Judi dan Sepincuk Pecel

Ni Luh Sekar

Mon, 4 February 2002

JADI juga saya berlebaran di Ngawi. Tadinya, ada perasaan was-was untuk datang ke rumah eyang saya. Bagaimana kalau rusuh lagi? Tapi sudahlah, nekat saja. Kan sudah dua tahun enggak ke sana.

JADI juga saya berlebaran di Ngawi. Tadinya, ada perasaan was-was untuk datang ke rumah eyang saya. Bagaimana kalau rusuh lagi? Tapi sudahlah, nekat saja. Kan sudah dua tahun enggak ke sana.

Ngawi geger, begitu kata om Bambang, adik ibu saya di ujung telepon. Waktu itu, dini hari tanggal satu Desember. Semua jalan keluar kota ditutup, ia tak bisa menjemput adik perempuan saya, Ajeng, di stasiun kereta api Madiun – yang datang duluan buat berlibur. Ah, kayak apa sih gegernya Ngawi?

“Om cari jalan lain saja, deh!” saya menutup gagang telepon dan meneruskan tidur. Pagi saya terbangun oleh mimpi buruk tentang Ngawi. Ngawi rusuh, massa melakukan pengrusakan. Ooh, ternyata mimpi saya disetir oleh suara pembaca berita di RCTI. Jadi Ngawi benar-benar rusuh?

Malam harinya, Ajeng menelpon. “Gile, mencekam banget di sini. Semua lampu harus dimatikan. Asal lu tahu, enggak ada yang berani keluar rumah setelah maghrib!” Adik saya ini lalu meneruskan ceritanya dengan sumpah serapah. Ia tipe mahasiswi perguruan tinggi negeri yang boro-boro kenal demonstrasi, baginya televisi adalah MTV. “Kejebak gue di Ngawi. Bete!”

Ngawi kota yang menarik karena saya lahir di sana. Kotanya kecil, sepi, tapi tak benar-benar mati. Ini karena letaknya berbatasan dengan Jawa Tengah, sering dilalui orang yang bepergian. Umar Kayam menyebut Ngawi kota pensiunan yang tenang. Paling tidak, begitu caranya menggambarkan Wanagalih dalam novel Priyayi.

Tapi kerusuhan beberapa waktu lalu sama sekali menyebalkan buat semua orang. Perjudian di kota Ngawi sepertinya hal yang lazim saja. Kalau dari kecil mereka terbiasa melihat orang berjudi di emper toko, di pengkolan jalan, di terminal, maka tak heran kalau orang mengatakannya biasa, bukan? Maka, kebiasaan berjudi tak ubahnya sarapan pecel saja.

Kebiasaan inilah yang menyebabkan sekelompok orang dari Forum Umat Islam Ngawi (FUIN) melakukan sweeping terhadap orang yang bermain judi dan mabuk-mabukan.

Kamis, 29 November 2001 lalu, ketika Ajeng berangkat ke Ngawi, sekelompok orang-orang FUIN turun dari truk di dekat pasar gede Ngawi. Mereka membubarkan gerombolan penjudi, mencencang dan mengangkut enam orang dari penjudi itu ke truk. Enam penjudi itu mereka serahkan ke polisi dengan luka-luka pada tubuhnya. Polisi menahan keenam penjudi itu, dua di antaranya diketahui anggota PDI Perjuangan.

Tak terima dengan ditahannya para penjudi itu, ratusan massa yang membawa nama PDI Perjuangan mendatangi kantor polisi Ngawi dan meminta agar teman-temannya dikeluarkan, Jumat, 30 November 2001. Setelah tuntutannya dikabulkan, massa bersenjata itu berkonvoi dan merusak rumah tokoh FUIN, Muhiyi Effendi di Jl. Yos Soedarso (dulu bernama Jl. A. Yani).

Banyak orang percaya, PDI Perjuangan tidak bersekongkol terlibat dalam perjudian. Tapi jelas, ada saja orang PDIP yang suka main judi. Dalam kasus kemarin, penjudi yang diciduk dengan arogan oleh kelompok FUIN membawa massa PDIP untuk membalas dendam. Ketua PDI Perjuangan Ngawi, Budi “Kanang” Sulistyono, membenarkan bahwa orang-orangnya telah diserang, termasuk salah seorang pemimpin PDIP, Yuwono Susatyo atau Sus, tetangga saya itu — dikabarkan diculik orang berjenggot atau berpakaian ninja (Kalau berpakaian ninja mana bisa lihat jenggotnya?). Tahu-tahu, besoknya Roy Janis, anggota parlemen di Jakarta yang juga orang kuat PDIP, sudah laporan sama Mega.

Kok jadi lari ke politik? Media menuding Laskas Jihad, organisasi yang namanya tak begitu populer itu, karena suka gebrak sana sini dengan nama agama, ikut terlibat dalam kekerasan itu walau dibantah oleh orang nomor satunya Ja’far Umar Thalib.

Saya menyesalkan sikap ketua PDIP Ngawi itu, yang biasa saya panggil Mas Kanang. Dia juga wakil bupati dan rasanya lebih baik jika Mas Kanang bisa bersikap tegas dan adil. Baik terhadap anggotanya yang nyata-nyata berjudi bahkan merusak rumah orang maupun terhadap anggota FUIN yang main hakim sendiri.

Sayang, saya tidak sempat bertemu dengannya. Ia sekeluarga absen sungkeman di rumah Eyang. Saudara-saudara saya bilang, Mas Kanang repot banget. Rumahnya dijaga ketat oleh polisi dan satgas PDIP. Ia sendiri sibuk mencari Sus yang hilang. Saya hanya mengangguk-angguk.

Lalu acara kumpul-kumpul yang biasanya bertema: anakmu sudah kelas berapa, ada apa di Jakarta, bagaimana Mangga Dua, dsb – kini berubah dan terfokus pada hari-hari yang mencekam tempo lalu.

Tante saya, istri mas Kanang, yang saya panggil Mbak Anti, kali ini yang ketiban simpati. Lewat telepon, ia bercerita pada saya. Subuh-subuh, rumahnya digedor oleh anak laki-laki Yuwono Susatyo. Ia mengabarkan, bapaknya telah dibawa orang. Bersamaan dengan itu datanglah satuan polisi pamong praja. Tak ada waktu lagi, mereka meminta Mas Kanang sekeluarga untuk ke kantor polisi Ngawi sekarang juga. Mbak Anti yang masih mengenakan daster segera mengungsi. Ia meninggalkan begitu saja rumah dan kamar-kamar dalam keadaan terbuka, tak satu pun perhiasan yang dibawa. Selama tiga malam, Mbak Anti dan putrinya, Tika, menginap di pendopo kabupaten. Saudara-saudara yang lain menawarkan inapan bergantian.

Yang saya lihat sekarang, Ngawi kembali tenang. Beringin kembar di tengah alun-alun masih seperti dulu. Di sebelah barat, ada masjid besar tempat Pak Bupati Harsono menimbang sendiri beras zakat fitri yang diserahkan umat. Sementara pendopo kabupaten berdiri tegak di utara, anak-anak muda bermain basket dan tenis di sisi timur. Percakapan soal peristiwa Desember lalu tak sesering sebelumnya. Meski orang memang belum melupakan peristiwa itu, karena koran terus memberitakannya. Paling tidak, itu yang saya tahu di Pasar Gede Ngawi.

Sudah kebiasaan saya menyempatkan mampir ke pasar yang berada di daerah pertokoan jalan Sultan Agung. Pasar ini tidak tradisional amat. Bagian depannya berjejer kios-kios toko serta bank swasta. Jika masuk ke dalam, ada los-los yang menjual pakaian, kembang buat nyekar, peranti dapur serta makin ke belakang – beras, kerupuk, bumbu dapur sampai mie instan.

Tak ada yang istimewa dengan jualannya. Namun, senang rasanya blasak-blusuk ke dalam pasar, mendengar orang berbincang dalam bahasa Jawa, dan membeli dua-tiga bungkus jajan pasar. Tiwul, getuk, dan serabi.

Usai berkeliling, saya berhenti di warung Mbah Joyo Din. Perempuan 60-an tahun ini sudah puluhan tahun berjualan lontong pecel. Lontongnya gurih, sambel pecelnya sedap. Sayang, ia pelit memberi sayuran.

Ketika saya datang, Mbah Joyo menyapa ramah, "Wah, setiap tahun suami Mbak pasti motret pasar sini, ya."

"Sugeng riyadi, Mbah," saya tertawa dan membalas ‘apa kabar’-nya.

Saya duduk, memesan 15 bungkus lontong pecel lengkap dengan tempe yang digoreng garing berbentuk segitiga. Kaget, saya membayar semua itu hanya limabelas ribu limaratus rupiah. Arogansi ‘orang Jakarta’.

“Matur nuwun,” saya mengucapkan terima kasih, hendak pergi.

"Sekarang sudah tidak ada lagi."

"Tidak ada lagi apa, Mbah?"

"Yang suka main. Sudaaah. Sudah tidak ada yang berani, pokoknya!"

Saya melihat tangan keriputnya mengaduk bumbu pecel dengan penuh penekanan. Saya tersenyum. Becanda, Mbah Joyo ini. Pikiran saya menerawang. Semalam, sehabis menyantap sate ayam di Pasar Sore, saya masih melihat dua orang laki-laki main kartu di emper toko. Ingin rasanya bertanya, apakah mereka sedang berjudi.

“Ah, monggo, Mbah,” saya pamit, buru-buru pulang untuk sarapan sepincuk pecel Ngawi.*

kembali keatas

by:Ni Luh Sekar