Catatan Kaki Digugat

Anonim (sementara)

Mon, 5 November 2001

AWALNYA majalah, kemudian menjadi tabloid. Terbitnya mingguan. Tebalnya empat halaman. Bagi sebagian anggota komunitas kampus Universitas Hasanudin (Unhas), Makassar, Catatan Kaki menjadi media alternatif.

AWALNYA majalah, kemudian menjadi tabloid. Terbitnya mingguan. Tebalnya empat halaman. Bagi sebagian anggota komunitas kampus Universitas Hasanudin (Unhas), Makassar, Catatan Kaki menjadi media alternatif.

Kebijakan redaksional media terbitan unit pers mahasiswa itu lebih berorientasi pada liputan kampus. Dan sejak berubah bentuk, Catatan Kaki berusaha untuk bersikap kritis, termasuk ketika melaporkan suksesi rektor, konflik internal kampus, sampai persoalan KKN, singkatan korupsi-kolusi-nepotisme.

Akibatnya, tak mengherankan bila Catatan Kaki juga digugat oleh salah seorang staf rektorat Universitas Hasanudin, Azhary Siradjuddin. Ia merasa tersinggung ketika Catatan Kaki menurunkan laporan bertajuk “KKN di Unhas, Rektorat Pusatnya.”

Dalam laporannya, Catatan Kaki menulis, “Pejabat-pejabat ini semua adalah preman-preman Unhas yang melindungi (KKN) yang terjadi di Unhas.” Ada yang lebih seram, dan belakangan memancing kemarahan sejumlah pihak. Alinea itu berbunyi, “Amir sangat menyesalkan gelar Profesor disandang tetapi hatinya masih berhati binatang.” Siapa Amir? Ini nama samaran, yang menurut Catatan Kaki “seorang pegawai.”

A. Baso R. Roda, seorang guru besar setempat, yang merasa dirinya jadi objek sasaran tembak, tak urung mengirim surat bantahan pada Catatan Kaki, dengan emosi yang terjaga. Selain mengatakan dirinya tidak berhati binatang, Roda pun menegaskan dirinya bersedia diperiksa seiring tuduhan tadi. Bilamana memang didapatkan bukti-bukti yang mengarah ke sana, Roda siap dipecat dengan tidak hormat. “Saya menghormati setiap orang dari pesuruh sampai rektor,” ujarnya.

Tak hanya rektor dan guru besar yang jadi bidikan. Sirajuddin sendiri, dalam edisi 21 September 2001, pun kena ketapel. “Ahh … Pak Ashari itu hanya cari-cari muka saja. Kebetulan kan Pak Sahali (Karo Bidang Kemahasiswaan) sebentar lagi lengser, dan calon kuatnya, ya dia itu,” begitu Catatan Kaki mengutip seorang mahasiswa yang “enggan disebutkan namanya.”

Sebelum mengakhiri laporannya, secara demonstratif Catatan Kaki menyebutkan, bahwa komentar semacam itu tidak hanya dilontarkan seorang mahasiswa saja, tetapi beberapa orang. Sungguh sayang, dari “beberapa orang” ini, tak seorang pun disentuh jati dirinya. Mereka yang nakal, bisa saja bertanya, apakah memang narasumber mahasiswa di sana sekumpulan penakut hingga tak berani memperlihatkan jati dirinya, atau jangan-jangan Catatan Kaki cuma mengarang? Mengapa mengutip sumber anonim ketika diminta opini, bukan fakta?

Sekretaris rektor Hasrullah menilai penulisan Catatan Kaki sangat tendensius. Ia menyayangkan awak Catatan Kaki yang sebagian besar mahasiswanya tak memahami kaidah-kaidah jurnalisme. Tanpa menyebut nama penerbitan, Hasrullah, juga seorang dosen di situ, ini menulis di harian Pedoman Rakyat, “Yang sulit dimengerti sebagian masyarakat akademik, koran kampus dalam pemberitaannya belakangan ini cenderung peliputannya terbatas pada opini bahkan memutar-balikkan opini narasumber tanpa diimbangi investigasi yang mendalam, sehingga kadang pemberitaannya tidak sesuai dengan kenyataan.”

Baginya, argumentasi dan komentar dengan menggunakan bahasa-bahasa provokasi, hanya didapatkan dalam bahasa di zaman propaganda era nazisme. “Pers mahasiswa seperti ini kian tidak bisa dipercaya tampil sebagai ujung tombak penegakkan moral dan etika di kampus.”

Berbeda dengan Hasrullah yang menuliskan opininya di media, Siradjuddin yang menganggap perilaku Catatan Kaki sudah kelewat batas, menuliskan laporannya di buku BAP alias berita acara pemeriksaan. Kepada polisi Makassar, Siradjuddin mengatakan kalau dirinya merasa telah dicemarkan nama baiknya. Ia menuntut awak Catatan Kaki untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Kami siap untuk menghadiri panggilan tersebut,” cetus Sulviyani Suardi, penanggung jawab Catatan Kaki.

Tak hanya sampai di sana. Ketika terbetik rencana gugatan dari Siradjuddin, awak Catatan Kaki mendatangi kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar untuk meminta bantuan dan pembentukan tim advokasi bagi penyelesaian persoalan tersebut. Mereka didampingi para seniornya.

Hasilnya? “AJI nampaknya ogah-ogahan menyelesaikan persoalan Caka. Dan yang nampak dari orang AJI, bukannya institusi AJI, melainkan personal mereka sebagai alumni Unhas,” komentar Sulviyani Suardi.

Abdul Haerah, anggota AJI Makassar, membenarkan kalau sekitar 80 persen anggota AJI adalah alumni Universitas Hasanuddin. Namun, ia juga tak ingin menutupi kenyataan kalau dari segi penulisan, Catatan Kaki banyak melanggar kode etik, seperti tidak menghubungi narasumber, memakai sumber anonim buat komentar terhadap orang lain, atau memakai kata-kata yang tak sopan.

Masalahnya jadi pelik, memang. Di satu pihak AJI harus membela kebebasan berekspresi, di pihak lain AJI dipaksa untuk tunduk pada etika jurnalistik. Toh AJI akhirnya sampai pada keputusan untuk mengulurkan tangannya. Sekretaris jenderal AJI Makassar Jupriadi mengatakan, secara organisasi AJI memberikan dua pilihan. AJI bersedia mendamaikan dua pihak yang sedang bersengketa atau mendukung proses hukum seandainya Catatan Kaki akan melayani gugatan Sirajuddin.

“Malah AJI menyiapkan divisi advokasi untuk mendampingi Caka. Yang menjadi persoalan adanya sinyalemen bahwa AJI tidak aktif menanggani persoalan itu. Sikap AJI sangat jelas.”

Tapi rupanya suara tak merdu dari kalangan AJI sayup-sayup terdengar di telinga awak Catatan Kaki. Para mahasiswa ini pun akhirnya lari ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar. Dalam pandangan mereka, LBH lebih banyak memberikan saran, baik persoalan hukum maupun persoalan proses hukum. LBH pun dianggap lebih banyak bergerak ketimbang AJI Makassar. Tapi ketika surat panggilan dari kepolisian Makassar meminta awak Catatan Kaki datang, mereka toh memilih mengikuti saran AJI Makassar untuk tak memenuhi panggilan tadi.*

kembali keatas

by:Anonim (sementara)