Jerat Akbar Nangis Darah

M. Said Budairy

Mon, 4 February 2002

"SECARA resmi saya lapor kepada ombudsman PANTAU atas terjadinya praktek jurnalisme menyakiti yang dilakukan Rakyat Merdeka,” tulis Slamet Effendy Yusuf

"SECARA resmi saya lapor kepada ombudsman PANTAU atas terjadinya praktek jurnalisme menyakiti yang dilakukan Rakyat Merdeka,” tulis Slamet Effendy Yusuf, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan salah seorang wakil ketua Partai Golongan Karya.

Laporan yang dikirim lewat SMS (short message service) itu saya terima malam setelah Slamet, yang juga mantan pemimpin suratkabar, pada sore harinya mendampingi ketua DPR dan ketua Golkar Akbar Tandjung mengadukan suratkabar Rakyat Merdeka ke polisi Jakarta.

Rakyat Merdeka diadukan ke polisi gara-gara ilustrasi yang disiarkannya pada edisi Selasa, 8 Januari 2002. Ilustrasi itu menggambarkan Akbar Tandjung telanjang dada, badan penuh pasir dan keringat, bercelana hitam dengan mata terpejam, diberi judul dengan huruf-huruf besar "Akbar Nangis Darah." Ilustrasi itu ditampilkan berkaitan dengan persoalan yang melibatkan Akbar Tandjung dalam kasus penyelewengan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar yang sedang dalam proses penanganan Kejaksaaan Agung. Mula-mula Tandjung diposisikan sebagai saksi dari tersangka mantan Kepala Bulog Rahadi Ramelan. Lalu statusnya ditingkatkan jadi tersangka.

Akbar Tandjung merasa malu dan terhina gara-gara gambar dirinya yang dimuat Rakyat Merdeka itu. Menurutnya, perbuatan menciptakan dan menyiarkan gambar tersebut merupakan bentuk pencemaran nama baiknya. Pengacara Tandjung menambahkan bahwa ilustrasi tersebut telah merusak nama organisasi serta menimbulkan ketidaktenangan kader-kader Golkar di daerah-daerah.

Pengaduan sudah dilakukan dan tuntutannya merujuk pasal 310 KUHP. Pasal itu menggariskan, barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, jika dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara atau denda.

Tapi, menurut Rakyat Merdeka, tak ada maksud mencemarkan nama baik Tandjung. Pemimpin redaksi Karim Paputungan menemui Tandjung untuk minta maaf dan melakukan klarifikasi. Karim Paputungan mengatakan ilustrasi tersebut tak bermaksud memojokkan atau mendiskreditkan Tandjung. Maksud ilustrasi itu untuk memvisualisasikan beban Tandjung yang berat. Demikian kisah yang disiarkan oleh banyak media.

Rakyat Merdeka dengan menampilkan ilustrasi dengan judul seperti itu mungkin bermaksud ingin tampil berpihak kepada sikap anti-korupsi, kolusi dan nepotisme. Pers memang harus berpihak, tak bisa netral, berpihak pada kebenaran dan keadilan. Berpihak pada rule of law, kepada penegakan hak asasi manusia. Namun mengundang pertanyaan jika Rakyat Merdeka menyatakan sekedar menvisualisasikan beban Tandjung yang begitu berat. Dengan cara seperti itu? Untuk apa? Jadinya malah terjerat menghadapi tuntutan hukum, karena mengabaikan banyak rambu-rambu yang seharusnya tidak boleh terlanggar.

Ketika majalah Tempo menampilkan gambar Akbar Tandjung dengan hidung ala Pinokio, reaksinya berbeda. Gambar itu ditampilkan pada fase terjadinya perubahan keterangan Tandjung, dari menyatakan menerima cek dana nonbujeter, yang dihebohkan itu, menjadi menyatakan ceknya tak dia sentuh tapi diletakkan oleh si pengantar cek di atas meja kerja Tandjung. Cek itu lalu diambil oleh ketua Yayasan Raudlatul Jannah Dadang Sukandar. Tempo tidak diadukan ke polisi, tapi kantornya ditamui delegasi pemimpin Partai Golkar untuk "bersilaturahmi." Tergolong sopanlah ilustrasi Tempo, walau masih tetap saja terasa sebagai cubitan keras bagi persepsi budaya lokal. Persoalan selesai sampai di situ. Bagaimana pun Partai Golkar juga butuh pers. Kalau bukan untuk memperoleh dukungan atas keputusan-keputusan politiknya, minimal agar tidak terus-menerus disoroti.

Politik Rakyat Merdeka dalam mengemas berita memang khas. Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta, beberapa waktu yang lalu menyelenggarakan pertemuan silaturahmi para wartawan senior. Dalam sebuah diskusi panel, Rosihan Anwar sempat selintas menyenggol Rakyat Merdeka. Wartawan sepuh itu memberi sebutan "killer headline" untuk gaya judul-judul berita Rakyat Merdeka. Itu yang menyangkut judul berita. Pernah pula saya saksikan surat pembaca dimuat menjadi seolah-olah berita. Cukup dengan hanya menambahkan lead dan judul berita saja. Buntutnya masih tersisa nama dan alamat pengirim surat pembaca tersebut. Karena surat pembaca tergolong opini, dengan disulap begitu saja, menjadi berita, menyebabkan tidak memenuhi syarat berita yang baik. Termasuk syarat penyajian laporan berimbang, cover both sides, dan sebagainya.

BAGI saya sangat menarik langkah Slamet Effendy Yusuf yang menyatakan "secara resmi melaporkan" kejadian itu kepada ombudsman PANTAU. Saya menerimanya sebagai satu pemberian kepercayaan. Tapi anggota parlemen ini pastilah tahu tentang adanya Dewan Pers. Dan Dewan Pers pernah membikin konsensus dengan Komisi I DPR. Konsensus itu menyatakan, jika ada produk jurnalistik yang dianggap merugikan, hendaknya diselesaikan oleh pihak si korban dengan menggunakan hak jawab. Jika cara itu belum cukup, supaya diadukan kepada Dewan Pers sebagai pengemban amanat atas dipatuhinya kode etik pers dan penggunaan standar jurnalistik yang baku. Baru jika tahap itu pun dianggap tidak menyelesaikan, diproses melalui pengadilan.

Dewan Pers, yang terakhir ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun l999 tentang Pers, merupakan lembaga yang seharusnya dapat cepat memecahkan masalah yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers. Dewan ini juga berfungsi jadi mediator untuk membantu menyelesaikan pengaduan masyarakat berkaitan dengan pemberitaan pers yang merugikan publik.

Penyelesaian kasus "Tandjung Nangis Darah" tidak menempuh jenjang sebagaimana dikonsensuskan itu. Mungkin Tandjung dan para pemimpin Partai Golkar tak melihat celah bagaimana mesti menggunakan hak jawab atas ilustrasi Rakyat Merdeka, yang membuatnya merasa terhina dan malu itu.

Kenapa tidak mengadu ke Dewan Pers? Di sana ada Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers. Fungsinya menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik dan memberikan pertimbangan serta membantu mengupayakan penyelesaian bagi pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Mungkin karena keputusan komisi ini bersifat nonlegalistik, bersifat edukatif bukan menghukum, dirasakan tidak seimbang dengan malu dan terhina yang dirasakan Tandjung. Keputusan penilaian Dewan Pers bersifat sanksi moral dengan menerbitkan dan menyebarluaskan kepada publik. Padahal, penyebarluasan itu pun baru bisa terjadi jika ada kerelaan pers menyiarkannya. Sedangkan kemungkinan untuk tidak berhasil tersiar secara luas sangat besar, karena terhalang oleh mengedepannya solidaritas korps.

Untuk melaksanakan fungsi yang ternyata tidak banyak diketahui dan karenanya tidak digandrungi publik itu, Dewan Pers memang masih menghadapi macam-macam hambatan. Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja pernah bercerita tentang kondisi dukungan dana kepada lembaga ini. Dari penerbit media penyumbangnya tak banyak. Besar dananya pun tidak seberapa. Dari lembaga nonpemerintah umumnya sebatas untuk pelatihan-pelatihan wartawan. Itu pun sangat terbatas. Dari pemerintah? Waktu itu Astraatmadja bilang nggak ada. Sehingga, sekedar mengganti biaya transportasi rapat-rapat anggota dewan pun, dananya tak tersedia. Padahal dewan ini dibentuk dan bekerja untuk pelaksanaan undang-undang negara.

Dalam suatu acara buka puasa Ramadhan lalu, Atmakusumah Astraatmadja, yang juga jadi ombudsman harian Kompas, setuju atas usul mempertemukan ombudsman yang telah ada di beberapa media massa. Gagasan yang saya sampaikan itu pada mulanya datang dari Dhimam Abror, pemimpin redaksi Jawa Pos, yang korannya juga punya ombudsman. Abror menyampaikan kepada saya, keinginannya agar ada kontak antar ombudsman yang telah ada di sejumlah media. Melalui pertemuan itu diharapkan dapat dipetik pengalaman-pengalaman melaksanakan tugas sebagai ombudsman. Sehingga suatu saat nanti ada formula baku bagaimana ombudsman pers melaksanakan fungsinya di Indonesia.

Astraatmadja sepakat. Dan saya pikir, adanya ombudsman pers akan sangat membantu tugas Dewan Pers. Meski pun Dewan telah punya komisi yang fungsinya mirip fungsi ombudsman, tapi nyatanya kurang berjalan lancar. Sebab itu, Dewan Pers paling patut ambil inisiatif memelopori terlaksananya gagasan tersebut.

Empat bulan yang lalu Kompas menyiarkan berita, bersumber laporan wartawannya Subur Tjahjono, bahwa Ketua Subkomisi Media dan Informasi Komisi I DPR Djoko Susilo dan rombongannya berkunjung ke Swedia. Usai berdialog dengan Ombudsman Pers (Allamanhetens Pressombudsman) Swedia Olle Stenholm di Stockholm, Djoko berpendapat Dewan Pers perlu membentuk Ombudsman Pers yang bertugas menampung segala keluhan publik atas pers serta menjamin kebebasan pers dilaksanakan dengan baik. Djoko Susilo sepertinya juga tak tahu bahwa Dewan Pers juga punya Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers. Djoko Susilo berpendapat, selama ini tak ada saluran yang jelas dan sistematis untuk menampung keluhan masyarakat yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa di Indonesia.

Sudah banyak diketahui, istilah ombudsman sendiri merupakan istilah bahasa Swedia yang yang kemudian diadopsi oleh dunia internasional. Istilah itu digunakan untuk menyatakan lembaga yang menampung keluhan masyarakat dan meneruskan kepada pihak yang berwenang untuk menanggapinya.

Ada banyak ombudsman di Swedia. Ombudsman Parlemen misalnya telah dibentuk pada 1810. Lainnya adalah Ombudsman Konsumen (1971), Ombudsman untuk Kesetaraan Kesempatan (1980), Ombudsman untuk Diskriminasi Etnis (1986), Ombudsman untuk Diskriminasi karena Orientasi Seksual (1999), Ombudsman Anak-anak (1993), dan Ombudsman untuk Orang Cacat (1994). Ombudsman Pers berdiri tahun 1969.

Di Swedia Ombudsman Pers juga tidak memiliki kewenangan hukum. Ia juga bersifat sukarela dan dibiayai kalangan pers sendiri. Ombudsman Pers menerima keluhan dari publik yang merasa tidak puas dengan pemberitaan media massa. Setelah menerima keluhan, Ombudsman Pers mengirimkan salinannya kepada media massa bersangkutan untuk ditanggapi.

Menurut Stenholm, lembaga yang ia pimpin menerima sekitar 400-500 keluhan setahun. Dari jumlah tersebut sekitar 15 persen membuat media massa bersangkutan dipanggil oleh Dewan Pers Swedia. Dewan Pers di Swedia sudah berdiri sejak 1916, yang merupakan Dewan Pers pertama di dunia. Swedia sudah memiliki UU Kebebasan Pers sebagai salah satu bagian konstitusi mereka sejak 1766, yang juga merupakan UU Kebebasan Pers pertama di dunia.

Mau bagaimana di Indonesia? Itulah yang sepatutnya dipikirkan Dewan Pers. Telah disampaikan saran agar memanfaatkan ombudsman yang telah ada di beberapa media untuk menggali pengalamannya. Jika Dewan Pers mau mengambil langkah itu, saya pikir itu respon yang tepat menghadapi banyaknya sorotan terhadap kebebasan pers yang telah diperoleh pers Indonesia sekarang ini. Kebebasan pers ini mulai diplesetkan menjadi "kebablasan pers." Patutlah kita khawatir, jika tidak diberikan respon, kebebasan pers akan terganggu lagi. Misalnya oleh "kebablasan demokrasi." Beberapa media telah mengalami. Antara lain Jawa Pos di Jawa Timur. Pikiran Rakyat di Jawa Barat.*

kembali keatas

by:M. Said Budairy