Spanduk, Billboard, dan Anton Medan

Dwi Iswandono

Mon, 3 December 2001

HUJAN deras menggerus Kampung Sawah, Cibinong, Bogor. Belasan lelaki muda itu tak menghiraukannya. Mereka terus bekerja. Sebagian mengaduk-aduk semen, pasir, dan kerikil jadi adonan.

HUJAN deras menggerus Kampung Sawah, Cibinong, Bogor. Belasan lelaki muda itu tak menghiraukannya. Mereka terus bekerja. Sebagian mengaduk-aduk semen, pasir, dan kerikil jadi adonan. Empat orang mengangkutnya dengan gerobak. Mereka mendirikan sebuah bangunan besar. Sudah empat bulan anak-anak muda itu bekerja tanpa upah, tapi wajah mereka sama sekali tak menampakkan keluhan. Mereka para santri, mantan narapidana, dan mantan preman yang kelak akan jadi penghuni bangunan yang akan digunakan sebagai tempat latihan ketrampilan bagi mereka sendiri. Bangunan besar itu rencananya tempat mereka bisa belajar membuat spanduk, umbul-umbul, merancang konstruksi las untuk pendirian billboard, bahho, juga halte bus kota.

Di tengah-tengah kesibukan itu seorang laki-laki berkulit legam, bermata sipit, memberi perintah. Ia bernama Anton Medan. Lelaki kelahiran Tebing Tinggi, 1957, ini terlahir dengan nama Tan Hok Liang.

Garis hidup membawanya berpetualang di dunia hitam. Pada 1970, ketika berusia 12 tahun, Anton memutuskan pergi dari rumah dan hidup sebagai calo penumpang di Terminal Bis Tebing Tinggi. Tujuh bulan kemudian fotonya terpajang di halaman pertama sebuah koran lokal dengan judul berita "Si Pemeras Itu Mengidap Penyakit Vietnam Rose". Vietnam Rose sejenis penyakit kelamin berbahaya. Maka gemparlah kota kecil itu. Meski seorang sinshe tua menyembuhkanya, aib pertama mulai dirasakan keluarganya yang miskin. Aib berikutnya muncul setahun kemudian. Anton membunuh seorang berandal dengan parang pembelah es balok. Berandal itu mencuri uang hasil kerjanya mencuci bis. Ia mendekam selama empat tahun di Penjara Binjai.

Magnet kejahatan membawa Anton ke Jakarta. Sindikasinya dengan sesama peranakan Cina-Medan di Jakarta sempat menggegerkan pada 1980-an. Ia pernah lama mendekam di Penjara Cipinang.

Anton kembali membuat heboh di awal 1990-an, tampil di depan publik, bukan sebagai penjahat tetapi seorang da’i. Banyak orang tak percaya, bahkan mencibirnya, tetapi ia terus berjalan. Kisah hidup Anton Medan banyak ditulis. Tapi ada sisi lain dari petualangannya yang nyaris tak banyak diketahui orang. Ia berbisnis di bidang media luar ruang: spanduk, umbul-umbul, billboard, dan baliho. Sebuah bisnis yang menguntungkan. Dan Anton memadukan bisnis ini dengan upaya menjalani hidup sebagai pengasuh pondok pesantren At-Taibin, Jakarta, dan "mengasuh" bekas narapidana dan bekas preman.

Usaha itu tumbuh tanpa sengaja. Suatu saat di pertengahan 1997, seorang wartawan datang kepadanya. Sang wartawan mengeluh pencopotan spanduk-spanduk yang dipasang bagian promosi majalahnya oleh tangan jahil, setiap kali majalah itu terbit. Sang wartawan minta tolong kepada Anton, siapa tahu ia bisa membantunya.

Anton bersedia. Ia memerintahkan orang-orang memasangnya kembali. Tapi, spanduk-spanduk itu tetap dicopoti. Anton penasaran. Penyelidikan dilakukannya. Hasilnya? Para pencopot spanduk itu tertangkap. Ketika ditanya mereka menyatakan suruhan perusahaan-perusahaan spanduk lain. Jadilah "bantuan" ini lahan bisnis baru. Tapi, usahanya ini tidak berjalan mulus. Gangguan terus datang. Di Senayan spanduk yang dipasang perusahaan Anton dicopoti para aktivis Pemuda Pancasila. "Saya bicara dengan koordinatornya, minta supaya spanduk yang dipasang anak-anak tidak diganggu. Selanjutnya bisa terus aman kok," ujarnya.

Ketekunan bernegosiasi menjadi awal ekspansi bisnis Anton. Kini dalam sebulan, perusahaannya menghasilkan sekaligus memasang sekitar 7.000 spanduk dan umbul-umbul. Pemesan dipungut Rp 100 ribu untuk sebuah spanduk. Harga itu termasuk pajak reklame, ongkos pemasangan, dan pencopotan. Artinya dalam sebulan duit yang berputar dari usaha Anton mencapai Rp 700 juta.

Paling tidak ada 200 orang mantan narapidana dan preman terlibat dalam pekerjaan itu. Masing-masing pekerja bisa. membawa pulang uang Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta per bulannya. Risikonya ya harus banting tulang lantaran tiap pesanan mesti dikerjakan dengan cepat dan rapi. Pesanan selesai. Giliran para koordinator mengomandoi rekan-rekannya memasang spanduk dan umbul-umbul di tempat-tempat yang ditentukan hingga yakin aman terpasang selama kurun waktu yang disepakati.

Mereka tidak asal pasang, harus seizin pemerintah daerah. Masalahnya pengurusan perizinan ini memakan waktu lama, sementara pemasangan harus segera dilakukan. Waktu antara pesanan yang masuk dengan pemasangan spanduk sering kali mepet. Pesanan spanduk majalah mingguan, misalnya, terkadang baru masuk pada Rabu atau Kamis. Sebagian pemesan ada yang ingin spanduknya terpasang di jalur Puncak pada akhir pekan. Padahal spanduk di wilayah itu hanya boleh dipasang merentang jalan antara Jumat sore sampai Minggu malam. Akibatnya tim kerja Anton mesti kerja ekstra keras.

Bisnis media luar ruang hanya bisa dijalani kalau pengusaha mau melakukan kolusi dengan pegawai pemerintah daerah. Anton memberikan resepnya. Ia selalu mengatakan kepada para koordinator pemasangan spanduk perusahaannya untuk memberikan upeti kepada petugas Satuan Pelaksana Ketentraman dan Ketertiban atau biasa disebut Tramtib dari pemerintahan daerah Jakarta. Kendati ada regulasinya, praktik-praktik lapangan dalam bisnis media luar ruang memberlakukan hukum rimba sehingga bernuansa kekacauan.

Bisnis media luar milik Anton ini terus berkembang. Para mantan berandalan terus bersemangat mengembangkannya. Mereka beralasan ketimbang menodong, pekerjaan ini lebih nyaman.

Namun bisnis media luar bukanlah yang utama bagi Anton Medan. Ada sumber penghidupan lain yang bisa menopang biaya pendidikan bagi Harley Davidson, anak sulungnya, serta enam adiknya yang masing-masing bernama Siti Noviyanti Ramdhan Putri, Siti Maysaroh Ramdhan Putri, Hardi Dian Effenddy, Tri Anggi Anggraini, Ramdhani, serta si bungsu Muhammad Fedrik. "Saya kan punya bisnis pasir dari Batam ke Singapura," kata Anton.

SEBUAH billboard majalah Kosmopolitan yang terpajang dijalan Sudirman, Jumat, 24 Agustus 2001, dirusak para demonstran yang mengecam kekerasan tentara Israel terhadap warga Palestina. Hari itu juga, di tempat berbeda, beberapa orang mencoret-coret gambar artis cantik Sophia Latjuba yang sedang mengiklankan sebuah merek sabun yang terpampang di atap halte bus kota.

Sosok Sophia yang tengah merebahkan tubuh dengan baju warna putih dicoret-coret. Hasilnya Sophia seolah-olah tampil sebagai wanita bercadar. Sejumlah kata juga dicoretkan.

Ketidaksetujuan atas substansi billboard di Jakarta bukan barang baru. "Saya juga pernah protes pada rencana pemasangan sebuah papan reklame Triumph", ujar Amarullah Asbah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jakarta. Triumph merek pakaian dalam wanita.

Saat itu papan reklame Triumph rencananya bakal dipasang di kawasan Harmoni. Gambarnya model perempuan yang dibalut celana dalam dan bra. Tapi batal dipampang. Protes-protes itu mempertegas adanya benturan nilai di ruang publik.

Gunadi Soekemi, salah seorang pengurus Asosiasi Pengusaha Media Luar Ruang Indonesia (AMII) berpendapat lain. Gambar-gambar papan reklame menurutnya masih dalam batas-batas kesopanan. "Pengusaha media luar ruang terikat dengan aturan tentang keindahan, kesusilaan, dan ketertiban," ujarnya.

Perizinan papan reklame lebih rumit lagi bak belantara. Penuh persekongkolan dan korupsi. Sebuah proposal izin pendirian billboard di satu titik tertentu oleh sebuah biro iklan yang ditolak bisa saja diloloskan apabila diajukan oleh biro iklan lain. Gunadi Soekemi, jengkel sekali.

Kerumitan birokrasi perizinan bisnis ini coba diurai oleh pemerintah daerah Jakarta dengan cara lelang. Juru bicara pemerintah daerah Jakarta Mahayat menjelaskan sistem lelang akan menghindari kolusi. Pelelangan terbuka bisa diikuti biro iklan dan perusahaan-perusahaan produsen. Pemerintah daerah menjadi penentu titik-titik yang direncanakan sebagai lokasi pemasangan papan reklame, wilayah mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Wilayah yang tidak boleh dipasangi papan reklame dinamai white area atau kawasan putih.

Kenyataannya, pelaksanaan lelang tidak berjalan mulus. Titik reklame di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, gagal dilelang karena pemerintah daerah menetapkan harga penawaran terendah sebesar Rp 1,2 miliar sementara penawar tertinggi hanya berani mematok harga Rp 800 juta.

Selain soal lelang, muncul masalah baru. Pelanggaran terhadap kawasan putih. Ini terjadi akibat praktik percaloan yang melibatkan pejabat. Kasus pelanggaran kawasan putih dilakukan pemasang iklan sebuah merek pasta gigi di Jalan Sisingamangaradja dan merek rokok putih di Hotel Hilton dan di Hotel Indonesia. Titik lokasi pemasangan memang penting dan mutlak dalam bisnis media luar ruang. Makin strategis sebuah titik makin tinggi nilainya.

Putaran duit bisnis media luar ruang di Indonesia belum terbilang besar ketimbang sektor bisnis lain atau jenis periklanan lain. Total belanja iklan pada 2001 mencapai Rp 9,2 triliun. Menurut Gunadi Soekemi, putaran uang di media luar ruang sekitar lima hingga enam persen dari total belanja iklan tadi.

Pemerintah daerah Jakarta mengatakan pada 2000, pajak reklame yang diperoleh sebesar Rp. 51 miliar. Sementara, pendapatan pajak reklame berkisar 30 persen dari seluruh dana yang dibelanjakan para produsen pemasang media luar ruang. Artinya perputaran uang di bisnis ini, di Jakarta saja, mencapai sekitar Rp 200 miliar.

Di Jakarta hingga tahun 2000 terpasang billboard di 35.486 lokasi. Mengapa perusahaan memilih mengiklankan produknya lewat media luar ruang dan rela mengucurkan dananya bermiliar-miliar untuk sebuah titik papan reklame?

"Billboard hanyalah reminder saja. Ia sekadar mengingatkan masyarakat akan sebuah produk tertentu", ujar Th.Wiryawan, direktur komunikasi pemasaran Citibank Indonesia. Artinya, perusahaan masih harus menggunakan sarana iklan lain seperti televisi, koran, atau majalah. Dengan langkah itu dalam benak masyarakat akan tercipta brand awareness terhadap sebuah produk dan perusahaan tertentu.

Citibank kini memasang billboard di tujuh lokasi di Jakarta. Ini karena, beriklan di media massa sangat mahal. "Bayangkan harga iklan Kompas setengah halaman Rp 110 juta, di RCTI untuk prime time Rp 25 juta, ini mahal dan tak efektif buat perusahaan kami yang orperasionalnya hanya terbatas di Jakarta, Bandung, dan Surabaya," ujarnya. Jadi, tak ada alasan Citibank mengeluarkan uang besar buat media massa yang beredar ke seluruh Indonesia.

Memilih lokasi harus dengan tingkat traffic yang tinggi karena peluang untuk dilihat tinggi pula. Untuk menghindarkan kebosanan, billboard harus diganti setidaknya setelah terpasang selama tiga bulan.

Perusahaan dengan sasaran bidik orang-orang kelas menengah ke atas, meminati lokasi pemasangan di jalan protokol. Di sanalah para eksekutif setiap hari lalu-lalang. Setiap kali melintas dalam benak mereka secara terus-menerus diingatkan akan adanya produk dan jasa tertentu. Perlakuan ini bertujuan merangsang minat beli mereka.

"Jakarta memerlukan lebih banyak lagi billboard", tambah Wiryawan. Alasannya kota ini butuh penampilan yang lebih berbau kosmopolitan lagi. Selanjutnya, pemerintah kota membutuhkan tambahan pendapatan yang bisa didapat dari pajak reklame.

SEBUAH spanduk yang mengkampanyekan fasilitas dapur umum bagi para pedagang korban penggusuran oleh pemerintah daerah Jakarta dibentangkan di kawasan Kampung Rawa, dekat kantor dinas pajak Jakarta Barat. Para aktivis Urban Poor Consorcium (UPC) atau Konsorsium Kemiskinan Kota memberi makanan cuma-cuma kepada para korban penggusaran itu. Tetapi hari berikutnya para petugas Satuan Pelaksana Ketertiban dan Ketertiban Jakarta datang dan mencopot spanduk itu. Alasannya mengotori kota.

Tentu saja spanduk itu dipasang tanpa mengikuti regulasi pemerintah daerah Jakarta. Tidak pula membayar pajak reklame. Tapi UPC menolak pencopotan itu. Afrizal Malna, seorang aktivis UPC, mengatakan orang-orang miskin kota terpinggirkan dalam perebutan ruang publik di Jakarta. Kaum miskin kota berhak atas ruang publik "Billboard itu menteror karena ia merupakan sebuah bangunan besar tetapi tidak bisa dihuni, orang miskin di sekitamya tidak memperoleh apa-apa," katanya.

Menurutnya, sebaiknya reklame masuk ruangan saja, biarlah tempat umum dipakai. untuk kepentingan lain. Selama ini para pengusaha iklan telah sewenang-wenang menempatkan billboard sedemikian rupa.

Afrizal menolak billboard. Tapi Gunther W. Holtorf, seorang warga negara Jerman yang sejak 24 tahun lalu memonitor perkembangan ruang publik Jakarta dengan atlas Jakarta yang dibuatnya, melihat billboard sangat bermanfaat. Billboard membantu orientasi pejalan kaki dan pengemudi mobil mencari daerah tertentu.

Di jalan tol orang bisa merasakan hal itu terutama billboard yang mempromosikan kawasan wisata, perumahan, dan sebagainya. Pengendara mobil bisa menentukan berapa jarak yang mesti ditempuh lagi untuk menuju ke lokasi itu atau tujuan lain yang berdekatan dengannya.

Namun, Holtorf bilang kebanyakan billboard di Jakarta bersifat sementara. Sering berganti-ganti hingga tidak bisa jadi patokan. Akibatnya orang malah kehilangan orientasi ketika billboard tiba-tiba hilang.

"Tentu saja peta kota jauh lebih tepat memberikan petunjuk ketimbang billboard", ujarnya sambil tertawa. Gedung-gedung dan berbagai bangunan lain lebih bisa diandalkan untuk menemukan sebuah tujuan lantaran sifatnya lebih tetap. Ditambahkannya bahwa billboard bisa saja diterima kehadirannya sepanjang tidak terlalu banyak.

Kini jumlah billboard telah banyak seperti pohon-pohon yang sengaja ditanam, dan di masa mendatang akan semakin banyak dan tersebar ke mana-mana. Warga kota sulit menghindari kehadirannya. Sepertinya, setiap jengkal langkah di situ billboard hadir.

Billboard menyerang perasaan warga kota dengan coda yang kompleks berisi pesan-pesan komersial. Setiap saat orang bepergian mengendarai mobil, menumpang bis kota, atau menonton pertandingan olah raga, pesan dan instruksi komersial itu menyerang otak mereka.

Pemerhati yang menaruh keprihatinan terhadap billboard di Amerika Serikat lewat situsnya www.billboardliberation.com memberi peringatan akan bahaya itu. Digambarkan di kota yang telah dirimbuni billboard orang tak akan bisa lari, orang tidak bisa bersembunyi darinya. Gerak langkah warga kota telah dibatasi oleh horison simbol atau tanda.

Perusahaan iklan hanya berlomba memasang billboard sebanyak mungkin. Mereka lupa, para penghuni kota memiliki hak untuk memandang ke luar secara bebas dan tak terhalangi.

Anton Medan mengajak orang pinggiran kaum miskin kota yang pernah hidup dalam dunia jahat, ikut serta dalam bisnis media luar ruang. Afrizal Malna meminta ruang publik diakomodasikan bagi kaum pinggiran dan bisnis papan reklame masuk ke ruang-ruang gedung saja.

Muhammad Danisworo, ketua Tim Penasihat Arsitektur Kota, pemerintah daerah Jakarta, menerima kritik-kritik itu. Tim ini ditugasi memberi rekomendasi bagi setiap usulan pemasangan billboard. "Sebelumnya pengaturan billboard memang acak-acakan," ujarnya.

Marco Kusumawijaya, seorang arsitek yang bekerja unruk Bank Dunia, mengingatkan kurangnya pemenuhan kepentingan-kepentingan nonkomersial, misalnya saja keindahan juga keselamatan warganya, "Sejumlah negara Eropa melarang didirikannya billboard di tepi jalan berkecepatan tinggi. Alasannya mengganggu konsentrasi pengemudi kendaraan bermotor yang tengah melaju dengan cepat," katanya.

Kepentingan-kepentingan lain meliputi; masalah kesusilaan, nilai-nilai simbolik jalanan. Kedua soal itu mesti dirumuskan oleh masyarakat. Sejauh ini masih banyak tumpang tindih menyangkut kedua soal itu. Menurut Marco Kusumawijaya, kini orang tak tahu mana yang boleh dan yang tak boleh di ruang publik.

Kota metropolitian memang perlu mengedepankan media luar ruang. Dan dalam hal ini masyarakatlah yang harus memegang kendali.*

kembali keatas

by:Dwi Iswandono