nirlaba dari Jerman, yang punya kantor di Jakarta. Mereka menggelar kompetisi Radio Awards 2001 dengan tema "otonomi daerah" untuk tiga kategori: mini feature, reportase, dan wawancara.

Ada 44 radio yang mengirimkan 104 karyanya, dan keluar pemenang pertama kategori mini feature radio Arief FM 105,8 MHz, kategori reportase radio MAS FM 1007,2 MHz, dan kategori wawancara kantor berita radio 68H.

Tengok judul program masing-masing pemenang ini: "Otonomi Daerah di Tengah Konflik," "Aksi Demo Wartawan: Menteri Sama Dengan Kambing," dan "Pengambilalihan Jasa Pelabuhan oleh Pemerintah Kota Cilegon." Kenyataan ini memperlihatkan radio mulai menyuarakan kepentingan publik ketimbang bisnis semata.

Awak radio sendiri bagaimana? Menurut Bambang Pramono, reporter MAS FM, sebelum jadi radio yang bergerak dalam bidang informasi, satu-satunya di Malang, awal mulanya ia radio hiburan. "Pool dangdutnya Malang," komentar Bambang.

Sejak gabung dengan radio ini Desember 2000 lalu, dia dan dua orang reporter lain jadi ujung tombak dalam penyampaian berita. Sehari masing-masing harus menyetor tiga macam wawancara. "Yang penting program informasi terlaksana."

Setelah iklan banyak masuk akhirnya perusahaan tak menutup mata untuk meningkatkan kesejahteraan. "Lumayan lah di atas upah minimum regional (Malang)," jawabnya. Bahkan dari motor pinjaman kini dia bisa mengendarai motor sendiri, beli baru lagi.

Keikutsertaan dalam lomba itu, menurut penuturannya, bukan lantaran hadiah. Malahan naskahnya "Aksi Demo Wartawan: Menteri Sama Dengan Kambing" baru dikirim saat-saat terakhir. Siapa sangka dia juara. "Lucunya pada saat laporan, saking banyaknya wartawan (yang demonstrasi) sempat saya kelabakan," kenangnya, tawa terdengar dari ujung telepon.

Lain halnya dengan Taufik Bambang dari Arief FM. Dia menyatakan keinginannya mengikuti lomba radio itu didasarkan atas upaya mengungkap kejadian di Payakumbuh. Selain itu dia juga ingin mengetahui seberapa besar kemampuan jurnalismenya.

Apakah kemenangannya itu membuktikan dirinya memang mumpuni? "Saya merasa masih kurang baik mutu, penulisan maupun penyampaian," jawab Taufik. "Masalahnya penyampaian di radio dibatasi oleh waktu," tambahnya.

Keinginan untuk terus mengungkapkan masalah sosial Payakumbuh memang telah jadi makanan Taufik. Gara-gara itu pulalah dia didepak dari radio SIPP FM 106.85 MHz, di Padang, tempat kerjanya dulu.

Pengalaman itu mengantarkan dia ke Arief FM. Bukan berarti dia tak pernah mengalami perseteruan di sini. Pernah seorang pejabat Payakumbuh mengutus orang, menuntut agar Taufik tak lagi memberitakan persoalan Payakumbuh. Ancamannya adalah tuntutan hukum. Taufik bersikukuh dengan keyakinannya. Tapi Taufik juga mengadakan pendekatan persuasif dan menjalin hubungan baik dengan perusahaan maupun pemerintahan.*

kembali keatas

by:Heru Widhi Handayani